NovelToon NovelToon

Pesona Pasukan Orange Cantik

Paramitha Indraswari

POV : MITHA

"Rumah ini kami sita, karena tunggakan tidak dibayarkan selama 24 bulan" Seperti tersambar petir aku dan mama terkejut dengan kedatangan karyawan Bank yang akan mengeksekusi rumah satu-satunya yang kami miliki.

"Mi-mithaa...ahh" Dengan memegang kepala, Mamaku ambruk di depan mataku

"Mamaaa...Bangun maa!!" Beberapa karyawan Bank membantu menggotong mamaku ke dalam mobil dan segera kularikan mama ke rumah sakit terdekat.

"Suster!!..tolong bantu hiikkss.." Aku teriak di depan IGD sebuah rumah sakit.

Dua orang perawat pria membawa brankar untuk membawa mama masuk ke ruang IGD.

Hatiku cemas, wajah mama memucat, sekujur tubuhnya dingin. "Ya Tuhan, aku hanya punya mama tolong jangan ambil mamaku hiikkss.."

Seorang dokter muda menghampiriku, "Ibu anda harus segera ditangani karena pembuluh darah di kepalanya pecah, kami mohon segera urus administrasi untuk segera diambil tindakan"

"Baik dok, saya harus kemana?" Dengan kondisi terdesak aku tak bisa berpikir panjang yang penting mamaku selamat.

"Anda ke bagian administrasi di depan, dan tanda tangani surat ijin mengambil tindakan"

Aku langsung bergegas ke ruang administrasi yang dimaksud.

"Total biaya 100juta nona" Aku gemetar mendengar angka fantastis tersebut. Kalau dulu waktu papa masih bersama, angka segitu mungkin sangat kecil bagi kami. Tapi kondisiku sekarang, aku harus cari uang kemana? Dengan tangan dan tubuh gemetar, aku tetap menandatangani surat persetujuan operasi yang penting mama selamat.

"Uang bisa dicari Mitha..bisa dicari.."Bisikku dalam hati

Enam jam lamanya aku menunggu mama di depan ruang operasi, rasa lelah dan lapar sudah tidak kurasakan lagi. Mataku terbuka tapi pikiranku kosong tak bisa berpikir. Sampai kapan ujian ini akan berakhir, Tuhan.

Flashback On_

Papa pulang cepat dari kantor bersama Melisa dan mengumpulkan kami di ruang keluarga.

"Papa sudah menikah dengan Melisa, dan Melisa sedang mengandung anakku"

"Apa?!" Aku dan mama berteriak bersamaan.

Plaakk!! Plaakk!!

"Beraninya kamu menggoda suamiku ya, kamu sudah aku anggap anakku sendiri. Aku biayai kuliah dan mendapatkan pekerjaan bagus di kantor suamiku tapi kamu merusak rumah tanggaku!!" Mama menampar dan memaki sepupuku dari mama, yang sudah tinggal bersama kami sejak usianya 10tahun.

Papa menghalangi mama dan aku yang akan menyerang Melisa. Dan wanita itu hanya menangis dan tersedu dibalik punggung papa.

"Laras! Mitha! Hentikan!! Tidak ada yang boleh menyakiti istriku!" Papa mendorongku hingga punggungku menabrak tembok

"Aahhh..papa! Papa tega mendorong aku!" Aku terhenyak, papaku yang biasanya lembut kini berubah

"Kalian mau nerima Melisa atau tidak, dia akan tetap bersamaku!"

"Aku tidak Sudi menerimanya pah!! Aku akan keluar dari rumah ini" mamaku berteriak dan mengancam papa

"Silahkan keluar! Jangan harap aku akan menafkahi kalian. Laras, kau tunggu surat cerai dariku!" Aku dan mama menatap papa dengan tajam, amarah sudah di titik didih.

Mama memutuskan keluar dari rumah karena papa sudah berubah. Mungkin kali ini papa sedang tidak waras, dan nanti akan mencari kami untuk kembali ke rumah.

Kami menempati rumah peninggalan orangtua mama di Bandung. Aku tetap melanjutkan kuliah meskipun dengan biaya terseok-seok.

Melissa sepupuku dari mama, anak dari adik tirinya mama, Yang biasa aku panggil Mang Ubay. Kami tumbuh bersama di rumah yang memberinya kehidupan dan kebahagian. Tapi hatinya busuk, dia merayu papa dan mengusir kami dari rumah.

Dan di rumah peninggalan orangtua mama juga kami dizalimi, Mang Ubay menggadaikan rumah peninggalan orangtua mama ke Bank. Dan rumah terpaksa di sita karena mang Ubay tidak melunasi pinjaman.

Sebelum rumah nenek kami di sita pihak bank, mama baru saja mendapatkan surat cerai dari papa tanpa pembagian harga Gono gini. Sudah jatuh tertimpa tangga.

_Flashback Off

"Keluarga dari ibu Laras" Suster memanggil

"Sa-saya suster" aku menghampiri perawat yang memanggil

"Tolong ditebus obatnya dulu mba, ibu anda sudah di ruang ICU untuk observasi pasca operasi" Satu lembar resep diserahkan perawat kepadaku

"B-baik, sus" Hatiku berdegub kencang saat kaki melangkah menuju apotik, kakiku terasa lemas. Berapa uang yang harus aku keluarkan lagi kali ini.

Aku sodorkan kertas resep di loket apotik dengan hati cemas. Uangku tinggal lima ratus ribu di dompet, dan ini pun uang untuk bayar kuliah. Aku terisak dengan tertahan, tidak mau jadi pusat perhatian. Aku duduk di pojokan dekat tempat sampah ruang tunggu.

"Pasien ibu Laras" Aku mendekat ke loket

"Tujuh ratus lima puluh ribu ibu"Suara apoteker itu lembut, tapi di telingaku terasa berdenging

"m-mba, bisa tidak obatnya saya tebus hanya setengah saja. Uang saya tinggal sedikit" aku terbata dan gemetar.

"Engga bisa mba, ini obat untuk ruang ICU. Obatnya harus dibeli penuh" Aku hanya tertunduk

"Pakai debit bisa mba?" Seseorang menyodorkan kartu BCA Prioritas kepada apoteker tersebut. Aku bergeser ke kanan membiarkan orang itu lebih dulu melakukan transaksi.

"Ini obatnya" Pria itu menyodorkan sebungkus obat ke arahku, Aku mengangkat wajahku untuk menatap seorang pria yang menyodorkan bungkusan obat.

"Sa-saya?" aku bingun

"Iya ini obat ibu anda" katanya, aku bingung.

"Ambillah" Aku langsung bersimpuh di kakinya

"Terima kasih pak..terima kasih banyak..kalau saya sudah ada uang akan saya ganti. Saya minta alamat bapak" Aku tangkupkan kedua tangan di hadapannya

"Saya terburu-buru, kalau kamu ada waktu bisa ke ruang Anyelir No.1" Pria itu langsung pergi meninggalkanku yang masih terisak, ternyata Tuhan Maha baik. Mengirimkan seorang malaikat untuk membantuku.

Aku bergegas ke ruang ICU untuk menyerahkan obat, dari kaca pembatas aku bisa melihat mamaku begitu pucat, kepalanya masih di perban dan ditubuhnya banyak alat bantu.

"Mah, cepat sembuh ma" lirihku

Keesokannya aku ke ruang anyelir no.1, tapi ternyata orang itu sudah pulang. Aku meminta alamat pasien ke ruang administrasi. Bersyukur, di sana aku bisa mendapatkan alamatnya. Hari ini Aku berniat jual mobilku satu-satunya untuk membayar biaya operasi mama dan sisanya untuk biaya hidup.

#Di tempat penjualan mobil second

"Masa hanya segitu pak? Lebihin lah pak" Rengekku.

"Mobil tua mau dapat mahal, mesinnya juga udah jelek" Gerutu marketing dealer

Mobilku memang mobil keluaran tahun 2020 tapi mesin sangat bagus karena aku rajin servis dan interiornya sangat mewah.

Ku keluar dari dealer itu dan masuk lagi ke dealer lain. Aku juga pasang iklan di grup kampus. Dari tiap dealer yang aku kunjungi tidak ada yang memberiku harga yang sepantasnya, mereka hanya berani mengambil harga 30% dari harga beli. Disaat aku frustasi, ponselku berbunyi.

"Hallo"

"Mit..katanya Lo mau jual mobil CR-V? Nih ada sodara gue yang minat. Mau jual berapa?" Suara Bella di sebrang sana

"Iya gue mau jual 500 juta bel, lagi butuh duit buat operasi mama gue "

"Oke ketemuan deh"

"Ya Tuhan..terima kasih" Jeritku dalam hati, semua dipermudah.

∆∆∆∆∆∆

Megantara Pradana

Seorang gadis berteriak dengan mata sembab, meminta seseorang segera membantu sang mama di depan ruang IGD. Wajahnya terasa familiar, aku seperti pernah melihatnya. Kejadian begitu cepat, belum sempat aku memperhatikan wajahnya sudah menghilang di balik pintu IGD.

Saat menunggu papa di depan ruang operasi, aku kembali bertemu dengannya. Dia terlihat lelah, tatapannya kosong, sebagian wajah cantiknya tertutup rambutnya yang acak-acakan. Setelah aku perhatikan ternyata dia Mitha, gadis yang selalu membuat aku memutar kepala hanya untuk menatapnya lebih lama.

FLASHBACK ON~

"Minggir...minggir.." Gubrak!

Aku jatuh tertimpa sepeda berwarna pink yang dikendarai seorang gadis berkepang dua, rambutnya berwarna kecoklatan, hidung mancung dan matanya yang bulat indah.

"Aku bilang minggir kenapa Kaka malah menghalangi jalanku" Gerutu gadis yang belum ku ketahui namanya

"Dek, kalau belum bisa bawa sepeda jangan main di sini ya. Ini jalan raya. Masih untung kamu nabrak Abang, coba kalo nabrak mobil, gimana?" Aku menasehatinya

"Kalau Abang ga menghalangi jalan, aku ga bakalan jatuh bang" Bibirnya mengerucut

"Ayo sini Abang anter pulang, rumahmu dimana?" Tanyaku

"Di rumah yang ada pohon mangganya" Aku menggendongnya di belakang

Anak itu sangat asik diajak ngobrol, padahal usianya baru dua belas tahun, tapi obrolan kami nyambung.

Setiap kegiatan pembinaan fisik berupa lari pagi di kampusku IPDN, selalu melewati depan rumahnya. Dia tidak pernah terlihat jika hari Senin sampai Jumat. Tapi dia akan ada di depan rumah jika hari Sabtu Minggu. Sampai hapal aku, kan. Karena pesonanya membuatku seringkali terbayang-bayang dan memimpikannya.

Ah! Mungkin Cinta pertama, ya bisa dibilang begitu.

Menatapnya adalah obat sekaligus hiburan saat menempuh pendidikan yang penuh 'cuaca' di bandung selama tiga tahun. Aku ingat betul saat neneknya meninggal dia sering termenung di kursi bawah pohon mangga. Saat itu aku sudah tidak lagi menggodanya, karena dia sudah beranjak remaja. Sudah malu-malu kalau di sapa

Lama aku tak melihatnya karena tugasku yang berpindah-pindah, kemudian Tuhan pertemukan di sebuah club malam. Dia sudah berubah, dia sudah pandai berdandan dan terkesan urakan. Aku hampir tak mengenalinya. Dan tentu saja dia tak mengenaliku.

FLASHBACK END

Dari ruang tunggu operasi aku mengikutinya untuk menyapanya, tapi dia larut dalam tangisannya. Sesekali dia membuka dompetnya dan menghitung uangnya dengan wajah cemas. Aku tidak tega melihatnya gemetar saat apoteker menyebutkan biaya obat mamanya, dengan tulus ku membantunya.

Tak ku sangka selesai aku dari apotik, papa diijinkan pulang. Aku tidak ada kesempatan untuk bertemunya lagi.

*****

"Mitha!" Bella sepupuku memanggil seseorang saat kami di sebuah kafe untuk COD pembelian mobil.

Ya! Aku berencana membelikan mobil untuk papa selama tugasnya di Bandung.

Bagai punguk merindukan rembulan, mataku berbinar saat mengetahui si empu mobil adalah Mitha.

"Bel!" Katanya dengan senyumnya yang manis

"Kenalin nih Abang gw, Abang Megan. Dia yang bakal beli mobi Lo, mit" Mitha nampak mengernyitkan keningnya

"Bapak yang waktu itu bayarin obat mamaku, kan? Ehh maksudnya pinjemin uang" Dia ingat!

"Terimakasih ya pak, kebetulan kita ketemuan di sini. Tadi pagi saya cari bapak di Anyelir tapi bapak sudah pulang"

"Iya ga apa-apa dek, kebetulan ya ketemu di sini. Oiya jangan manggil bapak" Aku masih belum bisa merubah panggilanku padanya. Aku suka sekali memanggilnya adek. Secara aku anak tunggal.

Proses jual beli berjalan lancar, sebenarnya aku yang ingin mempermudah jalannya untuk segera mendapatkan uang. Sampai Bella sepupuku sewot karena aku tidak menawar sepeserpun harga yang diberikan Mitha. Itung-itung menolong, pikirku.

Aku sempat menanyakan dia tinggal dimana, tapi wajahnya galau. Aku tidak enak menanyakan lebih jauh. Dia hanya bilang sedang cari tempat tinggal karena rumah neneknya sudah dijual. Aku sempet memberikan kartu nama. Semoga suatu saat dia membutuhkan bantuan, aku orang yang akan dia hubungi.

Aku sempat mengantarkannya kembali ke rumah sakit, membelikannya makanan dan minuman untuk bekal selama di rumah sakit. Awalnya dia sungkan menerimanya, tapi Bella sedikit memaksa. Akhirnya dia membawa semua yang kami berikan padanya. Hari itu adalah hari terakhir kami berjumpa di bandung, karena aku harus berangkat ke tempat tugas di Kalimantan.

Aku pulang dengan membawakan papa hadiah mobil untuk aktivitasnya selama di Bandung. Papaku mempunyai usaha kontruksi perumahan mewah dan gedung-gedung pemerintahan.

Dengan penerbangan malam aku kembali ke Kalimantan untuk menjalankan tugas sebagai Purna praja ASN di sebuah desa terpencil.

Dua tahun aku menjalankan tugas di Kalimantan tidak pernah mengambil cuti karena kesibukan membangun desa tertinggal. Hingga SK ku turun untuk pemindahan tugas di Jakarta. Aku sempatkan pulang ke Jambi sebelum tugas di Jakarta.

Ternyata keluargaku sudah memilihkan calon pendamping untukku. Kepulanganku ke Jambi adalah hal yang mereka tunggu-tunggu. Baru dua jam di rumah, kami sekeluarga berangkat untuk melamar seorang gadis yang satu daerah denganku.

Dia gadis bercadar dengan mata yang indah walaupun tak seindah Mitha cinta pertamaku. Tapi dia adalah sosok yang diharapkan orangtuaku, mantu idaman katanya. Irish namanya, suaranya saat mengaji memang merdu, tutur katanya pun lembut. Cowo mana yang bisa menolak gadis seperti Irish, cantik, Sholihah dan masih belum pernah dijamah tentunya karena dia sudah bercadar sedari kecil, pasti sangat terjaga dari lelaki hidung belang karena dia mengharamkan pacaran. Kupikir cinta akan tumbuh seiring waktu.

Orangtua kami langsung menentukan tanggal pernikahan dan aku setuju. Sebulan setelah lamaran, aku melangsungkan pernikahan di Jambi. Aku melupakan cinta pertamaku. Aku benar-benar fokus dengan istriku. Irish adalah istri yang baik, sangat penurut dan tidak pernah menuntut. Walaupun saat malam pertama dia sudah tidak suci lagi. Dia ceritakan itu saat malam pertama, bagaimana mungkin aku batalkan pernikahan. Kalau saja dia ceritakan saat lamaran, mungkin aku akan mempertimbangkan dan tidak shock seperti ini. Mau tidak mau pernikahan harus tetap berjalan, serasa menelan pil pahit karena merasa ditipu. Tapi kalau karena hal itu saja aku menceraikan istriku rasanya aku pecundang.

Selama pernikahan Irish menjadi sosok istri yang diinginkan semua suami. Cantik di fisiknya juga hatinya. Dia Baik, pintar membawa diri, tidak banyak menuntut dan pengertian. Lambat Laun perasaanku padanya tumbuh kasih dan sayang. Hingga dia mengandung anak pertama kami. Aku merasa kehidupan rumah tanggaku lengkap dan bahagia.

Saat melahirkan anak pertamaku Irish mengalami pendarahan hebat hingga harus di transfusi sebanyak sepuluh kantong. Pasca operasi dia mengalami kelumpuhan, kakinya kaku tidak dapat di gerakan. Aku terima ini sebagai ujian. Aku terus memberikan support agar dia kuat, semangat sembuh demi anak perempuan kami yang bernama Faiza.

Saat aku bekerja, ada perawat dan baby sitter yang membantuku. Saat aku pulang ke rumah, aku yang mengurus anak dan istriku. Aku tidak merasa terbebani. Aku malah ikhash menerima ujian ini.

Ujian Kehidupan

"Mitha meja lima minta dua botol" Teriak Devi supervisor di tempat Mitha bekerja

"Iya mba" Mitha langsung berjalan dengan nampan yang berisikan botol minuman beralkohol dan cemilan

"Hai cantik temani kami di sini"

"Maaf kami dilarang menemani pengunjung"

"Sombong Lo !!" Lelaki itu menjiwil payu dara Mitha dan segera Mitha tepis.

Menerima penolakan, lelaki itu semakin meradang. Dia menarik lengan Mitha dengan kasar hingga Mitha duduk ke pangkuannya. Lelaki itu menjamahnya, Mitha berontak.

Bugh!!

Seseorang memukul lelaki mesum tadi, dan menarik Mitha menjauh dari meja tadi. Keributan pun terjadi.

Karena keributan itu perusahaan mengalami kerugian banyak, Mitha akhirnya dipecat dengan alasan menggoda pengunjung.

Selama hampir tiga tahun ini Mitha bekerja di club malam, hanya pekerjaan malam seperti ini yang bisa membantu perekonomiannya. Karena kondisi mamanya yang tidak bisa ditinggal saat siang, Mitha terpaksa mengambil job malam.

Pagi dia kuliah, siang hingga malam dia menjaga mamanya di kontrakan. Setelah mamanya tidur dia baru bisa bekerja.

Dengan langkah gontai dia berjalan menuju halte busway. Tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam mendekatinya di halte.

"Nona, ayo aku antar pulang"

Cindra menggeleng dan melambaikan tangannya, "Tidak terima kasih, saya naik kendaraan umum saja"

"Busway jam segini sudah tidak beroperasi" Katanya lagi

"Saya dijemput pacar saya"

Lelaki itu pun turun dari mobilnya, kesan pertama saat melihat lelaki itu "He's the exact definition of hotness overload"

Kemeja biru langit yang lengannya di gulung hingga siku, rambut dengan potongan rapi, hidung mancung, tinggi langsing.

"Saya lelaki yang tadi membantu mu" Mitha memindai penampilannya, dia tidak ingat karena ruangan di sana kurang pencahayaan

"Gara-gara anda saya di pecat dari pekerjaan saya"

"What?! Jadi kamu lebih suka di jamah seperti tadi daripada saya selamatkan?" Lelaki itu terlihat gusar. Dia menyugar rambutnya yang rapih.

"B-bukan begitu maksud saya, terima kasih untuk tadi. Maaf saya tidak mengenali anda"

"He-um" Jawabnya singkat

"Jadi gimana mau saya anterin gak?"

"Tidak usah pak, terima kasih"

"Ini sudah pagi, ga akan ada busway jam segini"

Sedikit merenung, akhirnya Mitha ikut dengan mobil lelaki tersebut

"Rumahmu dimana?"

"Di jalan melati Pancoran pak"

"Jangan panggil saya bapak, namaku Revaldo, panggil aja Rey. Udah lama kamu kerja di situ?" Tanyanya

"Sudah hampir tiga tahun Rey"

"Sering ngalami hal-hal seperti itu?" Rey melirik Mitha

"Kadang, tapi memang itu resiko pekerjaan" Mitha menunduk dan memilin jemarinya

"Ya Tuhan, betah kamu kerja di tempat kumpulnya para lelaki hidung belang?" Mitha menoleh ke arah Rey

"Termasuk kamu Rey? Kamu juga pengunjung di sana kan" Rey melotot

"Ehh aku ga termasuk ya!! Aku tuh tadi ketemu klien. Aku ga suka aja liat perempuan dilecehkan. Kecuali cewenya itu emang mau dilecehkan kayak kamu gitu" Mitha melotot mendengar Rey bilang seperti itu

"Jangan sembarang kalo ngomong, mana ada perempuan yang mau dilecehkan!" Dengan wajah marah Mitha menjawab omongan Rey

"Buktinya kamu menyesal hari ini di pecat" Sindirnya dengan senyuman smirk

"Hanya disitu mata pencaharian aku, Rey. Aku jadi pengangguran. Nyari kerjaan yang shift malam susah Rey" Mitha menunduk

"Kenapa harus malem yang kamu ambil, emang part time yang siang sampai jam 10 malem ga ada. banyakk asal kamu mau nyari aja"

"Ngomong aja gampang Rey"

"Loh?!"

"Turunin aku di sana Rey" Mitha menunjuk halte di depannya

"Sampe rumah aja aku anter"

"Rumahku masuk gang kecil, mobil Pajero kamu ga bisa masuk" Aku bersiap membuka seatbelt

"Apa iya? Kamu lagi ga berbohong sama aku, kan?!" Mitha hanya memutar bola matanya malas

"Terima kasih tumpangannya Rey" Tanpa persetujuan Rey , Mitha membuka pintu mobil.

Rey menahan lengannya

"Nama kamu siapa? kamu mau kerja sama aku gak?" Mitha mengurungkan niatnya turun dari mobil

"Namaku Mitha, kerja apaan Rey?" Tanya nya

"Ehmm..Jadi temen tidur aku" Suara Rey pelan

Plaakk!! Mitha menampar Rey dan bergegas turun

Revaldo yang baru kali ini mendapat tamparan hanya bisa melongo, tubuhnya mematung.

"Hah!!Dia menamparku?!!"

Turun dari mobil Mitha berlari kencang, melewati beberapa gang. Sebenarnya gang rumahnya bukan di tempat tadi ia turun. Masih jalan 1kilometer lagi dari sana. Tapi memang Mitha seperti itu jika dianter teman kerja atau orang yang baru dikenal.

****

"Mit, ibu perhatiin sudah dua hari ga masuk kerja malem" Tanya Bude Narto pemilik kontrakan

"Udah gak kerja di sana bude, perusahaannya bangkrut" Mitha jawab asal daripada di cepuin

"Oh syukurlah, bude tuh kuatir ya kamu kerja di sana. Kuatir uang bude dari kontrakan ikutan haram. Secara yang kamu jual kan minuman dan kemolekan tubuh" Mitha mendelik menatap bude Narto

"Enggeh bude" Mitha males nanggepinnya

"Ta, ada lowongan jadi pasukan orange di kelurahan. Kamu mau daftar?" Bu Ratmi ikut nimbrung obrolan kami di teras.

"Kerjanya ngapain bude?" Mitha antusias

"Bersih-bersih, angkatin sampah jalan, nyapu jalanan, tapi kalau perempuan juga ada yang di kantor doang ko kerjanya. Seperti mba Mun gitu, ta. Kalau kamu daftar buat gantiin mba Mun, ta. Gajinya UMR DKI loh" Bu Ratmi menjelaskan.

Awalnya Mitha ragu, karena yang biasa dia lihat kan kerjanya di jalanan. Nyapu jalan dan lain-lain. Tapi untuk saat ini kerjaan apapun harus dia ambil. Karena biaya pengobatan mamanya membuat tabungan dari menjual mobil semakin menipis. UMR DKI kan lumayan ya, daripada dia kerja di club malam. Kalau mau gede harus nunggu tip dari para pelanggan.

"Ngelamarnya kemana bude Ratmi? Saya mau nyoba" Mitha mendekati Bu Ratmi

"Besok yuk bu Ratmi anter, kebetulan ibu ada acara PKK. Sekalian ibu nitipin Mitha ke bapak kasi kesra"

"Wahh terima kasih bu, iya aku mau ya Bu" Mata Mitha berbinar dengan senyuman lebar.

Keesokan harinya mereka ke kelurahan dengan sebuah amplop lamaran di tangan, Mitha berjalan mengikuti Bu Ratmi

"Neng Ita tunggu sini ya, ibu mau ke ruangan kasi kesra dulu" Mitha menganggukkan kepala dengan hati berdegub.. "Ceelaahhh mau ngelamar jadi tukang sapu aja gw degdegan kayak gini" Batin Mitha

"Ta, ayuk masuk mau di wawancara" Mitha langsung bergegas mengikuti Bu Ratmi

Di sana sudah duduk tiga orang berpakaian seragam ASN, Mitha menyodorkan amplop sambil tersenyum.

salah seorang ASN pria yang masih muda membuka amplop tersebut.

"Kamu masih kuliah?" tanyanya

"Iya pak, tinggal nunggu hasil sidang skripsi" Mitha menjawab pelan

"Kalau kamu lulus sarjana, emang mau kerja bersih-bersih kantor, nyapu jalan atau kerjaan lapangan lainnya?" Tanya bapak yang bernama Iyus di nametag nya

"Untuk saat ini kerjaan apapun akan saya jalani pak, demi merawat dan pengobatan ibu saya" Mitha menjelaskan

"Emang ibu kamu sakit apa?" Tanya Bu Laili yang ternyata kasi kesra

"Stroke Bu"

"Kalau kamu ngurusin ibu kamu, nanti kerjaan di sini bisa terbengkalai dong" Pak Iyus menyangsikan

"Kalau diijinkan, saya minta kerjaan shift sore bapak ibu, biar bisa sambil merawat ibu saya"

"Agak sulit sih kalau mintanya seperti itu. Tapi dicoba aja kamu ikut testnya ya. Nanti ada beberapa tahapan test yang harus kami lalui" Bu Laili angkat bicara, dan Mitha hanya mengangguk

Pak Iyus menyodorkan persyaratan lamaran dan jadwal test pekerja kontrak PJLP.

"Baik, bapak ibu terima kasih atas waktunya. Semoga saya di beri kesempatan bergabung di instansi ini" Mitha menyalami para pewawancara dan keluar dari ruangan

"Pendidikannya sih lumayan pak Iyus, nilai IPK nya tinggi-tinggi. Tapi masalahnya dia kan akan dipekerjakan di lapangan" Bu Laili mengernyitkan dahinya

"Kita coba aja dulu enam bulan dia di lapangan Bu, kalau mba Mun sudah pindah ke kecamatan baru dia kita perbantukan di staff" pak Iyus membuka-buka lamaran yang Mitha berikan

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!