NovelToon NovelToon

Cinta Itu Bukan Untuk Istriku

PROLOG

"Lo kemana aja, Dionata! Istri lo sekarang di rumah sakit, bodoh!"

Boleh jadi karena suara melengking Disha dari seberang telepon atau justru karena berita yang disampaikannya, Dio terkejut hingga sedikit terhuyung. Dadanya berdebar-debar, seketika tubuhnya lemas. Terbayang bagaimana ia dengan jahat meninggalkan Kiana tadi dan bergegas kemari tanpa menoleh lagi.

"Pak, boleh saya minta tolong? Tolong pastikan perempuan ini dirawat dengan di rumah sakit. Saya harus pergi karena istri saya sekarang sedang di rumah sakit."

"baik Pak Dio."

"No, Dio. Jangan pergi. Jangan pergi ke Kiana. Dionata, please."

Namun Dio sudah kehilangan iba itu. Suara Rosa yang memelas tak lagi mengganggu hatinya. Baginya, ia jelas telah dikhianati oleh perempuan itu. Kini yang lebih mengganggu pikirannya hanyalah keadaan Kiana.

Juga bayi mereka.

^^^^

Kata pepatah, penyesalan selalu berada di belakang, menjadi bayang-bayang mengerikan mengikuti keputusan salah yang diambil. Membuat diri ingin memutar balik waktu jika bisa.

Begitu pula dengan yang Dio rasakan kini. Tiga jam yang lalu, ia dengan jahatnya meninggalkan Kiana dan berlari pada Rosa tanpa memedulikan sama sekali permohonan perempuan itu. Padahal kondisi kiana pun sedang tak baik-baik saja karena morning sickness yang belakangan semakin parah.

Berengsek!

Dio terus merutuki dirinya sendiri.

Di ruangan berwarna putih bertuliskan VIP di bagian pintu berwarna biru langit itu, Dio terpaku sesaat. Langkahnya macet, menatap nanar ke dalam sana. Di mana perempuan yang ia sia-siakan berbaring di tempat tidur, digenggam jemarinya oleh Mama. Terlihat jelas bahwa Kiana sengaja menutup wajahnya dengan sebelah telapak tangan lainnya.

Ia bergetar, menangis tertahan.

Sesuatu yang jelas menyiratkan hal buruk sedang terjadi.

"Kia," ucap Dio seraya melangkah cepat mendekat ke sana. Ia bersiap mendekat pada Kiana sebelum akhirnya sebuah tamparan lebih dahulu menyapa Dio.

Ia terkejut.

Kiana yang sedang menangis pun terkejut.

Dio tak perlu ditanya, jelas terkejut.

Tamparan ayahnya terasa pas sekali di pipinya. Panas, kuat dan menyakitkan. Dio bahkan sampai berpaling karena tekanan yang diberikan ditamparan tersebut.

"Ayah," ujar Dio terbata-bata.

"Manusia jahat itu kamu," jawab ayahnya seraya berlalu. Ia tidak menjelaskan alasan ia menampar wajah anak bungsunya. Namun melihat reaksi keluarganya yang lain, yang tak melerai, jelas ia adalah pihak yang salah.

Dio memilih mengabaikan efek tamparan itu. Ia justru mendekat kearah Kiana.

"Kia ...."

Dalam detik yang terasa melambat, juga eksistensi manusia lainnya yang tiba-tiba menjadi kasat mata, baik Dio maupun Kiana kini saling bertemu pandang. Dio bisa melihat dengan jelas di raut wajah ayu istrinya, tersimpan sebuah luka dan rasa sedih yang banyak. Mata yang sembap, pipinya yang basah serta hidung yang memerah karena kebanyakan menangis.

"Kia ada apa ini?"

Perempuan itu bergeming. Air mata yang meleleh tak membuat mulutnya berujar barang sepatah katapun. Ia bisu. Menghukum Dionata dengan diamnya.

"Kia, maafin aku."

Dio tahu bahwa hal buruk itu telah terjadi sehingga reaksi Kiana bisa semarah itu pada dirinya. Sehingga meskipun tak ada yang menjelaskan semuanya pada Dio, laki-laki itu akhirnya tergugu seraya meluruh di lantai, di sisi ranjang Kiana.

Menangis ia.

Menyesali semua yang ia lakukan pagi ini, hari kemarin, atau seluruh isi satu tahun lebih ke belakang. Seluruh isi hari pernikahan mereka yang disia-siakan. Hingga akhirnya Tuhan menghukumnya dengan sebuah kehilangan.

"Squishy sudah nggak ada, Dionata."

Kiana akhirnya buka suara. Anehnya, di telinga Dio, suara Kiana terasa sangat dingin. Terlebih ketika Kiana melanjutkan ucapannya yang menohok.

"Sekarang kamu bisa bebas menemui Rosa."

Dio menggeleng.

Ia menggeleng berkali-kali.

"Nggak Kia, maafin aku."

Dio berusaha menggenggam tangan Kiana namun perempuan itu mengempaskannya. Tatapan matanya jelas menyirat benci yang tak terhitung pada Dio. Sebuah perubahan drastis dari pandangan matanya yang biasanya dipenuhi cinta.

"Kia maafin aku. Please, aku benar-benar minta maaf."

Dio terlihat sangat tulus di mata Kiana. Mata laki-laki itu yang selalu terasa indah di pandangan Kiana jelas menangis dengan kesungguhan. Juga dari ucapannya yang tersendat-sendat seperti sesak.

Kiana tahu Dio menyesal.

Tapi bagi Kiana, kehilangan bisa melunturkan segalanya. Rasa cinta butanya pada Dio, misalnya.

Ia ingat dengan jelas bagaimana ia memohon pada Dio agar laki-laki itu tidak menemui Rosa. Alih-alih didengarkan, Dio mengabaikannya dan pergi ke Rosa, lagi. Bahkan menuduh Kiana yang egois segala.

Duh!

Kiana bukan berniat menghalangi Dio menemui Rosa. Selama lebih dari satu tahun, ia dengan jelas tidak akan pernah bisa menghalangi Dio yang selalu menuju Rosa. Tidak juga hari ini.

Tapi sejak pagi, Kiana merasa bahwa dirinya benar-benar merasa kepayahan. Ia ingin Dio di sisinya, menguatkan. Meyakinkannya bahwa segala hal yang tidak mudah ini akan segera berlalu dan Kiana harus kuat. Mengusap perutnya yang terasa kram hingga Kiana bisa terlelap. Kiana anehnya benar-benar membutuhkan Dio pagi ini.

Nyatanya itu adalah sebuah firasat buruk.

Ketika ia mulai merasakan sakit yang luar biasa kala bergelung dalam selimut. Memilih bangkit menuju kamar mandi, Kiana terkejut setengah mati mendapati banyak darah di pakaian dalamnya.

Menjerit Kiana.

Ia memanggil-manggil Mbok Dar dengan panik. Berseru untuk segera menelepon Dio yang berakhir tak diangkatnya padahal sudah berkali-kali Mbok Dar meneleponnya. Beralih pada nomor ponsel Mama dan di sinilah Kiana akhirnya.

Ruangan berwarna putih dengan aroma penuh kesedihan. Setelah melewati proses USG ditemani Mama tadi, Kiana harus menelan kenyataan pahit sekali lagi.

Ia kehilangan.

Kehilangan anak mereka.

Janin yang masih kecil itu sudah tak lagi terdengar detak jantungnya kala dokter meletakkan alat USG itu di perut Kiana. Berkali-kali dicari, dibesarkan volumenya, digeser kesetiap sisi, nyatanya senyap saja. Tak ada bunyi detak jantung yang menandakan kehidupan si kecil telah diambil Sang Punya.

Kiana memejamkan matanya. Menyeruak rasa sakit, rasa bersalah, rasa sedih, rasa terluka, pokoknya segalanya campur aduk. Menyeret air matanya yang keluar berbondong-bondong tak bisa dibendung lagi. Bahkan untuk bertanya alasan si janin itu pergi meninggalkannya saja pada dokter, Kiana tak sanggup.

Ia kehilangan.

Kehilangan anak mereka.

Dan disaat demikian, suaminya justru sedang berlari pada perempuan lain dengan dalih rasa tanggung jawab sialannya. Maka sangat beralasan rasa marahnya kini, rasa kecewanya kini.

"Aku benar-benar minta maaf Kia."

"Aku akan tindakan malam nanti untuk kuretase. Setelah aku sadar nanti, mari kita akhiri takdir buruk ini, Dio."

Dio membulatkan mata seraya terus menggeleng. Ia menangkupkan tangannya memohon pada Kiana. "Kiana, please, aku nggak bisa."

"Ayo kita berpisah saja, Dio."

^^^^

TO BE CONTINUED

Jangan lupa like dan komen yaaa

Bab - 00

...11 Januari 2021...

"Let's get divorced, Dio."

Tepat di perayaan pernikahan mereka yang ketiga tahun, Kiana mengatakan hal itu sebagai hadiah untuk Dionata. Ia mengatakannya dengan wajah secerah matahari di pagi hari. Tanpa beban, tanpa rasa keragu-raguan sedikitpun.

Dio tentu saja terkejut. Meski keterkejutannya tak ditampilkannya dalam ragam ekspresi wajah -sebab ia memang selalu berekspresi datar dan dingin. Ia sejenak diam dan mencoba mencerna. Ditatapnya mata Kiana sesaat.

"Oke, kalau memang itu kemauan kamu."

"Aku harap kamu bahagia."

"You too."

Kiana meniup lilin yang ada di kue anniversary ketiga tahun pernikahan mereka. Kue yang dibuat oleh Kiana sendiri seharian ini. Kue red velvet kesukaan Dio yang selalu Kiana buat setiap momen spesial tanpa Dio minta.

"Kamu jangan lupa cicip kuenya ya. Aku mau istirahat dulu."

"Oke."

Kiana melangkah menuju kamarnya dengan wajah riang yang hilang. Senyum cerah yang ia tunjukkan di hadapan Dio tak lagi terukir. Seolah Kiana telah melepaskan topengnya. Menampilkan sisi muram durja yang sebenarnya. Ekspresi paling tepat ketika ia akhirnya mengatakan hal yang paling ingin dihindarinya selama ini.

Saat pintu kamarnya tertutup, Kiana merasakan tubuhnya luruh. Tersandar sempurna pada pintu, ditemani derai air mata yang datang berbondong-bondong. Napasnya tertahan, sesak bukan kepalang. Dipukulnya kuat-kuat agar mereda, namun justru tak berkurang.

Nothing hurt more than realizing the meant everything to you but ... you meant nothing to him.

Kiana merasakan itu.

Dan memang semenyakitkan itu.

^^^^^^

...Dua Tahun Setelahnya...

Dio tahu, sepupunya memang paling bisa membuat orang lain merasa jengkel. Janji Cakra untuk menemaninya berkeliling Bandung harus dibatalkan sepihak tepat ketika Dio sudah bersiap. Satu jam setelahnya, ia jenuh juga menghabiskan hari di dalam hotel. Sebab itulah, ia memilih berkeliling seorang diri.

Pagi Bandung yang sendu. Mendung namun bukan yang bersiap hujan. Cuaca yang cocok untuk dinikmati berjalan kaki di sekitaran jalan Braga. Memotret beberapa hal menarik, mencicipi makanan enak, atau sekedar minum kopi di kafe dan melamun setelahnya. Tepat ketika kopinya tersisa setengah, mata Dio menangkap sosok itu.

Sosok perempuan yang telah menghilang selama dua tahun dari hidupnya.

Kiana.

Dio bergerak cepat. Tergesa meninggalkan kafe dan berusaha mengikuti kemana langkah sosok yang diharapkannya benar Kiana. Meski sempat beberapa kali hampir kehilangan jejak, namun sosok berbaju navy itu akhirnya berhenti.

Dia di sana, masuk ke Grey Art Gallery dan sedang menatap sebuah lukisan lamat-lamat. Meski hanya sosok belakangnya yang Dio lihat, namun hatinya 100% yakin bahwa perempuan itu benar Kiana.

"Kia."

Pelan sekali Dio memanggil nama itu, namun tak butuh waktu lama untuk sosok itu berbalik menghadapnya. Mata bertemu pandang. Bisu menjadi penengah. Dio dan Kiana saling bertemu setelah dua tahun lamanya mereka resmi bercerai.

"Kia, marry me again."

^^^^^^

Perkataan Dio terasa seperti sapaan konyol bagi Kiana. Terlebih, itu adalah kalimat pertama yang diucapkannya setelah mereka tidak pernah bertemu selama lebih dari dua tahun. Dengan berbagai perjuangan Kiana untuk melupakannya.

"Are you kidding me?"

Kiana melangkah tergesa, meninggalkan Dio yang masih termangu di tempatnya.

"Tunggu, Kia."

"I'm not your Kia again."

"Let's first talk about us, Kia."

"Untuk apa?"

Dio tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia meraih tangan Kiana, setengah memaksa membawa Kiana mengikuti langkahnya. Meski Kiana mencoba melepaskan, namun Dio tetap bersikukuh. Dan seperti dulu-dulu, Kiana memilih menyerah dan mengikuti langkah laki-laki itu kemanapun arah yang dimau.

Kiana ingat, ia mengikuti langkah Dio menuju pernikahan.

Kiana tidak lupa, ia mengikuti arah Dio dalam kepura-pura bahagiaan.

Bahkan saat Kiana meminta mereka bercerai, itu adalah satu-satunya langkah yang Dio harapkan.

"Ayo kita menikah lagi."

Mereka duduk saling berhadapan, di Wiki Kofffie, segelas Americano miliki Dio dan secangkir vanilla latte milik Kiana. Cuaca yang mendung terasa semakin dingin bagi Kiana saat mendengar omong kosong yang diucapkan Dio.

"Pernikahan seperti apa yang mau kita ulang?"

"Aku sudah tahu semuanya, Kia."

Kiana menyesap vanilla latte miliknya. Dalam pandangan matanya yang sudah berjuang mati-matian memupuskan cinta, Dio tetaplah si menawan itu. Wajahnya yang selalu terasa dingin, matanya yang tenang, bibirnya yang terlalu indah dan membuatnya ingin mengecup. Ah ... Kiana menggeleng pelan. Dirinya harus tahu batas.

"Aku akan bantu kamu dan mama."

Kiana menegang. Apa yang dimaksud Dio tentang 'tahu' pastilah berkisar soal masalah keluarganya. Masalah yang bersiap menendangnya dan mamanya menjadi gelandangan ketika pemilik mahkota sebenarnya adalah dirinya dan mamanya.

"Tapi kita harus menikah lagi."

Suara Dio yang dingin itu masih sama. Terbayang dalam benak Kiana masa-masa pernikahannya yang juga tak kalah dingin. Pun bila ia kembali terjerat dalam lubang yang sama, pasti rasanya tak jauh beda.

"Kalau kamu mau bantu, kenapa harus dengan syarat menikah lagi?"

Laki-laki itu diam sesaat. Dibuangnya pandangan pada jalanan di luar sana. Lalu lalang orang setengah berlari, juga mendung yang kini beralih menjadi hujan berirama deras.

"Eyang ingin kita rujuk."

Kiana tahu bahwa tidak boleh berharap sedikitpun pada manusia bernama Dionata Dierja. Sebab semua harapan-harapan Kiana yang berkaitan dengan Dio selalu berakhir dengan sakit hati.

Berharap dicintai balik, misalnya.

Berharap ajakannya menikah lagi adalah karena dirinya, contohnya.

"Aku nggak bisa."

"Kamu harus."

"Aku nggak bisa, Dio."

"Kamu butuh aku, paling tidak demi mamamu."

Kiana memijit pelipisnya pelan. "Tapi kamu nggak butuh aku. Untuk apa aku harus menikah ... 'lagi' ... dengan orang yang bahkan nggak butuh aku. Satu-satunya orang yang kamu butuh dalam hidup kamu hanya Rosa."

Dio tidak mengelak. Ia sepenuhnya diam. Matanya yang begitu Kiana kagumi itu sesaat tertutup. Menunjukkan betapa ia setuju dengan apa yang diucapkan Kiana, namun ia juga sepertinya terjepit. Eyang dan eksistensinya adalah primordial dalam kehidupan seorang Dierja. Walau entah bagaimana seorang Rudi Ramlie Dierja dikatakan membutuhkan dirinya.

"Maaf, Dio. Aku nggak bisa."

Kiana tak ingin terjebak kembali dalam perasaannya sendiri. Kiana tak ingin dikecewakan oleh harapannya sendiri. Kiana sungguh tidak ingin ... berjuang sendirian lagi.

Perempuan itu bangkit. Dilangkahkan kakinya menjauh, meninggalkan Dio yang masih berdiam diri tak mencegah. Dilupakannya semua yang ia dengar hari ini. Dihapuskannya kenangan yang sialnya bermunculan lagi.

Mulut Kiana mengumpat, sayang ... hatinya ternyata masih mendamba.

^^^^^

TO BE CONTINUED

Jangan lupa like dan komentar ya

Bab 01

Jangan lupa tekan like dan komentarnya ya

...^^^^^...

...11 Januari 2018...

"Kawin ... kawin ... hari ini aku kawin," ledek Maura sambil bernyanyi. Disebelahnya, Andara tertawa menambah semarak. Merona pipi Kiana, semakin riuh mereka menggodanya.

"Selamat ya Kiyul, happily ever after. Pokoknya lo harus bahagia, bahagia, selalu bahagia. Semoga kita semua cepet dapat ponakan lucu."

Maura mengucapkan selamat sembari tangannya menyalami Kiana. Andara tidak mengatakan apapun, ia hanya memeluk Kiana lebih lama dari yang lainnya. Bahkan bila Maura tidak menariknya paksa, antrian salam-salaman di atas pelaminan pasti bisa mengular sampai 500 meter panjangnya.

"Lo jangan macam-macam ya sama konco kenthel gue. Lo harus bahagiain Kiana ya Dio."

Itu ancaman dari Andara pada Dio sesaat sebelum turun dari pelaminan. Laki-laki yang sudah sah berstatus sebagai suami Kiana itu hanya mengatakan 'oke' dengan wajahnya yang selalu ogah berekspresi. Selalu terkesan dingin dan sulit ditebak. Tipe yang paling tidak disukai Maura, namun ternyata sanggup membuat sahabatnya, Kiana, tergila-gila sejak SMA.

Ini pesta pernikahan Kiana Ayu Ardiona dengan Dionata Dierja. Bukan sembarang pesta, The Ritz-Carlton Jakarta, Pacific Place Hotel, adalah tempat dimana Klan Dierja menunjukkan kekayaannya. Pernikahan putra bungsu Benny Tjipto Dierja ini menjadi salah satu pesta mewah dengan tamu undangan yang mencapai 3000 orang. Rekan dan kolega dari berbagai lini, bahkan artis ibukota, masuk ke dalam jajaran tamunya.

"Kamu pegel?"

Dio menoleh pada Kiana yang nampak sedikit gelisah. Perempuan itu sesekali nampak terlihat tidak nyaman dengan sepatunya.

"Kaki aku sakit, heels-nya bikin nggak nyaman."

Dio mengerti. Tangannya tampak memberi isyarat pada seseorang, lalu pria berpakaian rapi dengan jas menghampirinya. Laki-laki itu nampak membisikkan sesuatu dan orang yang dipanggilpun berlalu.

Sesaat kemudian, pembawa acara yang merupakan artis kondang Raffi Ahmad dan Irfan Hakim meminta pengantin untuk melakukan dansa di tengah ballroom yang indah bertabur bunga. Tentu saja Kiana meringis, mengingat kakinya mungkin akan sangat sakit bila dipaksakan berdansa dengan sepatu tak nyaman miliknya.

Ah ... andai ia bisa menolak ketika ibunda Dio memilihkan untuknya.

Namun, hal yang membuat tamu undangan tersenyum dan riuh adalah ketika Dio berjongkok, membantu Kiana melepaskan heels miliknya yang menyakitkan dan menggantinya dengan flat shoes yang tak kalah indah di kaki Kiana.

"Sekarang udah lebih baik."

Kiana tahu hatinya berbunga-bunga. Ungkapan menggelikan perihal seperti tergelitik oleh ratusan kupu-kupu di perut memang benar adanya. Kiana tersipu, merona dan jantungnya berdetak tak keruan.

Dalam dansanya malam itu, Kiana seperti dapat melihat binar-binar bahagia dalam rumah tangganya nanti. Menjadi wanita yang dijadikan ratu, dicintai sepenuh hati, untuk kemudian menjadi ibu dan membesarkan mereka bersama laki-laki yang dikaguminya selama Sembilan tahun lamanya.

Kiana yakin ia akan sebahagia itu.

Sayangnya, itu hanya mimpi Kiana.

Mimpi yang ternyata berbeda dengan mimpi yang Dio punya.

^^^^^

Sudah satu bulan dan sepi itu ternyata sememilukan itu. Kiana tumbuh dengan limpahan kasih sayang, menjadi pribadi ceria dan riang dengan lingkungan dan teman yang menyenangkan. Tak ada kata sepi dalam kamusnya. Tak ada sama sekali.

Hingga ... ketika ia berkenalan dengan sepi yang dibawa Dio, Kiana terkejut.

Sangat terkejut.

Sudah satu bulan dan Kiana rasa itu berlebihan.

Malam pernikahan yang mendebarkan itu selalu Kiana nantikan, meski nyatanya tak juga kunjung datang. Dio tak pernah membawanya pada mereka. Entah apa yang salah, nyatanya begitulah adanya.

Awalnya, Kiana kira laki-laki itu kelelahan. Sebab setelah resepsi selesai dan mama papa menghadiahkan suite room dengan pernak-pernik khas pengantin baru, Dio justru tertidur bahkan ketika Kiana baru saja selesai mandi dan bersih-bersih.

Kiana mafhum.

Malam setelahnya, ketika mereka akhirnya menempati rumah mereka sendiri, dimana Kiana berpikir akan pasti menyenangkan dan mendebarkan sebab mereka bisa bebas melakukan apa saja, nyatanya laki-laki itu justru sibuk di sofa dengan laptopnya.

Malam-malam berikutnya dan terus berikutnya pun sama.

Lalu, ternyata sudah satu bulan saja Kiana menanggung kecewa.

"Apa ada yang salah sama aku?"

Malam ini, dengan lingerie miliknya yang berwarna maroon, perpaduan antara sexy dan anggun, Kiana menghampiri Dio yang masih duduk di sofa bersama laptopnya. Itu benar-benar langkah berani Kiana untuk pertama kalinya. Di mana ia menggunakan pakaian terbuka, menampilkan separuh dari belahan dadanya juga punggungnya yang indah di depan suaminya.

Dio menoleh kearah Kiana sesaat untuk kemudian pandangannya fokus kembali pada laptop. "Nggak ada, Kia."

"Terus kenapa kamu begini?"

Dio melepaskan kacamatanya. "Karena aku nggak bisa."

"Kamu impoten?" Teriakan terkejut Kiana cukup nyaring. Membuat Dio menoleh dengan matanya yang menajam; tidak terima.

"Nggaklah."

"Terus?"

"Ya nggak bisa aja."

"Berarti kamu impoten," Kiana ngotot.

"Bukan, Kia." Dio semakin tidak terima.

"Terus apa dong?"

Kiana mengambil paksa laptop Dio kemudian menarik tangan suaminya tersebut. Perempuan itu memaksa suaminya berdiri. Saling berhadapan, membuat sesaat Dio mengekspos tubuhnya dalam balutan lingerie dan kemudian membuang muka ke sembarang arah.

Hati Kiana mencelos melihat itu.

"Kamu nggak berhasrat melihat aku yang sudah seperti ini?"

"Ini karena aku benar-benar nggak bisa, Kia."

"Tapi kita suami istri, Dio. Sah secara agama dan Negara."

"Tapi aku nggak bisa."

"Kenapa?" histeris Kiana.

"Karena aku nggak cinta sama kamu, Kia."

Tepat ketika jawaban Dio meluncur, Kiana menarik tangan Dio, diraihnya dagu tegas laki-laki itu untuk kemudian diciumnya paksa. Ciuman Kiana yang menuntut itu ternyata hanya aksi sepihak sebab Dio masih bergeming. Ia tidak membalas ciuman Kiana bahkan ketika Kiana memaksa Dio membuka mulutnya dan memagutnya lebih dalam. Cukup lama hingga akhirnya isakan Kiana menjadi penanda bahwa ciuman itu berakhir.

Kiana pergi ke dalam kamarnya dengan perasaan hancur malam itu. Merasa diri terhina, dipermalukan, tak berharga. Dengan sisa malam yang terus bergerak, Kiana mengisinya dengan isak pilu dan airmata.

^^^^

Setelah kejadian semalam, Kiana enggan untuk keluar kamar. Hatinya sakit namun perasaan malunya justru jauh lebih besar. Bagaimana tidak malu, Kiana sudah memberanikan diri menggunakan lingerie berenda yang nyaris mempertontonkan sebagian tubuhnya, juga mencium paksa suaminya, namun yang didapatkannya adalah pernyataan bahwa Dio menyukai wanita lain.

Kiana tidak pernah menyangka, tentu saja.

Entah Kiana yang terlalu menyukai Dio hingga melupakan fakta-fakta di lapangan, atau memang karena Dio yang pandai berpura-pura. Sebab ini pernikahan seperti lazimnya kebanyakan orang. Bukan dijodohkan paksa.

Kiana dan Dio sudah saling mengenal selama Sembilan tahun lamanya. Dulu, Dio adalah anak baru di sekolah Kiana saat pertengahan semester 2 di kelas 1 SMA. Seperti kebanyakan kisah cinta, Kiana langsung jatuh cinta pada si pendiam nan rupawan di kelasnya itu. Sesepele Dio menggendongnya menuju UKS ketika ia jatuh pingsan di hari pertama jadwal menstruasinya. Kiana memang mengalami desminore yang lumayan menyakitkan.

Ia dan Dio berteman, tentu saja. Sebatas teman yang say hello saat bertemu. Pun ketika Kiana mati-matian belajar agar bisa masuk ke ENS Paris demi bisa satu perguruan tinggi dengan sang pujaan hati, Dionata Dierja.

Apa Kiana pernah menjalin kasih dengan Dionata?

Jawabannya, iya.

Satu bulan sebelum pernikahan.

Satu bulan yang membuat Kiana yakin bahwa dirinya dan Dio memang berjodoh.

Satu bulan yang sejatinya adalah satu bulan pertama akhirnya Dio dan Rosa berpisah.

Dan sekarang Kiana baru tahu fakta itu ternyata bisa menjadi duri dalam daging bagi pernikahannya.

"Ini udah jam dua siang. Makan, Kia."

Kiana menyesal bahwa ia tidak mengunci pintu kamarnya sebab berharap Dio akan menyusulnya, meminta maaf padanya semalam. Walau kenyataannya, tidak sama sekali.

Kiana masih enggan bangkit. Ia memilih duduk berdiam diri menghadap jendela besar di kamarnya yang terbuka lebar. Membiarkan semilir angin menerpa rambutnya.

"Nanti asam lambung kamu kumat."

Kiana tahu, Dio berdiri tak jauh dari tempatnya duduk membelakangi. Namun, sedikit pun, Kiana enggan bergerak. Matanya yang sembab dan bengkak masih terus melihat ke luar jendela. Pemandangan dari lantai dua sejatinya hanyalah jalanan dan atap rumah orang. Namun Kiana menikmati itu dibandingkan harus menjadikan Dio objek matanya.

"Siapa orangnya?"

Suara Kiana pelan. Bercampur baur dengan suara kendaraan yang lewat dan rasa sedih di dalamnya. Kiana tentu saja terpukul lahir batin.

"Enggak perlu dibahas."

Dio yang dingin.

Dio yang tertutup.

Dio yang ternyata sekejam itu.

"Ah ... Rosa, ya?"

Tak ada jawaban dan sepi sesaat mengungkung keduanya.

"Aku mau pulang."

"Kemana?"

"Rumah mama."

"No, Kia."

"Aku mau pulang, Dio."

"Oke, tapi aku antar kamu pulang."

Dan di hari yang sama, Kiana benar-benar pulang ke rumah orang tuanya diantar oleh Dio. Saat sampai di sana, anehnya, Dio dan kiana bersikap layaknya tak terjadi apa-apa. Sebab bagi Kiana, kesehatan ayahnya adalah yang terpenting. Tak lucu bila Kiana menceritakan aib rumah tangganya untuk kemudian ayahnya harus terkejut dan sakitnya yang complicated kambuh.

Saat mamanya bertanya perihal kenapa Kiana pulang, Dio yang maju memberikan alasan. Dirinya sedang sibuk mengurus project sehingga akan sering lembur dan merasa kasihan melihat Kiana sendirian. Setidaknya, Dio akan menitipkan Kiana di rumah orang tuanya selama seminggu lamanya.

Kiana tahu, itu batas waktu yang diberikan suaminya.

Bahwa ia harus kembali ke rumah mereka.

^^^^^^

TO BE CONTINUED

Jangan lupa like dan komentar ya

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!