Alpha adalah pemimpin dari sekumpulan werewolf dalam satu Pack. Werewolf yang terpilih menjadi seorang Alpha biasanya sangat kuat dan memiliki jiwa kepemimpinan. Tugas Alpha melindungi dan melakukan yang terbaik bagi rakyatnya. Alpha seorang werewolf hanya memiliki satu pasangan abadi sampai mati
Beta adalah pemimpin kedua setelah Alpha atau second in command. Bahasa mudahnya sih wakil dari Alpha. Ia juga ikut turun tangan mengurusi urusan Pack ketika Alpha sedang sibuk. Dia juga bisa membuahi Omega. Role ini sering di hilangkan, tetapi juga sering dipakai untuk menggantikan posisi Omega.
Gamma adalah pemimpin ketiga atau third in command yang statusnya dibawah Beta. la memiliki wewenang untuk melatih werewolf lainnya.
Luna adalah werewolf perempuan yang ditakdirkan untuk Alpha. la adalah pasangan abadi sang Alpha. Biasanya kalau Alpha sudah menemukan Lunanya maka ia akan segera menandainya dengan menggigit leher sang gadis, hal ini dilakukan untuk menunjukkan pada werewolf lain bahwa wanita ini sudah ada yang memiliki.
Omega adalah werewolf yang statusnya paling rendah diantara serigala yang lain. Tetapi terkadang menjadi makhluk untuk memuaskan para Alpha sebelum menemukan Matenya. Omega lelaki memiliki kemampuan untuk di buahi atau mengandung, biasanya ketika masa in- Heat. Jika Omega telah menjadi Mate sang Alpha, maka sang Alpha akan selalu posesiv padanya. Omega memiliki kemampuan untuk melubrikasi dirinya sendiri sebelum mating.
Rogue adalah werewolf yang tidak terikat
dalam Pack. Artinya mereka serigala liar yang suka menghancurkan Pack-pack kecil. Mereka sangat berbahaya. Tempat tinggalnya di gua atau di hutan-hutan. Biasanya juga mereka menjadi serigala pengintai bila ada yang memintanya.
Pack lebih mirip seperti Klan. Satu Pack hanya dipimpin oleh satu Alpha. Besar kecilnya sebuah Pack werewolf ditentukan oleh jumlah anggota mereka, semakin banyak jumlah anggotanya maka semakin kuat juga Pack tersebut.
Moon Goddess adalah dewa atau dewi yang menjodohkan werewolf laki-laki dan werewolf perempuan.
Mate adalah pasangan abadi. Seorang werewolf laki-laki atau Werewolf perempuan ketika menemukan Matenya maka ia akan merasa mabuk berat dan candu dengan mencium bau pasangannya saja, walau dalam jarak beberapa meter jauhnya. Bila seorang werewolf me-reject pasangannya maka ia akan merasakan sakit yang teramat sakit bahkan hidupnya bisa hancur. Jika seorang Omega atau jenis serigala perempuan lainya telah di tandai oleh Mate mereka, maka bau mereka telah tercampur dengan Mate mereka, sehingga dia tidak akan didekati oleh serigala lainya.
Hunters itu biasanya yg bertugas pemburu jarak dekat
Watcher itu biasanya manusia yang udah dipercaya sama bangsa ww buat urusan di dunia manusia. Jadi dia tau semua tentang werewolf itu tapi bukan bagian dari pack. Semacam asisten pribadi.
Half quarter manusia yang mempunyai nenek / buyut seorang makhluk supernatural jadi misalnya dia werewolf dia cuman kebagian sedikit kekuatannya misalnya cuman bisa baca pikiran doang/cuman punya penciuman yang tajam. Intinya dia hampir sama kayak manusia. Beda sama half yaa. Istilah-Istilah lain
Heat, saat di mana hasrat biologis untuk berhubungan seks mulai menjadi- jadi dan sampai di luar kendali. Biasanya dalam kondisi InHeat inilah para omega akan mengekuarkan bau Fromon yang kuat. Biasanya ini terjadi selama 1 minggu, yang dapat memicu datangnya Heat juga adalah bau Feromon yang kuat dari Mate mereka.
Mating, Proses perkawinan/penyatuan sekaligus menandai Omega sebagai Mate dan membuat si pasangan mengandung.
Feromon, Bau khas yang biasanya di hasilkan oleh masing-masing individu. Baunya akan lebih kuat di saat saat tertentu seperti, pasangan Mate sedang mengalami fase InHeat, atau saat Pasangan Mate mulai mengalami perubahan tak terkendali pada wujud serigalanya.
Loreon Valtor melangkah keluar dari lift yang berhenti di lantai 7, menaiki koridor yang panjang menuju pintu apartemen Valerie. Meskipun langkahnya tenang, aura yang ditinggalkannya terasa berat dan tegang. Setiap langkahnya menggema di lorong yang sunyi, menciptakan ketegangan yang tak terkatakan.
Namun, saat ia mendekati pintu apartemen itu, sesuatu yang tak terduga tercium olehnya. Sebuah aroma harum yang sangat khas, sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Sebuah wangi yang memikat, sekaligus menyengat, membuat perasaan yang selama ini tertahan seakan terbuka. Aroma itu bukan hanya sekedar bau—ia adalah sesuatu yang menggetarkan naluri liar dalam dirinya.
"Mate...," suara dalam dirinya, Leon—werewolf yang ada dalam dirinya—terdengar begitu jelas, memekakkan telinga. Jeritan itu terdengar seolah menggelegar, memanggil dengan penuh keinginan, "Kita akhirnya menemukannya! Dia... Mate kita! Cepat temukan dia, Loreon! Kita telah mencarinya selama ribuan tahun!"
"Diamlah, Leon!" Loreon hampir tidak bisa menahan suara kasar yang keluar dari mulutnya. "Ini bukan saatnya. Ada hal yang lebih penting yang harus aku lakukan. Jangan mengganggu."
Sifat dingin dan tajam Loreon terasa begitu kuat. Dalam sekejap, ia menekan perasaan yang mulai terbangun di dalamnya, berusaha untuk tetap fokus pada misi yang lebih penting. Tidak peduli seberapa kuat naluri werewolf-nya mendesaknya, tugas adalah prioritas utamanya. Tidak ada yang bisa mengalihkan perhatian dari pekerjaan yang ada. Hubungan dengan wanita? Itu bukan urusannya. Bukan saatnya untuk membiarkan perasaan menguasainya.
Loreon adalah seorang Gamma dalam keluarga Valtor, jauh lebih rendah tingkatannya dibandingkan dengan saudara tirinya, Lucian, seorang Alpha. Lucian, yang memiliki kekuasaan lebih besar, tak jarang dianggap lebih unggul dalam segala hal. Loreon tahu tempatnya, dan tidak pernah mencoba mengubah takdirnya, meskipun nalurinya selalu berontak. Semua yang dia inginkan sekarang adalah menjalankan misinya dengan sempurna. Itu jauh lebih penting daripada apa pun.
Akhirnya, ia berdiri di depan pintu apartemen Valerie, merasakan bagaimana perasaan Leon semakin kuat. Tapi Loreon tahu, ini bukan waktunya untuk berurusan dengan mate-nya. Misi dan tujuan yang lebih besar menantinya.
Loreon mengetuk pintu apartemen Valerie dengan dua ketukan tegas, tanpa jeda, seperti dirinya yang selalu langsung pada intinya. Ia tak peduli apakah Valerie sedang sibuk atau bahkan tertidur. Waktu adalah sesuatu yang tidak ia buang percuma, terlebih dengan misi mendesak yang sedang ia emban.
Beberapa detik berlalu, dan suara langkah kaki terdengar dari balik pintu. Loreon berdiri diam, tangannya disilangkan di dada, wajahnya tetap datar tanpa ekspresi. Begitu pintu terbuka, Valerie muncul dengan gaun santainya, rambut pirang panjangnya tergerai. Raut wajahnya sedikit terkejut saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu.
"Loreon?" Valerie memiringkan kepala, suaranya penuh rasa ingin tahu. "Aku tidak menyangka kau akan datang langsung. Bukankah biasanya kau hanya mengirim pesan?"
Loreon tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Valerie dengan mata kelabu yang dingin, membuat wanita itu sedikit bergidik meski ia sudah cukup mengenal Loreon selama bertahun-tahun.
"Ada yang perlu dibahas," jawab Loreon akhirnya, suaranya rendah dan berat, seolah setiap kata yang keluar adalah bagian dari perintah. "Penting. Aku tak punya banyak waktu."
Valerie menghela napas kecil, lalu mempersilakannya masuk. "Baiklah, masuklah. Tapi aku tidak mau berurusan dengan masalah besar seperti terakhir kali. Rumahku hampir berantakan karena itu."
Loreon melangkah masuk, aroma mate itu kembali menusuk indra penciumannya. Ia menggertakkan rahangnya, berusaha mengabaikan keinginan Leon yang terus memberontak dalam pikirannya.
"Dia ada di sini," Leon kembali berteriak, penuh semangat. "Mate kita dekat! Kau bisa merasakannya, bukan? Harum itu... dia ada di sini! Jangan abaikan aku, Loreon!"
"Diam, Leon!" Loreon mendesis pelan, cukup hanya untuk dirinya sendiri. Ia menggenggam tinjunya erat, berusaha keras untuk tetap tenang. "Aku bilang diam. Ini bukan waktunya. Kau tahu apa yang sedang kita hadapi."
"Loreon?" Valerie menatapnya bingung, menyadari ketegangan di wajah pria itu. "Kau baik-baik saja?"
Aku akan ke kamar mandi dulu. Tunggu sebentar," ujarnya santai sambil melangkah pergi tanpa menunggu jawaban.
Loreon hanya mengangguk kecil, mengambil tempat di sofa tanpa melepas ekspresinya yang datar. Tangannya menyentuh pinggir sofa, sementara pikirannya sibuk menekan gelombang emosi liar yang terus dihembuskan oleh Leon. Aroma itu masih terasa jelas, menusuk dan mengganggu, seperti magnet yang tak henti menarik perhatiannya.
Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara langkah kaki cepat dari arah pintu. Sebuah suara ceria memecah keheningan.
"Vale! Di mana kau? Cepat keluar! Aku bawa sesuatu untukmu!"
Loreon segera menajamkan indra pendengaran dan penglihatannya. Suara itu berasal dari seorang perempuan yang baru saja masuk ke apartemen, menenteng sebuah kotak besar di tangannya. Sosok itu melangkah masuk dengan santai, tanpa menyadari keberadaannya di ruang tamu.
Wanita itu—muda, berpenampilan sederhana, tetapi memancarkan keanggunan alami—berjalan mendekat dengan ekspresi penuh semangat. Matanya yang besar tampak bersinar saat ia memanggil nama Valerie lagi.
Namun, bagi Loreon, semua itu hanya menjadi latar belakang. Yang benar-benar menyita perhatian adalah aroma itu. Wangi yang sejak tadi mengganggunya kini menjadi semakin kuat, menguasai seluruh pikirannya.
"MATE!" Leon berteriak liar dalam pikirannya, memaksa kontrol Loreon hampir runtuh.
Tanpa berpikir panjang, Loreon berdiri dari sofa dengan kecepatan luar biasa, tubuhnya melesat seperti bayangan. Dalam hitungan detik, tangannya yang kuat sudah melingkar di leher wanita itu.
Sosok wanita itu terhenti, matanya melebar dalam keterkejutan yang penuh ketakutan. Kotak yang dibawanya terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai dengan bunyi keras.
"Siapa kau?" suara Loreon rendah, tajam, dan penuh ancaman. Matanya yang kelabu bersinar dengan intensitas yang mematikan, seperti mata seekor predator yang menemukan mangsanya.
Wanita itu, yang tak lain adalah Elowen, berusaha menarik napas dengan susah payah. Tangannya memegang erat pergelangan tangan Loreon, mencoba melepaskan cengkeramannya. Tapi kekuatannya jelas tak sebanding dengan pria itu.
"Lepaskan... Aku... aku hanya ingin..." suaranya terputus-putus, tergagap karena tekanan di lehernya.
"Loreon, hentikan! Apa yang kau lakukan?!" Valerie muncul dari kamar mandi, matanya melebar melihat pemandangan di depannya. Ia berlari mendekat, mencoba menarik tangan Loreon yang masih mencekik Elowen.
"Dia siapa?" Loreon bertanya lagi, suaranya tetap dingin, seolah tidak peduli dengan interupsi Valerie.
"Dia temanku! Elowen! Dia tidak ada hubungannya dengan ini, Loreon! Lepaskan dia!" Valerie berseru panik, berusaha menghentikan kekuatan yang jelas jauh melampaui miliknya.
Loreon akhirnya melepaskan Elowen, yang terjatuh ke lantai sambil terengah-engah, memegangi lehernya yang memerah. Tapi tatapan Loreon tidak pernah surut. Matanya tetap menatap Elowen dengan intens, mempelajari setiap detail dirinya.
"Dia..." Leon kembali bersuara dalam pikiran Loreon, kali ini dengan nada penuh kemenangan. "Dia adalah mate kita. Kau tidak bisa menyangkalnya, Loreon. Itu dia."
Loreon tetap berdiri di tempatnya, ekspresinya masih keras dan tak terbaca. Tapi di dalam dirinya, perang antara naluri dan logika baru saja dimulai. Elowen, wanita yang tampak rapuh di depannya, adalah mate-nya—takdir yang selama ini ia coba hindari.
Valerie berdiri dengan tangan terlipat di dada, wajahnya memerah karena marah. Ia menatap Loreon dengan sorot mata tajam, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya.
"Apa yang kau pikirkan, Loreon?! Apa alasanmu menyerang Elowen? Dia temanku! Kau benar-benar melewati batas kali ini!" suara Valerie meninggi, penuh kemarahan.
Loreon menatap Valerie dengan ekspresi dingin yang tidak berubah, lalu dengan tenang menjawab, "Aku pikir dia ancaman."
"Ancaman?! Kau bercanda?!" Valerie hampir berteriak, matanya melebar karena terkejut. "Dia membawa kotak kue untukku! Bagaimana kau bisa menganggap itu ancaman?"
Loreon mengangkat satu alis, nada suaranya tetap datar, tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Dia masuk tanpa mengetuk. Untuk semua yang kau tahu, dia bisa saja membawa sesuatu yang membahayakanmu."
"Dia temanku, Loreon! Teman!" Valerie menegaskan, nadanya semakin tinggi. "Kau bahkan tidak memberi dia kesempatan untuk bicara sebelum langsung mencekiknya! Kau tahu betapa kasarnya itu?!"
Loreon memutar matanya sedikit, gestur kecil yang menunjukkan betapa ia tidak ingin mendengar ceramah ini. "Aku bertindak sesuai naluri. Jika kau merasa itu kasar, anggap saja aku sedang melindungimu."
"Melindungiku? Dari apa? Dari wanita yang membawa kue?!" Valerie mendekat, telunjuknya hampir menusuk dada Loreon. "Dengar, Loreon, aku tahu kau dingin, tapi ini sudah kelewatan! Kau hampir membunuh temanku!"
Sementara Valerie terus mengomelinya, suara Leon menggema dalam kepala Loreon, penuh amarah yang memuncak.
"Bodoh! Kau hampir membunuh mate kita! Apa kau kehilangan akal sehatmu, Loreon?!" Leon meraung, nadanya dipenuhi kekecewaan. "Dia adalah mate kita! Takdir kita! Dan kau malah menyerangnya seperti seorang pengecut!"
"Diam, Leon," Loreon membalas dalam pikirannya, berusaha tetap fokus pada Valerie. Tapi Leon tidak mau berhenti.
"Tidak, aku tidak akan diam! Kau nyaris menghancurkan apa yang selama ini kita cari! Kau tahu betapa sulitnya menemukan mate kita, dan sekarang kau memperlakukannya seperti itu?!" Leon terus mengumpat, membuat kepala Loreon berdenyut karena frustrasi.
Loreon memejamkan mata sejenak, berusaha menekan gelombang emosi dari Leon. Tapi suara itu semakin keras, semakin mengganggu.
"Kau tidak pantas mendapatkannya jika kau memperlakukannya seperti ini! Aku bahkan malu berbagi tubuh denganmu, Loreon! Kau tidak tahu apa-apa tentang menghargai takdir!"
Akhirnya, Loreon tidak tahan lagi. Dalam pikirannya, ia melawan balik dengan nada tajam. "Cukup, Leon! Aku tidak peduli dengan omong kosong ini sekarang! Ada hal yang lebih penting daripada memikirkan mate-mu yang cengeng!"
Leon terdiam sejenak, terkejut oleh kemarahan Loreon. Tapi ia segera membalas dengan dingin, "Kau akan menyesal, Loreon. Kau tidak bisa menghindari takdir kita. Mate adalah bagian dari kita. Jika kau terus menyangkal, aku akan memutus midlling kita!"
"Lakukan saja, aku tidak peduli," Loreon membalas dengan penuh kejemuan, nadanya sarkastik. "Diamlah, dan biarkan aku melakukan apa yang harus kulakukan."
Leon menggeram marah, dan detik berikutnya, Loreon merasakan hubungan mereka terputus. Kehilangan midlling itu seperti suara hening yang tiba-tiba memenuhi pikirannya. Tidak ada lagi bisikan Leon, tidak ada lagi gangguan.
Ia kembali fokus pada Valerie, yang masih memandangnya dengan penuh kekecewaan.
"Kau tidak akan pernah berubah, ya?" Valerie mendesah panjang. "Selalu bertindak tanpa berpikir, selalu menganggap orang lain tidak penting."
"Ini bukan soal penting atau tidak, Valerie," Loreon menjawab dingin, suaranya seperti bilah es. "Aku tidak punya waktu untuk main-main. Jika dia merasa tersinggung, itu urusannya, bukan urusanku."
Elowen, yang sejak tadi mendengarkan sambil berusaha memulihkan diri, menatap Loreon dengan mata penuh ketakutan. Kata-katanya, nada suaranya, semuanya membuat pria itu terasa seperti gunung es yang tidak bisa digerakkan—dingin, tajam, dan tidak peduli.
" Kalau kau tidak bisa menjaga sikapmu, lebih baik kau pergi saja," kata Valerie dengan tegas. "Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti orang lain di sini."
Loreon tetap berdiri di tempatnya, tidak sedikit pun terpengaruh oleh ancaman Valerie. Matanya masih terpaku pada Elowen, mempelajari setiap gerakan kecil yang dibuat wanita itu. Ia merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan meskipun ia mencoba.
Namun, ia tidak menunjukkan apa pun di wajahnya. Dengan dingin, ia berkata, "Aku tidak punya niat menyakitinya lebih jauh. Jika aku ingin melakukannya, kau tahu itu sudah terjadi."
Valerie mengepalkan tangan, jelas-jelas kesal dengan jawaban itu. Tapi sebelum ia sempat membalas, Elowen akhirnya membuka mulutnya, meski suaranya lemah.
"Vale... aku... tidak apa-apa," kata Elowen pelan.
Valerie menatap Elowen dengan tatapan prihatin, lalu menghela napas panjang. "Kau terlalu baik, Elowen. Dia jelas salah, dan kau tidak perlu membelanya."
Loreon hanya berdiri diam, menatap kedua wanita itu dengan pandangan kosong.
"aku akan pergi."
"Bagus," Valerie mendesis, masih marah. "Semoga kau belajar untuk tidak bertindak seperti ini lagi, Loreon."
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Loreon berjalan keluar dari apartemen itu, langkahnya tetap tegas dan penuh keyakinan. Namun, di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia meninggalkan sesuatu di belakang—sesuatu yang tidak akan mudah ia abaikan.
Di dalam pikirannya, suara Leon kembali muncul, meskipun jauh lebih lemah. "Kau bodoh, Loreon. Mate kita ada di sana. Kau akan menyesal meninggalkannya."
Loreon mengepalkan tangan, berusaha mengabaikan bisikan itu. Tapi bahkan ia tahu, Leon mungkin benar. Mate-nya ada di sana, dan tidak peduli seberapa keras ia mencoba menghindarinya, takdir mereka tidak akan semudah itu melepaskannya.
...➰➰➰➰...
Valerie menatap Elowen dengan penuh penyesalan. Ia berjongkok di samping temannya, menggenggam bahu Elowen dengan lembut. Wajah Valerie menunjukkan rasa bersalah yang tulus.
"Elowen, aku benar-benar minta maaf," ucap Valerie dengan suara penuh penyesalan. "Loreon... dia memang selalu seperti itu. Dia terlalu berlebihan dalam banyak hal. Aku tidak tahu dia akan bertindak seperti ini."
Elowen terdiam, menatap Valerie sejenak dengan tatapan penuh emosi yang sulit diartikan. Ia masih berusaha menenangkan dirinya, tetapi rasa sesak di dadanya tidak juga mereda.
"Vale," kata Elowen, suaranya rendah tapi tegas. "Aku tidak butuh maafmu. Yang seharusnya meminta maaf adalah dia." Ia menoleh sekilas ke arah Loreon, yang berdiri beberapa langkah dari mereka dengan ekspresi dingin seperti patung.
Valerie menelan ludah, terkejut dengan nada tajam Elowen yang jarang ia dengar. "Aku tahu, Elowen," jawabnya dengan hati-hati. "Tapi... Loreon bukan tipe orang yang meminta maaf."
Elowen tertawa kecil, meskipun tidak ada humor di dalamnya. "Tentu saja tidak. Tipe pria seperti dia pasti selalu merasa benar, selalu merasa punya alasan untuk semua yang mereka lakukan."
"Elowen..." Valerie mencoba menenangkan, tetapi Elowen memotongnya dengan cepat.
"Vale, dia menyerangku tanpa alasan! Aku hanya masuk untuk membawa sesuatu untukmu, dan dia langsung mencekikku seolah-olah aku ini penjahat. Aku bahkan tidak diberi kesempatan untuk bicara!" Elowen menghela napas panjang, suaranya mulai bergetar. "Apa dia selalu seperti ini? Melihat semua orang sebagai ancaman?"
Valerie mencoba memberikan senyum lemah. "Loreon... dia memang terlalu berlebihan. Dia seperti itu karena instingnya."
"Insting?" Elowen memotong dengan nada sarkastik. "Insting apa yang membuat seseorang hampir membunuh tanpa alasan? Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan dia, tapi itu bukan alasan."
Valerie tidak menjawab, hanya menatap temannya dengan penuh iba. Sementara itu, Loreon tetap diam di tempatnya, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Elowen. Ia tidak menunjukkan reaksi apa pun, tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang terasa aneh. Kata-kata wanita itu seolah menusuk lebih dalam dari yang ia harapkan.
Elowen akhirnya menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Ia menoleh kembali ke Valerie, matanya yang sebelumnya penuh amarah kini tampak lebih lelah. "Aku tahu dia temanmu, Vale, tapi aku tidak bisa menerima cara dia memperlakukanku. Kau tahu aku tidak pantas diperlakukan seperti itu."
Valerie mengangguk pelan, merasa tidak ada yang bisa ia katakan untuk membela Loreon. "Aku mengerti, Elowen. Aku benar-benar minta maaf untuk semuanya."
Namun, Elowen hanya menggeleng pelan. "Minta maaflah untukmu sendiri, Vale. Aku tidak butuh itu untukku." Setelah itu, ia berdiri, menghindari menatap Loreon, dan melangkah pergi ke arah meja di dapur untuk mengalihkan perhatiannya.
dalam pikirannya, suara Leon langsung muncul, berbisik penuh kemarahan. "Kau mendengar itu, Loreon? Kau menyakiti Mate kita! Dia terluka karena kau. Kau harus kembali dan memperbaiki ini!"
Loreon menghela napas panjang, tetap diam, mencoba mengendalikan emosi yang mulai menyerangnya. "Diam, Leon. Ini tidak penting. Aku sudah memutuskan."
"Tidak penting? Kau gila, Loreon! Mate kita adalah segalanya! Jika kau terus bersikap seperti ini, kau akan kehilangannya!"
Loreon memejamkan matanya sejenak, menggertakkan giginya untuk meredam amarah yang mulai merayap di dadanya. Ia tahu Leon benar. Kata-kata Elowen tadi terngiang di kepalanya, menggema seperti cermin yang memantulkan kebenaran yang enggan ia akui.
Namun, ia menolak untuk bertindak berdasarkan emosi. Dengan dingin, ia membuka pintu sedikit, tetapi tidak melangkah keluar. Sebaliknya, ia berbicara tanpa menoleh, suaranya datar tapi tajam seperti biasanya.
"Jika kau punya masalah denganku, katakan langsung, jangan lewat orang lain," ucap Loreon dingin, jelas ditujukan untuk Elowen. "Tapi ingat, aku tidak peduli apa pun yang kau pikirkan. Tindakan yang kulakukan adalah keputusan terbaik pada saat itu."
Setelah itu, Loreon menutup pintu dengan satu langkah kecil ke depan, hanya cukup jauh dari ruang utama, tetapi masih dalam jangkauan jika ia memilih kembali. Punggungnya bersandar di dinding, pikirannya penuh dengan pertentangan.
Di dalam dirinya, Leon kembali memekik frustrasi. "Kau bodoh, Loreon! Kau tidak hanya membuat Mate kita membencimu, kau juga membuang kesempatan untuk mendekatinya!Kau membuatnya sakit hati, Loreon. Dan itu salahmu."
Loreon tidak menanggapi, tetapi di dalam dirinya, ia tahu bahwa Leon benar. Namun, ia memilih untuk tetap bungkam, seperti biasa. Baginya, menunjukkan rasa bersalah bukanlah opsinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!