Aidan tiba di lokasi acara yang menjadi tujuannya, namun ia hanya disambut oleh kehampaan. Tempat itu sepi, hanya tersisa kursi-kursi yang berantakan, karangan bunga layu, dan lantai yang masih berserakan kelopak mawar putih. Hati Aidan seperti tertikam melihat tanda-tanda akhir dari sebuah pernikahan yang baru saja berlalu. Segala usaha untuk menyusulnya kembali berakhir dengan kekecewaan. Gadis itu, yang dulu ia panggil “gadisku”, telah benar-benar pergi — kali ini selamanya.
Dengan perasaan hampa, Aidan melangkah pergi. Hujan yang deras menyambutnya di luar, membasahi setelan jasnya. Langkahnya membawanya ke taman kecil yang penuh kenangan bersama Syafira. Meski hujan turun deras, ia duduk di bangku tua yang menghadap kolam kecil di tengah taman. Angin dingin tak dihiraukannya. Ia termenung, membiarkan pikirannya kembali ke masa lalu.
Kenangan manis bersama Syafira menyeruak dalam kepalanya, menggempur seperti hujan deras yang turun tanpa ampun. Dari masa sekolah hingga momen-momen terakhir yang mereka habiskan bersama, semuanya membayangi. Wajah gadis itu, senyumnya, tawanya — semuanya terasa seperti jarum yang menusuk hati Aidan berkali-kali.
Tiga tahun berlalu sejak kepergian Syafira. Hidup Aidan berubah menjadi rutinitas yang kosong. Malam itu, di sebuah ruangan kerja yang gelap, hanya ada dirinya ditemani segelas wine dan tumpukan dokumen. “Tuan,” suara asistennya memecah kesunyian, “Besok kita ada perjalanan ke negara C untuk menghadiri perjamuan besar keluarga ternama dari tiga negara. Keluarga nomor satu, yang selama ini menghilang dari dunia, katanya akan mengumumkan penerus baru mereka.”
Aidan mengangguk pelan, menyesap wine di tangannya. “Baik. Malam ini kita berangkat. Siapkan pesawat pribadi,” ucapnya singkat. “Dan temukan cendera mata yang layak untuk diberikan kepada keluarga itu. Aku ingin meninggalkan kesan baik.”
Asistennya mengangguk hormat. “Baik, Tuan. Namun, untuk Nyonya Besar dan Tuan Besar?” tanyanya hati-hati.
Aidan mendengus pelan. “Biarkan mereka menyusul sendiri. Aku tidak tertarik bertemu mereka,” jawabnya dingin. “Sekarang, tinggalkan aku sendiri.”
Saat asistennya meninggalkan ruangan, ia sempat bergumam pelan, “Sampai kapan tuan muda akan terus seperti ini? Sudah tiga tahun, tapi ia tetap terobsesi dengan gadis itu. Kalau begini, keturunan keluarga Bastoro akan berakhir di dia.”
“Plak!” Sebuah tamparan ringan mendarat di kepala asistennya. Seorang pelayan tua menatapnya dengan tajam. “Berhenti berbicara buruk tentang Tuan Muda. Kau saja belum menikah karena larangan darinya, jadi pikirkan nasibmu sendiri jika Tuan Muda tetap seperti ini.”
Di kediaman keluarga Linda, suasana tidak kalah tegang. “Aisya, apa yang kau lakukan tiga tahun lalu tak bisa Papa maafkan. Sebagai hukuman, kau harus pergi ke negara C untuk menghadiri perjamuan besar itu. Usahakan menjalin hubungan baik dengan keluarga nomor satu,” tegas ayahnya, tatapannya penuh wibawa.
Aisya mengangguk, meski matanya memancarkan kebencian. “Baik, Pa,” jawabnya singkat.
“Ingat, satu kesalahan saja, keluarga kita akan tersingkir dari lingkaran ini. Keluarga itu adalah pusat kekuasaan, dan satu kata dari mereka cukup untuk menghancurkan kita.”
Linda, sang ibu, mencoba menenangkan suaminya. “Jangan terlalu keras pada putri kita,” ujarnya lembut.
Namun, suaminya hanya mendengus. “Kau tahu apa yang telah ia perbuat tiga tahun lalu? Karena dia, kita harus pindah ke negara B, menanggung malu, dan menghadapi tekanan dari keluarga Bastoro hingga sekarang.” Matanya penuh kemarahan saat menatap Aisya.
Ketika sang ayah meninggalkan ruangan, Aisya menggertakkan giginya. Dalam hatinya, ia mengutuk Syafira. “Dasar gadis sialan. Kau sudah mati, tapi tetap saja menghancurkan hidupku.”
Di sebuah istana besar di tengah kota negara C, persiapan untuk perjamuan keluarga ternama sedang berlangsung. Di taman istana yang megah, seorang gadis bernama Elena El Bara, tengah duduk di bangku sambil mengawasi putranya, Alvio, bermain bola. Wajah Elena bersinar dengan kedamaian, namun matanya sesekali memancarkan kegelisahan yang hanya ia sendiri yang tahu sebabnya. Senyuman kecil muncul di bibirnya saat melihat putranya tertawa riang, namun di sudut hatinya, ia tahu bahwa masa lalunya tidak akan mudah dilupakan.
Di dalam istana, ayah Elena berdiri di dekat jendela besar yang menghadap ke taman. Tatapannya tajam memperhatikan putri dan cucunya. Dalam keheningan itu, ayah Elena menghela napas panjang. "putriku ," gumamnya dalam hati, "meskipun kini kau adalah Elena El Bara, aku tahu hatimu masih menyimpan bekas dari masa lalumu. Aku hanya berharap, apa pun yang terjadi, kau tetap kuat."
Di lain sisi, di negara C, malam menjelang perjamuan besar yang dinanti oleh keluarga-keluarga ternama. Di sebuah kastil megah yang memancarkan kemewahan, seorang pria berdiri di dekat jendela, mengamati kesibukan di halaman istana dengan mata tajam. Dia adalah kepala keluarga El Bara, ayah Elena, yang selama ini mengendalikan segala urusan keluarga dari balik bayang-bayang.
“Tuan, acara perjamuan akan dimulai besok,” ucap seorang asisten dengan penuh hormat.
“Baiklah, jalankan sesuai rencana. Apa kau sudah memberitahukan hal ini kepada Elena untuk bersiap menghadiri acara besok?” tanyanya, tak mengalihkan pandangan dari jendela.
“Sudah, Tuan,” jawab asisten itu cepat.
“Baik. Pastikan Elena menjadi pusat perhatian dalam perjamuan besok. Para tikus yang selama ini berkeliaran harus tahu posisi mereka,” ucap pria itu dengan nada dingin. Matanya sesekali menatap seorang wanita muda di taman istana yang sedang bermain dengan seorang anak kecil.
“Bagaimana dengan Tuan Muda Kecil, Tuan?” tanya asistennya lagi.
“Alvio El Bara... Dia adalah penerus selanjutnya setelah Elena. Tentu saja dia juga harus tampil menawan sebagai cucuku,” jawab pria itu penuh keyakinan.
“Oh iya, Tuan, kedua keluarga besar dari negara A juga akan hadir di perjamuan,” ucap asisten itu ragu-ragu.
“Biarkan saja. Cepat atau lambat, Elena harus menghadapi mereka. Pastikan Elena dan Alvio tidak terluka sedikit pun selama acara itu,” ucap pria itu serius, nada suaranya menyiratkan dendam yang terpendam.
“Tuan... Tuan Muda keluarga Hermawan datang menemui Anda,” lapor seorang pelayan dari balik pintu.
“Biarkan dia masuk,” jawab pria itu santai, lalu melanjutkan, “Kau boleh pergi.” Ia melambaikan tangan, mengisyaratkan asistennya untuk meninggalkan ruangan.
“Permisi, Paman,” sapa Bagas, Tuan Muda keluarga Hermawan, sambil memasuki ruangan.
“Ada apa, Bagas?” tanya pria itu sambil mendekati sofa dan mempersilakan Bagas duduk.
“Besok keluarga El Bara akan keluar dari persembunyian dan mengumumkan Elena sebagai penerus keluarga. Apakah itu tidak berisiko?” tanya Bagas dengan nada serius.
“Kau tahu apa yang terjadi pada putriku tiga tahun lalu,” jawab pria itu tajam. “Itu tidak boleh terjadi lagi. Itulah alasan keluarga El Bara menutup diri selama ini, dan besok, kita akan menunjukkan siapa yang berkuasa agar tidak ada lagi tikus yang berani mencoba menggigit putriku.”
“Baik, Paman, saya mengerti,” ucap Bagas dengan anggukan hormat.
“Sebagai satu hal lagi, kau akan kuperkenalkan sebagai tunangan putriku,” ucap pria itu tegas.
“Baik, Paman,” jawab Bagas. Ia ragu sejenak sebelum bertanya, “Elena ada di mana sekarang?”
“Dia sedang berada di taman bersama putranya,” jawab pria itu. Nada suaranya sedikit melunak saat berbicara tentang anak dan cucunya. “Putriku yang polos itu masih saja memakai marga pria sialan itu di belakang nama cucuku.”
“Mau bagaimana lagi, Paman. Itu sudah keputusan Elena, meskipun nama itu tidak pernah dipublikasikan,” kata Bagas menenangkan.
“Hah... semakin kuingat, semakin kesal saja,” ucap pria itu menghela napas panjang. “Pergilah temui Elena. Aku masih ada beberapa hal yang perlu disiapkan untuk besok.”
“Baiklah, Paman. Sampai bertemu di aula perjamuan besok,” kata Bagas sebelum keluar dari ruangan.
Bagas berjalan menuju taman, tempat Elena sedang duduk termenung di bawah naungan pohon besar, mengawasi putranya yang sedang bermain dengan beberapa pelayan.
“Dasar gadis ceroboh itu, masih saja suka melamun,” gumam Bagas saat melihat Elena.
“Hey, Nona Besar, apa yang kau lamunkan?” sapa Bagas sambil mendekat. “Kalau kau terus melamun seperti itu, putra kecilmu akan kuculik,” tambahnya bercanda.
“Diam kau,” sahut Elena, tersadar dari lamunannya.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Besok adalah panggungmu. Lagi pula, siapa yang berani menyentuh keluarga El Bara?” kata Bagas menenangkan.
“Hah, entahlah. Aku masih merasa cemas. Aku takut mengungkapkan diriku di dunia luar setelah kejadian tiga tahun lalu,” ucap Elena lirih, menatap putranya yang sedang bermain.
“Itu tidak akan terjadi lagi. Lagi pula, siapa yang akan mengenali tampilan barumu yang sudah diubah 100 persen, Elena,” kata Bagas dengan nada meyakinkan. “Aku saja butuh waktu untuk mengingat wajah baru dan penampilan barumu,” tambahnya sambil tersenyum.
“Hahaha, kau selalu saja, Bagas,” jawab Elena sambil tersenyum kecil.
“Kau tidak seru, Elena. Lebih baik aku bermain dengan Alvio saja. Sepertinya lebih menyenangkan daripada ibunya yang terus memikirkan pria sialan itu,” ucap Bagas sambil berjalan ke arah Alvio.
“Vio, Paman ikut bermain, ya!” seru Bagas kepada bocah kecil itu.
“Baik, kemarilah, Paman,” jawab Alvio dengan penuh semangat.
Bagas pun bergabung dengan Alvio. Namun, sepuluh menit kemudian, ia kembali ke Elena dengan napas tersengal.
“Kenapa kau kabur dan tidak bermain dengan Vio?” tanya Elena sambil tertawa melihat wajah Bagas yang nampak lelah.
“Hah... Putramu tidak seperti anak seusianya. Mana mungkin ada bocah yang bermain persidangan dan membahas pasal-pasal serta kasus pembunuhan berantai yang akhir-akhir ini terjadi di negara B,” keluh Bagas sambil menggeleng.
“Hahaha... Bukankah dia hebat untuk anak seusianya? Lagi pula, dia adalah calon penerusku,” jawab Elena sambil tertawa geli.
Keesokan Harinya
📥"Papa, apa kau ingin menikahkan putrimu? Lihatlah gaun yang kau siapkan untukku," tulis Elena sambil mengirim foto dirinya mengenakan gaun mewah yang disiapkan oleh sang papa.
📥 "Hemm, kau nampak cantik sekali dengan gaun itu, putriku, haha...." balas Papa Elena melalui pesan. Tak lama kemudian, ia mengirim pesan lagi, "Hemm, apa kau ingin melihat penampilan putramu?"
📥 "Hah? Tapi, Pa... lihatlah! Bukankah ini terlalu mewah hanya untuk perjamuan?" balas Elena merasa ragu. "Coba, Pa..."
📥 "Lihatlah cucuku yang tampan ini. Dia mengatakan ibu sangat cantik malam ini," balas Papa Elena sambil menyertakan foto Alvio yang menggemaskan, berbicara mesra kepada ibunya.
📥 "Hemm, putraku sangat tampan, Pa," jawab Elena penuh bangga. "Kau harus menjaga putraku, Pa. Aku takut akan banyak gadis yang menculiknya karena dia sangat tampan."
📥 "Hemm, tenanglah. Lagipula malam ini adalah panggungmu, Elena El Bara, pewaris tunggal keluarga El Bara generasi sekarang," balas Papa Elena dengan percaya diri. "Bukankah itu sangat keren, putriku?"
🔈 "Ibu, kau sangat cantik, seperti pengantin. Hemm, semua orang akan terpesona dengan kecantikanmu, Ibu!" ucap Alvio sambil tersenyum manis, membuat Elena terkejut dan sedikit tersenyum gemas.
🔈 "Dasar serigala licik, kau tak boleh jauh-jauh dari kakek. Hah, aku takut kau akan diculik gadis cantik di perjamuan nanti," kata Elena bercanda, tapi sedikit khawatir.
🔈 "Tenanglah, Ibu. Akan kubawakan menantu cantik untukmu," ucap Alvio dengan yakin.
🔈 "Baiklah, serigala licik. Ibu ingin lihat secantik apa gadis yang akan kau bawakan untuk ibu... hahahaha..." Elena tertawa, sedikit tertawa lepas.
🔈 "Baik, Ibu. Sampai jumpa di perjamuan," ucap Alvio seraya melambai, berangkat bersama sang kakek.
📥 "Baiklah, putriku. Sampai ketemu di perjamuan," balas Papa Elena dengan senang hati.
📥 "Hemm, apa cucu kakek akan membawa menantu untuk kakek?" goda Papa Elena sambil mencubit pipi cucunya, Alvio yang tertawa riang.
🔈 "Hemm, sepertinya akan sulit, Kakek. Lihatlah, tak ada perempuan yang dapat mengalahkan pesona ibuku," jawab Alvio sambil melirik ibunya yang tersenyum bangga.
"Haahahaha... Dasar cucuku," ucap Papa Elena tertawa, melihat keyakinan dan keberanian cucunya.
Di Perjamuan
Sementara itu, di perjamuan yang digelar dengan megah, Aidan sudah tiba dan tengah berbincang dengan beberapa kepala keluarga terhormat.
"Kau tahu? Katanya penerus keluarga tersembunyi itu seorang gadis," bisik salah satu kepala keluarga kepada yang lain, berbicara dengan rasa ingin tahu.
"Katanya, dia juga memiliki seorang putra berusia 3 tahun, dan suaminya meninggal dalam perjalanan bisnis ke negara yang sedang berperang," lanjut seorang wanita sambil menarik napas.
"Aku tak sabar ingin melihat wajah penerus keluarga tersembunyi itu. Mereka sudah lebih dari 30 tahun tidak menampakkan diri sejak insiden besar itu," ujar kakek kepala keluarga dengan rasa penasaran.
"Hahaha... Meski begitu, keluarga itu tetap peringkat pertama karena kekuasaannya yang tak bisa diganggu gugat," terdengar percakapan lain penuh hormat.
Di tengah-tengah pembicaraan ini, Aisya, putri dari keluarga yang juga hadir, menyela percakapan dengan cara yang agak berlebihan.
"Apa dia seorang gadis dan memiliki satu putra?" ucap Aisya dengan percaya diri, seakan ingin menegaskan informasi yang tengah beredar di antara keluarga besar itu.
Tiba-tiba, suara seorang pelayan datang menegur, "Hey, gadis muda, kau tahu siapa yang kau selang ini? Mereka adalah para monster di lingkaran ini," kata pelayan itu memperingatkan dengan nada serius.
"Hei, gadis muda! Itu benar sekali," seru salah satu kepala keluarga, wajahnya penuh ketegasan, menyeringai dengan sinis.
"Dasar putri bodoh... Baru aku tinggal sebentar, kau sudah berbuat ulah, sialan," ujar ayah Aisya dengan suara rendah, terasa kesal dengan sikap putrinya.
"Maaf atas kelancangan putri saya," ucap papa Aisya meminta maaf, menundukkan kepala, sedikit malu.
"Baiklah, lain kali ajar putrimu untuk tidak menyela pembicaraan kami," ucap kepala keluarga peringkat kedua dengan tegas. Mereka memberikan restu, dan seketika Aisya bersama ayahnya harus mundur dengan rasa malu.
Keluarga El Bara Tiba
Sebentar setelah itu, iring-iringan mobil keluarga El Bara tiba di aula perjamuan. Saat itu, penjaga dan pelayan berdiri siap menyambut mereka.
"Apakah itu mereka, keluarga El Bara? Keluarga yang baru saja muncul setelah lebih dari 30 tahun?" terdengar bisik-bisik di antara hadirin.
"Selamat datang, Tuan Alexander El Bara, dan Tuan Muda Alvio El Bara!" sambut kepala keluarga peringkat kedua dengan sikap hormat. Mereka menunduk dengan kagum terhadap sang kakek dan cucunya.
"Terima kasih," ujar Alexander El Bara saat keluar dari mobil dengan cucunya, Alvio, di pangkuannya.
Mereka pun masuk ke dalam aula, menghentak perhatian banyak orang dengan aura yang sangat memukau.
Terdengar di belakang, Aisya merasa sesuatu yang sangat familiar dengan wajah Tuan Alexander. "Kenapa aku merasa tak asing dengan wajah kepala keluarga itu?" gumam Aisya, perasaan aneh menyelimuti dirinya.
"Hei, putri sialan, awas kau berbuat ulah lagi," berbisik Papa Aisya, mengingatkan putrinya yang nampak penuh rasa ingin tahu.
"Apakah benar-benar mereka, Tuan Alexander?" tanya kepala keluarga peringkat ketiga, mencuri perhatian dengan pertanyaan langsung.
"Sebentar lagi penerusku akan datang. Dia akan hadir paling akhir," jawab Alexander. "Ini cucuku, Tuan Muda Alvio El Bara, penerus yang selanjutnya setelah putriku."
Alvio tersenyum lebar, memberikan salam yang hormat pada hadirin. "Halo paman, bibi. Perkenalkan, aku Alvio El Bara, calon penerus generasi selanjutnya setelah ibuku," ucapnya dengan percaya diri dan senyum manis, memukau semua yang hadir.
Mereka menundukkan kepala, menunjukkan hormat pada keluarga El Bara yang datang begitu anggun dan kuat.
Saat itu, sang kakek memimpin percakapan dan dominasi di aula perjamuan. Di luar, keadaan terasa menegangkan namun penuh rasa hormat.
"Tuan muda, apa Anda ingin ikut dengan saya dan meninggalkan Tuan Besar sendirian?" bisik Pak Jen dengan hati-hati.
Alvio memutar bola mata, mencari alasan untuk lari dari kerumunan yang terasa semakin padat. Dengan anggukan kecil dan senyum nakal, ia berbisik kembali kepada kakeknya yang tengah berbincang dengan beberapa anggota keluarga lainnya.
"Kakek, aku ingin ikut dengan Pak Tua," ujar Alvio pelan.
"Baiklah," jawab Tuan Besar, sambil menurunkan cucunya dengan lembut dari pelukannya. Mata tuanya penuh dengan cinta dan kedalaman, meski tidak bisa disembunyikan rasa bahagianya melihat sang cucu yang begitu aktif dan penuh rasa ingin tahu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!