"Aduh Bun, bisa gak kalau gak bahas hal seperti itu pagi-pagi begini." kata seorang anak laki-laki pada ibunya dengan nada suara yang terdengar begitu frustasi.
Bagaimana tidak, pagi hari yang harusnya di sambut dengan suka cita dan penuh semangat ... eh ini malah sudah mendapatkan omelan sekaligus wejangan dari ibunda ratu.
"Kalau bunda kesini cuma mau bahas hal ini, lebih baik bunda pulang aja." kata Axel sambil berlalu menuju ke arah ruang ganti untuk mengenakan pakaiannya.
Ternyata perkataan putranya itu menyulut emosi sang bunda.
"Oh kamu gak seneng bunda datang kesini? ini ceritanya kamu ngusir bunda gitu? Iya?" kata sang bunda dengan dada naik turun karena sangking terbawa emosi.
"Enggak gitu Bun." sangkal Axel yang langsung kembali keluar.
"Halah orang udah jelas-jelas tadi kamu ngomong kayak gitu sama bunda." sahut bunda Meyva yang merasa tak mau kalah dari putra sulungnya itu.
Meyva berbalik dan bejalan menuju kearah ranjang. Di hempaskan bokongnya di sana.
"Bunda itu cuma mau kamu nikah kak." kata Meyva yang sudah memasang wajah sendunya. "Bunda ingin melihat kamu berumah tangga seperti Rai dan Flo sebelum bunda tiada." lirihnya.
Melihat sang bunda yang meneteskan air mata membuat Axel langsung berjalan mendekat.
Pria itu duduk berjongkok di hadapan wanita yang menjadi nomor satu di hatinya itu.
"Jangan kayak gini Bun." kata Axel dengan tangan menggenggam kedua tangan bunda Meyva. "Jangan ngomong yang aneh-aneh, Axel gak suka." sambungnya.
"Habisnya kamu itu gak mau dengerin apa kata bunda kak." sahut bunda Meyva. "Apa kamu gak ingat umur kamu sekarang itu sudah berapa? Mau nunggu sampai kapan kak?" tanya bunda Meyva. "Atau jangan-jangan berita yang beredar di luaran sana itu bener ya kak? Kakak ada kelainan." kata wanita itu lagi.
"Ya ampun bunda, kok mikirnya kayak gitu ... gak percaya amat kalau anaknya ini normal." sahut Axel dengan setang kesal. "Ya udah mau bunda apa? Aku mesti gimana?" tanya Axel.
Ini adalah salah satu kelemahannya, paling tak bisa melihat kedua orangtuanya bersedih ... terlebih sang bunda.
Bukan satu dua kali bundanya membahas hal ini, namun tak sampai seperti ini ... bisa aja, ngomel, marah-marah, tak sedih apalagi menangis.
"Bunda mau kamu segera menikah nak." jawab Meyva yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan ... jarang-jarangkan, karena biasanya Axel akan selalu menghindar jika dirinya membahas soal wanita ataupun pernikahan.
"Beri aku waktu Bun." sahut Axel.
"Sampai kapan?" desak bunda Meyva. "Atau kamu mau bunda kenalin dengan anak-anak teman-teman bunda atau anak tekan bisnis ayah." tawarnya dengan semangat empat lima.
"Enggak Bun, aku bisa sendiri." jawab Axel. "Aku hanya butuh sedikit waktu ... itu saja." sambungnya.
"Satu bulan, bagaimana?" tanya bunda Meyva menentukan waktu untuk Axel.
"Tiga bulan Bun." tawar Axel.
Yang bener aja satu bulan untuk mencari pendamping hidup, udah kayak mau cari apa aja.
"Dua bulan." putus bunda Meyva yang tak bisa di bantah kembali oleh Axel.
Paling enggak lebih baiklah dari pada cuma satu bulan.
Setelah mendapatkan sebuah kesepakatan dengan sang putra, bunda Meyva pun beranjak dari duduknya.
"Kamu mau bersiap pergi ke kantorkan? Kalau gitu bunda pulang dulu." kata bunda Meyva.
Wanita paruh baya itu mengelap sudut matanya yang masih berair dan bibirnya pun menyunggingkan sebuah senyuman kala keluar dari kamar sang putra ... senyum penuh kemenangan tentunya ... heh dasar drama queen.
Sedangkan Axel mengacak-acak rambutnya sendiri sangking frustasinya.
"Gila, mau cari dimana coba ... cuma dua bulan lagi." kata pria bernama lengkap Axelo Anderson.
Axel memang sudah tak tinggal satu rumah lagi dengan kedua orangtuanya, lebih tepatnya setelah Flo menikah. Karena Flo dan suaminya tinggal di sana.
❤️
"Na na na na ..."
"Girang banget Bun?" tanya ayah Dave kala melihat sang istri masuk kedalam rumah dengan bahagia, terbukti ibu tiga anak itu bahkan bersenandung ria.
"Tentu saja dong ayah." sahut bunda Meyva dengan senyum yang belum luntur dari bibirnya.
Wanita itu pun kemudian duduk di samping sang suami.
"Tumben?" kata ayah Dave dengan dahi yang berkerut menatap sang istri.
Gak biasa-biasa istrinya kayak gini, biasanya nih ya setiap pulang dari rumah Axel atau dari bertemu dengan Axel yang ada sampai rumah itu ngomel-ngomel, marah-marah.
"Iya, karena bunda sudah berhasil membujuk putra sulung kita untuk menikah." sahut bunda Meyva.
"Kok bisa?" tanya ayah Dave yang kali ini sudah duduk menghadap bunda Meyva. Rasa penasaran ayah Dave begitu tinggi, karena yang dia tau Axel itu sangat susah untuk di minta buat menikah.
Kadang sampai ayah Dave bingung apa sebab putra sulungnya seperti itu. Bahkan dia sempat berpikir jika putranya mengalami penyimpangan seperti berita-berita yang beredar di luaran sana.
Bagiamana tidak, pria gagah, tampan rupawan, mapan dengan kekayaan yang tak akan habis tujuh turunan, tujuh tanjakan dan tujuh belokan sampai di umurnya yang sudah kepala tiga tetap tak memiliki pendamping hidup, padahal trauma tentang suatu hubungan pun dia tak punya.
Menjawab rasa penasaran sang suami, bunda Meyva pun menceritakan semua yang terjadi di kediaman Axel tadi, termasuk dirinya yang sampai meneteskan air mata untuk meluluhkan hati sang putra.
"Wah kamu bener-bener hebat Bun, ayah kasih jempol empat buat bunda." puji ayah Dave.
"Ya habisnya kalau gak gitu mana mau dia nikah." sahut bunda Meyva.
"Terus nanti kalau dalam waktu dua bulan dia tidak kunjung menikah juga gimana?" tanya ayah Dave.
"Ya mau gak mau dia harus nikah sama wanita pilihan bunda." jawab bunda Meyva. "Eh ngomong-ngomong cucu kita mana yah?" tanya bunda Meyva yang baru sadar kalau rumah dalam keadaan sepi.
"Fiona ada di kamarnya sama si embak ." jawab ayah Dave. Embak yang di maksud ayah Dave di sini adalah pengasuh dari Fiona.
Fiona Florensia Juliansyah putri pertama dari Florensia Anderson dan Andrew Juliansyah. Anak dari Flo itu baru berusia sekitar satu tahun dan saat ini Flo memegang bisnis milik sang bunda.
Putri bungsu dari Dave Anderson dan Meyva Maheswari itu menikah dengan salah satu anak pengusaha pada usia dua puluh tiga tahun, setelah dirinya selesai menempuh pendidikan S1'nya.
"Ya udah deh yah, bunda ke kamar Fio dulu ... kangen sama cucu cantik bunda." ujar bunda Meyva sambil beranjak dari duduknya.
"Kamu baru dari luar Bun, jangan lupa bersih-bersih dulu." peringat ayah Dave.
"Bunda tau ayah." sahut bunda Meyva.
"Sofia ... Sofia ... !" teriak seorang wanita paruh baya.
Orang yang namanya di panggil pun langsung berjalan dengan tergopoh-gopoh menuju ke sumber suara yang berasal dari ruang makan.
"Iya bu." sahut wanita tersebut begitu sudah dekat.
"Ini mana makanannya?" tanya dengan tangan kanan menunjuk ke arah meja makan yang masih kosong. "Elsa harus berangkat pagi jadi cepat siapkan sarapannya." perintahnya dengan tangan yang sudah bertolak pinggang dan mata melotot ke arah Sofia.
Tanpa banyak bicara Sofia pun berlalu menuju ke dapur untuk mengambil makan yang sudah dia siapkan untuk menu sarapan pagi ini. Tadi dia memang sedikit kesingan karena semalam entah kenapa matanya begitu sulit terpejam.
Satu persatu makan mulai di hidangkan di atas meja hingga semua anggota keluarga berkumpul, hidangan sudah selesai di sajikan.
"Sudah sana kamu kembali ke dapur." usir ibu Eli pada putri sambungnya tersebut.
Dengan patuh Sofia pun kembali berjalan ke dapur, memang seperti ini yang selalu dia dapatkan setiap hari selama bertahun-tahun di rumah orangtuanya sendiri.
Ayah Sofia, pak Pramana pun jangankan menanyakan keberadaannya, menanyakan kabarnya saja tidak pernah. Bahkan ayah kandungnya itu justru cenderung membencinya karena bagi pria tersebut Sofia adalah pembunuh istrinya. Ibu Sofia yang bernama Hani meninggal sesaat setelah melahirkan Sofia, karena terjadi sebuah komplikasi yang menyebabkan pendarahan hebat.
Di meja makan terlihat sekali keharmonisan sebuah keluarga, di sana ada ayah Pram, ibu Eli, Elsa putri mereka yang usianya hanya beda dua tahun dari Sofia, juga ada Erick putra bawaan dari ibu Eli yang usianya satu tahun di atas Sofia. Mungkin malah bisa di bilang di antara mereka berempat ... Erick'lah yang baik pada Sofia.
"Yang sabar ya non." kata bik Wati yang merupakan art di sana sejak masih ada ibu dari Sofia.
"Sudah biasa bik." sahut Sofia yang sebenarnya menahan rasa sesak yang menyeruak di dalam dadanya setiap melihat keharmonisan mereka.
Kalau boleh jujur Sofia juga menginginkan hal tersebut, merasakan keharmonisan sebuah keluarga bukan mendapatkan tatapan kebencian dari ayah kandungnya sendiri.
❤️
"Kenapa Fi?" tanya Erick kala melihat Sofia kesulitan menghidupkan motornya.
Motor yang sudah menemani harinya sejak dia lulus SMA. Motor yang dia beli seken dari hasil bekerja paruh waktu sepulang sekolah.
Miris bukan, dia yang notabene anak seorang pengusaha harus bersusah-susah ... bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya. Karena hanya bayaran sekolah sampai SMA saja yang dia dapatkan dari sang ayah, selebihnya dia cari sendiri termasuk biaya untuk kuliah.
"Gak tau ini kak, ngadat." jawab Sofia.
Erick tampak melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangannya untuk mengetahui pukul berapa sekarang sebelum kembali berujar pada adik sambungnya itu.
"Ayo aku antar aja Fi, sudah siang nanti kamu bisa telat." ujar Erick yang membuat Sofia langsung mendongak ke arahnya karena posisi Sofia saat ini duduk berjongkok di samping motor.
"Apa gak apa-apa? Nanti kak Erick bisa telat kalau harus anter aku dulu." kata Sofia.
"Tempat kita kerja itu searah Sofia jadi bisa sekalian, apalagi tempat kerja akukan memang melewati tempat kerja kamu." sahut Erick.
Erick bekerja pada salah satu departemen store dengan jabatan yang lumayan tinggi. Dia bekerja sebagai manager pemasaran di sana.
Pernah ditawari untuk bergabung di perusahaan tuan Pram, namun di tolak oleh Erick dengan alasan ingin mendiri dan tak ingin terlalu bergantung pada ayah sambungnya itu.
Mengingat waktu terus berjalan, Sofian pun akhirnya menerima tawaran dari Erick. Apalagi Erick juga menggunankan sepeda motor jadi bisa lebih cepat sampai.
Cukup dua puluh menit mereka akhirnya sampai di tempat Sofia bekerja.
"Terimakasih ya kak." ucap Sofia sambil membuka helm yang ada di kepalanya.
"Sama-sama dan sudah berapa kali aku bilang, kalau butuh bantuan ngomong aja." kata Erick. "Aku ini kakak kamu loh Fi dan kamu itu adik aku sama seperti Elsa." sambungnya yang membuat Sofia sangat bersyukur karena paling tidak dalam satu rumah masih ada yang menganggapnya keluarga.
"Iya kak, sekali lagi terimakasih." ucap Sofia. "Aku masuk dulu, kakak hati-hati di jalan." katanya lagi dengan senyum lebar di bibirnya.
❤️
Sejak kemarin kedatangan sang bunda Axel terlihat begitu uring-uringan. Banyak pekerjaan yang jadi harus di kerjakan ulang karena menurutnya tak ada yang benar.
"Kamu itu kenapa sih Ax, gak jelas banget dari kemarin?" tanya Noel, asisten dari Axel yang merupakan anak dari Nikolas yang dulu juga menjabat sebagai asisten Dave Anderson. Walaupun umur Noel ada di bawah Axel selisih satu tahunanlah namun justru pria itu sudah menikah dan memiliki satu putri.
"Lagi pusing." jawab Axel sambil menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kerjanya.
"Pasti di suruh nikah lagi nih sama tante." tebak Noel yang membuat Axel terdiam. "Lagian kamu ini aneh Ax, kenapa sih gak mau nikah? Padahal nikah itu enak loh." sambungnya.
"Belum ketemu jodoh." jawab Axel dengan singkat.
"Ax ... Ax, perempuan seperti apa sih yang kamu cari?" tanya Noel. "Kalau di lihat dari look juga finansial kamu, gak bakal ada wanita yang bisa nolak kamu malah mereka akan senang hati melemparkan tubuh mereka ke ranjang kamu." kata Noel lagi.
"Nah ini nih yang gak aku suka " sahut Axel yang kembali menegakkan tubuhnya. "Aku gak suka wanita yang rendahan hingga mau ngelakuin apa saja untuk bisa mendapatkan aku." sambungnya. "Aku ingin mencari wanita yang bisa menggetarkan hatiku dan membuat aku berjuang untuk mendapatkannya." katanya lagi.
"Terserah kamulah." ujar Noel. "Aku balik keruangan dulu." pamitnya.
"Eh tunggu dulu El." cegah Axel kala Noel hendak melangkah pergi. "Aku cuma punya waktu dua bulan buat cari istri atau bunda yang bakal milihin wanitanya." keluhnya.
"Terus?" tanya Noel.
"Bantuin." pinta Axel dengan wajah yang memelas, raut wajah yang tak pernah di tunjukan kepada orang lain kecuali orang-orang terdekatnya dan itu pun sangat jarang sekali ... selama hidupnya bisa si hitung dengan hitungan jari.
"Bantuin gimana?" tanya Noel lagi.
"Ya kasih saran kek biar aku bisa cepet dapat calon istri." jawab Axel.
"Sana keluar, hangout, jangan cuma berkutat dengan tumpukan kertas dan laptop aja." kata Noel. "Memangnya kamu pikir hanya dengan bekerja dan pulang kerumah bisa dapatin wanita yang klop di hati kamu, gitu? Usaha Ax, gak cuma pasrah ... memang benar jodoh dari Tuhan tapi juga perlu di cari, gak langsung turun dari langit tepat di hadapan kamu dan bilang 'Aku jodohmu Ax'." kata Noel panjang lebar, jadi gereget sendirikan sama sahabat sekaligus atasannya itu. Soal bisnis ... Axel memang handal tapi soal jodoh ... wanita, nol besar.
"Loh Ruby, kok kamu masih di sini nak?" tanya Sofia kala akan keluar dari sekolah karena memang sudah jam pulang, bahkan ini sudah lebih dari setengah jam dari jadwal pulang sekolah.
"Iya Miss, belum di jemput." jawab Ruby.
"Kata supir yang biasa jemput, mobilnya pecah ban Miss jadi kita di minta tunggu di sini." kata pengasuh gadis kecil itu.
Karena sekolah ini dalah sekolah bertaraf internasional dan elit, jadi siswa yang bersekolah di sana kebanyakan dari kalangan berada. Sehingga semua yang bersekolah rata-rata di tunggu oleh pengasuh mereka.
Sofia akhirnya ikut duduk di samping salah satu anak didiknya itu dengan tujuan ingin menemani hingga mobil jemputannya datang.
"Ya udah Miss temani smpai Ruby di jemput." ujar Sofia.
Sedangkan di lain tempat, Axel sedikit uring-uringan kala sang bunda tiba-tiba menelpon dan mintanya untuk menjemput sang keponakan di sekolah.
"Apa gak ada yang lain yang bisa jemput sih Bun? Axel lagi sibuk ini, banyak banget kerjaan bunda." kata Axel berusaha untuk bernegosiasi dengan ibundanya.
"Gak ada Ax, bunda sama ayah lagi benar-benar gak bisa jemput." sahut bunda Meyva. "Sedangkan Zea masih di rumah sakit ... sedang imunisasi baby Zanna dan Rai ada meeting penting dengan klien." papar bunda Meyva pada putra sulungnya.
Ruby Zera Anderson, putri pertama Rainard dan Zea yang berusia menginjak lima tahun dan Zanna Zera Anderson, putri kedua Rai dan Zea yang berusia empat bulan.
Mendengar perkataan bundanya yang sudah tidak bisa di ganggu gugat akhirnya mau tak mau Axel pun pergi menjemput keponakannya. Untung saja dia tak ada meeting hari ini kalau gak bisa berantakan semua jadwalnya. Tapi kalau di pikir-pikir lagi kasihan Ruby jika harus menunggu terlalu lama di sekolah.
"Mau kemana?" tanya Noel kala hendak pergi keruangan Axel. Bahkan dia dan Axel hampir saja bertabrakan di pintu masuk ruangan Axel tersebut.
"Mau jemput Ruby." jawab Axel. "Aku pergi dulu ya ... Kasihan dianya sudah nunggu." kata Axel yang hendak melangkah.
"Eh balik lagi ke perusahaan gak?" tanya Noel.
"Balik, nanti aku kabari lagi biar lebih pastinya." sahut Axel sambil berjalan menuju lift yang akan membawanya menuju kelantai bawah.
Pakaian formal dengan celana dan jas warna hitam pekat, sepatu hitam mengkilat dan kacamata hitam yang bertengger di hidungnya yang mancung semakin membuat kedar ketampanan pria itu bertambah berkali-kali lipat.
Mengunakan salah satu koleksi mobilnya, Axel mulai menginjak pedal gasnya membelah jalanan ibu kota.
Empat puluh menit, waktu yang di butuhkan Axel dari perusahaan menuju ke sekolah Ruby. Untung belum jam makan siang jadi kendaran belum padat merayap hingga menyebabkan kemacetan parah.
Begitu sampai di sekolah Axel langsung bertanya pada pihak keamanan yang akhirnya menunjukan pada dirinya dimana Ruby berada.
Dari kejauhan saja Axel sudah bisa mengenali keponakannya. Gadis kecil tersebut sedang duduk bersama pengasuh dan seorang wanita lagi di sampingnya yang Axel pun tak tau dia siapa.
"Ruby." panggil Axel yang membuat ketiga langsung menoleh.
"Om Axel." teriak Ruby saat melihat siapa yang menjemputnya kali ini. Rasanya begitu senang bisa di jemput oleh kakak dari papinya yang biasanya super sibuk.
Ruby pun langsung berlari menghampiri Axel dan merangkul kaki omnya itu.
"Ayo kita pulang." ajak Axel. Namun saat pria itu hendak membalikan badan, Ruby sudah lebih dulu mencegahnya hingga kembali menghadap Ruby.
"Ada apa sayang?" tanya Axel.
Bukannya menjawab, Ruby malah menarik tangan Axel sehingga omya tersebut mau tak mau mengikuti langkah kecilnya.
"Miss Sofia." panggil Ruby sehingga Sofia yang tadinya sedang berbincang dengan pengasuh Zanna menjadi ikut nimbrung bersama. "Miss Sofia, Ruby pamit pulang dulu ya ... sudah di jemput sama om Axel." pamit Ruby dengan begitu sopannya.
"Iya sayang, hati-hati dijalan ya." kata Sofia.
"Terimakasih misa sudah mau menemani saya dan non Ruby." ucap pengasuh Ruby.
"Iya mbak tidak masalah." sahut Sofia.
Ruby melambaikan tangan berulang kali pada Sofia kala dirinya sudah berada di gendongan Axel.
"Tampan.'' lirih Sofia tanpa sadar. "Eh ya ampun Sofia, kamu itu apa-apaan." gumam Sofia pada dirinya sendiri supaya sadar akan kedudukannya.
Sama halnya dengan Sofia, walupun hanya melihat sekilas namun Axel merasakan sesuatu yang membuatnya ingin bertemu lagi.
❤️
Axel membawa Ruby pulang ke kediaman utama atas perintah sang bunda karena memang Zea apalagi Rai belum pulang.
"Oma." seru bunda Meyva.
"Eh cucu cantik Oma." sahut bunda Meyva dengan merentangkan kedua tangannya karena memang Ruby berjalan kearahnya.
"Kangen Oma banyak-banyak." ucap Ruby saat memeluk tubuh ibu dari ayahnya.
"Axel balik ke perusahaan ya Bun." kata Axel yang secara tidak langsung berpamitan pada ibunya.
"Gak bisa, kamu harus makan singa dulu di sini sama bunda dan ayah juga Ruby." sahut bunda Meyva. " Sudah lama loh Ax kita gak makan bareng, apa perlu bunda memohon sama kamu." kata bunda Meyva lagi saat Axel hendak kembali membuka mulutnya, karena bunda sudah hafal betul pasti putranya itu ingin menolaknya.
Axel itu tipe workaholic atau gila kerja, jadi sudah pasti dia akan segera kembali ke perusahaan untuk kembali bekerja. Bagus sebenarnya tapi kalau sampai berlebihan ya gak baik juga dampaknya.
Sebenarnya kisah Axel itu hampir sama dengan ayahnya, meraka sama-sama anak sulung yang di kejar-kejar untuk segera menikah. Namun ayahnya tak sampai di langkahi kedua adiknya seperti dirinya saat ini.
"Gimana Ax? kapan kamu mau kenalin calon mantu ke bunda?" kan kan mulai lagi, baru beberapa hari kemarin mereka buat kesepakatan ... eh ini bundanya sudah mulai lagi.
Axel memutar kedua bola matanya sangking jengahnya dengan pertanyaan sang bunda yang entah sudah berapa kali di layangkan padanya dalam kurun waktu beberapa tahun ini.
"Bunda." tegur ayah Dave.
Dia tau betul bagaimana rasanya jadi Axel, dia pun dulu juga sering mendapatkan pertanyaan yang sama dari mama Lira.
Ngomong-ngomong mama Lira, ibunda dari Dave, Daniel dan Dena tersebut sudah beberapa tahun meninggal lebih tepatnya dua tahun setelah kepergian papa Delon yang juga berpulang pada sang Pencipta.
"Bukannya kita sudah membuat kesepakatan Bun? Jadi jangan di ungkit lagi sampai waktu yang telah kita sepakati berakhir." sahut Axel pada akhirnya. Pria itu langsung berdiri dari duduknya. "Ayah, bunda, Axel berangkat ke kantor dulu ... Axel ada meeting penting dengan client siang ini." pamit Axel yang tentu saja dia berbohong dengan mengatakan ada meeting, padahal sebenarnya hanya ingin menghindari pembahasan sang bunda tentang perkara yang itu-itu saja.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!