NovelToon NovelToon

Alea Si Gadis Tersisihkan

BAB 1

"Saya hamil, Pak!" seru seorang wanita cantik dengan mata berkaca-kaca.

"Saya hanya melakukannya sekali, bagaimana mungkin kamu bisa hamil?" tanya Arka tak percaya.

Wanita yang mengaku hamil tersebut bernama Mira. Ia menunduk menahan tangis, ia sudah menduga hal ini, pria bejat yang berstatus sebagai majikannya tidak mungkin mau mengakui anak yang dikandungnya apalagi bertanggung jawab.

"Tapi saya benar-benar hamil, Pak. Saya bersumpah tidak melakukannya dengan siapa-siapa dan hanya dengan bapak, itu pun karena bapak memperkosa saya!" tutur Mira tegas, air matanya pun mengalir deras di pipinya yang tirus.

Arka memijit pelipisnya pusing, ia dalam kondisi sangat sadar saat memaksa Mira untuk melayani nafsu bejatnya dan ia juga tahu itu yang pertama bagi wanita cantik itu. Melihat wajah teduh dan cantik milik Mira, membuatnya hilang akal hingga memperkosa gadis cantik yang berstatus sebagai pembantu baru di rumahnya.

"Tapi saya tidak mungkin bertanggung jawab. Kamu tahu saya sudah memiliki istri dan ia sedang hamil," ujar Arka dengan wajah frustasi.

"Lalu saya harus apa, Pak dan bagaimana dengan anak ini?" tanya Mira sembari mengelus perutnya yang masih rata.

Arka menghela nafas panjang. "Kita pikirkan jalan keluarnya nanti, sekarang saya harus kembali sebelum mereka memergoki kita!" ujar Arka lalu meninggalkan Mira begitu saja.

Mira terduduk lemas sembari menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar, tangisnya pecah meratapi nasib sial yang sedang ia alami. Tangannya membekap mulutnya agar tangisnya tak terdengar keluar, ia menangis tergugu seorang diri hingga lelah dan akhirnya tertidur di lantai.

"Mira! ... Mira!"

Mira terperanjat, mengusap sisa-sisa air mata di pipinya yang belum sepenuhnya kering, lalu melangkah keluar kamar menuju ke arah sumber suara yang memanggil namanya.

"Iya, Nona Raya. Ada yang bisa saya bantu?"

Raya diam, ia menelisik penampilan Mira dan perhatiannya tertuju pada wajah Mira yang sembab.

"Kamu habis nangis?... Kenapa?" tanyanya ketus.

"O-oh nggak, Nona. Saya hanya kelilipan," terangnya gelagapan dan berbohong.

Raya mengangkat bahunya tak peduli dengan bibir mencebik, toh ia sudah bertanya.

"Buatkan saya salad buah!" titahnya dengan gaya khasnya yang angkuh.

"Baik, Nona." Mira mulai mengeluarkan bahan-bahan dari kulkas sedangkan Raya duduk nyaman di meja makan sembari memainkan ponsel.

Huek! Huek!

Mira membekap mulutnya dan berjalan cepat menuju wastafel, ia memuntahkan sebagian isi dalam perutnya.

"Kamu kenapa, Mira?" tanya Raya.

"Mungkin masuk angin, Nona," jawab Mira yang lagi-lagi berbohong.

Raya hanya mencebik lalu mengangguk dan kembali memainkan ponselnya.

Bau mayonnaise sangat menyengat bagi Mira, ia tidak tahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya meski sudah berusaha ia tahan. Menghembuskan napas panjang ia mulai meracik kembali, namun sama seperti tadi ia kembali muntah ketika mencium bau mayonnaise.

"Kamu hamil, Mira?" tanya Raya tegas.

Deg!

Mira tidak menjawab, jantungnya berdegup kencang mulai berpikir jawaban apa yang hendak Ia keluarkan.

"Kamu benar-benar hamil,Mira?" tanya Raya sekali lagi. "Keterdiamanmu, aku anggap iya!"

Mira menunduk lalu mendongak ke atas untuk sesaat, menghembuskan napas kasar ia lalu berbalik menghadap Raya yang sudah berdiri di belakangnya. Tekadnya sudah bulat, ia akan mengakui segalanya.

"Iya, Nona. Saya hamil!" jawab Mira tenang.

Raya terbahak dengan ekspresi wajah mencemooh. "Ku pikir kamu seorang wanita yang pendiam dan tidak neko-neko, ternyata kamu jalang juga, ya!"

Mira mengepalkan tangannya erat.

"Ada apa ini?" seru Arka membuat keduanya menoleh.

"Mas!" sapa Raya lalu berjalan mendekat ke arah sang suami dan bergelayut manja di lengannya.

"Mira hamil, Mas. Aku kira dia wanita baik-baik, ternyata dia liar juga. Hamil tanpa suami!" ujar Raya dengan ekspresi wajah mengejek.

Tubuh Arka menegang. Ia terkejut juga sekaligus tak terima atas penghinaan istrinya terhadap Mira.

Tiba-tiba saja Mira tertawa sumbang, wajahnya mendongak ke atas menghalau air yang sudah menggenang di pelupuk matanya agar tidak tumpah. Ia tidak ingin terlihat sangat lemah dan rapuh.

Sontak reaksi Mira membuat Arka dan Raya terkejut.

"Saya memang bukan wanita baik-baik, Nona. Tapi, saya juga tidak seburuk yang anda katakan!"

Raya terdiam dengan dahi mengernyit, entah mengapa perasaannya mulai tak nyaman dengan reaksi yang Mira tunjukkan.

"Apa anda tidak ingin tahu siapa ayah dari anak ini?"

Raya tertegun. Sorot mata penuh keyakinan milik Mira sungguh membuatnya tak nyaman.

"Suami anda adalah ayah biologis dari anak ini!" tutur Mira tegas.

Bagai tersambar petir di siang bolong, Raya terkejut bukan main. Tubuhnya mematung, langkah kakinya mundur perlahan.

"Benar itu, Mas?" tanya Raya dengan wajah muram.

Arka gelagapan, ia bingung hendak menjawab apa. Menatap Mira dan Raya yang sama-sama menatapnya tajam membuat Arka semakin serba salah.

"Katakan, Mas. Apa benar yang wanita jalang itu katakan bahwa kamu adalah ayah dari bayinya?" tanya Raya dengan intonasi suara yang mulai meninggi.

Arka masih tetap diam, lidahnya kelu untuk mengatakan yang sebenarnya.

"Katakan, Mas!" bentak Raya dengan suara memekik.

"Maafkan mas, Raya," ucap Arka pelan dengan ekspresi wajah merasa bersalah.

"Brengsek kamu, Mas. Tega kamu!" pekik Raya histeris. Ia mengamuk memukuli dada Arka menggunakan kepalan tangannya.

"Aakkhh! ... Aakkhh!" Raya berteriak sembari menjambak rambutnya sendiri, ia seperti orang kesetanan.

Mira menatap iba pada Raya, ia tahu kejujurannya telah menyakiti hati wanita lain. Tapi, ia juga korban disini dan akibat yang akan ia tanggung sama beratnya dengan Raya.

"Raya hentikan! Jangan menyakiti dirimu sendiri!" ujar Arka panik. Ia berusaha menghentikan kegilaan Raya.

Raya berhenti mengamuk, ia lalu menatap Arka nyalang. "Katakan padaku, siapa yang memulainya lebih dulu, Mas. Kamu atau dia?" tanyanya dengan jari telunjuk mengacung ke arah Mira.

Arka terdiam, ia lagi-lagi bingung hendak menjawab apa.

Mira juga diam, ia menunggu jawaban apa yang akan keluar dari mulut Arka.

Mengakui perbuatan bejatnya atau malah menyalahkan dirinya untuk mencari aman.

Raya terkekeh sinis. "Pasti dia 'kan, Mas. Pasti dia yang menggodamu," ujar Raya dengan asumsinya sendiri.

"Dasar wanita murahan!" makinya dengan sorot mata tajam menatap Mira penuh permusuhan. "Pergi kamu dari sini, PERGI!!"

"Tanpa anda minta pun saya akan pergi dari sini. Tapi satu hal yang harus anda tahu, saya tidak pernah sekalipun menggoda suami anda. Dia yang datang pada saya dan melampiaskan nafsu bejatnya. Saya sudah berontak dan melawan sekuat tenaga, tapi anda sendiri tahu seberapa batas kemampuan wanita melawan tenaga pria!" tutur Mira berapi-api. Biarlah, ia berniat membesarkan anaknya sendiri, anaknya tidak membutuhkan seorang ayah yang pengecut.

"Kamu ... Kamu," tuding Raya tak habis pikir. "Aakkh!!" Belum sempat ia melontarkan caci maki pada Mira, ia memekik sembari memegangi perutnya yang terasa nyeri.

"Raya! Raya! Kamu kenapa?" seru Arka panik.

Ia lalu menggendong Raya ala bridal style lalu membawanya ke rumah sakit meninggalkan Mira begitu saja.

Mira menatap nanar kepergian suami istri tersebut, menghembuskan nafasnya kasar lalu berjalan dengan langkah gontai menuju kamarnya. Ia mulai mengemasi pakaiannya dan menyimpannya ke dalam tas.

"Neng Mira!" Mira menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.

"Mbok!" sapa Mira dengan senyuman pada Mbok Yanti yang berdiri ditengah pintu kamarnya yang tak tertutup.

Mbok Yanti mendekat lalu memeluk Mira dengan sayang, Mira pun membalas pelukan Mbok Yanti tak kalah erat.

"Hidup Mira hancur, Mbok!" adunya dengan tangis sesenggukan.

Mbok Yanti mengangguk sembari mengelus punggung Mira yang bergetar. Ia membiarkan gadis muda yang malang itu meluapkan kesedihannya.

"Mbok dengar semuanya, Neng. Mbok percaya sama Neng Mira," tutur Mbok Yanti sembari mengusap air mata di pipi Mira.

Mira tersenyum haru karena masih ada orang yang percaya padanya dan tidak menghakiminya.

"Neng benar-benar ingin pergi?" tanya Mbok Yanti dan Mira mengangguk mantap.

"Neng bisa tinggal di rumah Mbok yang di kampung. Tidak jauh, hanya empat jam perjalanan dari sini."

Mira mengangguk. "Mira mau, Mbok!"

Mbok Yanti lalu menuliskan sebuah alamat di secarik kertas dan menyerahkannya pada Rania.

Tidak perlu menunggu esok atau nanti, Mira pergi hari itu juga meninggalkan rumah Arka dan Raya. Ia menaiki kereta menuju sebuah perkampungan yang cukup ramai dan padat penduduk meski letaknya sedikit jauh dari kota.

Pada malam hari Arka kembali ke rumah untuk membersihkan diri karena harus kembali ke rumah sakit menemani Raya. Ia celingak-celinguk mengelilingi ruangan demi ruangan mencari keberadaan Mira, namun Mira tak kunjung menampakkan wujudnya.

"Cari siapa, Den?" tanya Mbok Yanti.

Arka berjengit kaget karena terkejut.

Mbok ngagetin aja!" seru Arka sembari mengelus dadanya. "Mira mana, Mbok?"

"Neng Mira sudah pergi, Den."

"Pergi?" Dahinya mengernyit. "Kemana?"

"Mbok nggak tahu, Den. Neng Mira tidak mengatakan apa-apa."

Arka menghela napas panjang, ia merasa bersalah ada gadis cantik yang sudah ia rusak hidupnya. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, ia terlalu malu mengakui tindakan bejatnya. Merasa tak ada yang perlu ia tanyakan lagi, Arka memilih berlalu dari sana.

"Den!" panggil Mbok Yanti.

Langkah Arka terhenti, ia berbalik menatap Mbok Yanti.

"Saya ingin berhenti bekerja, Den. Saya ini sudah tua dan sering sakit-sakitan, ingin istirahat saja dan menikmati hari tua di kampung," terang Mbok Yanti.

Arka terdiam berpikir. "Baiklah, Mbok. Tapi, tunggu sampai Raya sehat bisa, Mbok?"

Mbok Yanti mengangguk. "Iya, Den."

Setahun kemudian.

Seorang pria yang mengenakan pakaian satpam, terlihat berlari masuk ke dalam sebuah rumah mewah berwarna keemasan yang memiliki dua lantai, serta pilar-pilar menjulang tinggi di berbagai sisi.

"Ada apa, Mil?" tanya wanita paruh baya bersanggul rapi.

"Anu, Nyonya Camelia. Di depan ada wanita tua yang membawa bayi dan mengatakan bahwa itu adalah anak Den Arka," terangnya takut-takut.

"Usir dia!" titah Nyonya Camelia dengan wajah geram.

"Baik, Nyonya," jawabnya patuh.

"Suruh dia masuk!"

Samil dan Nyonya Camelia menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakang. Terlihat seorang pria tua yang berjalan menggunakan tongkat mendekat ke arah mereka.

"Suruh dia masuk!" titahnya sekali lagi.

"Untuk apa kamu menyuruhnya masuk, Pa? ... Kedatangan mereka bisa membuat keluarga kecil Arka berantakan," sentak Nyonya Camelia tak terima.

Kedua paruh baya itu adalah orang tua Arka, sejak kejadian Raya masuk rumah sakit, mereka pindah ke kediaman utama Wicaksana dengan alasan agar kejadian yang serupa tak terulang lagi.

"Bawa mereka masuk!" titah Tuan Fatan.

Nyonya Camelia melengos sebal lalu pergi.

Samil yang sejak tadi bingung ingin menuruti perintah yang mana, akhirnya menuruti Tuan Fatan

Tak lama kemudian, Mbok Yanti dengan tubuh kurus kering tengah menggendong bayi perempuan yang sangat cantik dan memiliki kulit putih bersih.

"Ningsihh!" panggil Tuan Fatan setengah berteriak.

Seorang wanita berusia pertengahan 30 an datang tergopoh-gopoh dari arah dapur.

"Iya, Tuan."

"Buatkan minum dan panggil semua orang untuk berkumpul di ruang tamu!" titahnya.

Mbok Yanti mendekap bayi mungil tersebut dengan hati-hati. Ia berulang kali memandang wajah bayi yang sedang terlelap tersebut dan semua tak luput dari perhatian Tuan Fatan.

"Ada apa, Pa?" tanya Arka yang datang bersama Raya.

Keduanya mematung terkejut akan kehadiran Mbok Yanti yang tak pernah mereka duga.

"Duduklah!" titah Tuan Fatan.

Arka dan Raya duduk di salah satu sofa meski dalam benak mereka timbul banyak pertanyaan, tapi mereka tak berani bersuara saat melihat keseriusan di wajah Tuan Fatan.

Menit berikutnya disusul Nyonya Camelia yang ikut bergabung dengan mereka.

"Semua sudah berkumpul. Sekarang katakan, Mbok. Apa tujuan mbok kesini?" tanya Tuan Fatan tenang.

"Ini anak Nona Mira dengan Den Arka, Tuan!" Terang Mbok Yanti seraya memperlihatkan bayi mungil dalam dekapannya.

"Tidak!" seru Raya nyaring.

Tuan Fatan mengangkat tangannya mengisyaratkan agar Raya diam.

Raya menatap Mbok Yanti geram. Dalam hati ia tak henti-hentinya mengutuk Mbok Yanti yang dengan lancangnya membawa bayi itu kesini.

"Lanjutkan!" titah Tuan Fatan.

"Saya sudah tua dan sakit-sakitan, Saya tidak bisa lagi menjaga atau merawatnya, Tuan. Untuk itu saya menyerahkannya kepada keluarga ini untuk dirawat karena Nona Mira, ... Sudah meninggal, Tuan!" ucap Mbok Yanti sedih.

Arka tertegun, lidahnya kelu hingga tak bisa berkata apa-apa.

"Keluarga Wicaksana akan merawatnya. Keputusanku sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat," ucap Tuan Fatan tegas.

"Pa!" panggil Nyonya Camelia tak terima.

"Aku tidak menerima segala bentuk protes dan negosiasi!"

Pada akhirnya mereka hanya bisa menurut. Mbok Yanti akhirnya bisa bernapas lega dan pergi dengan damai.

***

21 Tahun berlalu.

"Dasar anak tidak tahu diri, kamu sama pelacurnya seperti ibumu!"

Plak!

Sebuah tamparan yang cukup keras mendarat tepat di pipi kiri Alea, hingga membuat wajahnya terlempar ke samping. Tanda merah bergambar lima jari melekat di pipi mulusnya yang putih bersih.

"Aku sudah berbaik hati merawatmu dan membiarkanmu hidup, jadi jangan sekali-kali kamu berani melawanku ataupun mengusik milik putriku!" lanjutnya dengan sorot mata berapi-api juga jari telunjuknya mengacung tepat di depan wajah Alea yang tampak memar kemerahan.

BAB 2

21 Tahun kemudian.

"Maaa!" Seorang gadis berlari menaiki tangga dengan air mata bercucuran.

Brak!

Raya yang berada di dalam kamar terlonjak karena mendengar bantingan pintu yang sangat keras. "Bianca! ... Kamu bikin kaget mama, ada apa?" hardiknya kesal.

Gadis yang ia panggil Bianca tak menjawab pertanyaannya, tapi ia malah berlari dan menubrukkan tubuhnya kepelukan Raya. Isak tangis sesenggukan terdengar dari bibir Bianca yang masih terbalut lipstik.

"Bianca! ... Ada apa, Nak?" tanya Raya sekali lagi karena khawatir.

"Ze- ze- zein mu- mutusin aku, Ma!" adunya gagap dilanjutkan tangisnya yang semakin keras.

"Mutusin kamu?"

Bianca mengangguk sembari menyeka air matanya.

"Tenangkan diri kamu dulu!" Raya memeluk Bianca kembali dan menepuk-nepuk punggungnya agar putrinya itu bisa sedikit lebih tenang.

"Sekarang cerita sama mama, kenapa Zein tiba-tiba mutusin kamu?" ujar Raya saat tangis Bianca sudah mulai reda.

"Ini semua gara-gara anak haram itu, Ma!" ujar Bianca geram.

Tangan Raya terkepal erat menahan marah, tidak perlu dijelaskan ia sudah tahu apa yang terjadi, kejadian seperti ini sudah berulang kali Bianca terima. Setiap Bianca memiliki kekasih, para pria itu selalu memutuskan hubungannya dengan Bianca ketika melihat Alea.

"Kamu tunggu di sini. Biar mama beri pelajaran anak itu!" titah Raya yang dijawab anggukan oleh Bianca.

Raya beranjak dari ranjang dan pergi keluar dari kamarnya menuju ke belakang, mencari keberadaan Alea.

"Alea!" teriak Raya dengan wajah merah padam.

Alea yang baru saja selesai membuang sampah, mendongak menatap Raya dengan dahi berkerut. "Apalagi kali ini?" batin Alea lelah.

"Dasar anak tidak tahu diri, kamu sama pelacurnya seperti ibumu!" Pekikan berisi makian lalu disusul tamparan yang sangat keras, mendarat mulus di pipi Alea yang putih bersih.

Lagi-lagi semua Alea terima tanpa tahu dimana letak kesalahannya.

"Aku sudah berbaik hati merawatmu dan membiarkanmu hidup, aku sudah memperingatkanmu berulang kali jangan sekali-kali kamu berani mengusik milik putriku!" lanjutnya dengan sorot mata berapi-api. Jari telunjuknya mengacung tepat di depan wajah Alea yang tampak memar kemerahan.

Alea hanya diam dengan wajah datarnya, ia tidak menjawab atau memberikan reaksi apapun. Hal seperti ini sudah cukup sering ia alami sejak kecil, menerima kemarahan yang tak ia tahu apa penyebabnya.

"Ada apa ini, Raya?" tanyanya sembari memandang Raya dan Alea bergantian.

Arka yang baru pulang dari kantor, melipir ke dapur saat mendengar teriak kemarahan Raya. Di sana ia melihat istri dan anaknya sedang bersitegang yang kini entah apalagi penyebabnya.

"Anak harammu itu sudah mulai mengikuti jejak ibunya yang seorang wanita penggoda!"

Arka menghela napas. "Apa lagi yang kamu lakukan kali ini, Alea?" tanyanya dengan raut wajah frustasi.

"Kalau aku mengatakan tidak melakukan apapun, apa Anda akan percaya?" tanya Alea dengan sorot mata menantang ke arah Arka.

Arka bergeming, perasannya sedikit terluka melihat sorot mata Alea yang memancarkan kebencian.

"Ma! Pa! ... Bianca mohon, jangan terus memojokkan Alea!" ucap Bianca dengan wajah menyedihkan, membuatnya tampak seperti malaikat berhati mulia.

Arka tersenyum haru. Ia berjalan menghampiri Bianca yang entah sejak kapan berada di sana.

"Kamu memang Putri papa yang baik. Tapi, apa ini?" Arka meraba jejak-jejak air mata yang masih basah di pipi Bianca.

"Kamu menangis?" sentak Arka dengan mata terbelalak karena terkejut bercampur cemas.

Raya menghela nafas kasar. "Itulah yang membuat aku marah, Mas!"

Arka menoleh menatap Raya dengan raut wajah bingung.

"Zein memutuskan hubungannya dengan Bianca secara tiba-tiba, padahal mereka tidak mempunyai masalah apapun. Alea mendesak dan akhirnya Zein mengaku karena ia jatuh cinta pada Alea!" terang Raya geram.

Arka kembali berbalik dan menatap Bianca. "Benar begitu, Bianca?"

"Iya. Tapi, tidak apa-apa, Pa. Jangan memarahi Alea, mungkin Alea memang menyukai Zein sehingga ia menggodanya. Aku bersyukur dengan begitu aku jadi tahu bahwa Zein bukanlah pria yang setia," ujar Bianca lembut dengan senyum di bibirnya.

Arka menatap Bianca penuh rasa bangga, ia lalu berbalik dan kembali melihat ke arah Alea dengan tatapan kecewa. "Lihat! ... Kakakmu begitu baik dan selalu memaafkan setiap kali kamu merebut kekasihnya. Ia selalu menanggapinya dengan positif. Papa minta tolong, Alea. Berhentilah membuat kekacauan agar rumah kita damai!"

Raya mendengus. "Kamu pikir dia akan mendengarkan kamu, Mas?"

Arka menghela nafas berat. "Alea, Papa mohon!" pintanya dengan wajah sendu.

"Sudahlah, Ka. Istirahatlah, kamu pasti lelah setelah seharian mengurus perusahaan. Biar ibu dan istrimu yang mengurus gadis tak tahu diri ini!"

"Ma!" panggil Arka melihat kedatangan ibunya dari arah belakang.

Nyonya Camelia berjalan anggun mendekati kerumunan.

"Pergilah ke kamar dan bersihkan dirimu!" titah Nyonya Camelia tegas tidak ingin dibantah.

"Raya! ... Ajak suamimu!" titahnya yang mendapat anggukan kepala dari Raya.

"Ayo, Mas!" Raya menggamit lengan Arka lalu keduanya berjalan bersama menuju kamar.

Kini tersisa mereka bertiga di dapur.

Nyonya Camelia, Bianca dan Alea yang masih tetap bergeming di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, meski sejak tadi semua orang menghakimi atas kesalahan yang tidak pernah dibuatnya ia tetap diam.

"Keluarga ini sudah mendidikmu dengan keras agar tidak menjadi wanita penggoda, tapi sepertinya usaha keluarga ini sia-sia. Ternyata darah ibumu yang seorang wanita penggoda mengalir deras dalam tubuhmu," ujar Nyonya Camelia penuh penghinaan.

Jika hinaan bisa dijadikan uang, Alea pasti sudah kayak raya sekarang. Hinaan dan cacian sudah menjadi makanan sehari-harinya sejak dulu.

"Aku tidak pernah menggoda siapapun!" jawab Alea.

"Bohong, Nek. Buktinya setiap aku membawa kekasihku ke rumah, Alea selalu beralasan agar bisa menampakkan diri di depan kekasihku lalu menonjolkan kecantikannya!" sela Bianca.

"Kekasih, heh?" sela Alea sembari menyeringai sinis. "Kamu seperti wanita murahan, yang pergi dengan lelaki berbeda setiap hari. Saat mereka meninggalkanmu, kamu membuat drama dan menjadikanku sebagai alasan, menjijikkan!"

Plak!

Nafas Nyonya Camelia naik turun dan tersengal karena marah. Tangannya terasa kebas akibat kencangnya tamparan yang ia layangkan ke pipi Alea.

Matanya menatap nyalang dengan sorot mata berapi-api."Berani sekali kamu menghina cucuku, hah?!" bentaknya nyaring.

Bianca mematung karena tercengang.

Hinaan yang Alea lontarkan sungguh mengejutkan untuknya. Hingga suara tamparan yang disusul bentakan Nyonya Camelia menyadarkan dirinya dari keterpakuan.

Nyonya Camelia mengacungkan jari telunjuknya. "Suamiku sudah mati, jangan harap ada lagi seseorang yang akan membela dan melindungimu. Selama kamu masih tinggal di sini, ikuti aturanku!"

Alea bergeming, ia diam tak mengeluarkan suara lagi. Pipinya terasa nyeri dan kepalanya juga menjadi pening.

"Bi! ... Bi Ningsih!" teriak Nyonya Camelia memanggil asisten rumah tangganya.

Bi Ningsih keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari tergopoh-gopoh menghampiri Nyonya Camelia.

"Iya, Nyonya!" Bi Ningsih melirik, mencuri pandang ke arah Alea.

"Jangan beri dia makan malam! ... Jika sampai Bi Ningsih melanggar perintahku, bersiap ku pecat tanpa pesangon!" ancamnya.

"Ba- baik, Nyonya!" jawab Bi Ningsih sedikit gagap.

Sekali lagi Nyonya Camelia menoleh ke arah Alea dan mendengus kesal. Ia lalu mengajak Bianca pergi dari sana.

"Non," sapa Bi Ningsih yang mendekatinya dengan raut wajah iba.

"Nggak apa-apa, Bi. Alea baik-baik saja," jawabnya dengan senyum teduh yang menenangkan.

Bi Ningsih lalu memeluk Alea dengan sayang, selama 20 tahun usia Alea sekarang, selain mendiang Tuan Fatan hanya Bi Ningsih lah yang berperan penting dalam pertumbuhannya, untuk itu Alea juga sangat menyayangi Bi Ningsih.

"Sakit?" tanya Bi Ningsih sembari meraba pipi kiri dan kanan Alea yang memar.

Bahkan sudut bibirnya mengeluarkan darah akibat kencangnya tamparan Nyonya Camelia terakhir kali. " Nyonya Camelia sungguh keterlaluan, Non. Beliau selalu menganiaya Non Alea, semenjak Tuan Fatan meninggal 10 tahun lalu Nyonya Camelia dan Nyonya Raya semakin semena-mena!" ujar Bi Ningsih sedih.

Alea hanya tersenyum, hatinya sudah mati terhadap keluarga dari ayahnya selain Kakek Fatan. Ia tak lagi iri dengan kasih sayang yang ayahnya curahkan untuk Bianca, karena ia sadar ia hanyalah anak yang terlahir dari sebuah kesalahan dan kehadirannya sama sekali tak diharapkan.

Menjelang malam Bi Ningsih menghampiri Alea yang tengah mencuci buah-buahan.

"Non istirahat saja, biar bibi dan Sella yang mengerjakan. Bibi tahu Non lelah karena kegiatan kampus setengah hari ini," ujar Bi Ningsih pelan.

Alea tersenyum dan mengangguk.

Sejujurnya ia benar-benar lelah. Banyak tugas kampus yang belum ia selesaikan karena harus membagi waktu dengan pekerjaan rumah.

Sella seorang janda muda, salah satu asisten rumah tangga di kediaman Wicaksana mendengus sebal.

"Sudah, nggak usah hiraukan Sella!" Bi Ningsih mendorong Alea menjauh dan mengibaskan tangannya agar Alea lekas pergi.

"Bi Ningsih, seharusnya kita itu menjilat pada yang benar-benar memiliki kuasa. Bibi menjilat Alea si anak haram nggak akan dapat imbalan apa-apa, malah dapat marah dari Nyonya!" cerocos Sella seakan menggurui Bi Ningsih.

Bi Ningsih menghela napas panjang dan geleng-geleng kepala. "Ini bukan tentang imbalan, Sel. Semua tentang rasa kemanusiaan!"

"Halah!" ujar Sella sewot.

Bi Ningsih hanya mengelus dadanya dan kembali melanjutkan kegiatan memasaknya. Namun, tak lama kemudian teriakan Nyonya Camelia yang melengking mengejutkannya begitu juga dengan Sella.

"Bi!"

Bi Ningsih berjengit. "Eh, iya Nyonya. Ada yang bisa saya bantu?"

"Mana anak haram itu?" tanya Nyonya Ningsih. Wajahnya tak pernah menunjukkan keramahan jika membicarakan Alea.

"Non Alea di kamarnya, Nyonya!" jawab Bi Ningsih dengan raut pucat.

Nyonya Camelia mendengus, ia berjalan cepat menuju ke arah belakang dimana kamar Alea berada dengan wajah bersungut-sungut. Sepeninggalan Kakek Fatan 10 tahun lalu, Nyonya Camia memindahkan kamar Alea ke area belakang, berdampingan dengan kamar para pembantu yang menginap di kediaman Wicaksana.

"Tuh 'kan, Bi?" Sella terkekeh mengejek karena ucapannya yang menjadi kenyataan.

Bi Ningsih hanya bisa meremat tangannya dan berdoa dalam hati semoga Alea tidak lagi mendapat kekerasan dari Nyonya Camelia.

Brak! Brak! Brak!

Suara pintu yang digedor begitu keras, mengejutkan Alea yang tengah bergelut dengan laptopnya.

"Alea, keluar kamu!" Nyonya Camelia berteriak marah sembari terus menggedor pintu tanpa henti.

Seorang pria paruh baya yang bertugas sebagai tukang bersih-bersih halaman hanya bisa menghela nafas prihatin.

Ekspresi wajah Nyonya Camelia semakin muram karena pintu yang tak kunjung terbuka.

"Buka atau aku suruh Pak Usman mendobraknya!" ancam Nyonya Camelia.

Tak lama, terdengar suara kunci yang diputar dari dalam lalu dilanjutkan dengan pintu yang terbuka secara perlahan.

Nyonya Camelia yang tidak sabar mendorong pintu tersebut dengan keras hingga membentur dinding. Sekali lagi menimbulkan suara debuman yang keras.

Alea tersentak dan tubuhnya mundur ke belakang.

"Enak sekali kamu bersantai di sini. Keluar dan kerjakan pekerjaan rumah yang belum selesai!" bentaknya kasar.

Alea tidak menjawab, ekspresi wajahnya datar tak beremosi. Ia hanya langsung menuju dapur setelah lebih dulu menutup pintu kamarnya, diikuti Nyonya Camelia.

"Non!" sambut Bi Ningsih dengan raut cemas.

Alea tersenyum menenangkan Bi Ningsih yang tampak sangat mengkhawatirkannya.

"Suruh dia mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasanya, Bi. Jangan memperlakukannya seperti majikan, dia bukan bagian dari anggota keluarga ini!" terang Nyonya Camelia ketus.

"Baik, Nyonya!" jawab Bi Ningsih.

"Ingat, jangan ada yang memberinya makan malam ini. Aku akan mengawasi kalian melalui CCTV, awas jika salah satu diantara kalian mengabaikan perintahku!" Nyonya Camelia meninggalkan dapur setelah memberi perintah bernada ancaman pada beberapa asisten rumah tangga yang masih berada di kediaman Wicaksana.

"Non nggak apa-apa?" tanya Bi Ningsih sendu.

"Bibi minta maaf jika ide bibi malah membuat Non kembali dimarahi," ujar Bi Ningsih penuh penyesalan.

"Alea baik-baik saja, Bi. Sini, Bi, biar Alea yang bawa makanannya ke depan!" Alea mengambil piring berisi ayam goreng dari tangan Bi Ningsih dan membawanya ke ruang makan.

Sayup-sayup ia mendengar obrolan hangat antara Papa dan saudara tirinya, Raya beserta Nyonya Camelia yang saling menimpali. Gelak tawa yang terdengar dari mulut mereka, tak lagi menimbulkan rasa nyeri di hatinya.

"Papa bisa aja, Bianca nggak sepintar itu, Pa ," ujar Bianca malu-malu. Alea tidak tahu pujian apa yang papanya layangkan hingga Bianca bersikap seperti itu.

Arka dan Raya terkekeh.

"Kamu tidak perlu malu, Bianca. Perusahaan Wicaksana siapa lagi yang akan mewarisinya jika bukan kamu," timpal Nyonya Camelia sinis sembari melirik Alea yang sedang menyimpan piring ke atas meja.

Ucapannya seolah menegaskan bahwa Alea tidak berhak mengharapkan sepeserpun dari kekayaan Wicaksana.

"Sayang sekali perusahaan Digantara tidak bisa jatuh ke tangan Bianca juga," ujar Raya penuh penyesalan.

"Tidak masalah, Dirgantara juga sudah banyak membantu perkembangan perusahaan Wicaksana," balas Nyonya Camelia. Suasana hatinya membaik jika sudah membahas tentang kekayaan.

"Mama benar, Sayang. Wicaksana saja sudah cukup untuk Bianca, ia akan kewalahan mengelolanya jika semua jatuh ke tangannya ," ujar Arka bijak.

Nyonya Camelia dan Raya mengangguk tersenyum.

"Lalu Alea?"

Alea menghentikan langkahnya saat namanya disebut oleh Bianca. Ia ingin mendengar apa yang akan Bianca ucapkan selanjutnya.

"Adakah bagian untuknya?"

BAB 3

"Lalu Alea?"

Alea menghentikan langkahnya saat namanya disebut oleh Bianca. Hatinya terketuk ingin mendengar lebih jauh apa yang akan Bianca ucapkan.

"Adakah bagian untuknya?" Diam-diam sudut bibirnya membentuk seringai yang mengejek.

Arka tertegun. Benar, ia sama sekali tak pernah memikirkan tentang Alea. Saat Bianca tak sengaja menyinggung, ia tidak tahu hendak berkata apa.

"Tidak perlu, dia bukan bagian dari keluarga kita!" ujar Nyonya Camelia santai tanpa perasaan.

Alea sudah tak ingin mendengarnya lagi, ia melangkah cepat kembali menuju dapur.

"Ma! ... Tolong jangan terlalu keras pada Alea, dia juga anakku," ujar Arka dengan tatapan memelas.

"Anak haram yang tidak berguna saja kamu anggap, Ka. Anggap dia tidak ada, dia juga tidak berhak menuntut apapun dari kamu," ujar Nyonya Camelia tegas.

Arka tak lagi berkutik maupun bersuara. Ia menjadi anak patuh yang selalu mendengarkan apa kata sang ibu.

"Tidak ada yang benar-benar menerima kehadirannya di sini selain Mas Fatan. Aku tidak bisa menerima anak dari wanita miskin yang tidak jelas asal usulnya untuk menjadi cucuku!" lanjut Nyonya Camelia.

Di sisi pintu ruang makan, Alea berdiri dan mendengar semua pembicaraan mereka. Menghembuskan napas kasar berusaha menguatkan hati dan memberi semangat pada dirinya sendiri. "Hanya setahun lagi, bertahanlah Alea. Bertahan!"

Alea kembali dengan membawa sepiring capcay dan sambal goreng hati ayam ditangan kiri dan kanannya.

"Alea, duduklah dan makan bersama kami," ujar Arka lembut sembari tersenyum.

"Tidak!" sentak Nyonya Camelia dan Raya bersamaan dengan suara sedikit memekik.

Arka sampai terlonjak karena kaget.

"Jangan membuat mama murka, Ka!" ancam Nyonya Camelia sembari melotot tajam.

"Kamu juga harus ingat perjanjian kita 10 tahun lalu, Mas!" timpal Raya tegas.

Arka menghembuskan napas berat dan tak lagi mengatakan apa-apa. Dia hanya bisa menatap iba punggung Alea yang semakin menjauh.

"Non, ini ada sedikit puding. Makanlah, Non, selagi Nyonya tidak melihat!" Bi Ningsih menyodorkan sebuah piring kecil berisi puding jagung ke hadapan Alea.

Sella yang melihatnya bersedekap di dada dan menatap keduanya sinis. "Nyonya memang tidak tahu, tapi di sini ada mata-matanya," ungkap Sella sembari menunjuk dirinya sendiri.

Alea dan Bi Ningsih menoleh. "Kamu diam aja, Sel. Kasihan Non Alea belum makan sedari siang."

"Bi Ningsih mau aku juga ikut dimarahi, heh?" tanya Sella kesal. "Tuh lihat, CCTV memantau 24 jam," lanjut Sella sembari menggerakkan kepalanya ke arah CCTV yang terletak di sudut atas ruangan.

Bi Ningsih dan Alea bersama-sama menoleh ke arah yang ditunjuk Sella. "Maaf, Non," ungkap Bi Ningsih dengan raut menyesal.

Alea mengulum senyum menenangkan. "Nggak apa-apa, Bi. Alea bisa tahan."

Sudah tidak ada lagi pekerjaan rumah yang harus dikerjakan, Alea hanya tinggal menunggu mereka keluarga Wicaksana selesai makan malam agar dibersihkan ruangannya.

"Selagi senggang, jika ada tugas kuliah yang harus dikerjakan Non bisa mengerjakannya di sini saja, agar saat Nyonya Camelia ke belakang beliau tidak lagi marah karena Non tetap berada di sini," usul Bi Ningsih.

Alea mengangguk, ia lalu beranjak menuju kamarnya guna mengambil laptop miliknya. Setelah itu ia kembali lagi ke dapur dan mulai mengerjakan tugas kampus yang belum selesai.

Meski keluarga Wicaksana tidak pernah memperlakukannya dengan baik dengan selalu menganggapnya sebagai pembantu jika berada di rumah, tapi mereka masih mengizinkan dirinya untuk menempuh pendidikan hingga perguruan tinggi tanpa pernah mengusiknya.

Bi Ningsih yang melihat Alea fokus dengan laptopnya, membiarkan Alea dan mulai membereskan ruang makan berdua bersama Sella.

"Wajahmu jangan cemberut begitu, Sel. Nggak usah ngadu sama nyonya juga!" ujar Bi Ningsih ketus.

Sella melengos semakin mengerucutkan bibirnya cemberut. "Anak itu tidak pernah dianggap oleh keluarga ini, kenapa nggak pergi aja, dari pada tetap di sini tapi nanggung sakit hati setiap hari."

Bi Ningsih hanya tersenyum kecil. "Yang Non Alea pikirkan, yang penting dia bisa sekolah dengan baik dan segera lulus dari perguruan tinggi secepatnya. Jadi, suatu saat jika dia di usir atau keluar dari rumah ini, dia punya ilmu pengetahuan sebagai bekal agar sedikit lebih mudah mencari pekerjaan yang layak untuk bertahan hidup."

Gerakan tangan Sella membersihkan meja terhenti. Ia memandang Bi Ningsih dengan ekspresi tertegun, tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah menyeringai. "Sekarang aku tahu alasan dia diam saja saat diperlukan dengan kejam di rumah ini, ternyata diam-diam dia sudah berniat keluar dari sini dan merencanakan masa depan yang lebih baik berbekal ijazah yang nanti akan dia dapatkan."

"Tindakan Non Alea sudah benar 'kan, Sel?" tanya Bi Ningsih sembari tersenyum bangga.

Sella memaksakan senyumnya dan menjawab singkat. "Iya, Bi."

Bi Ningsih menatap Sella sekilas lalu kembali melanjutkan kegiatannya seraya terus mengulum senyum.

"Akhirnya aku mendapat bahan informasi untuk dilaporkan kepada Non Bianca. Pasti Non Bianca akan memberiku lebih banyak uang lagi nanti, aku bisa belanja dan ke salon lagi," batin Sella senang sembari menutup mulutnya yang sedang terkekeh tanpa suara.

Hingga semua pekerjaan rumah beres, Sella yang biasanya rewel dan terus menggerutu jika Alea tidak membantu, maka kali ini Sella membiarkan Alea yang masih betah duduk di tempatnya, menatap intens laptop yang entah apa yang dikerjakannya.

"Non!" panggil Bi Ningsih menghampiri Alea.

Alea mendongak. "Kenapa, Bi? Mereka sudah selesai makan?"

"Sudah, Non. Semua sudah beres, Non Alea kembali aja ke kamar!"

Alea menatap heran, kepalanya melongok ke samping melihat Sella yang sedang memainkan ponselnya.

"Bener, Bi?" tanya Alea sedikit ragu.

Aneh rasanya jika Sella diam saja melihat dirinya tidak turut serta membantu menyelesaikan pekerjaan rumah. Sella selalu menganggap mereka berkedudukan sama, tak jarang malah Sella bersikap layaknya majikan karena merasa seluruh keluarga lebih memihaknya.

Bi Ningsih yang mengerti keraguan Alea lantas terkekeh. "Bibi nggak bohong, Non."

Tak menghiraukan keberadaan Bi Ningsih dan Alea, Sella melewati keduanya begitu saja menuju kamarnya yang ada di belakang.

"Tuh Sella sudah kembali ke kamarnya!" tunjuk Bi Ningsih menggunakan dagu pada punggung Sella yang sudah menghilang.

Alea mengulum senyum. "Iya, Bi. Kalau begitu Alea ke kamar dulu, ya?"

Alea beranjak dari kursi dan berjalan menuju kamarnya sesaat setelah Bi Ningsih menganggukkan kepalanya mengiyakan.

Alea membuka tasnya, meraih sebungkus roti dan air mineral yang tadi di belinya lalu memakannya secara perlahan untuk mengganjal perut.

Alea yang sedang mengunyah roti dengan mata menerawang seakan tengah memikirkan sesuatu, tersentak saat terdengar nada khusus pertanda pesan masuk dari gawainya.

"ALEAAA!!!"

Si pengirim pesan hanya menuliskan namanya menggunakan huruf kapital sebagai kata pertama yang ia baca.

"Apa?" jawabnya membalas pesan tersebut.

Alea memandangi ponselnya menunggu balasan dari si pengirim.

"Kita mendapat job lagi, desain untuk logo pakaian milik brand lokal yang baru akan launching bulan depan!" ucap si pengirim dengan emoji menangis di akhir kalimat.

Alea menutup mulutnya dengan mata terbelalak membaca pesan selanjutnya dari si pengirim, matanya berbinar karena kebahagiaan menyelimuti hatinya.

"Kita akan membahas detailnya besok saat jam kampus selesai!" lanjut si pengirim yang kembali mengirimkan pesan.

"Ok."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!