NovelToon NovelToon

Cinta Dibalik Kontrak

Awal dari sebuah kontrak

Langit senja memancarkan warna jingga keemasan, seolah menggambarkan perasaan Luna yang sedang campur aduk. Ia duduk di pojok sebuah kafe kecil, menggenggam cangkir kopinya yang sudah lama dingin. Di depannya, seorang pria dengan wajah dingin dan tatapan tajam duduk diam, seperti patung. Luna menghela napas panjang.

“Jadi, ini ide orang tuamu?” tanyanya dengan nada yang dipaksakan santai.

Kaid, pria di depannya, menyilangkan tangan di dadanya. “Bukan ide. Ini keputusan.”

Luna tertawa kecil, meskipun hatinya sedikit bergetar. “Pernikahan kontrak? Serius? Kita bukan di drama televisi, Kaid.”

Pria itu menyandarkan tubuhnya di kursi, pandangannya tidak berubah. “Kalau kamu mau menolak, silakan. Tapi kamu tahu apa yang akan terjadi kalau kamu tidak ikut permainan ini.”

Luna mengerutkan kening. Ia tahu betul apa yang dimaksud Kaid. Kedua keluarga mereka memiliki sejarah panjang, bukan hanya sebagai tetangga dan teman, tetapi juga sebagai mitra bisnis. Ayah Luna yang sedang kesulitan keuangan telah meminta bantuan dari keluarga Kaid, dan salah satu syaratnya adalah… ini.

Pernikahan.

“Ini gila,” gumam Luna sambil mengusap wajahnya.

“Tidak ada yang memintamu untuk menyukainya,” balas Kaid dengan dingin.

Luna mendongak, menatap Kaid dengan sorot tajam. “Dan kamu? Kamu mau menikah dengan orang yang bahkan tidak kamu cintai?”

Kaid mengangkat bahu. “Aku tidak percaya cinta. Ini hanya formalitas. Kamu setuju, masalah selesai. Kalau tidak, kita sama-sama rugi.”

Luna terdiam. Kata-kata Kaid selalu tajam, penuh dengan logika yang tidak menyisakan ruang untuk emosi. Tapi justru karena itu, ia bingung. Mengapa seorang pria seperti Kaid mau terlibat dalam sesuatu yang serumit ini?

“Aku butuh waktu,” kata Luna akhirnya.

“Waktu?” Kaid mengangkat alis. “Kita tidak punya banyak waktu. Pernikahan ini harus terjadi dalam dua minggu.”

Luna terkejut. “Dua minggu?! Itu gila! Aku bahkan belum memberitahu keluargaku—”

“Mereka sudah tahu,” potong Kaid dengan tenang. “Dan mereka setuju.”

Luna merasakan amarah menggelegak di dalam dirinya. Bagaimana bisa keluarganya setuju tanpa memberitahunya? Tapi jauh di dalam hati, ia tahu jawabannya. Ayahnya terlalu putus asa untuk menyelamatkan bisnis keluarga. Dan ibunya… ibunya hanya ingin melihat Luna ‘selamat’ dengan cara apa pun.

“Jadi, aku tidak punya pilihan,” kata Luna dengan suara pelan.

Kaid menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. “Tidak. Tapi aku jamin, semuanya akan berjalan lancar. Ini hanya setahun. Setelah itu, kita bebas.”

Luna mengangkat kepalanya. “Setahun?”

Kaid mengangguk lagi. “Itu syarat di kontrak. Setelah setahun, kita bisa bercerai tanpa ada masalah. Aku akan memastikan tidak ada yang tahu ini hanya pernikahan pura-pura.”

Pernikahan pura-pura. Dua kata itu bergema di kepala Luna. Selama ini, ia selalu membayangkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral, penuh cinta dan kebahagiaan. Tapi sekarang, ia dihadapkan pada kenyataan pahit bahwa pernikahannya sendiri hanyalah transaksi bisnis.

Dua minggu berlalu dalam kabut. Persiapan pernikahan berlangsung dengan cepat, hampir terlalu cepat bagi Luna untuk memahami apa yang sedang terjadi. Keluarganya sibuk dengan segala detail kecil, seolah-olah ini adalah pernikahan impian mereka. Sementara itu, Kaid hampir tidak menunjukkan emosi.

Di hari pernikahan, Luna berdiri di depan cermin, mengenakan gaun putih sederhana yang dipilih oleh ibunya. Ia menatap bayangannya sendiri, merasa seperti orang asing.

“Luna, ayo cepat! Kaid sudah menunggu,” panggil ibunya dari luar.

Luna menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia tidak pernah membayangkan hari pernikahannya akan seperti ini—tanpa cinta, tanpa harapan. Hanya kewajiban.

Saat ia melangkah ke altar, Kaid berdiri di sana, tampak seperti patung marmer dengan jas hitam sempurna yang membungkus tubuhnya. Mata mereka bertemu, dan Luna merasakan sesuatu yang aneh. Tatapan Kaid, meskipun dingin, memiliki kedalaman yang sulit ia pahami.

Upacara berlangsung dengan cepat. Janji pernikahan diucapkan tanpa emosi, seperti membaca naskah drama. Ketika Kaid menyematkan cincin di jari manisnya, Luna merasakan berat yang tak kasat mata menekan dadanya.

Malam itu, setelah pesta kecil dengan keluarga dan teman-teman dekat, Luna dan Kaid tiba di rumah baru mereka. Rumah besar yang dingin, hampir seperti museum.

“Ini kamarmu,” kata Kaid singkat, membuka pintu ke sebuah kamar besar dengan dekorasi minimalis.

“Kita tidak tidur di kamar yang sama?” tanya Luna spontan, meskipun ia sebenarnya lega.

Kaid menatapnya dengan ekspresi datar. “Ini pernikahan kontrak. Tidak ada alasan bagi kita untuk berpura-pura di sini.”

Luna mengangguk pelan, merasa sedikit tersinggung meskipun ia tahu ia tidak seharusnya peduli.

Ketika pintu kamar tertutup, Luna duduk di atas tempat tidur, menatap cincin di jarinya. Hidupnya baru saja berubah sepenuhnya, tetapi ia tidak tahu apakah ini awal dari sesuatu yang baik, atau awal dari bencana.

Di ruangan lain, Kaid duduk di depan jendela besar yang menghadap ke kota. Ia memutar cincin di jarinya, tatapannya kosong. Di kepalanya, ia hanya bisa memikirkan satu hal: Ini hanya setahun. Setelah itu, semuanya akan kembali normal.

Tapi jauh di dalam hatinya, ia tahu. Tidak ada yang akan benar-benar normal lagi.

Dua dunia yang berbeda

Matahari pagi menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar luas dengan nuansa abu-abu dan putih. Luna membuka matanya perlahan, mencoba menyesuaikan diri dengan suasana asing. Ini bukan rumahnya. Ini rumah Kaid. Atau lebih tepatnya, rumah mereka sekarang.

Ia memandang sekeliling, mencoba mencerna kenyataan baru ini. Perabotan di kamar itu tampak mahal, serba minimalis, tapi terasa dingin, tanpa sentuhan kehangatan.

Luna mendesah pelan dan turun dari tempat tidur. Kakinya menyentuh lantai kayu yang dingin. Setelah mencuci muka, ia melangkah keluar kamar dengan hati-hati. Rumah itu besar, terlalu besar untuk dihuni hanya dua orang. Suara langkahnya bergema di sepanjang koridor.

Ketika ia sampai di dapur, ia terkejut melihat Kaid sudah duduk di meja makan. Pria itu mengenakan kemeja putih rapi dengan dasi yang belum terikat sempurna. Di depannya, secangkir kopi mengepul.

“Pagi,” sapanya singkat, tanpa mengalihkan pandangan dari tablet di tangannya.

“Pagi,” balas Luna, suaranya terdengar canggung.

Luna membuka lemari dapur, mencari sesuatu untuk dimakan. Namun, isi lemari itu hanya bahan makanan mentah. Ia memutar tubuh, memandang Kaid dengan alis terangkat. “Kamu tidak punya makanan yang siap dimakan?”

Kaid mengangkat wajahnya sejenak. “Aku biasanya memesan makanan.”

Luna menghela napas. “Tentu saja,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri.

Kaid berdiri, menyambar jas yang tergantung di kursi. “Aku harus ke kantor. Ada beberapa dokumen yang harus ditandatangani hari ini. Kamu bebas melakukan apa saja, asalkan tidak membawa masalah.”

Nada perintahnya membuat Luna sedikit geram, tetapi ia memilih untuk diam. “Baik,” balasnya dengan datar.

Kaid melangkah pergi tanpa menoleh lagi, meninggalkan Luna sendirian di dapur besar itu.

Sepanjang hari, Luna mencoba mengenali rumah itu. Setiap sudut terasa asing, dingin, dan tidak seperti rumah pada umumnya. Tidak ada foto keluarga, tidak ada barang pribadi. Semuanya terasa steril, seperti kamar hotel.

Ketika ia tiba di ruang kerja Kaid, ia berhenti sejenak. Pintu ruangan itu terbuka sedikit, memperlihatkan rak buku besar yang penuh dengan dokumen dan buku tebal. Di sudut meja, ia melihat foto lama—foto dirinya dan Kaid saat mereka masih kecil.

Luna tersenyum kecil. Dulu, mereka adalah teman baik. Kaid adalah anak laki-laki pendiam yang selalu membantunya menyelesaikan PR matematika. Tetapi seiring waktu, mereka semakin berjauhan. Kaid pergi ke luar negeri untuk sekolah, sementara Luna tetap di kota ini, menjalani hidupnya yang biasa-biasa saja.

Kini, bertahun-tahun kemudian, mereka kembali bertemu dalam situasi yang aneh. Luna menggelengkan kepala. Tidak pernah ia bayangkan pertemuan mereka akan seperti ini.

Malam harinya, ketika Kaid pulang, Luna sedang duduk di ruang tamu dengan secangkir teh. Ia mendengar suara langkah kaki Kaid di lantai kayu, tetapi ia tidak beranjak.

Kaid masuk ke ruangan itu, melepas jasnya, lalu duduk di sofa tanpa sepatah kata.

“Bagaimana harimu?” tanya Luna, mencoba memulai percakapan.

“Biasa saja,” jawab Kaid singkat.

Luna menatapnya, mencoba membaca ekspresinya. Namun, wajah Kaid tetap tak terbaca, seperti tembok batu yang tak bisa ditembus.

“Jadi, apa yang sebenarnya kamu inginkan dari pernikahan ini?” tanya Luna akhirnya, memutuskan untuk langsung ke intinya.

Kaid menoleh, tatapannya tajam. “Kita sudah membicarakan ini.”

“Tapi aku tidak mengerti. Kamu bisa memilih siapa saja. Kenapa aku?”

Kaid terdiam sejenak. “Karena itu lebih mudah. Keluarga kita sudah saling mengenal. Dan… aku tidak ingin membuang waktu mencari orang lain.”

Luna tertawa kecil, meskipun tanpa humor. “Jadi, aku hanya pilihan yang praktis?”

Kaid mengangkat bahu. “Kamu juga punya alasan sendiri untuk setuju, kan?”

Luna terdiam. Ia tahu Kaid benar

Aturan Main dalam Pernikahan Kontrak

Malam itu, Luna terjaga di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan pikiran yang terus bergulir. Kata-kata Kaid masih terngiang di kepalanya: “Kamu juga punya alasan sendiri untuk setuju, kan?”

Ia benci mengakuinya, tapi Kaid benar. Tidak ada pilihan lain. Ayahnya sedang terlilit utang besar akibat salah langkah bisnis, dan bantuan dari keluarga Kaid adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan perusahaan keluarga mereka dari kebangkrutan.

Namun, sekarang setelah semuanya terjadi, Luna bertanya-tanya: apakah harga yang ia bayar terlalu tinggi? Pernikahan ini terasa seperti sangkar emas—terlihat sempurna di luar, tetapi mengekang di dalam.

Pikiran itu membawanya kepada keputusan. Jika ia harus menjalani pernikahan ini, maka ia harus menetapkan aturan mainnya sendiri. Ia tidak bisa membiarkan Kaid terus-menerus memperlakukannya seperti boneka yang hanya mengikuti perintah.

Pagi-pagi sekali, Luna sudah bangun dan menunggu di dapur. Ketika Kaid muncul, mengenakan setelan jas abu-abu rapi, ia tampak sedikit terkejut melihat Luna di sana.

“Kamu bangun pagi sekali,” katanya singkat, mengambil cangkir kopi yang sudah Luna siapkan.

“Kita perlu bicara,” jawab Luna tanpa basa-basi.

Kaid mengangkat alis. “Tentang apa?”

“Kontrak ini. Jika kita akan hidup bersama selama setahun, kita perlu menetapkan beberapa aturan,” kata Luna sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Kaid meminum kopinya pelan sebelum menjawab. “Aturan? Aku pikir semuanya sudah jelas. Kita berpura-pura menjadi pasangan yang bahagia di depan keluarga kita dan siapa pun yang bertanya. Setelah setahun, kita berpisah. Apa lagi yang perlu diatur?”

Luna menatapnya tajam. “Aku tidak berbicara tentang pernikahan ini secara publik. Aku berbicara tentang bagaimana kita menjalani hidup kita sehari-hari.”

Kaid mendesah, seolah-olah percakapan ini membuang-buang waktunya. “Baiklah. Apa yang kamu inginkan?”

Luna mengangkat dagunya, merasa sedikit lebih percaya diri. “Pertama, kita harus saling menghormati. Aku tidak mau ada perlakuan dingin atau ucapan kasar.”

“Sejauh ini aku belum melanggar aturan itu,” balas Kaid, nada suaranya terdengar defensif.

“Belum,” Luna menekankan. “Tapi aku ingin memastikan tidak akan terjadi.”

Kaid mengangguk pelan. “Oke. Apa lagi?”

“Kedua, aku ingin privasi. Aku tidak akan mengganggumu, jadi kamu juga tidak boleh mencampuri urusanku.”

“Setuju.”

“Dan yang terakhir,” Luna berhenti sejenak, menatap Kaid dengan serius. “Aku ingin hubungan kita tetap profesional. Tidak ada yang lebih dari itu.”

Kaid menyipitkan mata, seolah menganalisis maksud di balik kata-kata Luna. “Apakah kamu khawatir aku akan mulai menyukaimu?”

Luna memutar bola matanya. “Tidak, aku khawatir kamu akan mencoba mengendalikan hidupku lebih dari yang sudah kamu lakukan.”

Sebuah senyuman kecil, hampir tak terlihat, muncul di wajah Kaid. “Baiklah. Aku setuju dengan semua aturannya. Tapi aku juga punya satu syarat.”

Luna mengangkat alis. “Apa itu?”

“Jangan membawa masalah dari keluargamu ke dalam rumah ini. Aku tidak ingin urusan pribadi mereka memengaruhi kehidupan kita. Ini kontrak antara kamu dan aku, bukan mereka.”

Luna terdiam sejenak, mempertimbangkan permintaan itu. Ia tahu betapa rumit keluarganya, dan betapa sering mereka menciptakan masalah yang melibatkan dirinya. Tapi ia juga tahu, jika ia tidak setuju, Kaid tidak akan ragu untuk membatalkan pernikahan ini—dan itu akan menjadi bencana bagi keluarganya.

“Baik,” akhirnya Luna setuju. “Aku akan mencoba sebisa mungkin.”

Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat. Luna mulai terbiasa dengan rutinitas di rumah Kaid. Kaid selalu sibuk dengan pekerjaannya di perusahaan keluarga, sedangkan Luna menghabiskan waktu di rumah, mencoba mencari tahu bagaimana mengisi hari-harinya.

Namun, Luna tidak betah hanya tinggal diam. Setelah seminggu, ia memutuskan untuk mencari pekerjaan. Kaid, tentu saja, tidak setuju.

“Kenapa kamu mau bekerja?” tanya Kaid dengan nada tidak percaya saat mereka sedang makan malam.

“Karena aku tidak bisa hanya duduk diam di rumah sepanjang hari. Aku butuh melakukan sesuatu,” jawab Luna tegas.

“Kita tidak butuh uang dari pekerjaanmu,” kata Kaid dengan datar.

“Itu bukan soal uang. Ini soal harga diri,” balas Luna, menatapnya dengan penuh tekad.

Kaid menghela napas panjang, lalu menyerah. “Baiklah. Tapi jangan sampai pekerjaanmu membuat orang curiga dengan status kita.”

Luna tersenyum tipis. “Aku akan hati-hati.”

Beberapa hari kemudian, Luna berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai asisten di sebuah perusahaan desain interior kecil. Meskipun pekerjaan itu tidak bergengsi, ia merasa senang bisa kembali memiliki rutinitas.

Namun, tidak semua berjalan lancar.

Pada hari pertama Luna bekerja, ia mendapati bahwa bosnya, Farah, adalah tipe wanita yang keras kepala dan perfeksionis. “Kamu harus lebih cepat daripada ini,” kata Farah sambil memeriksa laporan yang Luna buat.

“Maaf, Bu. Saya akan memperbaikinya,” jawab Luna dengan sopan.

Farah mendengus, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Luna tahu ia harus membuktikan dirinya agar diterima di tempat ini.

Namun, masalah sebenarnya datang dari tempat yang tak terduga.

Pada malam harinya, Kaid pulang lebih awal dari biasanya. Ketika ia masuk ke rumah, ia langsung menuju ruang tamu, di mana Luna sedang sibuk menatap layar laptopnya.

“Apa yang kamu lakukan?” tanyanya.

“Bekerja,” jawab Luna singkat.

“Jam segini?”

Luna mendongak, menatap Kaid dengan alis terangkat. “Bukankah kamu juga sering membawa pekerjaan ke rumah?”

“Itu berbeda,” kata Kaid dengan nada dingin. “Aku tidak ingin pekerjaanmu mengganggu waktu kita.”

Luna tertawa kecil, hampir mengejek. “Waktu kita? Kaid, kamu bahkan hampir tidak berbicara denganku kecuali untuk memberi perintah. Jadi, jangan bicara tentang ‘waktu kita’ seolah-olah itu penting.”

Kaid terdiam, tidak bisa membantah.

Luna melanjutkan, “Aku setuju dengan semua aturan kita, Kaid. Tapi kamu tidak bisa mengontrol setiap aspek hidupku. Aku akan bekerja, dan aku akan menyelesaikan pekerjaanku dengan caraku. Kalau kamu tidak suka, itu bukan urusanku.”

Kaid menatap Luna, wajahnya tanpa ekspresi. Tapi ada sesuatu di matanya yang berubah—sebuah pengakuan diam-diam bahwa Luna tidak akan mundur.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Tapi ingat, ini hanya sementara. Setelah kontrak ini selesai, kita akan kembali ke kehidupan masing-masing.”

Luna tersenyum tipis. “Aku tidak pernah melupakan itu, Kaid. Kamu juga jangan.”

Malam itu, Luna merasa seperti telah memenangkan sesuatu, meskipun kecil. Ia tahu hubungan mereka akan tetap sulit, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak akan membiarkan dirinya didikte begitu saja.

Sementara itu, di kamar lain, Kaid duduk sendirian, memikirkan kata-kata Luna. Ia selalu berpikir bahwa pernikahan ini hanyalah formalitas. Tapi Luna… ia berbeda. Dan untuk pertama kalinya, Kaid merasa bahwa pernikahan ini mungkin lebih rumit daripada yang ia bayangkan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!