“Saya akan membantu kamu memulihkan perusahaan Ayahmu, tapi dengan syarat kau harus menikah dengan Anakku Dean!”
Luna mengerutkan kening. Bukannya dia tak tahu ada rumor yang tersebar tentang putra tunggal tuan Adiyasa yang punya kelainan, yakni dia penyuka sesama jenis.
Luna tersenyum tipis.
“Apa Tuan yakin? Bukankah putra Tuan itu seorang gay?”
“Kau percaya pada rumor tidak jelas seperti itu? Dia adalah pria normal, aku cukup yakin akan hal itu,” Jelas Tuan Adiyasa dengan nada tenang.
“Sebenarnya saya tidak keberatan. Selama Tuan memenuhi semua persyaratan yang saya berikan, saya ingin anda membantu memulihkan kembali perusahaan Ayah saya seperti semula,” tegas Luna.
“Tentu. Kau bisa memegang kata-kataku, aku juga bisa membuatmu mendapatkan kembali rumahmu yang telah di sita Bank. Tapi, tentu saja itu tidak gratis,” Tuan Adiyasa tersenyum licik.
Luna termenung barang sejenak, sebelum akhirnya kembali berucap.
“Itu hanya sebuah pernikahankan, aku tidak masalah,” jawabnya seraya mengalihkan pandangan ke arah lain.
‘Biar saja lah. Setelah menikah bukannya kita bisa bercerai kan?’ batin Luna.
“Kau tidak masalah. Tapi aku merasa itu sebuah masalah!” ucap seseorang dari ambang pintu yang entah sejak kapan terbuka.
Tuan Adiyasa menyipitkan matanya.
‘Itu pasti dia. Dean Putra Adiyasa.’
“Ayah berapa kali harus aku katakan bahwa aku tidak ingin menikah selain dengan ...,” dia menjeda ucapannya sambil melirik ke arah Luna yang masih menatap kearahnya dalam diam.
Dean melangkah masuk sebelum kembali meneruskan ucapannya. Kemudian pintu pun tertutup.
“Lagi pula siapa dia? Aku bahkan tidak mengenalnya.”
“Dia Luna, anaknya Tuan Adrian Mahesa. Kau tahu dia bukan,” jawab Tuan Adiyasa dengan nada tenang.
“Tuan Adrian bukannya–?”
“Ya. Dia sudah tiada,” ucapnya.
“Jadi karena kini dia sudah menjadi yatim jadi Ayah ingin menikahkannya padaku?” nada suara Dean kembali meninggi.
“Jaga bicaramu Dean!” bentak Tuan Adiyasa.
“Hey Nona!” Dean beralih bicara pada Luna.
“Selama ini aku tidak pernah mengenalmu. Aku tidak bisa menikahimu, lebih baik kau cari laki-laki lain yang lebih cocok untukmu. Lagi pula kau pasti sudah mendengar rumor tentang aku yang seorang gay bukan?” dia tersenyum sinis.
“Dean!” geram Taun Adiyasa. Agaknya dia mulai merasa kesal pada putranya itu.
“Aku tahu. Dan aku juga tahu itu bukan hanya sekedar rumor belaka,” tanggap Luna santai.
Dean mengangkat sebelah alisnya, “dan kau masih ingin menikah denganku meski kau tahu aku menyukai Pria?” balasnya tampak heran.
“Ya, aku tidak peduli soal orientasi seksual mu, itu masalah pribadimu.”
Dean mendengus senyum, “Ayah, sepertinya kau telah menjanjikan sesuatu yang besar pada dia hingga dia bisa mengatakan semua itu tanpa ragu,” sinisnya.
“Kau benar. Maka dari itu marilah bekerjasama,” Ujar Luna. “Kita hanya harus menikah, itu saja,” sambungnya.
“Kau terlalu menganggap remeh masalah ini, apa dia sudah memberitahu semuanya tentang pernikahan ini?”
Tuan Adiyasa masih tampak tenang seperti biasa, sambil menyesap cangkir berisi cairan berwarna hitam pekat.
“Dia hanya ingin kita menikah dan setelah itu kita bisa bercerai. Dia hanya ingin menangani tentang rumor kau yang seorang gay.” Ya itu yang Luna tangkap dari percakapannya dengan Tuan Adiyasa tadi.
“Heh. Kau sungguh naif, apa kau pikir itu semua sesederhana itu?” sinisnya.
“Ayolah Ayah, jelaskan semuanya pada gadis polos ini. Jangan coba memperdayainya apa lagi dia anak gadis teman Ayah.”
Tuan Adiyasa menghela nafas berat. “Kalian harus memberikan aku satu orang pewaris, setelah itu kalian sudah bisa bebas. Dean, kau bisa menjalani kehidupan yang kau inginkan dan untukmu Luna, aku akan memenuhi semua persyaratan yang kau beri,” jelasnya.
“Apa, Anak?!”
Luna benar-benar terkejut. Dia pikir ini hanyalah masalah soal pernikahan, bagi dia mendapat gelar sebagai seorang Janda bukan masalah besar, tapi menjadi seorang Ibu itu adalah kisah yang berbeda.
Sedang Dean, dia sepertinya sudah tahu keinginan dari sang Ayah dan tak membuatnya terkejut sama sekali.
“Dean adalah anakku satu-satunya. Jika dia tidak punya anak karena orientasi seksualnya yang menyimpang keluarga kami akan kehilangan pewaris dan itu akan menjadi masalah besar.”
“Itu mudah, kita bisa mengadopsi beberapa orang anak dan masalah selesai,” usul Dean.
“Apa kau tidak mengerti betapa peliknya masalah ini. Darah tidak bisa di ganti dengan apa pun.”
Dean mendengus sembari memalingkan muka.
Sedari tadi Luna hanya diam, pikirannya berkecamuk.
“Luna, bagaimana menurutmu?”
Luna menghela nafas berat, “biarkan aku memikirkannya dulu.”
Luna pun beranjak pergi. Dia berjalan di koridor dengan langkah pelan kemudian terhenti di balkon Restoran besar yang tampak seperti hotel ini dengan beberapa ruang khusus VIP seperti yang Tuan Adiyasa gunakan barusan.
‘Sial. Apa yang harus aku lakukan? Sepertinya aku semakin menuai karma buruk dari perbuatan-perbuatanku di masa lalu.’
Dulu, Luna adalah seorang Anak yang benar-benar di manja oleh Ayahnya. Setelah Ibunya meninggal saat usia Luna 4 tahun dia sama sekali tak menikah lagi dia mendedikasikan hidupnya demi sang putri tercinta.
Hidup Luna bak seorang Putri Raja penuh dengan kemewahan, apa pun yang dia inginkan tak ada satupun yang tidak di wujudkan oleh sang Ayah. Meskipun dia menghabiskan uang puluhan bahkan ratusan juta setiap harinya, Ayahnya tak pernah marah karena jika dia marah Luna akan langsung merajuk dan kabur dari rumah.
Karena tahu kelemahan sang Ayah adalah dirinya, Luna selalu memanfaatkan hal itu tanpa tahu semuanya akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri.
Beberapa bulan yang lalu, Ayahnya meninggal dan meninggalkan hutang yang cukup besar pada Bank. Belum lagi kondisi perusahaannya yang hampir bangkrut. Rumah mereka pun kini telah disita, dan itu tak mengurangi separuh pun hutang Ayahnya.
Lalu siapa yang patut di salahkan? Ayahnya, atau justru Luna sendiri?
Dia tak pernah berpikir bagaimana caranya Ayahnya mendapatkan uang dalam jumlah besar tiap kali Luna menginginkan sesuatu, yang dia tahu hanya keinginannya harus terpenuhi.
Dia jadi anak yang tak berguna meski dia Lulusan fakultas ternama, itu hanya sebuah gelar tanpa tindakan nyata, dia sama sekali tak punya pengalaman tentang pekerjaan, membuat perusahaan yang memang sudah tidak stabil itu menjadi goyah saat dia mengambil alih perusahaan. Yang tersisa kini hanya sebuah apartemen kecil yang dulu ia beli untuk tempat sembunyi saat dia kabur dari rumah.
‘Aku benar-benar anak yang tak berguna. Ayah tolong maafkan anak mu ini.’
“Keputusan apa yang akan kau ambil sekarang?” suara bariton seseorang membuat Luna sontak menoleh.
Ternyata itu Dean, dia berdiri dengan jarak sepuluh langkah darinya.
“Kau sendiri?” Luna balas bertanya.
“Tentu saja aku menolak. Aku tidak suka padamu,” ucapnya blak-blakan.
“Cih. Memangnya kau pikir aku juga suka padamu,” cibir Luna.
Dia berjalan melewati Dean begitu saja, dan kembali ke dalam. Tuan Adiyasa masih duduk di tempat yang sama.
“Kau sudah memikirkan segalanya Luna? Lalu bagaimana keputusanmu sekarang?”
“Aku bersedia. Aku siap memberikan seorang pewaris untuk keluarga Adiyasa.” Ucap Luna mantap.
“Sial! Hey apa yang kau pikirkan, Ayah aku tidak mau!” tolak Dean tegas.
Luna mendelik ke arah Dean, seraya berkata, “jika dia terus bersikukuh untuk menolak, itu terserah padanya. Tapi aku sudah katakan aku bersedia, mau atau tidaknya dia menikah denganku itu urusannya sendiri aku harap ini tak membuat kesepakatan kita batal Tuan.”
“Kau tenang saja, dia akan bersedia.”
“Jangan harap! Aku sudah memesan tiket pesawat ke Jerman dan aku akan menetap selamanya disana.”
“Heh. Itu jika kau bisa pergi, kau harus memiliki pasportmu untuk berangkat kesana, bukan?” seringnya.
“Sial. Apa Ayah mengambilnya?”
“Bukan cuma milikmu, milik dia pun ada padaku. Jika kau tidak menurut padaku, maka jangan harap kalian bisa bersama, aku juga akan menghancurkan karir yang telah dia bangun selama ini,” ancamnya.
“Ayah, kau benar-benar kejam,” raut wajah Dean menyiratkan rasa kekecewaan dan kemarahan yang terpendam.
“Aku melakukan semua ini untuk keluargaku, jika kau pikir ini kekejaman maka anggaplah seperti itu. Kau anakku satu-satunya jadi terimalah nasibmu.”
Dean mendengus kasar dengan tangan terkepal, kemudian kembali berkata, “apa setelah aku punya anak kau akan membiarkan aku menikahi Jeff?”
“Terserah kau saja. Lakukan apa pun yang kau sukai, aku tidak peduli.”
“Baiklah kalau begitu, kau harus memegang kata-katamu.”
Mereka menandatangani surat perjanjian dan masing-masing memegang satu lembar.
“Jika salah satu di antara kita ada yang melanggar kontrak, maka semua perjanjian ini akan batal dan kembali ke awal, berikut dengan dendanya,” jelas Tuan Adiyasa.
Dean maupun Luna hanya mengangguk pelan tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir masing-masing.
***
Luna menghempaskan tubuhnya di ranjang. Pandangan matanya menerawang jauh. Hanya apartemen kecil dengan satu kamar tidur ini tempatnya bernaung kini, dia tak punya banyak uang atau pun barang mewah seperti sebelumnya. Dia banyak menjual barang-barangnya untuk bertahan hidup hanya tinggal beberapa saja yang ia pertahankan sebagai kenangan dari sang Ayah.
Hari pun berganti.
Luna menatap buku kecil dalam genggamannya, yang bertuliskan Buku Nikah. Akhirnya dia dan Dean sudah resmi menikah, walau tanpa adanya acara besar atau pesta.
Luna dan Dean berjalan keluar selepas membawa surat masih dalam keadaan diam seribu bahasa.
“Ayah sudah memindahkan semua barangmu ke rumah Dean, kau tinggal pergi kesana,” ujar Tuan Adiyasa.
“Ke Rumah siapa?” Dean menatap tak percaya.
"Ke Rumahmu, tentu saja.”
“Ayah ayolah. Disana ada Jeff, aku tidak mungkin membawa dia ke rumahku,” kesal Dean.
“Kalau kalian tidak tinggal bersama lalu bagaimana caranya kalian akan berhubungan. Lagi pula kalian sudah menjadi suami istri sudah seharusnya kalian tinggal bersama. Soal laki-laki aneh itu, itu urusanmu untuk mendisiplinkannya, jika kau tidak berani biar aku yang akan melakukannya. Lagi pula sesama lelaki, tidak ada kata lembut,” seringainya.
“Ugh. Tidak usah, biar aku saja,” tolak Dean seketika. Dia tahu benar seperti apa sifat Ayahnya, jika dia yang bicara pada Jeffrey sendiri itu pasti akan menjadi sebuah bencana baginya.
“Heh, baiklah kalau begitu. Selamat atas pernikahan kalian, setelah beberapa waktu mari kita buat resepsi besar untuk kalian. Kalau begitu aku pergi dulu.” Ucapnya sambil tersenyum bahagia.
‘Resepsi besar, apa itu perlu? Mengingat pernikahan kami ini hanya sebuah kontrak yang akan berakhir setelah aku dan Dean berhasil punya anak.’
Sejujurnya, awalnya Tuan Adiyasa ingin mengadakan pesta pernikahan yang cukup meriah, namun Dean menolak, dia tak ingin Jeffrey tahu semua ini untuk sekarang, dia ingin menjelaskan masalah ini pelan-pelan pada kekasihnya itu. Jadi untuk sementara ini kami harus merahasiakan pernikahan ini sampai Dean berhasil membujuk Jeffry.
Mobil yang Dean kemudikan berhenti di depan sebuah Mansion mewah yang cukup berjarak dari keramaian. Sepertinya dia sengaja memilih tempat sepi seperti ini agar tidak menimbulkan kecurigaan orang lain. Apa lagi Jeffrey itu adalah seorang Aktor, Model dan bintang Iklan yang cukup terkenal juga.
Huh. Terdengar hembusan nafas kasar dari Dean sebelum dia turun dari mobil.
Dean masuk kedalam lebih dulu, sedang Luna mengikutinya di belakang.
“Dean, kau sudah pulang?” terdengar suara Pria dari arah dalam.
“Kau juga Jeff, bukankah hari ini kau ada pemotretan?” Dean balas bertanya.
“Hari ini pemotretan selesai dengan cepat. Aku langsung pulang setelah selesai, kau tahu aku sangat merindukanmu.” Ujarnya manja.
‘Sial. Aku ingin muntah,’ Luna menutup mulutnya dengan telapak tangan.
“Aku juga Jeff,” balas Dean.
‘Haish, aku harus segera melawati mereka, ini membuatku tak tahan.’
Luna berjalan masuk, saat itulah pandangan Jeffrey menangkap keberadaannya dari balik tubuh Dean.
“Dean, siapa dia?” tanyanya seraya melepas rangkulannya.
Jeffrey Roderick dia pria yang cukup tampan, kulitnya putih, tingginya sekitar 173 cm, lebih pendek sedikit di banding Dean yang tingginya sekitar 176 ke atas.
“Dia penyewa kamar di lantai atas,” sahutnya terdengar tak meyakinkan.
“Penyewa kamar?” dia mengulangi ucapan Dean.
“Err, ya,” jawabnya gugup.
‘Cih, kalau tak pandai berbohong, sebaiknya jangan coba-coba. Jangankan dia, anak kecil pun tidak akan percaya dengan alasan aneh yang dia buat itu. Hmh Penyewa kamar katanya,’ Luna mengulum senyum.
“Kau berharap aku percaya? Kau tidak pandai berbohong Dean, bahkan dia pun tahu itu, lihatlah dia tertawa,” kesal Jeffrey.
Dean melirik sambil melotot pada Luna, sedang gadis itu hanya diam sambil menghindari tatapannya.
“Katakan siapa dia, aku ingin tahu yang sebenarnya. Jangan tutupi apa pun dariku Dean, aku tidak suka kebohongan,” ujarnya, tatapan sinisnya masih setia terarah pada Luna.
‘Sial, kakiku sudah pegal rasanya. Berapa lama lagi aku harus berdiri disini?’
“Dean, aku ingin istirahat. Kamar lantai dua kan? Aku akan naik sendiri, tak perlu mengantarku,” ujar Luna sambil ngeloyor begitu saja, tak perduli lagi dengan orang yang masih berdebat tentang dirinya di bawah sana.
“Sialan, kau Dean!” Brak!! Suara-suara pertengkaran itu tak membuat Luna terusik sama sekali, dia tak ingin ikut campur urusan orang lain, apa lagi dia ini orang awam dalam masalah hubungan percintaan, dia tidak pernah punya pacar atau pun orang yang dia sukai selama hidupnya.
Dulu dia pernah di jodohkan dengan seorang laki-laki dari keluarga yang cukup terpandang, namun dia menolak perjodohan itu dia kabur dari rumah dan mendesak Ayahnya untuk membatalkannya. Dalam hidup Luna yang sudah sempurna, laki-laki benar-benar tak di butuhkan sama sekali.
Brak Brak Brak Brak!
“Jeffrey, buka pintunya! Ku mohon jangan lakukan hal bodoh. Kita bicara baik-baik oke!” terdengar suara Dean dari bawah sana, sepertinya pertengkaran masih berlangsung.
“Ck, berisik sekali,” keluh Luna, dia mengambil headset dan memasangkan ke telinganya. Lebih baik mendengarkan musik, dari pada mendengar pertengkaran sepasang kekasih yang tak ada habisnya.
Luna duduk di balkon sambil membaca buku yang ia temukan di lemari kamar ini, sambil bersenandung kecil mengikuti irama lagu yang mengalun merdu memenuhi gendang telinganya.
Namun di detik kemudian dia tersentak, karena Dean datang tiba-tiba dan langsung menyeretnya keluar.
“Hey, lepaskan aku! Kau sudah gila ya?!” Luna berusaha memberontak. Kabel Headset yang semula tergantung di telinganya jatuh bersama Handphonenya ke lantai.
“Ikut aku, kau harus membantuku menjelaskan situasi kita pada Jeffrey, dia tidak mau mendengar penjelasanku sama sekali,” ucapnya tanpa melepas cengkraman tangannya di lengan Luna.
“Kenapa aku? Dia kekasihmu, kau harusnya berusaha lebih keras agar dia percaya,” ujar Luna, langkahnya terseok-seok berusaha mengimbangi langkah kaki Dean yang dua kali lebih lebar dari langkah kakinya.
“Disini kau juga terlibat, jadi kau harus berusaha meyakinkan dia agar percaya pada kita. Jika sampai dia kenapa-napa, maka aku akan membuat perjanjian kita batal saat ini juga,” ancamnya.
“Haish, baiklah baiklah. Tapi lepaskan tanganku, kau membuat tanganku mati rasa," kesalnya.
Mereka tiba di depan pintu kamar Jeffrey, pintu itu tertutup rapat seolah tak ada penghuni di dalamnya.
Tok Tok Tok
“Jeff, ayolah buka pintunya. kita bicara baik-baik!” desak Dean sambil mengetuk pintu bercat putih tersebut.
Lagi-lagi tak ada sahutan dari dalam.
“Cepat bicara!” ucap Dean dengan nada kesal pada Luna.
“Ehem ehem baiklah. Tapi, aku harus bicara apa?”
“Ck, apa saja. Yakinkan dia, soal kau dan aku, bodoh!” kesalnya.
“Jangan mengataiku bodoh, brengsek!” balas Luna dengan nada yang sama.
“Iya iya, tapi cepatlah katakan sesuatu. Jeff itu orang yang nekad, aku takut dia melukai dirinya sendiri,” nada suaranya berubah cemas.
“Em, Hay Jeffrey namaku Luna. Aku dan Dean tidak ada hubungan apa-apa, dia tidak suka aku, aku pun tidak suka dia, jadi kau tidak usah khawatir aku akan merebut dia darimu. Lagi pula masih banyak pria lurus di dunia ini, mengapa aku harus suka dia,” jelas Luna.
Lagi-lagi kamar itu masih saja hening. Tak ada pergerakan atau pun sahutan dari dalam sana.
‘Si Jeffrey ini tuli apa, minimal bilang hm ke, apa ke.’ keluh Luna dalam hati.
“Jeffrey, kau mendengar kami bukan?”
“Iya iya, aku dengar!” sahutnya dari dalam.
Raut wajah Dean tampak bahagia. Kemudian pintu pun terbuka, menampilkan wajah kusut Jeff yang hanya mengenakan handuk mandi.
“Berisik sekali kalian,” sinisnya sambil melipat tangan di dada.
Dean maju dan membawa Jeff dalam rangkulannya, kemudian berkata, “kau tahu aku sangat mengkhawatirkanmu. Kenapa kau tidak menyahutiku saat aku meracau di depan pintu.”
“Aku sedang mandi sambil mendengarkan musik, lalu aku ketiduran, maaf.”
“Sepertinya urusanku disini sudah selesai, silahkan nikmati waktu kalian.” Luna berbalik dan hendak pergi, namun Jeff menghentikannya.
“Tunggu. Aku ingin kau menjelaskan lagi tentang kau dan Dean.” Pintanya.
Akhirnya, Luna, Dean dan Jeffrey bicara bersama di ruang tamu. Luna menjelaskan tentang kontrak itu dan juga soal syarat Tuan Adiyasa yang ingin Dean dan Luna segera punya anak.
“Mimpi saja kau, aku tidak akan membiarkan itu terjadi,” raut wajahnya kembali kesal.
“Aku juga tidak mau itu terjadi Jeff, tapi untuk sementara ini biarkan aku mencari solusi yang terbaik untuk kita. Aku anak satu-satunya di keluargaku, sulit bagiku untuk menghindari ini semua. Aku harap kau bersabar oke, ini aku lakukan untuk masa depan kita,” bujuk Dean.
“Ck, baiklah-baiklah. Tapi kenapa harus wanita ini,” kesalnya, sejak awal Jeff tidak menyukai sosok Luna. Wanita cantik dengan tubuh seksi, dia pikir itu akan menjadi ancaman baginya, siapa yang tahu kan tiba-tiba Dean berubah normal kembali dan jatuh hati pada gadis cantik ini, saat memikirkan semua kemungkinan itu membuat Jeff selalu merasa kesal.
“Kenapa harus aku? Jawabannya, tentu saja karena aku wanita, apa lagi. Jika kau bisa hamil mungkin Ayah Dean tidak akan mencariku dan akan langsung menyetujui pernikahan kalian,” tanggap Luna santai sambil bertumpang kaki.
“Sialan, kau menyindirku,” kesalnya. Sepertinya perkataan Luna tepat mengenai kelemahan Jeffrey.
“Siapa yang menyindir. Aku hanya mengatakan apa adanya, karena yang Tuan Adiyasa inginkan adalah seorang anak untuk penerus keluarganya.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!