Perhatian perhatian kepada seluruh kelas XII dilarang mencoret-coret seragam ataupun atribut lain. Hendaknya seragam yang kalian gunakan disedekahkan kepada tetangga atau siapapun yang membutuhkan sebagai amal jariyah kalian. Euforia kelulusan lebih baik digunakan untuk sujud syukur tanpa perayaan berlebihan. Terimakasih.
Suara Pak Ridwan, wakil kepala sekolah bagian kesiswaan di mikrofon sekolah, menginterupsi siswa-siswi kelas XII yang baru saja mendapat kelulusan. Tangis haru karena telah lulus terdengar sahut menyahut, hingga adik kelas pun ikut terbawa suasana.
Selamat
Selamat
Jangan lupain aku
Habis ini kuliah ke luar kota
Doakan aku mendapat kerja
Begitu kata yang terucap pada masing-masing siswa. Siap menapaki jenjang kehidupan yang lebih tinggi. Mereka memang tak semuanya melanjutkan ke perguruan tinggi, ada juga yang langsung mencari kerja bahkan khusus anak perempuan ada banyak yang siap jadi pengantin.
"Kalian berangkat kapan?" tanya Mina kepada kedua sahabatnya, Tiwi dan Nayratih, dengan wajah sendu. Bagaimana tidak, hanya Mina yang tak ada niatan kuliah. Perekonomian keluarganya hanya cukup untuk membiayainya hingga SMA, kalau mau kuliah Mina harus berusaha sendiri. Apalagi sang ayah baru saja terkena musibah, kecelakaan sehingga mengalami patah kaki. Otomatis, kekuatan beliau saat mencari nafkah tak sekuat dulu. Mau tak mau Mina puj sepertinya akan mengikuti kebiasan anak perempuan di desanya, menikah muda.
"Mungkin dua minggu lagi, sekalian cari kos dan adaptasi hidup di sana sebelum masuk kuliah," jawab Tiwi yang memang diterima di salah satu kampus negeri jurusan pertanian.
"Kalau kamu, Nay?" tanya Mina.
"Mungkin lusa, Ibu sekalian ada acara di sana!" Nayratih memang berasal dari keluarga berada di atas mereka. Dari pihak ibu, Nay merupakan keturunan tuan tanah. Sedangkan ayah Nay adalah seorang TNI.
Tak ayal, Nayratih mengambil jurusan kedokteran.
Bahkan sang kakek, sudah menyiapkan sebidang tanah yang akan dibangun rumah sakit untuk Nay kelak.
"Kamu yakin, Min. Gak pengen kuliah?" tanya Tiwi sekali lagi. Obrolan tentang kuliah sudah menjadi makanan sehari-hari bagi ketiganya. Tiwi maupun Nay memberi dukungan, bahkan sedikit memaksa kepada Mina untuk kuliah. Masih ada jalur tulis agar dapat kuliah.
Mina hanya bisa menunduk dan menghela nafas berat. Semakin sedih, kenapa ia tak punya nasib seperti kedua sahabatnya? Tapi ia tak bisa juga menyalahkan takdir, hanya bisa menerima. Ingin berontak, tapi berontak ke mana? Sampai saat ini ia hanya masih bisa diam dan menerima.
"Kamu bisa mengajukan beasiswa nantinya, Min."
Mina menggeleng, "Tetap saja sejak awal butuh uang, Wi! Beasiswa cair juga gak langsung, bisa satu semester, bisa juga di akhir semester. Aku realistis saja. Setidaknya kalau mau kuliah, tetap harus punya uang!"
Nay dan Tiwi mengangguk, apa yang diucapkan Mina sangat benar. Biaya pendidikan di Indonesia mahal, pemerintah masih belum bisa mengcover semua anak negeri mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.
"Meski kamu gak bisa kuliah bareng kita, tapi jangan patah semangat ya, Min. Kamu bisa kuliah tahun depan," saran Nay sangat bijak.
Lagi-lagi Mina hanya diam, merapatkan bibirnya. "Min, jangan bilang kamu mau nikah?" tebak Tiwi, curiga saja dengan gelagat Mina yang hanya diam dan wajahnya terlihat sangat sedih.
Mina tak menjawab, tapi tiba-tiba menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan, lalu menangis sesenggukan. Nay dan Tiwi saling pandang, kemudian memeluk Mina.
"Jangan nangis dong, Min!" ucap Nay sembari mengelus pundak Mina yang tampak masih naik turun. Terlihat sekali beban hati cukup berat dirasakan gadis manis itu.
"Cerita ya, jangan dipendam sendiri. Meski nanti kita jauh, jangan pernah sungkan berbagi kabar!" lanjut Tiwi yang terbawa suasana, mendadak melow. Tak menyangka perpisahan ketiga sahabat akan terjadi juga.
Di antara semua teman di SMA ini, yang sepemikiran adalah ketiganya. Bisa dibilang Tiwi, Nay, dan Mina itu sefrekuensi. Cara pandang, pintarnya, bahkan cara ngomong mereka mirip. Tak ayal cita-cita mereka tuh sama, menjadi wanita karier, hidup di kota dan tidak menikah muda.
Aku tidak membayangkan saja, lulus SMA jadi pengantin kira-kira kalian datang gak?
Sebuah pertanyaan dari Mina di awal kelas XII dulu, spontan saja Tiwi dan Nay memukul lengan Mina. "Jangan nikah muda!"
Nikmati dulu masa remaja kita, Min.
Mental kita masih belum siap buat menimang bayi, Min.
Dunia kita masih main, bukan ribet dengan bayi.
Apapun jalannya, please jangan nikah muda, Min.
Ucapan kedua sahabatnya terus terngiang oleh Mina, "Kalau gak bisa tahun ini, mungkin di tahun depan kamu menyusul kami untuk kuliah. Tetap semangat, Min!" ucap Tiwi menahan tangis. Mau bagaimana pun keduanya tidak boleh egois, memaksakan kehendak agar Mina kuliah. Mereka memang support system yang bagus, tapi tidak dengan keuangan. Tiwi dan Nay tentu angkat tangan kalau urusan biaya pendidika dengan keluarga Mina..
"Iya, Wi, Nay. Apapun yang terjadi aku tetap ingin kuliah!"
Mereka bertiga pun berpelukan, saling menguatkan dengan kondisi keluarga masing-masing.
Selepas urusan di sekolah selesai, Mina pun pulang. Langkahnya gontai, seperti tak ada niatan untuk hidup. Sepanjang jalan pulang, ia terus memikirkan cara bagaimana bisa kuliah. Ada sedikit gengsi bila ia dibandingkan dengan Tiwi dan Nay oleh tetangga. Gadis ini sudah bisa memprediksi nanti saat Tiwi dan Nay berangkat kuliah ke kota, Mina akan disindir habis-habisan oleh tetangga yang memang tak pernah mengerti perasaan dan kondisi keluarga orang lain.
"Assalamualaikum," ucap Mina pelan. Ia sengaja lewat pintu samping rumah, karena sadar sedang ada tamu. Ia pun mengambil gelas di rak piring, mulai meneguk air untuk membasahi kerongkongannya.
"Mbak, udah pulang?" tanya Risma antusias. Mina hanya mengangguk saja, badan dan lidahnya cukup capek siang itu.
"Mbak, mbak, kamu harus lihat calon suamimu!" sebuah berita duka di siang bolong. Tadinya Mina duduk bersandar di kursj plastik dekat lemari es, ia langsung tegak, matanya melotot, menuntut penjelasan Risma.
"Maksud kamu?"
Risma hanya menunjuk dengan dagunya, bahwa di ruang tamu itu bapak dan ibu sedang mengobrol dengan seseorang yang katanya disiapkan untuk menikahi Mina. Allahu akbar!
"Kamu jangan bohong, Ris!"
"Ck, ngapain aku bohong! Emang Mbak Mina gak pernah dikasih tahu ibu sama bapak soal Pak Sulaiman?" balas Risma dengan mengerutkan dahi.
"Pak Sulaiman?" tanya Mina memastikan. "Pak Sulaiman, bapak camat terhormat yang rumahnya di perumahan seberang?" semakin detail saja Mina mengorek kebenaran siapa Pak Sulaiman itu.
Sesuai prediksi, Risma hany mengangguk. "Mbak emang kamu gak tahu kalau mau dijodohin sama Pak Sul?" Risma kembali menanyakan dan dijawab gelengan oleh Mina.
"Waduh, berat nih. Pasti nanti malam ada baku hantam nih," sindir Risma yang tahu persis watak Mina bila proses tak sesuai dengan rancangannya. Emosi terus.
Kepalan tangan Mina menunjukkan betapa marah gadis itu pada keputusan orang tuanya, secara sepihak menentukan masa depan Mina tanpa mau mendengar pendapat Mina.
Memang pikiran keduanya ingin perekonomian keluarga segera naik, perjodohan Mina dianggap satu-satunya cara untuk mengangkat derajat keluarga. Padahal belum tentu juga, bisa jadi setelah menikah Mina sangat dibatasi berhubungan dengan keluarga, sangat mungkin terjadi karena calon suami Mina tentu sudah memberikan uang yang tak sedikit pada kedua orang tua Mina.
Hufh, gini amat nasib Mina.
Kalau boleh memilih tentu ia tak mau dilahirkan dalam keluarga ini. Terlalu mendewakan uang dengan berbagai cara. Harusnya kalau mau lancar perekonomian, ya harus kerja keras. Lihat ayahnya saja berangkat kerja malas-malasan, padahal ikut menggarap sawah orang. Ibu juga begitu, kalau punya uang lebih langsung beli baju. Padahal belum tentu ada kondangan.
Mina ingin memutus rantai kemiskinan keluarga. Bayangannya ia merantau ke kota atau bahkan menjadi TKW, tak apa. Setidaknya ia berjuang mandiri dulu, tanpa bergantung pada orang lain.
"Alhamdulillah, Yah. Setidaknya dapur kita bisa mengepul terus ini," ucap ibu bahagia sembari melihat lembaran uang merah.
Miris, Mina ingin menangis, menjerit ketika melihat pola tingkah orang tua seakan menjual dirinya pada Pak Camat yang baru beberapa bulan lalu ditinggal istrinya, karena kecelakaan. Bayangkan saja soal usia, sudah terpaut sangat jauh. Bahkan dengan ayahnya saja, tua Pak Sul, ya Allah gusti, kok tega mereka hanya karena uang.
"Puas?" sindir Mina dengan tegas. Kedua orang tua Mina langsung terdiam, mungkin ada perasaan bersalah. Ini masih siang bolong, Mina sudah tak tahan ingin menumpahkan seluruh amarah yang terpendam.
"Min..Mina, kapan kamu datang?" tanya ibu terbata, spontan beliau menoleh ke arah jendela, berharap Pak Sul masih ada di sekitar rumah.
"Tak penting kapan Mina datang, asal ayah dan ibu tahu, aku gak mau nikah dengan Pak Sul!" Mina mulai emosi, dan tahu reaksi sang ayah.
Beliau langsung berdiri dan meletakkan lembaran uang itu ke meja dengan kasar. Ayah mendekati Mina.
Plak
Sebuah tamparan mendarat di pipi Mina.
"Ya Allah, Ayah!" teriak Ibu histeris, tak menyangka sang suami tega menampar putri sulungnya.
"Sudah, Yah!" tarik Ibu menjauhkan sang suami di hadapan Mina.
"Gak bisa, Buk. Dia sudah keterlaluan, dia sudah menolak laki-laki berapa kali. Kurang ajar memang. Kita selama ini sabar, menuruti keinginannya untuk sekolah dulu, menolak lamaran beberapa laki-laki, sekarang dia sudah lulus, Pak Sul melamar malah ditolak. Goblok!"
"Iya, Yah, sudah, jangan menampar Mina juga!"
"Anak ini kalau gak dikerasin, selalu saja ngelunjak!" ucap Ayah dengan berapi-api sambil menunjuk Mina.
"Kamu pikir kamu mau kerja dulu, merantau itu bakalan langsung punya uang? Enggak! Kamu ini dikasih di depan mata kekayaan malah ditolak. Sikapmu kayak gini merugikan ayah sama ibu, pikir kalau mau menolak Pak Sul!"
"Kenapa kalian gak mau sedikit saja memberi aku kebebasan buat menentukan masa depanku sendiri. Kalau aku kerja, uangku juga buat keluarga, aku gak akan egois membiarkan keluarga kita terus kekurangan!"
"Berapa lama? Emang kamu nyari kerja langsung dapat? Sudahlah, ikuti saja aturan ayah sama ibu, kamu tidak akan menyesal."
"Bahkan kamu harusnya bersyukur mendapat suami seperti Pak Sul, beliau sudah tua, habis ini! Eh Astaghfirullah," ibu langsung menutup mulut, keceplosan.
"Licik!" sahut Mina, meski pelan tapi terdengar menusuk.
"Gak usah munafik, apa yang diucapkan ibu kamu benar! Makanya ayah langsung menyetujui lamaran Pak Sul, tanpa meminta persetujuan kamu. Tidak seperti laki-laki yang melamar kamu sebelumnya, harta mereka masih belum sebanyak Pak Sul!"
Mina menggeleng tak percaya, efek mendewakan uang bisa mengubah kepribadian ayah dan ibunya seperti ini.
"Kapan nikahnya?" tanya Mina tiba-tiba, otaknya sudah menyusun rencana untuk membatalkan pernikahan ini, dengan cara yang baik pasti. a yakin Pak Sul orang berpendidikan yang punya pemikiran jangka panjang.
"2 minggu lagi," jawab ayah enteng, tanpa rasa bersalah. Mina hanya bisa memejamkan mata. Kepalanya semakin pusing memikirkan perjodohan ini, sangat tidak masuk akal. Tak mau berdebat lebih, ia memilih masuk kamar. Menangis sejadi-jadinya.
Risma melihat semuanya, ia pun ikut menangis. "Mbak!" ucapnya sembari mengelus pundak Mina yang naik turun.
"Aku padahal punya rencana biar keluarga kita keluar dari kemiskinan. Aku akan bekerja keras untuk itu, agar kamu, ayah dan ibu tak perlu kesusahan lagi. Kalau aku punya uang lebih akan aku tabung, agar kamu juga bisa sekolah lebih tinggi dari Mbak! Tapi ayah dan ibu, tega!" Risma semakin sesenggukan, di saat Mina dalam kondisi susah begini masih memikirkan nasib sang adik. Sungguh baik hati, tapi takdir masih belum berjalan baik.
"Kalau Mbak gak mau nikah, biar aku saja!" ucap Risma kemudian. Bantal yang menutipi wajah Mina lantas dilempar begitu saja. Ucapan Risma seperti petir dalam siang bolong.
"Gila kamu, Ris!" ucap Mina langsung terduduk.
"Aku gak pa-pa, Mbak!"
"Ris, Mbak saja gak mau nikah muda. Kenapa kamu berpikir seperti ayah dan ibu sih! Sudah gak zaman kita nikah muda sekarang. Kita mandiri dulu baru berpikir menikah, Risma!"
Gadis remaja itu menggeleng, sembari mengusap air mata di pipi, Risma pun mengaku. "Aku sudah capek dengan kehidupan rumah ini, Mbak! Aku sudah capek kelaparan! Aku gak mau bermimpi soal masa depan, aku lebih menerima apa yang ada di depanku, termasuk menikah muda."
"Ya Allah, Ris! Kenapa kamu pendek sekali mikirnya!"
Risma kembali menggeleng, "Aku capek, Mbak! Setidaknya kalau menikah dengan Pak Sul, aku tidak akan kelaparan. Pak Sul sendiri orangnya baik, gak ada ruginya kalau aku menikah dengan beliau."
"Ris, pikirkan dengan masa depanmu. Kamu berhak menikmati masa muda kamu, berkarya, bukan menikah, Ris!"
Risma menepuk tangan sang kakak dengan lembut, "Aku lebih siap menikah muda, daripada berjalan dengan impian yang belum tentu terwujud."
"Kamu belum mencoba, Risma. Pernikahan juga gak sebagus kamu bayangkan, dengan usiamu yang masih labil seperti ini. Jangan pernah merendahkan harga dirimu hanya karena kelaparan! Tolong, Ris. Jangan menggantikan Mbak, aku akan menemui Pak Sul untuk mencari jalan keluar bersama!"
"Mbak, tapi?"
"Soal ayah ibu gak usah dipikirkan dulu, Mbak harus menyelesaikan sebelum jumat. Lebih cepat lebih baik!"
"Kalau buntu?"
"Ya terpaksa, Mbak menerima. Apalagi orang tua kita sudah mendapatkan uang dari beliau."
"Mbak, mbak yakin. Beneran aku gantikan gak pa-pa! Aku benar-benar sudah capek dengan keadaan di rumah ini. Kalau menunggu aku SMA belum tentu jodohku nanti seperti Pak Sul."
"Plis, jangan mendewakan harta, Ris."
"Aku gak munafik, Mbak aku butuh harta. Aku sudah capek miskin, kalau Mbak besok mau ke Pak Sul aku ikut!"
"Jangan gila kamu!" sentak Mina.
"Mbak?" tanya Risma khawatir, ia pura-pura memakai seragam, tapi sudah berniat bolos, karena sampai shubuh tadi Mina mewanti-wanti untuk tidak ikut ke Pak Sul.
"Diam, dan tunggu kabar dariku! Jangan membantah, masa depanmu masih panjang. InsyaAllah Mbak yang akan memutus tradisi nikah muda di desa kita, terutama pemikiran ayah dan ibu."
"Mbak, plis. Gak usah berulah! Pak Sul itu punya kuasa di daerah kita, Mbak. Jangan sampai tindakan Mbak malah bikin kondisi makin runyam. Tahu sendiri, ibu dan ayah sudah sangat bahagia menerima uang dari Pak Sul. Bagaimana kalau,"
"Selagi kita belum berusaha, jangan pesimis. Berangkatlah sekolah, nanti aku akan cerita hasil pertemuanku dengan Pak Sul!" ucap Mina dengan percaya diri, meski jantungnya sudah tak karuan. Ia sudah membayangkan akibat yang mungkin terjadi, dan memang orang tuanya yang akan terkena imbas lebih.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Pak Sul, Mina terus merapal semua doa yang ia hafal agar niatan untuk menggagalkan perjodohan ini berhasil. Ia juga sempat memohon ampun karena saat pamit dengan ibu tadi ia bilang mau ke Tiwi, persiapan pindahan keluar kota.
Kakinya mendadak kaku saat tiba di depan rumah Pak Sul, keadaan perumahan di pagi hari tentu ramai. Banyak tetangga beliau yang berlalu lalang, dan Mina yakin ada yang penasaran dengan kedatangannya.
Tangannya gemetar saat memencet bel, tak berselang lama ibu paruh baya tergopoh membukakan pagar.
"Iya, ada yang bisa dibantu?" tanya wanita itu dengan melihat Mina, rasa penasaran muncul. Tapi beliau segera mengalihkan bahwa tamu Pak Sul ada kepentingan tentang program desa, atau urusan kecamatan.
"Pak Sulnya ada, Bu?" tanya Mina dengan suara sedikit bergetar. Mau bagaimana pun dia belum punya pengalaman mendatangi rumah pria, terbilang nekat untuk pagi ini.
"Oh Pak Sul ya, ada Mbak. Ada perlu apa ya?"
Ragu-ragu Mina menjawab, tak mungkin juga berkata jujur soal pernikahan, "Hem saya mau magang di kecamatan," sebuah alasan yang sedikit tidak masuk akal. Urusan magang kan langsung saja ke kantor, kenapa harus ke rumah. Mungkin itulah pikiran si ibu, tapi Mina tak mau tahu. Pikirannya pagi ini harus bertemu dengan Pak Sul, itu saja.
Pandangan Mina saat duduk di ruang tamu, sangat terkesan dengan interior rumah Pak Sul. Tidak terlalu mewah, hanya saja nuansa kuno dan rumah asri sangat kentara.
"Iya, ada apa ya Mbak?" Mina gelagapan, beliau datang tiba-tiba dengan pakaian dinas. Mina sempat menatap beliau dengan gugup, satu kata usia matang tapi tetap ganteng, eh Astaghfirullah. Niat hati ingin menolak lamaran kok bisa mendadak kepincut.
"Selamat Pagi Pak Sul, saya Mina!" ucap Mina dengan sedikit rasa gugup, bahkan ia sesekali saja menatap wajah Pak Sul.
Beliau tampak mengerutkan dahi sebentar, kemudian tersenyum meremehkan. "Kenapa datang sepagi ini? Apa uang kemarin kurang? Atau kamu tidak kebagian karena orang tua kamu terlalu serakah?"
Deg
Mina dibuat melongo, tak menyangka ia direndahkan dengan cepat, mendadak Mina memiliki kekuatan untuk membalas omongan beliau.
Mina yang tadi tak percaya diri, kini mendongakkan kepala, menatap lurus Pak Sul, bersiap melawan. Mina tersenyum remeh sekilas, "Saya tidak berniat menerima uang kemarin sama sekali, bahkan untuk melihatnya pun saya tidak mau. Kenapa? Karena dengan melihat uang itu, serasa saya adalah barang yang layak diperjual belikan."
"Bukankah memang benar, kamu sengaja dijual oleh kedua orang tua kamu, demi uang yang banyak. Hidup bergelimang harta tanpa mengeluarkan keringat."
"Dan apakah Anda sudah siap memiliki mertua yang serakah seperti itu?"
Pak Sul menaikkan satu kakinya, dengan padangan merendahkan Mina. "Ouh jangan salah, saya bisa menyingkirkan orang tua mu ke jalanan kalau mereka terus memoroti saya. Uang 20 juta kemarin, sudah terlalu banyak bila ditukar dengan kamu! Kamu hanya gadis desa yang cantik begitu saja, tak ada kelebihan lain kan!"
Mina memejamkan mata, tangannya mengepal erat. Rasanya ia ingin memberi bogeman pada wajah sinis di depannya ini. "Lalu kenapa Anda menerima tawaran orang tua saya?"
Beliau tertawa sebentar, lalu mencodongkan badannya ke arah Mina, "Kamu tahu lah saya hanya butuh tubuh kamu saja, tidak lebih. Apalagi saya sudah berumur, anak saya yang terakhir saja sepantaran sama kamu, tak mungkin lah saya berharap punya anak lalu membangun keluarga harmonis dengan kamu."
Mina membalas dengan senyum sinis, "Saya akan mengembalikan uang yang sudah Anda keluarkan untuk orang tua saya, dalam waktu satu tahun!"
"Satu tahun? Enak saja terlalu lama! Bagaimana kalau 2 bulan saja, dan 3 kali lipat! Rugi dong saya, sudah gak dapat kamu, kehilangan uang lagi."
"Baik!" jawab Mina mantab. "Saya akan mengembalikan uang itu dalam waktu 2 bulan, dan nominalnya 3 kali lipat, dan pernikahan ini batal!"
"Tak masalah!" jawab beliau dengan angkuh, lalu beranjak dari hadapan Mina.
Sejenak, Mina lega, ia bisa leluasa menghela nafas, pikirnya satu beban pikiran terselesaikan. Ternyata tak sulit juga bernegosiasi dengan Pak Sul.
Keluar dari rumah Pak Sul, Mina membelokkan sepedanya ke arah perumahan lain, tepatnya ke rumah Tiwi. Biar tidak bohong 100%, ia berniat mampir dulu, sudah bisa dipastikan Tiwi akan rempong dengan barang pindahan.
Yup, benar saja. Kamar sang sahabat sudah terlihat penuh dengan kardus dan 2 koper hitam. "Mau kuliah, atau mau pindah rumah sih, Wi!" sapa Mina sembari bersender di pintu.
Tiwi menoleh dan meringis, imut sekali anak bu guru ini. "Sini masuk, Min. Tumben kamu nyamperin aku!"
Mina duduk di samping Tiwi, segera mengambil lipatan baju untuk dimasukkan ke koper. "Habis dari rumah mantan calon suami," jawabnya lesu. Tiwi melongo, tangannya berhenti seketika.
"Kamu barusan ngomong apa? Mantan calon suami," heh gila kamu!"
Mina tertawa kecil, sudah bisa dipastikan respon Tiwi seperti ini, "Ih gak percaya!"
"Siapa?"
"Pak Camat!"
"Hah?"
"Gak usah melongo gitu, tuh mata mau copot!" ucap Mina sambil tertawa.
"Mina ini bukan masalah ringan, kenapa kamu masih bisa tertawa sih. Kalau aku jadi kamu, bakal mewek sepanjang hari. Rumah bakal aku obrak abrik, ya Allah kamu masih kinyis-kinyis, Min. Pak Sul sudah bongkotan, tinggal nunggu giliran!" ucap Tiwi tanpa tedeng aling-aling, spontan menutup mulutnya. Kenapa jadi nyumpahin orang.
"Ya karena orang tuaku aja yang serakah!"
"Trus?"
"Penasaran ya?" goda Mina.
"Sableng kamu! Buruan, terus gimana?"
Mina menatap langit sebentar, kemudian menoleh pada wajah sang sahabat yang kepo setengah mati. "Aku minta pernikahan ini batal, tapi ada syaratnya."
"Apa?" tanya Tiwi penasaran.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!