“Jangan mendekat, aku membencimu, pergi! aku tak sudi melihat wajahmu lagi!!” bentak Megan tengah meluapkan kemarahannya yang selama beberapa hari ini berusaha di pendamnya.
Dalam gelap malam, hujan mengguyur bumi. Di hadapan Megan berdiri sosok Devan yang tengah menatapnya, sesekali ia berusaha mendekati Megan, ingin ia jelaskan apa yang terjadi.
Dalam keramaian kota jakarta ini, berdiri dua sosok yang tengah bertengkar diantara banyak orang yang berlalu lalang memakai payung. Mereka seolah tak peduli akan hujan dan keadaan lingkungan di sekelilingnya yang kerap menatap lekat sosok yang tengah bertengkar.
“Megan.. Aku mohon dengarkan penjelasanku!!” ucapnya yang meraih tangan Megan dengan wajah memohon.
“Kau tidak perlu menjelaskan apa pun. Aku sudah melihatnya sendiri. Lebih baik kita akhiri hubungan ini!!” bentak Megan lagi yang kian emosi di sela isakan tangisnya yang menjadi-jadi.
Dunia Megan bagai runtuh, saat ia melihat kekasihnya dalam kumpulan keluarga yang tak lain membahas pertunangannya, bukan dengan Megan, melainkan sahabatnya sendiri, Karin.
Megan tahu bahwa Karin sahabatnya juga menyukai Devan. Tapi tak pernah ia duga bahwa Devan mengucap kata iya di pertunangan itu. Pikirnya Devan mencintainya.
“Kau menyukai Karin kan!!” Bentak Megan lagi yang masih ingin memastikan ke curigaanya.
“Jawab aku.. Hari itu di lobi, aku melihatmu bersamanya. Tidak ku sangkah kau menciumnya, menyatakan cinta mu padanya” ucapnya lagi yang juga kerap meneteskan air mata, mengalir bersama tetesan hujan yang membasahi wajahnya.
“Aku, Megan, aku memang melakukan itu, aku mengaku salah.. Tapi di hatiku masih ada dirimu, aku mohon jangan pergi, aku akan membatalkan pertunagan ini jika kau mau, aku hanya mencintaimu!!” ucap Devan sedang membujuk, meyakinkan Megan dari hal ini.
“Haa.. Kau sudah mengakuinya, buat apa aku harus mempertahankanmu, bukankah kau juga akan bertunangan, ini sudah jelas, tak perlu kau mengatakan cinta padaku, aku tak butuh cinta mu lagi!” jelas Megan dengan emosi, tak ingin mendengar kata cinta dari mulut itu yang kerap membuatnya muak akan dirinya yang mencintainya.
“Aku ucapkan selamat.. Tapi mohon maaf aku tak bisa hadir dalam pertunagan maupun pernikahanmu.. Sampaikan salamku pada orang tuamu, jangan cari aku lagi!!” lanjutnya dengan wajah pasrah, kemudian berlalu meninggalkan Devan dengan perasaan gundahnya yang menggerogoti hati dan tubuhnya.
“Megan!! Megan jangan seperti ini, jangan pergi, ku mohon!!” teriak Devan yang membuat mata tertuju padanya.
Dengan perasaan kecewa, sakit hati, pasrah, Megan menyusuri trotoar yang juga tak tahu harus kemana. Raganya serasa sudah melayang saat ia baru saja mengakhiri hubungan yang sudah lima tahun ia jalani bersama Devan. Devan yang tak lain adalah cinta pertama dan pacar pertama baginya, orang pertama yang membuatnya merasakan cinta dengan debaran asmara.
Sejak kelas satu SMA meraka sudah menjalin hubungan yang berstatus pacaran. Lima tahun lamanya Megan menjadi kekasihnya, menjadi tuan putrinya. Orang tua Devan memang sedikit tak suka dengannya, entah itu identitas Megan yang sederhana atau perilakunya.
Kini, di usia yang akan menginjak 23 tahun, orang tuanya bahkan sudah tak bersamanya lagi. Insiden pembunuhan yang terjadi di kediamannya dua minggu lalu masih melekat jelas di ingatannya. Orang yang berjanji akan membahagiakannya juga telah berkhianat, menghianati janji yang pernah ia ucapkan.
Masa berkabungnya juga menjadi masa kandas hubungan percintaannya. Sekarang, Megan sebatang kara di dunia fana ini. Ia sudah tak tahu harus bergantung pada siapa.
Malam juga semakin larut bersama hujan yang juga belum reda. Angin bertiup membawa dingin menusuk kulit. Tanpa arah, tanpa tujuan, Megan melangkah dengan sisa tenaganya, tubuhnya tampak ingin roboh.
Masalah yang kian menimpanya membuat ia ingin mengakhiri hidup. Sempat terpikir dirinya akan melakukan hal bodoh itu, tapi ia berubah pikiran, jelaslah hidup tak boleh di sia-siakan, jelasnya.
Dari belakang, tampak dua sosok misterius yang mengikutinya. Pakaian hitam dengan balutan masker membuatnya makin mencurigakan. Mereka semakin mendekat, tepat saat ia berdampingan jalan dengan Megan, di dorongnya Megan hingga tubuhnya terhempas kejalanan.
Brak..
To
Be
Continue
Jika terdapat kesamaan nama tokoh, karakter, dan tempat, saya selaku penulis meminta maaf. Cerita ini hanya fiktif belaka tidak bermaksud menyinggung para pembaca dan pihak lainnya.
Brak...
Sebuah mobil BMW berwarna merah maron menabrak tubuh lemah Megan hingga terpental ke belakang, kecepatan mobil memang tak cukup tinggi tapi tetap saja membuat tubuh lemah itu kesakitan bersimpuh darah.
Kecelakaan terjadi. Orang-orang yang ramai di trotoar melihat langsung kejadian naas itu. Panik sudah pasti, mereka mulai menghampiri tubuh Megan yang telah bersimpuh banyak darah yang kerap mengalir memenuhi jalan bersama campuran hujan.
*
*
“Hujan deras begini, apa bisa paparazi mengikutiku! kak Sam terlalu khawatir, sekarang saja tak ada yang akan mengenaliku sebagai bintang!!” gumam Jakson yang tengah mengemudi dengan santai, kerap mengingat Sam yang tak membiarkan dirinya bertemu teman lama di malam hari, ya, walau ini sudah kebiasaan.
Mobil BMW kesayangannya sudah lama tak ia pakai, malam berhujan ini, Jakson baru saja mengunjungi beberapa teman lama sampai-sampai ia lupa waktu untuk kembali.
Besok hari sibuknya akan dimulai, jadwal suting yang kian padat sudah menjadi rutinitasnya. Siapa lagi kalau bukan dia, Jakson Willy. Seorang aktor yang terkenal di kota besar ini. Bisa juga di juluk si gila kerja. Kesehariannya hanya ada untuk kerja, di usianya yang menginjak 24 tahun ini ia sudah menjadi orang terkenal dengan ribuan penggemar.
Tak perlu terkenal pun ia juga sudah sukses, jelaslah karena berasal dari keluarga sendok emas. Kegemarannya dalam dunia aktinglah yang membawanya menuju puncak sebagai seorang king drama.
Suara dentuman lagu bergema, yang sedari tadi di putarnya sebagai teman dari kesendiriannya. Saat ini ia bermaksud kembali ke kediamannya, mengingat besok jadwal suntingnya juga mulai padat. Dalam perjalanan, ia berhenti di salah satu supermarket bermaksud membeli camilan malam, sekalian untuk orang yang sedang menjaga rumah, pikirnya.
Seseorang serasa mengikuti. Jakson mulai sadar akan kehadiran orang itu, di tatapannya sosok yang tengah membawa kamera menggelantung di leher. Tanpa pikir panjang lagi, Jakson bergegas kembali ke mobil dengan barang bawaannya.
“Apa itu paparazi? sungguh tangguh, bekerja keras di malam dingin begini! aku harus bergegas kembali sebelum mereka mengambil gambar jelek ku!” gumamnya kemudian melajukan mobil dengan kecepatan yang kerap tinggi, takut dirinya terkejar paparazi.
“Apa masih bisa mengenaliku?” lanjutnya kerap menatap dirinya melalui cermin spion seraya memperbaiki masker dan topi yang di pakainya sebagai penyamaran.
Jalanan sedang basah-basahnya, dan ia seolah tak peduli akan hal itu. Sungguh berbahaya jika harus berurusan dengan paparazi, pikirnya.
Brak..
Di jalan yang mulus itu Jakson menabrak seseorang, hal itu jelaslah membuatnya terkejut setengah mati dan langsung menghentikan mobil seketika.
“Apa orang itu sengaja membuang diri ke jalan! Jelas-jelas tadi dia tidak ada di sana!” gerutunya yang merasa tak bersalah.
Karena penasaran ia juga keluar dari mobil. Tak lupa ia membetulkan masker dan topi serta sweter sebagai pelengkap agar wajahnya tak terekspos di jalan ini. Di bukanya payung hitam, kemudian menghampiri kerumunan di sana, mereka menatap sosok wanita terbaring lemah yang kerap bersimpuh banyak darah.
Terkejut, tentu saja. Pikirnya ia sudah merenggut nyawa seseorang. Masyarakat yang berkumpul juga tengah menatapnya dengan tatapan seolah siap menerkamnya. Tanpa pikir panjang Jakson langsung angkat bicara sebelum masyarakat itu bertindak, tapi tepat sebelum ia berbicara seseorang memukulnya.
Buk..
Satu pukulan sukses mendarat di wajahnya, yang membuatnya meringis sakit.
“Apa-apaan Anda ini, kenapa memukul saya!” jelasnya membela diri yang kerap menatap sosok yang baru saja memberinya pukulan.
“Kau baru saja menabraknya, saya melihat sendiri mobilmu menabrak gadis itu!” jelas sosok itu kerap membalas tatapan Jakson dengan amarah.
“Sudah-sudah jangan pukul anak muda ini lagi, selamatkan gadis malang ini dulu, kau mau bertanggung jawab kan nak! kalau tidak maka kau harus ikut kami ke kantor polisi!” sela seorang wanita paruh baya memberikan kepastian untuk menolong gadis malang yang bersimpuh darah, Megan.
“Te tentu saja, saya akan bertanggung jawab!” jelas Jakson memberi jawaban pasti, tak ingin berurusan dengan polisi yang jelas akan merusak citranya sebagai bintang.
To
Be
Continue
Jika terdapat kesamaan nama tokoh, karakter, dan tempat, saya selaku penulis meminta maaf. Cerita ini hanya fiktif belaka tidak bermaksud menyinggung para pembaca dan pihak lainnya.
Hujan masih setia menerpa bumi, di malam yang dingin dan gelap, tampak kerumunan orang di jalan raya. Sosok yang tak sengaja membuat kecelakaan dan kemacetan kerap berfikir menyelamatkan diri dari situasinya sekarang.
Dirinya harus bertanggung jawab, tuntutan masyarakat membuatnya tak punya pilihan lain. Wajahnya sudah tercap pukulan warga, tentu tak ingin lagi jika cap tangan itu bertambah pada wajahnya yang berharga.
“Pak ... Tolong bantu angkat dia ke mobil saya, saya akan membawanya ke rumah sakit!” pinta Jaskon yang berjongkok menatap gadis itu.
“Kau akan menolongnya kan! Jangan berbuat hal aneh pada gadis malang ini!” sela seorang pria parubaya seolah mengingatkan, kemudian berjongkok bermaksud mengangkat gadis itu ke dalam mobil Jakson yang terparkir tak jauh dari sana.
Hujan semakin deras, kerumunan orang di jalan itu menghentikan lalu lintas dan membuat kemacetan. Gadis itu sudah mereka baringkan dalam mobil BMW mewah milik Jakson.
Jakson memberi hormat, berpamitan pada orang-orang yang masih berkerumun menatapnya, ia berjanji akan menolong gadis yang di tabraknya ini, dengan nada sedikit panik.
Jakson mulai menjalankan mobil, sesekali ia melirik gadis yang bersimpuh darah lewat kaca spion di depannya. Harinya sungguh sial. Kalau bukan karena warga itu, mana mau ia menolong gadis malang ini, pikirnya menggerutu.
Takut namanya akan menjadi pembicaran nomor satu akibat kecelakaan yang di perbuatnya, tentu saja menuntutnya agar menolong walau sepertinya Ia tampak tak merasa bersalah.
Tak tahu harus mengadu pada siapa, Jakson merogoh sakunya dengan maksud ingin menelepon Sam, Sam yang tak lain manajer sekaligus bodiguarnya sekarang.
Lewat telepon ia berbicara panjang lebar, menjelaskan kejadian yang di alaminya, walau tampak panik Jakson bercerita. Sam mulai memberi perintah. Memerintahkannya agar membawa gadis itu ke kediaman pribadinya, kemudian memanggil Jim yang tak lain dokter pribadinya pula, atau lebih tepatnya dokter kepercayaan keluarganya dan juga merupakan sahabat karibnya.
Mengingat ia adalah aktor terkenal, tidak mungkin baginya ke rumah sakti larut malam begini, apa lagi membawa seorang wanita sebagai pasien.
Selama ini Jakson tak pernah terlibat dengan seorang wanita atau bahkan memiliki skandal pacaran dengan artis lain. Iya hanya peduli dengan mantan pacarnya, sebut saja dirinya gagal moveon.
Kikkk..
Mobil berhenti tepat di depan rumah mewah bertingkat dua yang tak lain adalah kediaman pribadinya, di sana telah menunggu sepasang sosok yang perlahan mendekat bersama seorang dokter.
“Jakson, apa yang terjadi?” jelas Sam langsung bertanya dengan nada suara kerap panik, seperti saat di telepon.
“Jim, pasiennya ada di dalam, tolong periksa dia!” ujar Jakson mengarahkan kemudian membuka pintu di kursi penumpang, memperlihatkan sosok wanita yang terkujur lemah bersimpuh darah.
“Bawa dia ke dalam!” pinta Jim setelah mengamati sosok lemah itu.
“Baik!” jelas Sam kemudian mengambil alih tubuh tak berdaya itu dengan darah yang juga memenuhi pakaiannya.
“Hati-hati!” sela seorang wanita yang sedari tadi menatap mereka, tampak wanita itu juga panik akan apa yang di lihatnya sekarang.
“Kau tak apa-apa kan, apa kau juga terluka?” lanjut wanita itu bertanya pada Jakson yang tak lain teman kuliah Jakson dan sekarang sebagai desain fashion pribadinya, sebut saja Nadia.
“Wajah ku sepertinya memar, habis di pukul orang!” jelas Jakson memperlihatkan luka pukul di wajahnya saat setelah membuka masker dan topi yang di pakainya sebagai bentuk penyamaran.
“Yaa ampun.. Wajah mu bengkak, besok ada pemotretan jam 10 pagi untukmu, bagaimana ini?” jelas wanita itu kian memperhatikan luka Jakson.
“Ayo, kita masuk dulu, biar aku kompres es batu wajahmu itu!” jelasnya yang kerap menuntun Jakson memasuki rumah mewah bertingkat dua.
“Nanti biarkan Jim mengobatimu juga, tapi.. kau bau alkohol! Apa kau mabuk sehingga menabrak gadis itu!” duga wanita itu saat setelah duduk mengompres wajah tampan Jakson.
“Aku tidak mabuk! aku memang minum tapi masih sadar!” sanggah Jakson membela diri menatap lekat Nadia yang tepat di sampingnya.
“Sudah, kamu mandi dulu sana!” perintah Nadia saat setelah mengompres wajah Jakson.
“Iya iya! tapi.. apa menurutmu wanita itu akan baik-baik saja?” tanya Jakson sebelum beranjak dari tempatnya, bertanya karena dirinya mulai merasa bersalah.
"Semoga saja!" harap Nadia yang juga tak yakin.
To
Be
Continue
Jika terdapat kesamaan nama tokoh, karakter, dan tempat, saya selaku penulis meminta maaf. Cerita ini hanya fiktif belaka tidak bermaksud menyinggung para pembaca dan pihak lainnya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!