Amira duduk di ruang tamu rumah mertuanya, mengamati setiap sudut ruangan yang tampak rapi namun dingin. Baru kemarin ia dan Angga melangsungkan pernikahan sederhana di balai desa. Meski sederhana, momen itu adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupnya. Kini, ia resmi menjadi istri dari pria yang ia cintai. Namun, ia tak bisa mengabaikan perasaan canggung yang perlahan-lahan menggerogoti hatinya sejak pagi tadi, ketika pertama kali ia melangkahkan kaki ke rumah ini.
Rumah mertuanya cukup besar, dengan cat tembok warna krem yang sedikit kusam. Aroma kayu tua tercium samar dari perabotan di dalamnya. Namun, yang lebih mencolok daripada suasana rumah itu adalah tatapan sinis dari ibu mertuanya, Bu Ratna. Tatapan itu, penuh penilaian, membuat Amira merasa seperti seorang tamu yang tidak diundang.
"Angga, sudah selesai bawa barangnya ke kamar?" suara Bu Ratna terdengar dari dapur, datar dan tanpa emosi.
"Sudah, Bu. Amira juga bantu kok," jawab Angga dengan santai.
Bu Ratna keluar dari dapur sambil membawa secangkir teh, tapi pandangannya tertuju langsung pada Amira. Mata itu menelusuri tubuh Amira dari ujung kepala hingga kaki, seperti menilai pakaian sederhana yang ia kenakan. Amira mencoba tersenyum, tapi yang ia dapatkan hanya anggukan kecil dari Bu Ratna.
"Amira," panggil Bu Ratna dengan nada dingin, "kamu tahu, kan, kalau rumah ini bukan tempat tinggal permanen? Angga cuma sementara di sini sampai kalian bisa cari tempat sendiri."
Amira menelan ludah, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyamannya. "Iya, Bu. Saya mengerti. Kami hanya sementara di sini."
Bu Ratna mengangguk singkat, lalu kembali ke dapur tanpa sepatah kata lagi. Amira merasa seperti dirinya adalah beban di rumah ini, bukan bagian dari keluarga baru seperti yang ia harapkan.
Amira mencoba mengalihkan pikirannya. Ia mengingat hari-hari sebelumnya, ketika ia masih tinggal bersama neneknya di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Nenek adalah satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah kedua orang tuanya meninggal dunia dalam kecelakaan mobil ketika ia masih kecil. Kehidupan bersama neneknya penuh keterbatasan, tetapi ia merasa dicintai dan diterima.
Namun, takdir berkata lain. Neneknya jatuh sakit beberapa bulan sebelum Amira menikah. Dalam sakitnya, nenek selalu berkata, "Amira, kamu perempuan kuat. Jangan pernah biarkan dunia membuatmu merasa rendah." Kata-kata itu selalu menjadi penguat hatinya, terutama sekarang, ketika ia merasa kehadirannya tidak diinginkan oleh ibu mertuanya.
Hari mulai menjelang malam, dan Amira sibuk membantu Bu Ratna di dapur. Meski ia ingin mendekatkan diri dengan ibu mertuanya, usaha itu tampaknya sulit. Setiap kali Amira mencoba memulai percakapan, Bu Ratna hanya menjawab seperlunya.
"Bu, boleh saya yang memotong sayur ini?" tanya Amira dengan hati-hati.
"Kalau kamu bisa, ya potong saja. Tapi jangan sampai terlalu tebal, ya. Saya suka sayur yang rapi," jawab Bu Ratna tanpa menoleh.
Amira mengambil pisau dan memulai tugasnya. Ia berusaha keras untuk melakukannya dengan baik, tapi tangannya sedikit gemetar. Satu irisan terlalu tebal, dan ia langsung merasakan tatapan tajam Bu Ratna.
"Itu terlalu besar, Amira. Kalau kamu tidak terbiasa masak, bilang saja. Jangan merusak bahan makanan," tegur Bu Ratna.
Amira merasa dadanya sesak. Ia hanya ingin membantu, tapi tampaknya apa pun yang ia lakukan selalu salah di mata ibu mertuanya.
Setelah makan malam, Amira membersihkan meja sementara Angga duduk di ruang tamu bersama ibunya. Ia bisa mendengar percakapan mereka dari dapur.
"Angga, kenapa kamu tidak mencari kontrakan saja? Rumah ini kecil, dan kita sudah terlalu banyak orang di sini," kata Bu Ratna dengan nada tak sabar.
"Bu, kami belum punya cukup tabungan. Lagi pula, ini cuma sementara," jawab Angga dengan tenang.
"Sementara itu bisa berbulan-bulan, Angga. Dan kamu tahu sendiri, saya ini bukan tipe orang yang suka ada orang asing di rumah."
Kata-kata itu terasa seperti tusukan di hati Amira. "Orang asing," gumamnya pelan. Ia tahu dirinya bukan siapa-siapa, tapi mendengar itu diucapkan langsung terasa menyakitkan.
Malam itu, setelah semuanya tidur, Amira dan Angga duduk berdua di kamar kecil yang mereka tempati. Kamar itu dulunya adalah ruang penyimpanan, tapi sekarang disulap menjadi tempat tidur sementara. Meski sempit, Amira merasa lebih nyaman berada di dekat Angga.
"Angga, apa Ibu selalu seperti itu?" tanya Amira pelan.
"Seperti apa maksudmu?" Angga balik bertanya.
"Sepertinya dia tidak suka aku ada di sini," Amira menundukkan kepala.
Angga menghela napas panjang. "Ibu memang keras, Mira. Tapi dia bukan orang jahat. Dia cuma belum mengenalmu lebih dekat. Beri dia waktu."
Amira ingin percaya kata-kata Angga, tapi ia tahu ada sesuatu yang lebih dari sekadar 'butuh waktu'. Dari awal, tatapan Bu Ratna sudah penuh dengan penolakan.
"Aku akan berusaha, Angga. Aku janji," katanya akhirnya, meski hatinya masih diliputi keraguan.
Di tengah malam, Amira terbangun dari tidurnya. Ia duduk di atas kasur, memandang langit-langit kamar yang gelap. Di tengah keheningan malam, ia mendengar suara angin berdesir di luar jendela. Ia memikirkan kembali nasihat neneknya.
Hidup memang tidak mudah baginya. Sebagai anak yatim piatu, ia sudah terbiasa menghadapi pandangan merendahkan dari orang-orang di sekitarnya. Tapi ia selalu berusaha membuktikan bahwa dirinya lebih dari apa yang mereka pikirkan.
Sekarang, ia menghadapi ujian baru. Hidup bersama ibu mertua yang tampaknya tidak menyukainya adalah tantangan besar. Tapi Amira tahu satu hal ia tidak akan menyerah. Baginya, cinta pada Angga adalah alasan terbesar untuk bertahan.
Dengan tekad itu, Amira kembali berbaring, mencoba memejamkan mata. Di dalam hatinya, ia berdoa agar hari-hari ke depan membawa perubahan yang lebih baik.
Dua hari tinggal di rumah mertuanya terasa seperti dua minggu bagi Amira. Waktu berjalan begitu lambat, terutama saat Angga pergi bekerja. Tanpa keberadaan suaminya, ia harus menghadapi Bu Ratna dan Loli, adik iparnya yang berusia 19 tahun, seorang diri. Setiap langkah yang Amira lakukan seolah selalu salah di mata ibu mertuanya.
Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Amira sudah bangun. Ia berharap bisa mencuri waktu untuk menenangkan pikiran sebelum memulai aktivitas. Namun, harapannya pupus saat ia melangkah ke dapur dan menemukan tumpukan piring kotor yang menggunung di wastafel. Bau tidak sedap dari sisa makanan semalam memenuhi udara.
"Amira, itu piring-piring masih belum dicuci sejak semalam. Tolong segera bereskan," kata Bu Ratna dari ruang tamu dengan nada tegas, tanpa memberikan salam pagi.
Amira menelan ludah dan mengangguk. "Baik, Bu."
Tak lama kemudian, Loli muncul dari kamarnya sambil membawa keranjang pakaian kotor yang penuh sesak. Dengan santai, ia menjatuhkan keranjang itu di lantai dapur, tepat di depan Amira.
"Kak Amira, ini cucian aku. Sekalian ya. Aku buru-buru ada janji sama teman," kata Loli tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Amira berhenti sejenak, menatap pakaian-pakaian yang tergeletak begitu saja di lantai. Hatinya memberontak, tapi ia tahu jika ia menolak, suasana rumah akan semakin tegang. Dengan berat hati, ia hanya mengangguk.
"Baik, Loli," jawabnya pelan.
Amira mulai mengerjakan tugasnya satu per satu. Ia mencuci piring-piring kotor sambil sesekali mendengar celotehan dari Bu Ratna yang sedang menelepon seseorang di ruang tamu.
"Iya, memang dari awal saya sudah kurang setuju, tapi Angga tetap ngotot," suara Bu Ratna terdengar jelas. "Ya, kamu tahu sendiri, perempuan seperti itu kan biasanya cuma jadi beban. Apalagi dia anak yatim piatu, enggak ada siapa-siapa."
Amira berhenti menggosok piring. Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hatinya. Tapi ia menggigit bibirnya, berusaha menahan air mata. Ia tidak ingin terlihat lemah di depan mertuanya.
Setelah selesai mencuci piring, Amira melanjutkan dengan mencuci pakaian. Keranjang cucian miliknya, Angga, dan Loli sudah bercampur menjadi satu. Keringat mulai mengalir di dahinya, tapi ia tetap melanjutkan pekerjaannya.
Setiap kali ia merasa lelah, ia mengingat kembali janjinya pada Angga: untuk berusaha bertahan dan membuktikan bahwa dirinya adalah istri yang pantas.
Setelah selesai mencuci pakaian, Amira menjemurnya di halaman belakang. Saat ia sedang menggantung pakaian terakhir, Loli datang menghampirinya.
"Kak Amira, itu bajunya jangan dijemur dekat baju aku, ya. Aku enggak suka kalau bajuku bau cucian orang lain," katanya dengan nada angkuh.
Amira menatap Loli, mencoba memahami apakah gadis itu serius atau hanya bercanda. Tapi tatapan dingin di mata Loli menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh.
"Loli, semua ini sudah bersih. Tidak ada bedanya," jawab Amira dengan hati-hati.
"Pokoknya aku enggak suka. Kalau Kak Amira enggak mau pindahin, aku sendiri yang akan pindahin nanti," kata Loli sambil melengos pergi.
Amira menghela napas panjang. Ia merasa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk menyenangkan Loli maupun Bu Ratna. Segala upayanya untuk membantu malah berujung pada kritik atau perintah tambahan.
Ketika sore menjelang, Angga pulang dari tempat kerja. Amira menyambutnya dengan senyuman, meskipun hatinya lelah. Ia tidak ingin Angga mengetahui betapa beratnya hari-hari yang ia lalui.
Namun, Bu Ratna segera menyambut Angga dengan keluhan.
"Angga, istrimu itu lambat sekali. Lihat saja tadi pagi, piring-piring baru selesai dicuci setelah hampir setengah hari. Padahal, itu sudah kubiarkan semalaman," kata Bu Ratna sambil melirik Amira.
Amira hanya diam, menundukkan kepala. Ia tahu jika ia membela diri, keadaan hanya akan semakin buruk.
"Bu, Amira itu masih belajar menyesuaikan diri di sini. Kasih dia waktu," jawab Angga dengan nada lembut, tapi tegas.
Amira merasa lega mendengar pembelaan Angga, meskipun ia tahu itu tidak akan mengubah pandangan Bu Ratna terhadapnya.
Di malam hari, Amira sedang membersihkan ruang makan ketika seorang tetangga datang berkunjung. Perempuan itu bernama Bu Santi, seorang teman lama Bu Ratna. Mereka duduk di ruang tamu, berbincang dengan suara yang cukup keras sehingga Amira bisa mendengar percakapan mereka.
"Jadi, ini menantu barumu, Ratna?" tanya Bu Santi sambil melirik Amira sekilas.
"Iya, Bu Santi. Ya, begitulah. Angga bawa dia ke sini, katanya belum punya uang untuk sewa rumah," jawab Bu Ratna dengan nada yang terdengar meremehkan.
Bu Santi tersenyum simpul. "Yah, namanya anak muda, Ratna. Kamu sabar saja. Mungkin nanti mereka bisa lebih mandiri."
"Semoga saja. Tapi ya begini, Bu Santi. Menantu saya ini kurang pengalaman. Semua pekerjaan rumah saja masih berantakan," lanjut Bu Ratna.
Amira mendengar itu dengan hati yang semakin teriris. Ia merasa tidak ada satu pun usahanya yang dihargai.
Malam itu, setelah semua pekerjaan selesai, Amira duduk sendirian di kamar. Angga sedang mandi, dan ia akhirnya memiliki sedikit waktu untuk dirinya sendiri. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba memahami mengapa hidup begitu sulit baginya.
"Tuhan, aku tahu ini adalah bagian dari ujian-Mu. Berikan aku kekuatan untuk bertahan. Berikan aku kesabaran untuk menghadapi semuanya. Dan jika mungkin, lunakkan hati mertuaku agar aku bisa diterima sebagai bagian dari keluarga ini."
Air matanya mengalir pelan, tapi ia segera menghapusnya. Ia tidak ingin Angga melihatnya menangis. Ia bertekad untuk terus berjuang, meski hari-hari yang ia jalani penuh dengan kesulitan.
Di tengah rasa sakit dan kelelahan, Amira masih menyimpan harapan bahwa suatu hari nanti, semua ini akan berubah menjadi lebih baik.
Pagi itu, Amira bangun seperti biasa sebelum matahari sepenuhnya terbit. Angga sudah pergi bekerja, meninggalkan dirinya sendirian di rumah bersama Bu Ratna dan Loli. Amira berpikir mungkin hari ini akan berjalan seperti biasanya berisi pekerjaan rumah yang tiada habisnya. Namun, suara ramai dari ruang tamu membuatnya penasaran.
Ia mengintip dari dapur dan melihat beberapa perempuan berpakaian rapi sedang duduk mengelilingi meja, tertawa dan berbincang. Teman-teman arisan Bu Ratna rupanya datang pagi itu. Amira merasa canggung karena tidak pernah diberi tahu sebelumnya.
“Amira! Ke sini sebentar,” panggil Bu Ratna dengan nada yang sulit diartikan, setengah memerintah, setengah memancing perhatian tamunya.
Amira segera keluar dari dapur dengan hati-hati. Senyumnya dipaksakan, meskipun ada rasa tidak nyaman yang merayap di dadanya.
“Ini dia menantu saya,” kata Bu Ratna sambil melirik Amira dengan tatapan yang dingin.
Beberapa tamu menoleh, menatap Amira dari ujung kepala hingga kaki, seperti menilai seseorang yang sedang mengikuti wawancara kerja. Amira mencoba tersenyum, tapi rasa gugup membuatnya sulit untuk berkata apa-apa.
“Cantik, ya, Bu Ratna,” kata salah satu perempuan, meski nadanya terdengar lebih sebagai basa-basi daripada pujian tulus.
“Cantik sih, iya,” sahut Bu Ratna sambil mengangkat bahunya. “Tapi ya, hanya itu saja. Kalau bicara soal latar belakang, jauh dari harapan. Dia ini anak yatim piatu, lho. Tidak ada keluarga yang bisa diandalkan.”
Amira terkejut mendengar kata-kata itu. Ia merasa seperti dihantam sesuatu yang tak terlihat. Namun, ia hanya bisa diam, tidak tahu bagaimana harus menanggapi.
“Oh, jadi begitu?” tanya salah satu tamu dengan nada mengejek. “Kok Angga mau ya? Padahal kamu, Bu Ratna, biasanya pilih-pilih banget.”
“Ya, itu dia,” jawab Bu Ratna sambil mendesah, seolah menyesali keputusan Angga. “Saya sudah kasih tahu Angga berkali-kali. Kalau mau menikah, carilah yang selevel. Setidaknya punya keluarga yang bisa diajak bicara. Tapi apa boleh buat, namanya anak muda, tidak mau dengar orang tua.”
Amira merasa wajahnya memerah karena malu dan marah. Ia berdiri di sana, seperti seorang anak kecil yang dimarahi di depan kelas. Pandangan beberapa tamu yang mencibir hanya memperparah perasaan itu.
“Bu Ratna, jangan terlalu keras. Mungkin menantu ini bisa belajar,” kata seorang tamu lainnya dengan nada yang sedikit lebih lembut. Perempuan itu, bernama Bu Sari, menatap Amira dengan pandangan kasihan.
“Belajar apa, Bu Sari?” jawab Bu Ratna dengan cepat. “Sudah dua hari di sini saja, pekerjaan rumah banyak yang tidak beres. Kalau saya biarkan, rumah ini bisa berantakan. Angga saja yang terlalu baik hati.”
Kata-kata itu seperti hujan duri yang menyayat hati Amira. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia telah berusaha sebaik mungkin, tetapi ia tahu bahwa Bu Ratna tidak akan mendengarkannya.
Setelah beberapa menit berdiri di sana, mendengarkan percakapan yang semakin lama semakin menyakitkan, Amira merasa tidak kuat lagi. Dengan langkah pelan, ia kembali ke dapur, pura-pura sibuk mencuci piring. Namun, begitu ia berada di luar pandangan, air matanya mulai mengalir.
Ia menahan isakan agar tidak terdengar, tetapi hatinya terasa hancur. Ia tidak pernah menyangka akan diperlakukan seperti ini oleh ibu mertuanya sendiri. Semua kerja kerasnya selama dua hari terakhir seolah tidak berarti apa-apa.
Sambil menangis pelan, Amira teringat kata-kata neneknya. "Jangan pernah biarkan orang lain merendahkanmu, Mira," begitu neneknya selalu berkata. Namun, bagaimana ia bisa mempertahankan harga dirinya ketika setiap langkahnya selalu disalahkan?
Saat Amira masih di dapur, Bu Sari masuk dengan hati-hati. Perempuan itu membawa segelas air putih dan menaruhnya di meja dekat Amira.
“Amira, kamu tidak apa-apa?” tanya Bu Sari dengan suara lembut.
Amira buru-buru menghapus air matanya dan memaksakan senyum. “Saya baik-baik saja, Bu.”
Bu Sari menatap Amira dengan penuh simpati. “Saya mengerti, pasti sulit untukmu. Ibu mertuamu itu memang keras, tapi jangan biarkan kata-katanya membuatmu merasa rendah. Kamu punya hati yang baik, saya bisa melihatnya.”
Amira tertegun. Perkataan Bu Sari, meski sederhana, memberi sedikit penghiburan di tengah luka yang ia rasakan. Ia hanya bisa mengangguk, tidak mampu berkata apa-apa.
Bu Sari melanjutkan, “Kalau kamu butuh teman bicara, jangan ragu untuk datang ke rumah saya. Saya tinggal di ujung jalan ini. Kadang, kita hanya butuh seseorang untuk mendengarkan.”
Amira tersenyum tipis, merasa sedikit lebih ringan. “Terima kasih, Bu Sari.”
Setelah para tamu pulang, Amira kembali ke kamar dan merenung. Ia tahu bahwa hidupnya di rumah ini tidak akan mudah. Namun, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa membiarkan rasa sakit ini menguasai dirinya.
Amira memutuskan untuk bertahan, bukan karena ia ingin membuktikan sesuatu kepada Bu Ratna, tetapi karena ia percaya pada dirinya sendiri. Ia percaya bahwa kebaikan hati dan kerja kerasnya suatu hari akan membuahkan hasil, meskipun sekarang semuanya terasa sulit.
Di malam harinya, ketika Angga pulang, ia menceritakan sedikit tentang apa yang terjadi, meskipun ia menyembunyikan sebagian besar rasa sakitnya.
“Angga, aku tidak apa-apa. Aku hanya butuh waktu untuk menyesuaikan diri,” kata Amira dengan senyuman kecil.
Angga menggenggam tangannya dengan lembut. “Aku tahu kamu perempuan kuat, Mira. Kalau ada apa-apa, aku di sini untukmu.”
Kata-kata itu menjadi penyemangat bagi Amira. Meskipun ia merasa sendirian di rumah ini, ia tahu bahwa ia memiliki seseorang yang mencintainya. Dan itu cukup untuk membuatnya bertahan satu hari lagi.
****
Pagi itu, Amira terbangun lebih awal seperti biasa, bersiap menjalani hari baru dengan semangat yang ia paksakan. Namun, rutinitasnya sedikit berbeda. Bu Ratna memintanya pergi ke pasar untuk berbelanja kebutuhan bulanan.
"Amira, kamu pergi ke pasar dengan Loli," perintah Bu Ratna sambil menyerahkan daftar belanja. "Dia itu semakin malas saja. Mungkin kalau disuruh pergi sama kamu, dia jadi ada kerjaan."
Amira hanya mengangguk. Ia tidak ingin membantah, meskipun ia merasa sedikit khawatir karena belum pernah pergi ke pasar itu sebelumnya. Sementara itu, Loli, yang baru saja bangun dengan wajah malas, mendesah keras.
"Kenapa harus aku yang ikut? Kan Kak Amira saja cukup!" protes Loli.
"Loli, kamu itu bukan tamu di rumah ini. Sudah lulus sekolah, bukannya bantu-bantu malah makin santai. Kalau tidak mau bantu, cari kerja sana!" kata Bu Ratna dengan nada kesal.
Akhirnya, Loli dengan enggan bersiap-siap, sementara Amira memastikan dirinya membawa cukup uang dan tas belanja.
Setibanya di pasar, hiruk-pikuk pedagang dan pembeli membuat Amira merasa sedikit gugup. Ia mencoba mengikuti langkah Loli yang berjalan di depannya sambil memainkan ponsel.
Namun, sebelum Amira sempat memahami arah mana yang harus ia tuju, Loli tiba-tiba berhenti dan berbalik.
"Kak Amira, kamu kan sudah pegang daftar belanja. Aku ada urusan sebentar. Kamu selesaikan sendiri saja, ya," katanya sambil tersenyum tipis, lalu berbalik dan berjalan pergi begitu saja.
"Loli! Tunggu!" panggil Amira, tetapi Loli tidak menoleh.
Amira berdiri terpaku di tengah keramaian pasar, bingung harus mulai dari mana. Ia memandangi daftar belanja di tangannya sambil mencoba mengingat arahan Bu Ratna tadi pagi. Namun, pasar ini begitu luas, penuh dengan gang-gang sempit yang terlihat sama.
Dengan langkah hati-hati, Amira mencoba mencari barang-barang di daftar itu. Namun, semakin jauh ia berjalan, semakin bingung ia menjadi. Ia salah masuk gang beberapa kali, membuatnya semakin cemas.
Ketika rasa putus asa mulai menyerang, Amira tiba-tiba mendengar suara yang familiar.
"Amira? Kamu ngapain sendirian di sini?"
Amira menoleh dan melihat Bu Sari berdiri di depannya dengan keranjang belanja di tangan. Wajah ramah perempuan itu langsung memberikan rasa lega pada Amira.
"Bu Sari... syukurlah saya ketemu Ibu," kata Amira sambil tersenyum kaku. "Tadi saya datang ke sini sama Loli, tapi dia tiba-tiba pergi."
Bu Sari menggeleng pelan, memahami situasi tanpa Amira perlu menjelaskan lebih lanjut. "Anak muda sekarang memang banyak yang kurang bertanggung jawab," gumamnya. "Ayo, sini ikut saya. Kita belanja bareng. Kamu belum tahu seluk-beluk pasar ini, kan?"
Amira mengangguk penuh rasa syukur. Bersama Bu Sari, ia mulai mencari barang-barang di daftar belanja. Bu Sari dengan sabar membantu menunjukkan tempat-tempat terbaik untuk membeli kebutuhan dengan harga yang lebih murah.
"Kamu memang sabar sekali, Amira," kata Bu Sari sambil tersenyum. "Kalau jadi kamu, mungkin saya sudah marah-marah tadi."
Amira tersenyum kecil. "Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik, Bu."
Setelah semua belanjaan selesai, Amira dan Bu Sari berjalan menuju pintu keluar pasar. Namun, di sudut pasar yang sepi, mereka melihat sosok yang familiar. Loli sedang duduk di bangku kayu, tertawa-tawa bersama seorang pemuda yang tampak seperti pacarnya.
Amira berhenti sejenak, ragu apakah harus menghampiri atau tidak. Bu Sari, yang juga melihat pemandangan itu, hanya menggeleng pelan.
"Itu Loli, kan?" tanya Bu Sari.
Amira mengangguk, merasa canggung.
"Kamu diam saja. Jangan sampai dia merasa disalahkan. Nanti malah kamu yang kena marah," saran Bu Sari.
Amira setuju. Ia memutuskan untuk tidak menghampiri Loli dan langsung pulang. Namun, dalam hati, ia merasa kecewa karena harus menanggung semua beban belanja sendirian sementara Loli asyik bersenang-senang.
Sesampainya di rumah, Bu Ratna sudah menunggu di ruang tamu. Wajahnya langsung berubah saat melihat Amira datang sendirian dengan tas belanja yang penuh.
"Loli mana?" tanya Bu Ratna tajam.
Amira meletakkan belanjaan di meja dan menjawab dengan hati-hati, "Dia tadi bilang ada urusan sebentar di pasar."
Bu Ratna menghela napas panjang. "Anak itu memang makin malas saja. Terima kasih sudah beres belanjanya, Amira. Tapi kalau lain kali dia seperti itu lagi, langsung bilang ke saya."
Amira hanya tersenyum tipis dan mengangguk, meskipun dalam hati ia tahu bahwa Bu Ratna tidak akan benar-benar menegur Loli.
Malam itu, setelah Angga pulang, Amira menceritakan apa yang terjadi di pasar, meskipun ia menyembunyikan perasaan kecewanya.
"Angga, Loli tadi pergi entah ke mana di tengah belanja. Untung saja ada Bu Sari yang membantu," kata Amira.
Angga menggelengkan kepala. "Aku akan bicara dengan Loli. Dia tidak seharusnya membiarkan kamu sendirian seperti itu."
Namun, Amira tahu bahwa percakapan itu mungkin tidak akan mengubah banyak hal. Ia hanya berharap suatu hari nanti, ia bisa mendapatkan sedikit lebih banyak penghargaan di rumah ini. Hingga saat itu tiba, ia akan terus menjalani hari-harinya dengan sabar, meskipun hatinya terus diuji.
Malam itu, Amira mendengar suara tegas Angga di kamar sebelah. Ia jarang mendengar suaminya berbicara dengan nada tinggi, tetapi malam ini, Angga tampaknya tidak bisa menahan amarahnya.
"Loli, apa-apaan kamu meninggalkan Amira sendirian di pasar?" suara Angga terdengar jelas meskipun pintu kamar tertutup.
"Dia kan bukan anak kecil, Bang," balas Loli dengan nada kesal. "Lagipula dia sudah punya daftar belanja. Apa susahnya belanja sendiri?"
"Masalahnya dia belum tahu seluk-beluk pasar itu! Kamu seharusnya menemani, bukan malah pergi seenaknya!" tegur Angga. "Kamu itu bukan anak kecil lagi, Loli. Belajarlah untuk bertanggung jawab!"
Amira mendengar suara langkah kaki yang keras keluar dari kamar Loli. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Meski Angga sudah membela, ia merasa pertengkaran ini akan membuat hubungan mereka semakin renggang.
Keesokan paginya, Amira sedang di dapur, menyiapkan sarapan untuk keluarga. Ia sedang memotong sayuran ketika suara pintu yang dibuka dengan kasar membuatnya tersentak.
Loli masuk ke dapur dengan wajah penuh amarah. "Kak Amira!" serunya keras.
Amira menoleh dengan kaget. "Ada apa, Loli?" tanyanya hati-hati.
"Kenapa sih harus ngadu ke Bang Angga? Kamu tuh suka banget bikin masalah!" bentak Loli sambil melipat tangan di dadanya. "Dengar ya, belanja ke pasar, masak, cuci piring, itu semua tugas kamu. Aku ini bukan pembantu, jadi jangan harap aku bantuin kamu!"
Amira terdiam. Kata-kata Loli seperti pisau yang menusuk perasaannya. Ia mencoba tetap tenang.
"Loli, aku tidak mengadu. Angga hanya bertanya, dan aku cuma menjelaskan apa yang terjadi," jawab Amira lembut.
"Tapi gara-gara kamu, aku dimarahi semalam!" balas Loli dengan nada semakin tinggi.
Sebelum Amira sempat menjawab, Bu Ratna muncul dari ruang tamu, mendekati mereka dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Ada apa ini ribut-ribut pagi-pagi?" tanya Bu Ratna sambil menatap bergantian antara Loli dan Amira.
Loli dengan cepat menyela. "Ibu, Kak Amira ini bikin masalah. Gara-gara dia, Bang Angga marahin aku semalam."
Bu Ratna menghela napas panjang, lalu menoleh ke Amira. "Amira, kamu memang harus belajar mandiri. Belanja ke pasar itu hal kecil. Kalau kamu masih bingung, ya, belajarlah. Jangan selalu mengandalkan orang lain, termasuk Loli."
Amira menunduk. Ia merasa seperti selalu menjadi pihak yang salah, apa pun yang ia lakukan.
"Tapi, Bu," Loli mencoba membela diri lagi.
Bu Ratna mengangkat tangan, menghentikan ucapan Loli. "Dan kamu, Loli. Jangan pikir tugas-tugas rumah itu sepenuhnya tanggung jawab Amira. Kamu juga tinggal di sini, jadi jangan terlalu santai."
Amira terkejut mendengar kalimat itu. Ini pertama kalinya Bu Ratna sedikit menegur Loli, meskipun tegurannya tidak sekeras yang diharapkan.
Setelah Bu Ratna pergi, Loli hanya mendengus kesal sebelum keluar dari dapur. Amira berdiri di sana sendirian, mencoba mengatur napasnya. Pertengkaran tadi membuat hatinya semakin lelah.
Ia melanjutkan pekerjaannya, tetapi pikirannya melayang. Di rumah ini, ia merasa seperti selalu berjalan di atas duri. Apa pun yang ia lakukan, selalu saja ada yang salah di mata Bu Ratna atau Loli. Namun, ia tidak ingin mengeluh. Ia tidak ingin Angga merasa terbebani lebih dari ini.
Ketika Angga pulang malam itu, Amira tidak menceritakan apa yang terjadi. Ia hanya tersenyum seperti biasa, menyembunyikan luka yang ia rasakan sepanjang hari.
"Bagaimana harimu?" tanya Angga sambil menggenggam tangan Amira.
"Baik," jawab Amira singkat.
Namun, di dalam hatinya, ia bertanya-tanya sampai kapan ia bisa terus bertahan seperti ini. Ia mencintai Angga, tetapi kehidupan bersama mertuanya adalah ujian berat yang membuatnya merasa semakin kecil setiap harinya.
Di tengah keputusasaannya, Amira teringat Bu Sari, satu-satunya orang yang memberinya sedikit dukungan selama ini. Mungkin, pikir Amira, ia perlu bicara dengan Bu Sari lagi. Bukan untuk mengeluh, tetapi untuk mencari nasihat tentang bagaimana ia bisa bertahan dan menghadapi semuanya dengan hati yang lebih kuat.
Amira memutuskan bahwa besok, setelah semua pekerjaan rumah selesai, ia akan menyempatkan diri untuk menemui Bu Sari. Baginya, berbicara dengan seseorang yang bisa mengerti perasaannya adalah langkah kecil menuju harapan yang lebih besar.
Pagi itu, Amira mendapat tugas lain dari Bu Ratna. "Amira, sekalian ambil baju di laundry ya," kata Bu Ratna tanpa menoleh, sibuk memeriksa daftar belanja bulanan.
Amira hanya mengangguk dan bersiap. Meski tugas ini terdengar sederhana, ia merasa lega karena bisa keluar sebentar dari suasana rumah yang menyesakkan.
Ketika sampai di laundry, Amira terkejut melihat Bu Sari di balik meja penerimaan. Perempuan itu menyambut Amira dengan senyuman hangat.
"Amira, apa kabar? Tumben ke sini," kata Bu Sari.
Amira tersenyum tipis. "Saya disuruh ambil baju oleh Bu Ratna."
"Oh, jadi ini baju dari rumah Bu Ratna, ya?" Bu Sari segera mengambil nota dari meja dan menuju ke rak besar di belakang. Sementara menunggu, Amira berdiri dengan pikiran yang melayang. Ketika Bu Sari kembali dengan tumpukan pakaian yang sudah dilipat rapi, ia memperhatikan wajah Amira yang terlihat lelah.
"Amira, kamu kelihatan capek. Apa ada yang mengganggu pikiranmu?" tanya Bu Sari lembut.
Pertanyaan itu seperti memecahkan bendungan di hati Amira. Air matanya mulai menggenang, dan ia buru-buru menunduk, malu karena tidak bisa menahan perasaannya.
"Bu Sari, saya tidak tahu harus cerita ke siapa lagi," kata Amira dengan suara bergetar.
Bu Sari menggeser tumpukan pakaian dan memberi isyarat kepada Amira untuk duduk di bangku kecil di samping meja. "Ceritalah, Amira. Saya di sini untuk mendengarkan."
Amira mulai bercerita tentang kehidupannya di rumah mertuanya. Tentang bagaimana ia selalu merasa salah di mata Bu Ratna, tentang Loli yang malas dan sering memperlakukannya dengan tidak hormat, dan bagaimana ia merasa tertekan setiap hari.
"Saya sudah mencoba bertahan, Bu Sari," kata Amira, air matanya mengalir pelan. "Saya mencintai Angga, dan saya tidak ingin membebaninya. Tapi setiap hari, rasanya semakin sulit. Saya tidak tahu sampai kapan saya bisa kuat."
Bu Sari mendengarkan dengan seksama, matanya penuh simpati. Setelah Amira selesai berbicara, ia menarik napas panjang.
"Amira, saya mengerti betapa sulitnya keadaanmu," kata Bu Sari. "Kamu perempuan yang sabar, tapi kesabaran juga ada batasnya. Jangan sampai kamu kehilangan dirimu sendiri karena mencoba menyenangkan semua orang."
Amira hanya terdiam, merasa bahwa kata-kata Bu Sari benar-benar menggambarkan apa yang ia rasakan.
"Kamu sudah bicara dengan Angga tentang ini?" tanya Bu Sari.
Amira menggeleng pelan. "Saya tidak ingin membuatnya khawatir. Dia sudah lelah bekerja setiap hari."
Bu Sari menatap Amira dengan serius. "Tapi Angga adalah suamimu. Dia harus tahu apa yang kamu rasakan. Kamu tidak bisa memikul semuanya sendirian, Amira. Pernikahan itu tentang saling mendukung, bukan tentang mengorbankan satu pihak."
Amira mengangguk perlahan, meski dalam hatinya ia masih ragu.
Bu Sari melanjutkan, "Kalau kamu merasa rumah itu terlalu menekan, bicaralah dengan Angga tentang kemungkinan pindah. Mungkin tidak sekarang, tapi rencanakanlah. Hidup bersama mertua tidak selalu buruk, tapi jika tidak ada keseimbangan, itu bisa menghancurkan hubunganmu dengan Angga."
Amira terkejut mendengar nasihat itu. Ia memang sudah memikirkan hal yang sama, tetapi ia tidak pernah berani mengatakannya, bahkan kepada dirinya sendiri.
"Bu Sari, saya takut Bu Ratna akan semakin membenci saya jika saya mengusulkan pindah," kata Amira pelan.
"Amira, hidup ini bukan tentang membuat semua orang senang," jawab Bu Sari. "Terkadang, kamu harus memilih kebahagiaanmu sendiri. Kalau tidak, kamu akan terus merasa terperangkap."
Amira menunduk, memikirkan kata-kata itu.
Setelah mengambil pakaian dan berpamitan dengan Bu Sari, Amira berjalan pulang dengan perasaan campur aduk. Kata-kata Bu Sari terus terngiang-ngiang di kepalanya.
Malam itu, setelah Angga pulang, Amira mencoba mengumpulkan keberanian untuk berbicara.
"Angga, bolehkah aku bicara sebentar?" tanya Amira ketika mereka duduk di kamar.
Angga menoleh, wajahnya penuh perhatian. "Tentu, Mira. Ada apa?"
Amira menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Aku merasa... berat tinggal di rumah ini. Aku tahu Ibu dan Loli mungkin butuh waktu untuk menerimaku, tapi setiap hari rasanya semakin sulit. Aku merasa... aku kehilangan diriku sendiri."
Angga terdiam, mendengarkan dengan seksama.
"Aku tidak meminta kita pindah sekarang," lanjut Amira cepat. "Tapi mungkin kita bisa memikirkan rencana untuk punya tempat sendiri suatu hari nanti."
Angga menggenggam tangan Amira erat. "Mira, aku minta maaf. Aku tahu ini pasti berat untukmu, dan aku berterima kasih karena kamu sudah mencoba bertahan. Aku akan memikirkan solusi terbaik untuk kita."
Mendengar itu, Amira merasa sedikit lega. Meski jalannya masih panjang, ia merasa telah mengambil langkah kecil menuju perubahan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!