Hari ini Nayla pulang bekerja pukul sembilan malam, sebab ia mendapat jadwal sift siang.
“Assalamu'alaikum, Andi.” Nayla sampai di rumah dan membuka pintu.
“Wa'alaikumsalam salam, Mbak,” jawab Andi.
Andi adalah adik Nayla yang berusia 21 tahun. Nayla hanya tinggal berdua bersama adiknya karena orang tua mereka sudah lama meninggal.
Nayla duduk di kursi sebentar untuk melepas lelah, ia melihat adiknya yang tengah serius menonton pertandingan sepak bola.
“Andi, udah makan belum? Mau Mbak beliin makanan nggak? mumpung Mbak belum ganti baju,” tanya Nayla.
“Udah kok, Mbak, tadi beli nasgor di depan gang.
Mbak, sendiri udah makan?” tanya Andi pada Nayla.
“Udah. Mbak mandi dulu, besok Mbak dapat sift pagi. Kamu jangan malem-malem tidurnya, kan besok kuliah.”
“Iya, Mbak, kurang 20 menit lagi.”
Selesai mandi Nayla melihat ponselnya. Ada 10 pesan dan lima missed call messenger dari Fahad. Nayla mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia sungguh sangat lelah dengan sikap Fahad. Ingin rasanya ia memblokir Facebook dan Messenger pria itu, tapi entah mengapa ia tidak pernah melakukan itu .
Iya ... Fahad dan Nayla saling mengenal lewat aplikasi Facebook satu tahun yang lalu. Saat pertama melihat pesan dari Fahad yang berisi,
“thank's for your like, Dear.”
Nayla memang menyukai salah satu foto pria itu di Facebook. Bukan foto pria itu sendiri, tapi sebuah foto pohon dan pemandangan. Nayla tidak pernah mau memberi like pada foto seorang pria, dia tidak ingin di katakan sebagai gadis yang sedang mencari perhatian.
Seperti gadis pada umumnya. Nayla melihat profil Fahad terlebih dahulu sebelum membalas pesannya. Bukan ingin melihat Fahad tampan atau tidak, tapi ingin tahu pria itu masih sendiri atau tidak. Dan, setelah itu dia pun membalas pesannya
“My pleasure.” Nayla membalas seperti itu.
Nayla memang wanita yang mudah berteman, ketika ada seseorang menawarkan pertemanan dengan baik dan sopan ia akan menyambutnya dengan baik pula.
Setelah cukup lama mereka saling mengenal—satu tahun lamanya, sampailah pada pertanyaan Fahad yang di tujukan untuk Nayla
“Apa gelar pendidikanmu?”
Seketika Nayla di buat heran dengan pertanyaan pria berkebangsaan India itu.
Baru kenal udah berani nanya-nanya gelar pendidikan segala. Batin Nayla berkata.
Tetapi, dengan santai dan tanpa rasa malu Nayla pun menjawab, “aku tidak punya gelar, aku juga tidak kuliah. Aku bekerja sebagai pelayan restoran,” jawabnya.
Fahad yang tengah duduk di meja kerjanya itupun di buat heran oleh jawaban gadis berhijab itu, Nayla. “Apa kamu berkata jujur?” tanyanya.
“Iya tentu. Untuk apa aku berbohong."
Setelah cukup lama mereka saling mengenal dan terkadang mereka mengobrol lewat video call Messenger, akhirnya Fahad memberanikan diri bertanya nomor WhatsApp Nayla.
Nayla langsung menolak, ia merasa sudah cukup mereka berteman lewat media sosial, jangan sampai merambah ke kehidupan pribadi .
Fahad pun menyerah, ia tidak pernah bertanya tentang nomer WhatsApp Nayla .
Fahad mengatakan semua kehidupan pribadinya pada Nayla, termasuk keluarga, pekerjaan, dan perusahaannya. Fahad anak pertama dari 3 bersaudara, kedua adiknya perempuan, Yasmin dan Yumna .
Ayah Fahad sudah lama meninggal. Keluarganya mempunyai bisnis menjual saffron, bunga cantik yang memiliki banyak khasiat. Salah satu manfaatnya ialah obat anti kanker. keluarganya mempunyai perkebunan saffron yang cukup luas. Nilai jualnya memang cukup mahal, meski begitu ... tidak mengurangi penikmat bunga saffron kering karena memang banyak khasiatnya dan cara meminumnya yang mudah. Cukup menaruh satu atau dua lembar saffron kering kedalam gelas lalu di siram air panas, di aduk dan tunggu sebentar, warna air tersebut akan berubah dan siap diminum.
Fahad kini pun sedang membangun perusahaan industri di new Delhi yang ia beri nama Fahad Industries. Yasmin, adiknya dan Sahil sahabatnya-lah yang membantu membangun perusahaan itu dari nol.
Begitupun dengan Nayla, dari awal ia jujur tentang hidupnya. Keluarga, pekerjaan, status sosial pun ia katakan bahwa dia bukan orang kaya. Kedua orang tuanya meninggal sudah lama, Nayla anak ke empat dari lima bersaudara. Semua kakaknya sudah menikah dan memiliki rumah masing-masing. Kini hanya Nayla dan Andi yang tinggal di rumah peninggalan orang tuanya.
Saat Nayla akan mendaftar kuliah, orang tua Nayla meninggal karena kecelakaan. Nayla pun memutuskan untuk tidak mendaftar kuliah dan memilih bekerja saja.
Nayla berpikir, jika ia tidak bekerja lalu bagaimana dengan nasib pendidikan Andi adiknya yg saat itu masih kelas 2 SMK—untuk biaya pendidikan Andi, memang sudah ada uang tabungan dari orangtua mereka—gaji Nayla hanya cukup untuk makan dan keperluan sehari-harinya dan Andi. Jika ada lebih, maka Nayla akan menabungnya.
***
Nayla terkejut saat membaca pesan Fahad.
“Nayla, sebenarnya aku punya perasaan sama kamu
Ya, aku menyukaimu. Saat aku mengenalmu, aku merasa aku hidup kembali setelah perceraianku dengan istriku 2 tahun yang lalu. Aku tidak tahu apakah kamu mempercayaiku atau tidak, tetapi aku mohon kamu untuk mempercayaiku. Pada awalnya aku bingung dengan perasaanku sendiri, apa yang terjadi dengan hati dan hidupku sekarang. Aku mohon terimalah cintaku.”
Nayla hanya diam, menggaruk kepalanya yg tidak gatal itu. Setelah lama terdiam, Nayla pun hanya membalas, “it's bullshit.”
Fahad memutuskan menelpon Nayla, namun gadis itu lebih memilih mengabaikannya dan melanjutkan pekerjaannya di restoran.
Dalam hati Nayla berbicara,
ada apa ini? Ini gila! Bisa-bisanya dia bercanda seperti itu denganku. Iya, dia memang tampan dan kaya, wanita manapun pasti akan jatuh hati padanya. Saat pertama Fahad video call pun aku sempat terkesima dengan ketampanannya, apalagi saat dia tersenyum. Membuat hatiku meleleh rasanya.
Seketika Nayla sadar dan mengatakan istighfar berkali-kali seraya berkata dengan dirinya sendiri.
“Sadar Nayla sadar! Dia siapa kamu siapa. Mana mungkin orang kaya seperti Fahad akan jatuh cinta dengan gadis jelek dan miskin sepertimu. Jangan bodoh Nayla, jangan bodoh.”
Saat masih bingung dengan dirinya sendiri, Nayla di kejutkan ketika seseorang menepuk bahunya dari belakang.
“Sari!” seru Nayla. “Kamu apa-apaan, sih! Ngagetin aku aja.”
“Lagian, kamu ngapain ngomong sendiri kaya orang gila?” tanya Sari yang tak lain adalah teman satu pekerjaan dengan Nayla—sebagai pelayan.
“Nggak kenapa-kenapa. Eh, udah selesai kamu salatnya?” tanya Nayla, mengalihkan pembicaraan Sari yang masih curiga dengan sikapnya.
“Iya, udah.”
“Ya, udah. Ganti aku yang salat.”
Sari mengiyakan ucapan Nayla.
***
Tepat pukul satu siang, Nayla hendak pulang ke rumah dari tempat bekerjanya. “Nay, nonton, yuk? Ada film baru nih,” ajak Sari
Nayla menolak ajakan Sari “Enggak, Sar, maaf. Aku capek. Lain kali aja, ya.”
“Oke. Lain kali, ya? Awas bohong,” kara Sari.
Di pikiran Nayla, hanya tertuju pada kamar dan kasur—ia ingin segera tidur, mengistiratkan tubuh dan pikirannya sejenak yang lelah akan semua sikap dan ucapan cinta dari Fahad.
Nayla sudah sampai di rumah, ia pulang dengan menggunakan jasa ojek online seperti biasanya. Segera, Nayla membersihkan diri. Selesai, Nayla kini tengah berbaring di atas ranjangnya, meraih ponselnya yang berada di meja nakas. Ia mengatur ponselnya dalam mode senyap, tidak ingin tidurnya terganggu oleh Fahad yang masih saja mengirim pesan dan menelponnya—mengatakan tentang perasaanya.
***
Seminggu sudah sejak Fahad mengatakan perasaan pada Nayla. Ia tidak membalas pesannya sama sekali.
Bukan ia merasa sebagai seseorang yang sangat cantik, Nayla hanya takut jika ia menanggapi Fahad, hatinya akan terbuka dengan sendirinya. Nayla tahu itu pasti akan menyakitinya.
Hari Sabtu ....
Setiap minggu semua karyawan restaurant mendapat jatah libur satu hari selama seminggu. Nayla memilih hari sabtu untuk hari liburnya. Terkadang, salah satu temannya ingin bertukar hari libur, Nayla pun tidak keberatan dengan hal itu. Seusai menunaikan ibadah salat subuh, Nayla kini tengah memasak dan melakukan semua pekerjaan rumah layaknya seorang ibu rumahtangga.
“Mbak, nanti pulang mau titip apa?” tanya Andi sembari memakai sepatu—bersiap untuk pergi ke kuliah.
“Nggak titip apa-apa, Ndi. Mbak lagi nggak pengen sesuatu, kamu pulangnya jangan telat, nanti bantuin Mbak benerin genteng yang bocor. Kan, udah mau musim ujan.”
“Siap, Mbak, assalamu'alaikum.”
“Wa'alaikumsalam,” jawab Nayla seraya menepiskan senyumnya.
Tidak seperti teman-temannya yang memilih menghabiskan waktu di mall, nonton, atau nongkrong di cafe ketika hari liburnya, Nayla lebih memilih di rumah dengan segala kesibukan. Selesai mencuci baju, Nayla duduk di kursi ruang tamunya memainkan ponselnya. Membuka media sosial yang ia miliki.
Pesan dari Fahad kembali masuk, masih dengan pembahasan yang sama—tentang perasaanya. Kali ini, Nayla merasa harus membalas pesan Fahad, sudah cukup lama ia mengabaikan pesan pria itu, pikirnya.
“Hai, Nayla how are you?” ~ Fahad.
“Alhamdulillah. I'm good, how about you?” ~ Nayla.
“Aku sedang tidak baik, Nayla.” ~ Fahad.
“Kenapa?” ~ Nayla.
“Karena kamu tidak membalas pesanku, aku sangat merindukanmu, Nayla.” ~ Fahad.
Nayla tersenyum tipis, merasa apa yang di katakan Afsal itu sangatlah berlebihan, untuknya.
Nayla tidak membalas pesan Fahad. “Kayaknya duduk di taman enak kali, ya?” Nayla bertanya pada dirinya sendiri.
Nayla memutuskan untuk pergi ke taman yang tidak terlalu jauh dari rumahnya seorang diri. Tdak terlalu sepi dan tidak terlalu ramai juga. Setiap Nayla merasa sesak akan semua masalah, Nayla selalu pergi ke taman tersebut. Dengan membawa tas punggung kecil dan sebotol air di tangannya, Nayla kini duduk di salah satu kursi besi, matanya sibuk memperhatikan orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Hanya begitu saja, Nayla merasa sudah cukup tenang dan sejenak bisa melupakan apa yang membuat hati dan pikirannya lelah.
***
Keesokannya, Nayla kembali bekerja seperti biasa. Hari Minggu, restaurant sudah pasti ramai oleh pelanggan. Ia bahkan tidak sempat memegang ponselnya—sekedar melihat apakah ada pesan masuk. Saat jam istirahat, Nayla hanya makan dan menunaikan kewajibannya, salat lima waktu.
Waktu pulang sudah tiba, Nayla sudah berdiri di depan restaurant. Di raihnya benda pipih di dalam tas selempangnya yang sejak pagi tidak ia sentuh sama sekali. Mata Nayla membulat dengan sempurna, ia berseru marah sekaligus terkejut begitu membaca pesan dari pria India itu, Fahad.
“Hah?! Fahad, kamu ngapain, sih?!”
Doni, salah satu teman Nayla ... mendekat dan mengapa Nayla yang terlihat kebingungan. “Nay, ada apa? Kenapa kamu kelihatan bingung?" tanyanya.
“Eh! Enggak, Don, aku pamit pulang duluan.” Nayla mempercepat langkah kakinya, berjalan menjauh dari area restaurant.
Kedua alis tebal milik Doni saling bertaut, “ada apa sama, Nayla?” tanyanya pada diri sendiri.
***
Nayla sudah duduk di dalam taksi online yang ia pesan untuk mengantarnya ke bandara. Sesampainya di bandara, Nayla mengedarkan pandangannya—mencari pria yang ingin sekali ia maki-maki.
Perlahan, Nayla mendekati pria yang tengah duduk di kursi ruang tunggu, memangku komputer lipat.
“Fahad?” panggil Nayla lirih, ia belum terlalu dekat dengan pria itu. Nayla semakin mendekat, kembali memanggil nama pria berhidung mancung, berkulit putih bersih itu. “Fahad?”
Fahad menoleh, tersenyum. Ia meletakkan laptop miliknya ke kursi, lalu berjalan mendekati Nayla. Tanpa permisi, tanpa salam, Fahad berhambur mendekap tubuh Nayla dengan erat. “Akhirnya kamu datang.”
Nayla terkejut oleh pelukan Fahad. Berulang kali ia mencoba melepaskan pelukannya, namun percuma ... dekapan tubuh Fahad membuat ia tak bisa berkutik sedikitpun.
“Aaww!” pekik Fahad. Cubitan yang di daratkan Nayla pada perut pria berbrewok tipis itu berhasil membuat pelukan itu terlepas.
“Pergi, kembali ke negaramu! Sekarang!” seru Nayla.
Fahad menghela napas panjang, ia meraih pergelangan tangan Nayla. Namun, gadis berhijab cokelat itu segera menepisnya. “Jangan pegang-pegang!” kata Nayla.
“Nayla, kita duduk dulu, aku mau bicara sebentar.”
Satu tangan Fahad ia ulurkan, mempersilahkan Nayla untuk duduk. Nayla memejamkan matanya sekejap, menarik napas panjang, lalu menuruti permintaan Fahad, ia duduk.
Fahad menyusul Nayla, ia juga duduk di sampingnya.
“Nayla, aku nggak mau kembali ke India sebelum kamu mengatakan, iya. Aku nggak peduli tentang apapun, aku cuma tahu, aku mencintaimu,” ucap Fahad yang hendak memegang kepala Nayla dan langsung di tepis oleh gadis itu.
“Jangan pegang!” serunya.
“Oke, maaf.”
Nayla diam, ia bingung apa yang akan ia lakukan. Tak lama, seorang petugas keamanan menghampiri mereka dan berkata, “permisi, Mbak, Mister ini udah lama menunggu. Dia udah dateng jauh-jauh, Mbak, kasihan kalau di tolak.”
“Hah?” Nayla di buat melongo oleh ucapan petugas tersebut.
Mister-mister. Di kira Mister Tukul jalan-jalan apa?
Lagian, ini Mas petugasnya, di ceritain apa coba sama Fahad, sampai bilang gitu ke aku. Batin Nayla.
“Oh, iya, Mbak, Mister Fahad belum makan sejak datang tadi, katanya dia mau makan sama, Mbak,” sambung petugas tersebut.
“Kenapa panggilnya Mister, sih? Geli, Mas, dengernya,” kata Nayla pada petugas.
“Iya, Mister, masa saya mau panggil dia ‘Mas’ sih, Mbak? Kan lucu,” jawabnya.
“Terserahlah.”
Nayla merasa iba melihat Fahad yang sejak pukul sembilan pagi tadi sudah berada di bandara—yang ternyata belum memakan apapun. Nayla mengalah, hatinya pun luluh lalu ia mengajak Fahad ke sebuah hotel yang tidak jauh dari rumahnya.
Hari ini, biar dia beristirahat dulu, besok aku akan menyuruhnya segera kembali ke India.
***
Sampai di hotel, Fahad menentukan sendiri seperti apa kamar yang ia inginkan. Setelah lock card ia terima, Fahad mengajak Nayla untuk ikut bersamanya menuju kamar.
“Ayo,” ajaknya. Tangannya hendak meraih tangan Nayla.
Nayla menolak, menyembunyikan kedua tangannya di belakang tubuh. “Aku nunggu di sini aja, habis itu kita pergi ke restaurant untuk makan,” kata Nayla.
“Apa kamu takut? Aku nggak bakal ngapa-ngapain kamu, percaya sama aku, Sayang,” tutur Faha yang membuat Nayla melotot ke arahnya.
“Sayang?! Jangan gila,” seru Nayla. “Panggil namaku, jangan panggil sayang seperti itu.”
“Kenapa? Aku memang mencintaimu dan menyayangimu.”
“Fahad, stop!”
Fahad terus memohon, hingga Nayla mengatakan ‘iya’, untuk ikut ke kamar yang sudah di pesan olehnya
Fahad menaruh kopernya di atas kasur, ia membuka koper tersebut, mengeluarkan baju ganti. “Aku mandi cuma sebentar, tunggu di sini dan jangan nyoba buat kabur.” Fahad memberi peringatan yang sebenarnya terdengar bagaikan sebuah perintah di telinga Nayla.
Nayla tidak menjawab, ia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah—kemanapun asal tidak bersitatap dengan Fahad.
“Oke, Sayang?” tanya Fahad.
“Hemm, Oke,” sahut Nayla tanpa sadar. “Eh. Jangan manggil ‘sayang’, Fahad!” sambung Nayla dengan kesalnya.
Fahad berjalan masuk ke kamar mandi, ia tersenyum bahagia bisa bertemu dengan Nayla, akhirnya.
Sembari menunggu Fahad mandi, Nayla mengirim pesan pada Andi, adiknya.
“Andi, Mbak masih ada urusan. Kamu di rumah aja, ya? Jangan kemana-mana, jangan lupa makan. Oh, iya, minta tolong sekalian angkat jemuran, ya? Udah mendung ini.”
Tak butuh waktu lama, Andi segera membalas pesan Nayla. “Iya, Mbak, jemuran udah Andi angkat dari tadi. Mbak, di mana? pulang jam berapa? biar Andi jemput.”
“Mbak di rumah temen, Ndi, nggak usah di jemput, Mbak nanti naik ojek aja pulangnya, makasih udah di angkat jemurannya.”
“Iya. Mbak, hati-hati.”
“Iya, Ndi.”
Ada perasaan takut, takut jika Fahad akan melakukan sesuatu di luar dugaan. Bagaimanapun juga, Fahad adalah pria asing yang baru ia kenal—lebih tepatnya, mereka baru saja bertemu. Akan tetapi, Nayla tidak bisa egois dan jahat. Ia merasa harus menemani Fahad untuk saat ini. Sebab pria itu belum tahu daerah Kota Jakarta dengan baik. Sebagai tuan rumah, tentu Nayla harus bersikap baik pada Fahad.
Nayla menyingkirkan pikiran jahat yang berlarian di benaknya. Pikiran bahwa Fahad adalah pria yang tidak baik, pria yang suka memanfaatkan seorang wanita. Sudah tentu Nayla berpikiran seperti itu. Hanya berdua, di dalam kamar hotel. Tidak baik memang, tapi kembali lagi ... Nayla bukan wanita dengan hati yang tega, ia memutuskan untuk tetap bersama Fahad—saat ini—bukan berarti ia adalah wanita gampangan, ia akan tetap berhati-hati dan menjaga diri.
***
Setelah mengabari Andi jika ia akan pulang terlambat, Nayla mengambil buku menu—melihat daftar menu makanan hotel. Ia memutuskan memesan satu spaghetti dan dua steak, tak lupa ia juga memesan dua jus jeruk. Satu steak ia minta untuk di bungkus, karena ia akan membawa pulang, untuk Andi .
Terdengar, suara pintu kamar mandi terbuka, seketika pandangan Nayla tertuju pada sumber suara tersebut.
Masha Allah indahnya ciptaan-MU, handuk masih di leher dan rambut basah yang masih acak-acakkan aja, dia udah cakep. Nayla terdiam, matanya masih menyorot pria berkebangsaan India di depannya itu.
Eh, astagfirullah, ampuni aku Ya Allah. Jangan sampai terpesona Nayla, jangan sampai! Nayla seketika tersadar saat Afsal tersenyum kepadanya. Nayla memalingkan wajah, berpura-pura sibuk dengan ponselnya.
Menggemaskan! Batin Fahad.
Bel pintu terdengar, membuyarkan kesunyian antara Nayla dan Fahad. Nayla mengambil dompet di dalam tasnya, beranjak menuju ke pintu dan membukanya.
Fahad yang melihat petugas hotel membawa makanan, dan Nayla yang mengeluarkan beberapa lembar uang pun langsung berkata pada Nayla.
“Apa yang sedang kamu lakukan? itu makanan untukku, kan? aku akan membayarnya,” ucap Fahad.
Nayla menoleh sejenak ke arah Fahad, ia hanya diam dan tetap membayar dengan uangnya.
“Nayla.”
“Fahad.”
”Kamu pikir ini cuma makananmu? aku juga lapar!” sungut Nayla sembari melotot pada Fahad.
Fahad hanya tersenyum. Ia paham bahwa Nayla masih marah dan terkejut atas kedatangannya.
Nayla bergegas menaruh semua makanan di atas meja, ia mengambil satu piring spagheti lalu duduk di bawah—lesehan—di samping meja. Fahad juga ikut duduk di bawah, di samping Nayla.
“Ngapain?” tanya Nayla.
“Mau nikahin kamu.”
Nayla berdecak kesal. “Aku tanya, kamu ngapain duduk di bawah?”
“Oh.” Fahad tersenyum, bukan ia tidak tahu apa maksud dari pertanyaan Nayla, ia memang sengaja menjawab seperti itu. “Aku mau makan sama calon istriku, di sampingnya. Nggak salah, kan?”
“Salah. Aku bukan calon istri kamu,” dengus Nayla.
“Eh, iya. Bukan calon istri, tapi calon Ibu untuk anak-anakku nanti.”
“Fahad!” seru Nayla.
“Apa?”
“Buruan dimakan!”
“Iya, Sayang ....”
Nayla berdecak kesal, ia memilih tidak menyahuti ucapan Fahad dan memakan spaghetinya.
***
Seusai makan, Nayla pun berpamitan akan pulang, sebab waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima sore. Tangan Fahad menarik tangan Nayla, mencegah ia pulang.
“Aku mau pulang, besok aku balik ke sini lagi,” kata Nayla dengan suara terendahnya.
“Nayla, bisakah kamu memberiku nomer WhatsApp-mu?” tanya Fahad yang tak di jawab oleh Nayla, tidak dengan ucapan ataupun gelengan—anggukan kepala. “Ayolah, aku udah di sini, gimana kalau aku hilang? Siapa yang akan aku hubungi.” Fahad memasang wajah melasnya.
Apaan, sih! Emangnya kamu anak kecil yang diajak Ibunya ke tempat rame terus ilang, gitu?!
Nayla meraih ponsel yang masih di genggam Fahad, mengetik nomer WhatsApp-nya lalu menyimpannya dengan nama, Nayla. “Ini, sudah. Sekarang aku mau pulang.”
Fahad menerima ponselnya kembali, tersenyum lalu berkata, “baiklah, terima kasih dan hati-hati, Sayang.”
”Jangan memanggilku seperti itu!” seru Nayla yang kesal oleh panggilan ‘sayang’ yang di lontarkan Fahad. “Panggil Nayla,” imbuhnya.
“Iya, Nayla,” jawab Fahad, ia memberi penekanan pada ucapannya. “Sayang,” sambungnya dengan lirih dan Nayla tak dapat mendengar.
Nayla mengucap salam seraya melangkahkan kakinya, keluar kamar. Fahad pun membalas salam Nayla, ia masih saja memandangi Nayla hingga wanita itu menghilang dari balik pintu lift.
***
Sesampainya di rumah, Nayla menuju sofa ruang tamu, sejenak ia berbaring di sana, tangannya mengarah memijat keningnya yang terasa sedikit pusing.
Andi yang baru saja keluar dari kamar, melihat Nayla yang berbaring di sofa itu pun segera mendekat, bertanya pada saudarinya itu. “Mbak Nayla, kenapa? Sakit? Ayo, Andi antar ke dokter, Mbak.”
“Enggak. Mbak cuma capek, habis mandi juga hilang capeknya. Ini dimakan, Ndi.” Nayla menyodorkan steak yang berada di meja—yang ia bawa.
”Apa ini, Mbak?”Andi membuka bungkusan kresek yang terdapat satu kursi steak tersebut. “Kok, cuma satu, Mbak?” tanyanya.
“Mbak tadi udah makan di sana, itu buat kamu. Mbak mandi dulu, ya?” Nayla beranjak, masuk menuju kamar untuk mengambil handuk.
***
Nayla masih di kamar, menunggu waktu maghrib, terdengar suara notifikasi pesan WhatsApp. Nayla mengambil ponselnya yang tergeletak di atas kasur, di sampingnya.
“Apa kamu di rumah?” isi pesan tersebut.
“Iya.” Nayla tidak bertanya, siapa pemilik nomer yang mengiriminya pesan, dari nomer kode +91 saja ia sudah tahu bahwa itu adalah nomer WhatsApp milik Fahad.
“Sayang.”
Nayla mengembuskan napasnya dengan kasar, lagi-lagi pria itu memanggilnya seperti itu
”Jangan memanggilku seperti itu, Fahad."
“Udah waktunya salat, Allah hafiz [¹].” Balas Nayla lagi.
“Allah hafiz, Sayang.”
***
Waktu menunjukkan pukul delapan malam, Andi dan Nayla berada di ruang tv bersama. Nayla sibuk melipat pakaian, sedangkan Andi sibuk dengan laptopnya, mengerjakan tugas kuliah.
Andi adalah anak yang ramah dan tidak suka macam-macam. Ia sadar jika ia melakukan hal yang salah, maka yang paling terluka dan sedih sudah pasti kakak perempuannya ini, Mbak Nayla.
Bukan berarti tiga kakaknya yang lain tidak peduli, hanya saja Andi lebih dekat dengan mbak Nayla-nya. Karena kesibukan, mereka tidak bisa bertemu dengan ketiga kakak mereka yang lainnya. Terkadang, Andi akan mampir ke rumah salah satu kakaknya jika ia merindukan keponakannya. Nayla sangat jarang, sebab ia lebih memilih di rumah setelah pulang bekerja.
“Mbak?” suara Andi memecah kesunyian.
“Hemm?”
“Mbak, lagi mikirin apa, sih? Dari pulang kerja mukanya kayak stres, gitu. Dimarahin bos, ya?”
“Enggak,” singkat Nayla. ”Andi, kalau kamu jatuh cinta sama cewek, terus cewek itu nolak kamu gimana? Masih kamu kejar apa nyerah aja?” tanya Nayla tiba-tiba.
“Hahaha.” Andi tertawa mendengar pertanyaan Nayla.
“Andi, Mbak serius,” kesal Nayla, adiknya itu justru menertawakan pertanyaannya.
”Mbak Nayla, lagi jatuh cinta?” Andi bertanya, masih tertawa.
“Enggak.” Nayla berkilah. “Jawab aja pertanyaanya, nggak udah melebar ke mana-mana.”
“Kalau Andi, sih, pasti kejar terus, Mbak. Nggak peduli berapa kali dia nolak, Andi pasti kejar terus. Kalau Andi udah dapetin dia ... baru, deh,” jawaban Andi menggantung.
“Baru apa?” penasaran Nayla.
”Baru, deh! Andi buang. Salah sendiri sombong banget jadi cewek.” Andi kembali tertawa.
“Awas kalau kamu berani kayak gitu sama cewek. Mbak bakal gantung kamu di pohon toge!” ancam Nayla, ia menunjuk Andi dengan sorot mata tajamnya.
“Bercanda, Mbak, bercanda. Lagian, Andi kalau jatuh cinta nggak bakal sama sembarang cewek, Mbak. Nggak asal cakep doang dan nggak bakal main-main sama hati anak orang,” tutur Andi.
Nayla menepiskan senyumnya, puas oleh penuturan dan pemikiran adiknya tentang jatuh cinta dan tentang seorang wanita.
Nayla melihat ponselnya yang tergeletak di sampingnya. Tak satupun ada notifikasi pesan ataupun telpon dari Fahad.
Eh. Ngapain aku nungguin WhatsApp dia? kurang kerjaan banget.
***
[¹] Allah Hafiz \= sampai jumpa. Kalimat itu biasa di gunakan oleh Muslim India ketika mereka mengakhiri sebuah pertemuan, pesan, dan telepon.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!