NovelToon NovelToon

Rumah Untuk Lily

Bab 1. Aku bukan batu

"Maaf. Aku khilaf," ucap Arya, kedua maniknya berkaca-kaca.

Raya sendiri hanya membisu, dengan air mata yang berjatuhan tanpa jeda. Sakit, sungguh sakit tak terkira dan tak terucap dengan kata. Dadanya merasa sesak dan rasanya ingin meledak. Raya ingin memukul wajah suaminya sampai puas. Ia ingin berteriak hingga rasa yang mengganjal dalam hatinya bebas.

"Izinkan aku menikahinya. Dia sedang hamil sekarang," lanjut Arya

Air mata Raya semakin luruh, tubuhnya bergetar hebat, menahan amarah bercampur sakit hati. Wanita gila mana, yang akan mengizinkan suaminya menikah lagi. Sementara, ia masih sanggup melakukan tugasnya sebagai istri.

"Ra," panggilnya.

Namun, Raya masih membisu dengan wajah basah, ia bahkan mengalihkan pandangan. Sumpah, ia tidak sanggup. Langit rasanya runtuh diatas kepala, kedua kakinya seolah berpijak di lumpur hidup yang mengisapnya perlahan hingga ke dasar.

"Kenapa harus minta izinnya?" sela sang ibu mertua, "Kamu tidak perlu izinnya. Kamu secepatnya, menikahi wanita itu. Kamu harus tanggung jawab."

Benar. Arya memang tidak butuh izin, jika ingin menikah lagi. Tapi paling tidak, Raya ingin keluarga sang suami melihat posisi, kekecewaan, sakit hatinya.

Kepala Raya berdentam hebat, karena terlalu menangis. Ia kehabisan oksigen, sebab cairan menutupi saluran pernapasannya. Pandangannya perlahan kabur, hingga ia harus menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali.

"Ceraikan aku!" ujar Raya, dengan sisa tenaga yang ia miliki.

"Ra!"

"Kamu jangan menambah masalah. Cerai, cerai, kamu sedang mengancam putraku?" Ibu mertua yang kembali menjawab dengan nada tinggi.

"Ibu, stop! Jangan ikut campur. Tolong, tinggalkan kami."

"Bagaimana ibu tidak buka mulut? Istri kamu ini harusnya tahu diri. Apa susahnya di madu? Toh, kamu akan tetap menafkahinya. Jika kamu tidak tanggung jawab, urusannya bisa panjang."

"Ibu, tolong keluarlah."

"Ra, ibu ingatkan kamu, yah! Lihat kondisi kamu sekarang. Kamu pikir, bisa memberi makan anak kamu, dengan minta cerai, hah! Arya, tidak akan selingkuh, jika kamu becus ngurus dia!"

Tatapan Raya berubah menjadi nyalang, menakutkan sekaligus ngeri. Ia tidak pernah memberikan tatapan seperti itu kepada mertuanya, selama ia menjadi menantu. Namun, hari ia benar-benar murka.

"Kenapa? Kamu tidak terima?" ibu mundur, Raya maju dengan tatapan yang sama.

"Tidak becus?" ulang Raya, "aku melayani ibu dan anak, di rumah yang berbeda, seperti pembantu. Dan kau mengatai ku tidak becus?"

"Bu ... bukankah itu sudah tugasmu?" ibu mengalihkan pandangan, tidak berani menatap menantunya yang kini mengeluarkan tanduknya.

"Tugas?" Raya tersenyum pahit. "Apa aku pembantumu? Apa kau pernah memberikanku gaji, Hah!" teriak Raya membuat ibu mertuanya terlonjak.

"Raya!" bentak Arya.

"Apa?" teriak Raya yang semakin lantang, "kau mau menamparku? Kau meminta izin, seolah-olah kau akan menuruti perkataanku. Apa gunanya, meminta izin, jika kau tetap menikahinya."

"Ra, maafkan aku." Arya menggenggam kedua tangan Raya. "Aku yang salah, aku memang bajingan. Tolong, jangan berpikir untuk bercerai. Lily, masih kecil. Dia membutuhkanku."

"Kau tahu dia masih kecil dan membutuhkan mu," teriak Raya, "kau berselingkuh, apa masih memikirkan anakmu, memikirkanku? Apa salahku? Aku kurang apa, selama ini? Katakan, apa?"

Dia membisu.

"Kau tidak pernah mengingat, apa yang aku lakukan untukmu. Bagaimana kita bisa menjadi seperti sekarang? Aku rasa, kau tidak pernah mengggapnya, hanya karena aku tidak menambah penghasilanmu."

"Ra,"

"Ceraikan aku, jika kau ingin menikah lagi," teriak Raya dengan lantang, dengan mata melotot.

"Tidak akan. Aku tidak akan menceraikanmu."

"Kau yakin?" Raya tersenyum dengan penuh kepahitan. "Apa kau tahu, aku hampir gila sekarang? Aku bisa membunuh siapapun, saat ini. Ceraikan aku. Agar aku bisa waras dan kembali hidup."

Malam itu, Raya menangis sepuasnya tanpa bersuara, sendirian, bertemankan kegelapan dan sakit hati. Sekuat apapun, ia berpikir positif, tetap tidak bisa. Ia tidak terima. Ia salah apa? Kenapa Arya begitu tega? Pertanyaan, demi pertanyaan terus terlontar dari pikirannya.

Arya sendiri, tidur dirumah orang tuanya. Tepat, disamping rumah mereka. Ia membawa putri mereka bersamanya.

Raya dan Arya membangun rumah, dilahan kosong milik orang tua suaminya. Karena, ia merupakan anak sulung.

Lambat laun, rumah yang sudah berdiri kokoh, mulai terisi perabotan dan berkat rezeki, mereka memiliki kendaraan roda empat. Namun, setelah semua yang terjadi. Ia merasa semua usahanya terasa sia-sia dan tidak berguna? Karena ia tahu, siapa yang akan menginjakkan kaki keluar dari rumah ini.

Pagi ini, Raya sudah mengemas semua pakaian dan Lily, putrinya. Dua koper besar dan satu tas jinjing.

"Ra, tolong jangan seperti ini! Kau membuat semuanya runyam," cegah Arya. Ia mengenggam erat tangan sang istri.

Raya tidak menjawab, ia menghempaskan tangan Arya dan terus melangkah keluar rumah, sembari menggendong Lily, yang kebingungan.

"Papa," panggil Lily, saat keduanya diambang pintu rumah.

"Raya, stop!" teriak Arya, yang kesabarannya kini sudah habis, "apa kau tidak bisa menunggu dan bersabar? Aku hanya ingin kau tetap tinggal dan menerimanya. Aku akan tetap melakukan tugasku sebagai suami dan ayah. Apa susahnya menerima itu?"

Raya memberikan Lily kepada iparnya, yang sedari tadi membantu membawa koper. Sang ipar berlari masuk kamar, mencegah anak sekecil Lily melihat pertengkaran orang tuanya.

"Menerima?" isak Raya, "kau mau, aku menerima situasi ini? Kau mau, aku melihatmu ijab kabul dan duduk dipelaminan, seperti orang bodoh. Kau pikir aku batu." Raya melotot, bibirnya bergetar. Rasanya ia ingin mengayunkan kepalan tangannya yang terkepal.

"Ra. Kau ingin, aku bagaimana? Aku hanya ingin tanggung jawab dan aku mau kau mengerti keadaanku."

"Lalu, aku bagaimana?" bentak Raya dengan suara lantang, "kau mau dimengerti, lalu aku bagaimana? Katakan! Kau berbuat salah dan aku yang yang harus mengerti keadaan kamu, begitu."

"Oke, aku salah. Lalu, aku harus apa? Semua sudah terjadi. Apa kau tidak bisa menerima dan menghadapinya? Aku juga tidak menginginkan ini."

"Kau menginginkannya, Mas. Sejak kau memutuskan untuk tidur dengannya. Kau sudah memilih jalan yang akan kau lalui. Ceraikan aku!" Untuk kesekian kalinya Raya mengatakan hal yang sama.

"Sudah, ceraikan saja! Dia begitu ngotot, seolah bisa hidup tanpa nafkah dari kamu," sela ibu mertua Raya yang selalu tiba-tiba muncul dan bersuara lantang.

"Ibu,"

"Apa?" sahut sang ibu mertua, "biarkan saja dia pergi, kenapa kau terus menahannya? Percuma saja."

"Dia tidak akan pergi kemana-mana," tegas Arya, lalu menoleh kepada istrinya, "ini rumahmu, tinggallah disini. Aku yang akan keluar."

"Kau gila! Enak saja! Ini tanah ibu. Lagi pula, dia tidak berkontribusi apa-apa, selama ini. Apa Raya bekerja, untuk membantumu membangun rumah? Tidak, kan?"

Tidak ingin membuang waktu, Raya kembali dalam kamar mengambil Lily. Dan saat itu, Arya ikut menyusul.

"Ra, please. Jangan seperti ini. Kita bisa mencari solusi lain, asal tidak bercerai. Aku bisa mencari rumah lain untuknya dan kau tetap disini. Aku janji, aku akan bersama kalian."

"Dan dia?"

"Aku akan bersikap adil."

"Yang aku tahu, sikap adil itu berdasarkan versi kalian. Bukan versi kami yang dimadu."

Saat Raya menarik koper, Arya meraih tangan sang istri. Menggenggamnya dengan erat. Sorot matanya berubah tajam. Seperti ada kilatan amarah dan kesabaran yang sudah habis.

"Kenapa kau begitu egois?" desis Arya kasar, "aku hanya ingin bertanggung jawab dan minta pengertianmu. Tidak ada yang akan berubah, meski aku menikah lagi. Apa susahnya menerima itu?"

"Tidak ada yang akan berubah?" tanya Raya kembali, "kau akan menikah lagi, apanya yang tidak berubah?"

"Kau memang berbeda dengan Tari, Ra! Kau egois dan membuatku tidak nyaman berada di rumah. Kau tidak pengertian dan terlalu banyak menuntut."

"Ap... apa?" Raya terhenyak. Belum apa-apa, dia sudah membandingkannya dengan calon istri barunya.

"Karena kau sangat egois, aku akan mengabulkan keinginanmu. Aku menjatuhkan talak 1 padamu. Puas?"

Raya mematung, seolah suara petir menggelegar diatas kepalanya. Ini yang ia inginkan, tapi kenapa ia tidak terima dengan ucapannya. Memangnya, selama ini ia menuntut apa? Egois? Kenapa seolah ia yang bersalah?

🥀🥀🥀

Bab 2. Sambutan tidak bersahabat

Raya memilih pulang di rumah orang tuanya, karena ia tidak memiliki tujuan. Paling tidak, ia bisa berteduh beberapa hari, sambil berpikir kemana ia akan melangkah. Rumah orang tuanya berada di perbatasan kota. Raya harus naik bus, untuk menghemat biaya.

Sepanjang jalan, ia terus menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran, seperti keran air. Sakit hati, marah dan kecewa, bercampur menjadi satu dan mengaduk-aduk perasaannya. Kenapa pernikahan yang sudah lama terjalin, seolah tidak ada apa-apanya? Kenapa semua usaha dan pengorbanan seolah tidak terhitung olehnya?

1 jam perjalanan, akhirnya Raya tiba. Ia menarik koper dengan susah payah, apalagi posisi sambil menggendong anak.

"Kak, kok bawa banyak barang?" tanya sang adik, yang membantu membawa koper dan tas.

"Ibu mana?" tanya Raya, mengalihkan pembicaraan.

"Didalam."

Ibu Raya yang tengah mencuci piring, kaget melihat putrinya, yang tiba-tiba pulang tanpa pemberitahuan. Dan biasanya, Raya hanya akan pulang saat hari raya tiba.

"Nak, kok tiba-tiba pulang, tidak bilang-bilang?" Ibu memperhatikan barang bawaan Raya yang tidak wajar. Seperti orang yang akan pindah rumah. "Wajahmu kenapa bengkak begitu?"

"Aku lapar, Bu." Raya mengalihkan pembicaraan. Ia lelah dan tidak ingin berbicara saat ini.

"Ya, ampun. Kamu jauh-jauh kemari dan belum makan. Ayo, duduk." Ibu memanggil putranya, yang sibuk memasukkan koper dalam kamar. "Rafi, ambil adekmu, Nak. Kakak kamu mau makan."

"Iya, Bu."

Raya makan dengan lahap, karena diatas meja terhidang makanan favoritnya. Ada tahu, tempe goreng, lalapan dan sambal. Tidak ketinggalan ikan asin yang paling the best.

"Pelan-pelan, Nak." Ibu mengambil segelas air dan meletakkan diatas meja. "Kamu makan dulu, ibu mau lanjut mencuci."

Raya mengangguk. Entah mengapa, setelah tiba dirumah sang ibu perasaannya langsung tenang. Sakit hatinya, pun perlahan berkurang sedikit demi sedikit.

"Nak, ceritakan apa yang terjadi? Ibu tahu pasti ada sesuatu, kamu tiba-tiba pulang," tanya Ibu yang kembali duduk, saat Raya baru selesai makan.

Raya tidak langsung menjawab. Ia duduk kembali, lalu menghela napas panjang.

"Mas Arya, menceraikanku, Bu." Tanpa permisi, air mata Raya meluncur. Ia tertunduk, sembari terisak.

"Ap... apa?" Ibu shock. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyambar tanpa adanya hujan. "Kalian ada masalah apa?"

"Mas Arya berselingkuh dan mau menikah lagi. Aku tidak sudi di madu," tangis Raya pecah yang sedari tadi ia tahan.

Ibu langsung bangkit menarik tangan putrinya. "Ayo, bangun. Temui suamimu. Katakan, kau tidak ingin bercerai."

"Ibu." Raya melotot.

"Kenapa? Kau harus berpikir, Nak. Ini bukan tentang mu saja tapi tentang anakmu. Dia masih kecil, dia butuh ayahnya."

"Ibu, tolong. Aku tidak bisa. Karena, Lily masih kecil, maka suatu hari dia pasti akan mengerti."

"Raya," bentak ibu, "Apa sulitnya di madu? Kamu hanya perlu ikhlas dan menutup mata. Daripada kamu hidup menjanda dan menjadi gunjingan orang."

"Apa bedanya, Bu? Apa selama ini ibu tidak pernah digosipkan tetangga, karena ibu mau di madu? Paling tidak, menjadi janda tidak akan membuatku sakit hati."

Sang ibu terduduk kembali. Ia terisak karena nasib Sang putri yang ternyata tidak jauh beda darinya. Apa ini karma atau takdir yang tidak adil bagi mereka?

"Kamu tahu, kenapa ibu mau di madu?" Ibu menatap Raya dengan kedua mata yang berenang. "Itu karena kalian masih kecil dan masih butuh biaya. Ibu tidak mau, kalian diejek disekolah karena tidak punya ayah dan ibu juga tidak mau kalian hidup susah."

"Maaf, Bu. Tapi, Raya tidak sekuat Ibu. Aku tidak sanggup harus menahan sakit hati."

"Ibu tahu, ibu mengerti. Tapi, pikirkan anakmu. Selagi dia belum mengerti apa-apa, kamu harus memperbaikinya."

"Keputusan Raya sudah bulat, Bu. Mas Arya sudah menjatuhkan talak dan Raya tidak mau mengemis."

"Raya." Suara Ibu kembali meninggi. "Apa yang akan kau lakukan dengan masa depan anakmu?"

"Bu, tolong! Jangan memaksaku. Aku bisa mencari kerja."

"Kau mau mencari kerja dengan ijazah SMA? Siapa yang akan memperkerjakanmu di zaman sekarang ini? Padahal kau punya suami seorang manajer. Sakit karena di madu, tidak seberapa dengan kau hidup susah."

"Ibu," teriak Raya, yang sudah tahan, "Uang bisa dicari, tapi tidak dengan harga diriku!"

Plak.

"Jadi, kau menganggap ibu tidak punya harga diri karena mau menerima keputusan ayahmu?"

"Jangan membohongi diri ibu sendiri. Aku tahu ibu menangis setiap malam. Aku tahu ibu menyumpahi mereka setiap saat. Daripada hidup seperti itu, lebih baik berpisah." Raya menghapus wajahnya yang basah.

"Yah, ibu memang menangis. Ibu bahkan menyumpahi mereka. Lalu, apa? Kau tahu betul, kenapa ibu mau melakukan."

"Bu, tolong sadarlah. Ibu bertahan hanya karena sebuah nafkah yang tidak seberapa. Ibu bahkan harus mengemis berminggu-minggu dan mendengarkan hinaan ayah setiap kali memberikannya. Aku tidak mau hidup seperti itu."

Ibu seperti terpukul dengan ucapan anaknya. Ia terduduk lesu dan terdiam. Semua yang dikatakan Raya, seakan membuka pikirannya.

"Bu, tolong. Raya hanya ingin menjalani hidup dengan tenang, tanpa harus meneteskan air mata setiap saat. Mas Arya berkata akan adil kepada kami. Tapi, aku tidak akan percaya. Ibu tahu kenapa? Karena janji seperti itu hanya sementara. Satu tahun, mungkin iya. Tapi tidak dengan tahun-tahun berikutnya."

"Anakku, kenapa hidupmu seperti ini?" Ibu kembali menangis dengan pilu.

"Ibu, aku baik-baik saja. Aku yakin bisa melalui ini." Raya memeluk ibunya dan ikut menangis.

Setelah keduanya cukup tenang. Raya membereskan piring diatas meja dan langsung mencucinya. Sementara, ibu masih menatap anaknya.

"Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Nak?" tanya Ibu dengan isakan yang masih terdengar.

"Aku akan cari kontrakkan dan cari pekerjaan, Bu."

"Kalau begitu, biar ibu yang menjaga Lily disini."

Raya berhenti sejenak dan menatap ibunya. "Tidak usah, Bu. Aku bisa sendiri."

"Jangan, Nak. Kali ini, dengarkan ibu. Bagaimana kamu bisa bekerja dengan membawa bayi? Menggunakan ijazah SMA saja, kamu masih harus untung-untungan. Biar ibu yang jaga Lily, agar kamu bebas bekerja. Kamu bisa menjenguknya kalau libur. Percaya sama ibu, Nak."

"Aku percaya sama Ibu. Tapi, Ibu akan terlalu lelah."

"Lelah, apanya? Ada adik kamu yang membantu ibu."

"Aku akan memikirkannya, Bu."

"Ya sudah, cepat selesaikan dan kamu istirahat. Lily, biar ibu yang jaga."

Tenang dan damai, meski hati masih terlalu sakit untuk mengingatnya. Apalagi, Raya merasa dibuang seperti barang yang sudah rusak dan tidak dibutuhkan lagi. Itu yang paling ia tidak terima. Meski Arya meminta maaf, tapi itu tidak cukup untuk menambal, apalagi menyembuhkan luka.

🍁🍁🍁

Bab 3. Baik-baik, Nak.

Di rumah ibu, Raya beristirahat dengan baik, tidur siang, yang bahkan tidak pernah ia lakukan saat masih di rumahnya dulu. Ia terlalu sibuk mengurus keadaan keluarga kecilnya, ketimbang dirinya sendiri. Jangankan untuk tidur siang, ia bahkan sering lupa makan dan mandi.

Saat bangun, Raya melihat sang ibu sedang duduk di dapur. Wanita yang sudah lebih dari setengah abad itu, termenung.

"Bu," tegur Raya dan ibu langsung menoleh setelah, menghapus wajahnya.

"Ibu menangis?"

"Tidak, Nak. Ibu tidak menangis."

"Bu. Semua akan baik-baik saja. Jangan mengkhawatirkanku." Raya jongkok, sembari memegang kedua tangan ibunya yang keriput. "Bu, maafin Raya, sudah membentak ibu."

"Tidak, Nak. Ibu yang seharusnya minta maaf dan mengerti perasaan kamu." Ibu membelai rambut putrinya. "Mulailah hidup baru dengan baik. Jangan memikirkan apapun, yang sudah selesai, tidak perlu kamu ingat lagi. Masalah Lily, percaya sama ibu."

Raya bangkit dan memperhatikan makanan diatas meja. Ada pisang goreng yang masih hangat dan segelas teh.

"Tadi, ibu Nining bawa pisang dari kebun. Ibu langsung menggoreng sebagian."

"Lily, mana Bu?" Raya duduk disebelah ibu. Ia menyambar gelas berisi air putih.

"Di halaman, sedang main sama Rafi. Dia juga sudah makan. Ibu senang, Lily tidak pilih-pilih makanan."

"Bagaimana dengan ayah?"

"Ibu hampir lupa. Tadi ayahmu menelpon, sepertinya ada yang memberitahu dia, kalau kamu pulang ke rumah. Ibu tidak bilang tentang masalah kamu. Tapi, dia mengirim uang cukup banyak. Katanya, buat kamu dan Lily." Ibu menatap putrinya, yang sama sekali tidak memberikan respon. "Nak. Ayahmu memang pernah berbuat salah. Tapi, dia masih peduli sama kamu. Apalagi, cucunya."

"Sepertinya, ibu masih cinta sama ayah. Sampai sekarang, ibu masih saja membelanya."

"Bukan seperti itu, Nak. Ayah kalian hanya berbuat salah kepada ibu, bukan kepada kalian. Jadi, jangan pernah membencinya, cukup ibu saja."

"Aku tahu, Bu. Lagipula, waktu tidak bisa diulang kembali."

Raya menaruh piring yang berisi pisang goreng dan cangkir, keatas nampan. Ia mengajak ibu menuju teras, untuk melihat Lily bermain dihalaman rumah.

"Cucu ibu, bahagia sekali. Setelah makan, ia tidak berhenti bermain."

Raya memperhatikan putrinya. Anak yang baru berusia tiga tahun itu, tertawa puas berlarian tanpa lelah. Tiba-tiba, sesuatu terbesit dalam hatinya.

"Bu, tolong bantu Raya. Aku tidak mau, mas Arya tahu, Lily berada disini."

"Baik. Ibu akan berusaha semampunya," jawab ibu, yang tidak mau lagi bertanya tentang alasan Raya melakukan itu.

Raya memanggil Lily dan Rafi untuk menikmati pisang goreng, bersama. Mereka berkumpul, sembari mengobrol dan bercanda.

Malam hari, Raya mengatur pakaian Lily kedalam lemari. Ia juga memasukkan sebagian pakaian miliknya. Dengan begitu, ia bisa mengurangi barang bawaan.

"Sayang, sudah makan?"

"Udah, Mama. Lily, mam ayam goleng sama oma."

Raya menggendong putrinya, naik ke atas tempat tidur. Sudah waktunya, ia menjelaskan situasi mereka. Meski tidak semuanya, karena Lily yang masih tiga tahun, tidak akan pernah paham.

"Apa Lily, suka tinggal sama oma dan om Rafi?"

"Suka. Lily suka lali-lali kejal ayam. Om Afi huga ada oyen."

"Lily mau tinggal disini?"

"Mau-mau." Lily mengangguk sembari tersenyum lebar.

"Sayang." Raya memeluk putrinya dengan erat, menahan air mata yang nyaris jatuh. "Mama, mau kerja. Apa Lily bisa tinggal sama oma dan om Rafi. Nanti, Mama akan pulang."

"Mama mau pelgi?" Bibir Lily melengkung ke bawah, siap untuk menangis.

"Tidak, sayang. Mama hanya pergi kerja, cari uang untuk Lily." Air mata Raya sudah jatuh sempurna. Ia mengigit bibirnya, berusaha menahan tangisnya. "Jika nanti uangnya sudah banyak, Mama akan pulang jemput Lily."

Huaaaa....

Gadis kecil itu menangis, sembari memeluk erat ibunya. Raya sendiri membeku di tempat dengan cucuran air mata. Ia tidak sanggup melanjutkan kalimatnya.

"Lily, sayang." Ibu datang memeluk cucunya. "Mama akan pulang cepat. Lily tinggal sama Oma dulu, yah. Besok kita jalan-jalan lihat bebek disawah, mau tidak?"

"Bebek?" Lily melepaskan pelukannya.

"Iya, sayang."

"Mau-mau, om Afi huga."

"Iya, sama-sama om Rafi, naik motor."

"Yeeee... Lily mau liat bebek."

Gadis kecil itu langsung keluar kamar, menghampiri Rafi yang tengah nonton TV. Dari dalam kamar, Raya bisa mendengar suara Lily yang tengah berceloteh kepada pamannya.

"Istirahatlah. Biar ibu, yang antar Lily tidur sebentar." Ibu hendak keluar kamar. Namun, kembali membalikkan tubuhnya. "Ibu hampir lupa. Ini buat kamu."

"Tidak usah, Bu. Aku masih ada uang." Raya mengembalikan amplop yang diberikan ibu.

"Nak, kau butuh pegangan."

"Bu, Raya masih punya uang dan tabungan. Jangan khawatir. Simpan itu, untuk kebutuhan kalian, sampai aku bisa mengirim uang."

"Baiklah. Tapi kalau kamu butuh, telpon ibu."

Raya kembali mengemas barang yang akan ia bawa. Hatinya sudah merasa tenang, saat mendengar suara Lily tertawa didepan kamar. Dengan begini, beban pikirannya akan sedikit berkurang.

Semua sudah siap. Raya segera menelpon Retno. Teman satu kampung, sekaligus teman seperjuangan saat keduanya menginjakkan kaki dikota besar, sebelum akhirnya Raya menikah.

"Halo, Ret."

"Ya, halo. Aku lagi di luar, Ra. Kunci kamar, ditempat seperti biasa."

"Bukan. Aku mau tanya, kalau ada lowongan di tempat kamu."

"Kamu mau kerja, Ra?"

"Iya, aku mau kerja."

"Bukannya, Arya dan mertua kamu, tidak mau kamu bekerja."

"Ceritanya panjang, nanti ketemu baru aku jelasin. Oh iya, sekalian carikan aku kamar kos yang bagus tapi agak murah."

"Untuk siapa?"

"Nanti aja, aku cerita. Tolong, yah."

"Oke, oke. Nanti aku telpon."

Raya meletakkan ponsel diatas lantai. Menghela napas lega, dengan harap bisa mendapatkan tempat tinggal dengan cepat. Untuk sementara, mungkin dia akan menumpang di tempat Retno.

Pukul sembilan malam, Raya memeluk Lily yang tertidur pulas. Gadis itu, memeluk boneka panda pemberian sang ayah, sebagai hadiah ulang tahunnya, yang ketiga. Dan sepertinya, ia tidak akan mendapatkan hadiah seperti itu lagi, tahun depan.

Raya menepuk-nepuk paha Lily, dengan lembut. Ia juga beberapa kali mendaratkan kecupan. Ia ingin memberikan pelukan terakhir, sebelum ia pergi besok.

"Tuhan, aku titip putriku kepada-Mu. Tolong jaga dan lindungi dia, begitu juga dengan ibu dan adikku."

Doa yang membuat Raya menangis, untuk kesekian kalinya dan tanpa suara. Ia melepaskan pelukan dan duduk diatas lantai yang dingin. Ia menangis sepuasnya dan mengeluhkan semua yang ia alami.

Kadang ia menengadah ke atas langit, seolah bertanya, apa salahku? Kenapa takdirku seburuk ini? Apalagi, ia mulai membayangkan sang suami menikah lagi, memeluk wanita lain, memperhatikan dan menyayangi wanita itu. Lambat laun, memori yang mereka bangun pun tergantikan dengan memori baru.

🍁🍁🍁

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!