Halo semuanya, perkenalkan namaku Hana Indy.
Saat ini, aku sedang menulis untuk Tugas Akhir kepenulisan yang aku ikuti.
Disini, aku mengangkat tema Fantasi yang dicampur dengan bumbu Thriller. Akan ada banyak kasus seperti genosida, pembunuhan, perbudakan, dan segala jenis kejahatan lainnya. Jika tidak berkenan boleh di skip saja.
Tidak akan ada romansa dicerita ini!
JIka kalian sudah pernah menuntaskan MoonGazing-Tsuki Wo Miteita maka kalian akan kenal dengan tiga tokoh utama kita. Coin Carello, Tian Cleodra Amarillis, dan Idris Morf P.
Yang lupa mari kita ulas kembali tokoh utama kita ya.
Oh ya, Jangan bingung ya misalnya ada penyebutan "Tuan Muda Regen" atau "Tuan Muda Tian" padahal mereka merujuk pada orang yang sama.
Dunia di dalam cerita adalah murni karangan dengan peta tersendiri. Jadi, tidak terpaku pada sejarah manapun.
Coin Carello
Coin akan menjadi bagian utama dalam cerita ini. Sebagian latar belakangnya aku memunculkan di MoonGazing ya. Bisa dilihat. Tetapi, di sini aku juga akan membahas dirinya secara rinci. Terutama mengenai masa lalunya, hal yang dia inginkan dll.
Tian Cleodra Amarillis
Nah, mungkin ada yang sudah tahu jika dia adalah muncul dengan nama Black. Tetapi, ada juga yang belum. Jadi, dia salah satu prajurit Argania. Bagaimana ya bisa berakhir di sana? Apa hubungan mereka semua? Nah, akan aku bahas satu-satu di sini. Yang unik di sini adalah mata rubahnya. Uh, bagaimana bisa prajurit secantik itu. Penasaran gak tuch?
Idris Morf P.
Idris ini adalah dokter kerajaan. Salah satu kemampuannya adalah menciptakan racikan untuk penyakit langka. Ibarat kata Ilmuan lah ya.
Nah segitu dulu ya untuk perkenalan karakternya. Kita bisa berkenalan dengan karakter lainnya sepanjang episode.
Mungkin author juga bakalan menggambar beberapa karakter tambahan yang perlu masuk dalam cerita juga. Kita juga ada Baron dan kakak dari Tian yaitu Regen Liam.
So enjoy this story. Jangan lupa memberian jejak kalian pada setiap episode. Dukung semua author juga ya.
Love, Hana
Tersedia juga dalam platform lain. Seperti huruf W oren.
...“Seekor kumbang hinggap pada kuncup bunga mekar. Biasanya akan turun hujan kala itu, katanya.” -Surai....
Bukalah sebuah buku! Ketika malam tiba sebuah dongeng akan dikisahkan. Mereka yang terperangkap dalam cahaya dan tulisan menjadi wujud nyata seorang manusia. Para gadis kecil bermimpi dalam tidur. Sepatu kaca mungil, gaun megar, rambut panjang dengan cahaya mahkota hinggap pada kepalanya. Dunia fantasi yang diimpikan semua gadis kecil ada dalam genggaman lelaki dengan paras unik. Mata rubahnya meruncing tajam setelah mendengar sayup ringkikan kuda.
Dari balik semak belukar hutan belakang rumahnya. Pagar tinggi dia panjat sedemikian hingga menuju batas lainnya. Mengawasi sejenak apakah ada penjaga yang tidak merelakan tuannya pergi.
Berbekal bunga tepian hutan, terus mengikuti ke mana suara ringkikan kuda membawanya. Menuju..,
Dunia fantasi yang didambakan semua orang.
Lelaki dengan rambut hitam mengurai lurus menggapai kuda bersurai perak, memiliki tanduk dikepalanya. Lalu menundukkan kepalanya ketika melihat lelaki ini merentangkan tangannya.
“Unicorn, sudah lama tidak menyapamu.”
Begitu riang ringkikan itu.
Lelaki memiliki mata hitam-perak indah, hidup mewah dalam sebuah rumah. Berpakaian rompi serta celana diatas lutut juga sepatu bootsnya, walau begitu, bangsawan ini sering menyusahkan pelayannya.
“Tuan Tian,” suara berteriak kencang memanggil namanya.
Tian lelaki itu hanya mendecih.
Melihat adanya pedang juga perisai yang menerobos melewati rerumputan. Dilihatnya lelaki yang memang sering menjaga gerbang perbatasan belakang. Ciri khasnya dengan pedang dan perisai dikarenakan banyaknya penyerangan hewan liar.
“Aku akan pulang. Aku tidak kabur.”
Meyakinkan jawaban atas tatapan penjaganya melihat penuh tanya.
“Tuan Besar Amarillis mencari Anda, Tuan Muda. Sebaiknya kita segera kembali.”
“Aku akan pulang sebelum matahari tenggelam. Kamu santai saja.”
“Tuan Besar tidak mengijinkan Anda memasuki kawasan hutan.” Sedikit kepanikan berada diraut wajahnya
“Aku akan bilang ayah nanti,” jawab Tian.
Tipikal anak yang menuruti apa yang dikatakan orang tua. Tetapi, dalam urusan bermain dia sangat suka melanggar.
Sekarang usianya menginjak 12 tahun, waktu yang sangat muda untuk menjelajahi dunia.
Seorang pengawal itupun masuk ke dalam gerbang. Hendak melaporkan apa yang dia ketahui kepada penjaga pribadi Tuan Tian. Lelaki berperawakan gagah, dengan mata hampir serupa dengan adiknya berdiri menyambut penjaga yang keluar dari perbatasan lain.
“Tuan Muda Lunar,” sapa penjaga itu.
“Adikku di hutan?” sesuai dengan tebakan yang benar.
“Iya Tuan Muda. Saya sudah memperingatkan.”
“Tidak apa,” jawab lelaki dengan suara sedikit berat dan serak. “Dia hanya tidak memiliki teman seusia dengannya.”
Tian hanya menatap kepergian penjaganya dengan senyuman kecil. Bermain bersama dengan kuda bertanduk, juga tanpa sengaja melihat sayap kecil melintasi matanya. Peri dengan sayap biru melambaikan tangan. Tian tersenyum. Diulurkannya tangan lalu peri kecil itu bersandar. Bercengkerama dengan teman peri-nya, sembari menatap Tian lalu berbisik.
Begitu nampak indah pulau yang sudah dikenal dengan surganya mitologi. Kuda Bertanduk, peri, naga, berada dalam balutan indah hutan belantara. Dinamai Pulau Arash. Lokasi paling berkabut dari kebanyakan pulau atau negara lainnya. Sering mencoba diambil dan diperalat oleh negara lain. Disinilah mereka mengembangkan kemiliteran, namun sedikit sayang jika terbuka dengan peradaban.
Tian meletakkan tikus bersayap yang dia pegang. Berkaca pada danau kecil di sebelahnya lalu membasuh mukanya. Berjalan menuju kuda yang menunggu sembari menggesekkan kepalanya karena gatal. "Unicorn, aku akan pulang."
Begitu suaranya terdengar, ringkikan kuda itu sedikit sedih. Dielusnya pelan lalu bersiap mengantarkan Tian menuju perbatasan benteng belakang. Memberi penghormatan lalu mengejar mimpi malam yang akan segera hadir.
Tian memanjat benteng dengan kaki tangannya. Sejak lahir Tian memiliki keistmewaan. Lelaki itu akan selalu memanjat benteng tinggi, pendek, selicin apa, akan selalu bisa melakukannya.
Melihat wajah kakaknya yang berada di bawah kakinya, Tian hanya mendengus sebal. "Aku kira kamu sudah pergi."
"Ayahanda memanggil siang tadi dan kamu hanya bermain dengan hewan. Tidakkah jika kamu menuruti kata ayah?" Tipikal lelaki yang sangat acuh dengan adiknya walau wajahnya tidak menunjukkan keharusan itu.
Menunduk hormat kepada sang ayahanda sudah siap dengan teh dingin. "Maafkan aku ayahanda," ucap Tian.
"Tian, apakah dunia luar begitu bebas untukmu?"
Pertanyaan yang membuat Tian meragu. "Begitu," jawabnya pada akhirnya.
"Esok, kamu akan menjalani pelatihan militer. Ayahanda harap kamu dapat bersekolah dengan baik."
Kedua jemarinya dia tautkan di depan badannya. Perjalanan militer yang sudah ditempuh oleh kakaknya dimana Tian akan ditugaskan dalam hal-hal jauh dari rumah. Hidup bebas dan bertahan hidup. Mengabdikan dirinya untuk negara agar bisa mewarisi gelar keluarganya punya sebagai Regen.
"Kelulusanmu juga hanya seminggu lagi," lanjut ayahandanya. Adalah fakta yang tidak dipungkiri.
Tian juga beranjak dewasa. "Baik ayahanda," jawabnya lemas.
Tian berjalan lesu menuju kamarnya berada di lantai dua rumah besar itu. Menatap anak tangga berlantai licin sembari menghitung jumlahnya karena mengalihkan pemikirannya sendiri. Dunia bebas yang Tian inginkan adalah di alam, bermain dengan banyak hewan, bebas seperti bagaimana dia menginginkan sayap kebebasan.
"Bukankah hanya kakak yang menjadi pewaris Regen," rutuknya sepanjang perjalanan menuju kamarnya. Istilah kepala pulau. Seseorang yang memiliki pulau dan membangun perekonomian.
Merebahkan dirinya malas dalam sofa panjang. Sekilas melirik pemandangan luar dari balik jendela. Melangkah menuju jendela besar, begitu indah kerlipan bintang bertengger diangkasa. Awan tipis menghiasi malam kala itu.
Esok hari tidak akan disambut lelaki ini, menunggangi kereta kudanya lalu berhenti pada akademi militer yang akan menjadi tempat belajarnya baru. Sebuah ambisi untuk menyelesaikan pelajaran dengan cepat lalu keluar dengan membawa gelar.
Tidak lupa mampir ke sekolah lamanya untuk mengambil surat kelulusan. Bagi Regen yang paling terhormat di pulau, Tian cukup kesepian. Beberapa anak yang sungkan berteman dengannya hanya karena derajat. Ada juga yang mengejek jika dia terlalu kaku. Pada dalam lubuk hatinya Tian hanya punya teman.
Namun, begitulah cara dunia memperlakukan bangsawan.
Tian mengikuti sesi wawancara unuk masuk militer dan lolos dengan nilai yang bagus. Tidak sengaja melihat lelaki seumuran dengannya juga mendaftar sekolah yang sama. Lelaki yang dia kenal dengan Baron. Adalah putra semata wayang menteri pertahanan militer.
"Baron," sapa Tian ramah. Lelaki itu hanya mengacuhannya lalu memilih bidang ekstra yang akan dia ikuti. Di Akademi Militer yang Tian punya anak bebas menentukan bidang tambahan untuk penunjang pelajaran utama.
"Siapa namamu?" tanya lelaki itu ketus.
"Tian," jawabnya cepat. Berharap akan ada teman yang juga memperlakukan dirinya teman.
"Aku Baron," salam kenal darinya.
Tian tersenyum. "Salam kenal."
"Salam kenal, aku tidak tahu darimana asalmu. Memangnya kamu putra siapa?"
Ribuan pertanyaan mampir sejenak. Apakah seperti itu dunia bangsawan yang tidak dia ketahui? Mengingat dirinya selama ini hanya terkurung dari penjara benteng ayahnya. Tian memilih untuk tidak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya kikuk.
"Tidak apa, aku berteman dengan siapa saja."
"Begitulah," jawab Tian. Menyembunyikan identitas adalah hal bodoh yang dia ketahui. Namun, terlepas dari itu semua ada baiknya jika dia melakukan untuk membuat hal bodoh lainnya.
Tian sempat melirik kedua pengawal yang ada dibelakang lelaki itu. Bahkan, pengawalnya saja tidak mengetahui jika Tian adalah putra Regen. Menyadari jika Tian tidak pernah tampil dilayar kaca, berbeda dengan kakaknya yang akan menjadi pewaris. Tian sering berada dibalik layar. Ditambah dengan usianya belum 17 tahun. Belum akan diumumkan sebagai pewaris apapun.
Hari terik mewarnai pelatihan fisik militer yang keras. Sudah lama Tian tidak berlari dalam jauhnya kilometer. Bersama dengan teman sekelasnya sesombong apapun dirinya, hanyalah dia yang bisa Tian dekati saat ini.
Seorang lelaki berdiri tegak di dalam ruangan. Sedikit mengintip siapa yang berlarian dibawah terik matahari untuk pelatihan fisik. "Sepertinya dia sudah bisa berbahagia sedikt ya," ujar seorang kakak, Tuan Muda Viper.
Banyaknya tanda penghargaan berada dilengan juga saku bajunya mendekati jendela. "Tuan Muda yang menawarkan adik Anda untuk melakukan pelatihan militer lebih cepat."
Senyum diwajahnya mampir. "Aku tahu jika dia tidak memiliki banyak teman di Akademi, jadi aku menyarankan jika Tian bisa mengikuti pelatihan ini lebih awal."
"Tetapi, mengajukannya sampai satu tahun saya rasa Anda terlalu berlebihan."
"Haha, kamu terlalu kaku." Menghela nafasnya lega. "Aku memperhatikan jika Tian cukup tertutup. Dari sekian banyaknya teman dia memilih bersama hewan. Ah, lelaki itu."
"Haha, Anda juga memerhatikan masa depan adik Anda dengan baik Tuan Muda."
"Aku hanya ingin dia hidup lebih lama dariku," lirihnya.
Harapan telah lebih banyak diutus pada siang itu. Perlahan namun pasti menuju sikap yang diinginkan. Adiknya juga telah tubuh menjadi lelaki yang tidak pantang menyerah, ambisius seperti halnya dirinya. Pergerakan waktu selama tiga bulan pertama membuahkan hasil yang sangat memuaskan.
Itulah harapan kecil dari sang kakak.
...***...
Banyaknya kelas membuat rasa lelah cepat menghampiri. Tian berbaring di atas rumput bergelora manja membelai dirinya. Setelah pelatihan dinyatakan usai, kini hanya tinggal bersantai. Bersama dengan rekannya semenjak masuk.
"Baron, minggu ini akan ada pesta kembang api, bukan?"
"Iya," jawabnya singkat. Memang begitulah adanya.
Tian teringat jelas akan sebuah danau yang dia lihat berada dipinggiran hutan. "Hm, apakah kamu melihat kembang api dari danau?"
"Di mana ada danau, kita bahkan hanya memiliki satu, dan itupun sudah ramai dengan orang."
Tian bangkit. "Kalau begitu kita akan menuju hutan."
"Hutan yang berada di belakang rumah Regen?" Memastikan dirinya tidak salah dengan pandangan temannya. Begitu baik hati Baron walau sedikit takut dengan ular dan jenis hewan melata.
"Iya, aku yakin kamu akan menyukainya."
"Kamu gila!" teriaknya tanpa sadar. Baron bangkit dan menatap lekat manik sahabatnya. "Lokasi itu dijaga oleh penjaga Regen."
"Iya," jawab Tian enteng. "Apakah kamu bermasalah dengan itu?"
"Kita akan kena habis oleh penjaga Regen."
"Aku yang akan meminta ijinnya."
Senyuman cerah sekaligus meyakinkan membuat benak Baron selalu bertaya darimanakah asal lelaki itu? Walau dia sudah mencari dalam platform masih saja selalu bertanya. "Apa kamu memiliki koneksi dengan Regen?"
Tian hanya tersenyum. Lalu membarngkan badannya dengan enteng. Melihat matahari di ufuk Barat yang seakan tenggelam di bukit, menemani perjalanan indah menghayal mengenai masa depan.
Setidaknya ada ratusan yang hadir dalam meriahnya pesta tahunan. Kali ini digelar dengan pesta topeng dibalut banyak sirkus juga atraksi gila. Berbekal banyaknya jajanan juga memakan es krim pedas ditaburi dengan bubuk cabe. Menurut Baron dan Tian adalah hal gila yang sudah mereka lakukan.
"Huwek," Baron mengusap bibirnya yang merah akibat bubuk cabai.
"Ini idemu," sangkal Tian sembari mengipasi mulutnya. Melihat diantara kerumunan, kakaknya berjalan layaknya bintang dikerubungi lalat. Para gadis, wanita, permpuan juga turut melihat ketampanannya. Tian memiliki ide konyol. Ditambahkannya bubuk cabai masih tersisa. Menghampiri Tuan Muda Viper.
"Bisakah jika Anda mencobanya," pinta Tian.
Baron dengan cepat mengejar temannya. Menghentikan ide konyol yang akan dia lakukan. "Apa yang akan kamu lakukan, sialan," bisiknya Baron kesal.
Tuan Muda Viper mengambil es krim itu lalu menjilatnya. Mengangkat alisnya ketika wajahnya berubah menjadi sangat senang. "Aku suka," jawab Tuan Muda Viper.
"Lah," Tian malah heran. Terlupa jika kakaknya memang menyukai hal menjijikkan. Sembari mengangguk menikmati es krim pedas.
Baron melihat es krimnya yang masih utuh, sedikit menyodorkan tangannya. "Untuk Tuan Muda," pinta Baron.
Dengan senang hati Tuan Muda Viper mengambilnya.
Keduanya hanya melongo melihat Tuan Muda Regen menghabiskan es krim itu. Berterima kasih kepada mereka hingga berjalan melewati keduanya.
“Apa dia menyukai hal aneh?” Baron terlihat linglung.
“Aku rasa,” jawab Tian.
Tian melihat arlojinya hampir menunjukkan tengah malam. Momentum yang akan disaksikan keduanya akan segera tiba. “Ayo cepat!” Perintah Tian ketika dia melihat petugas yang akan menyalakan kembang api itu.
Baron mengikuti langkah Tian, menyusuri sedikit sungai kecil, melompatlah lalu menyusuri sedikit perbatasan benteng belakang Rumah Regen. Beberapa penjaga mendelik kepada langkah kaki yang terdengar.
“Hoi,” Baron memanggil pelan. “Penjaga melihat kita.”
“Tidak apa. Dia hanya memperhatikan kita.”
“Tuan Muda Tian sebaiknya Anda tidak menuju hutan.” Suara penjaga membuat Tian merinding. Hanya saling melihat ketus.
“Tidak mau. Apakah kalian diperintahkan kakak untuk mencegahku?”
Penjaga itu menggeleng. “Tidak Tuan Muda.”
Tian melenggang bersama dengan Baron masih mengikuti di belakang. “Lelaki itu memanggil kamu Tuan Muda.”
“Ya, penjaga perbatasan. Kami sering bertengkar.”
“Hee,” lirih Baron.
Luasnya padang rumput memanjakan mata. Kunang-kunang terbang bebas menghiasi puncak rumput. Ada beberapa hewan menghiasi telinga. Tian menepuk tangannya. Suara ringkikan kuda terdengar samar dari hutan.
Baron terjingkat ketika melihat kuda bersurai perak menghampiri dirinya. Kuda itu mengenduskan hidungnya. Terasa samar dia menyukai bau tubuh Baron.
“Kurasa dia menyukaimu.”
“Benarkah?” Baron mengusap kepala muda bersurai perak itu ditundukkan kepala membuat senyum Baron manis.
Duduklah ketika jam tengah malam, terdengar samar. Berbaring sejenak dalam rumput sedikit basah karena embun, dihiraukan. Angkasa yang selalu memanjakan mata Tian. Begitu juga langit hitam dengan sedikit bintang malam ini. Kepulan asap perayaan festival sudah dilaksanakan.
Bagaimana kembang kerlipan itu menjajak diudara. Melenggang mesra lalu hilang masanya. Meledak hasrat siapa saja yang melihatnya.
“Aku jarang melihat kembang api,” suara Baron memecah keheningan.
Tian hanya tersenyum menanggapi. “Mungkin sedikit dingin duniamu. Sejujurnya ini adalah pertama kalinya aku memiliki teman yang bisa diajak bermain bersama.”
Baron menyetujuinya. “Kamu berasal dari keluarga Regen. Aku juga akan menjauh jika menjadi temanmu.”
“Beruntungnya kamu menyadarinya ketika kita sudah berteman.” Sedikit kepedihan mampir diotaknya. “Mengapa mereka menganggap berteman dengan Regen mengerikan?”
Sekilas kembang api sudah mulai surut. Bersiap dengan kembang besar yang akan diledakkan diudara. Tian menantikan momen yang sudah lama tidak dia lihat.
“Mungkin mereka takut dengan kalian.”
“Kami juga tidak akan secara sembarangan membunuh penduduk. Kami tidak memiliki keberanian seperti itu. Memangnya apa yang kalian takutkan?”
Baron menggeleng. “Entahlah, tetapi aku hanya merasa jika berteman dengan kalian akan mengemban hormat yang tiada kira.”
Apa yang dikatakan oleh lelaki itu adalah benar. Regen adalah pemilik pulau. Paling dihormati. Paling disanjung. Tingkah laku mereka akan disorot setiap saat. Tidak terkecuali, Tian. Walau begitu, Tian bersyukur karena bukan dia yang akan menjadi Regen berikutnya.
Tetapi, bagaimana jika perasaan kakaknya juga sama?
“Apakah kakak juga tidak memiliki teman?” Suara lirih membelai keheningan.
Baron hanya melirik sekilas mata sendu itu. “Tian, mengapa kembang api paling besar belum dinyalakan?” Bersahabat mengalihkan pembicaraan agar tidak berlanjut kesedihan.
“Benar juga, mengapa lama ya?”
Kepulan asap mulai terbentuk. Tian menunjuk. “Itu,” serunya.
Kepulan asap hitam sedikit api pada bawah kepulannya. Baron dan Tian segera bangkit. Itu bukan kembang api. Apa yang ada dihadapan mereka bukan kembang api. Tidak lama setelahnya banyak suara jeritan yang terdengar. Bom mulai menggelegar.
Baron berlari mendahului Tian. Berusaha menangkap lelaki itu. “Baron, Tunggu!”
Teriak Tian kencang. Diraihnya tangan Baron. Wajah kepanikan terpatri di sana. “Ada penyerangan Tian. Kita harus bergabung dengan tim lainnya!”
“Kita jangan lewat jalur utama. Kita lewat bukit. Itu lebih aman.” Kuda bersurai perak itu meringkik lalu membawa satu temannya muncul.
Baron mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Tian. Bergegasnya mereka menaiki kuda dan berlari kencang. Menembus gelapnya hutan berbekal dengan kunang-kunang yang memandu jalan mereka.
Suara bom memekakkan telinga. Berhentinya kuda poni segera. Ketakutan sedikit melanda hewan itu. Dilihatnya seorang lelaki dengan bom diantara tangan dan kakinya. Bersuara keras menyerukan pembantaian. Tian memutar kudanya. Melewati distrik militer yang ada disebelah bukit.
Tempat dimana markas paling luar kemiliteran.
Terkejutnya matanya ketika semua pasukan kekar itu sudah dibantai oleh semua orang. Bom terus diledakkan sedangkan, penduduk sipil terus ketakutan.
“Tian! Kita harus menemui militer utama!”
Penyerangan begitu cepat. Mengobarkan api dengan setidaknya 50 pasukan pemberontakan.
“Baron, aku mungkin masih muda dan belum mengerti tentang pemerintahan. Tetapi, maukah kamu percaya padaku?” Tian berteriak kencang melebihi banyaknya deruan asap bom.
“Pergilah!” Kuda bersurai coklat itu segera mengalihkan laju Baron. Tian menggunakan serbuk kekuatannya untuk menunjukkan jalan yang akan Baron lewati.
“Tidak! Tunggu apa yang akan kamu lakukan!”
Teriakan Baron terkesiap ketika melihat sandi yang dikirimkan oleh Tian kepadanya.
Mungkin Regen akan berakhir di sini!
Setelahnya tanpa pikir panjang memalingkan muka lalu berlari kencang kuda sekencang-kencangnya. Malam itu dirinya masih muda harus mengemban kekuatan dari bermacam-macam pundak. "Sudah aku bilang, aku tidak mau berteman dengan Regen."
Hanya lirikan Tian lihat dari sudut matanya. Melihat semua penduduk sipil menangis, meraung tidak berdaya. Menangis bukan lagi wajahnya, air matanya namun, batinnya.
Malam secepat itu membunuh ratusan penduduk sipil.
Malam secepat itu merenggut kenyataannya asri.
Tian bersiap dalam tenda militer. Dilihatnya banyak barang dan prajurit yang sudah bergelimpangan.
Malam ini 50 orang harus mati!
Penjajah yang tertawa lepas dalam indahnya malam.
Menarik senapannya, menembak satu per satu lelaki bertubuh kekar dengan seragam hitam pekat, bertudung hitam juga wajah yang ditato kotak.
Bendera Mata Satu bertengger di dada masing-masing.
Suara peluru itu melesat, membelah angin. Menusuk telat di jantung salah satu anak buah-yang dia kenal sebagai penjajah Kota Tanpa Suara.
Satu mayat bergelimpangan. Waspada merajai mata mereka. Diliriknya lelaki dengan senapannya. Maju tidak gentar melawan ke 50 prajurit.
Bom molotov segera dilancarkan kepada lelaki kecil. Tian gesit menghindari. Dari semua banyaknya tentara militer hanya Regen yang berkemungkinan memiliki supranatural.
Pusat kota akan menyaksikan pertempuran mereka.
Dilihatnya kakaknya masih bersembunyi menyusun rencana. Hendak berlari ketika melihat adiknya yang dia sayang bertempur sendirian.
“Lindungi Tian!” Perintah Tuan Muda Viper.”
“Tidak!” Teriak Tian. “Ungsikan mereka para guru, dokter, dan calon dokter. Ungsikan mereka yang memiliki hubungan kemiliteran tertinggi! Warga sipil yang masih bisa berlari! Nyawaku tidak lebih berharga dari mereka.”
Sedikit kegoyahan dari beberapa penjaga. Pada akhirnya Tuan Muda Viper mengangguk.
“Tidak ada yang menggantikan Regen.” Tuan Muda Viper nampak khawatir.
Pada malam itu di tengah kota yang hancur lelaki berbadan besar penuh dengan tatto berjalan diantara tumpukan mayat masyarakat sipil.
"Bawa kepala Regen!" peintahnya mutlak.
Seakan tahu hidupnya tidak sampai esok. Maka, siapkan pedang terbaikmu! Seperti yang telah ditakutkan oleh Sang Regen terdahulu, Pulau Arash adalah tipu daya hebat untuk setiap kekayaan yang ada. Tidak ada yang mampu menahan hasrat ingin menguasai. Namun, Regen memiliki Regen, yang akan melawan dunia.
Melihat dengan ratapan mengasihi rumah yang menjadi tempat tinggal mereka musnah sudah. Seseorang kakak telah menarik pedangnya. Melawan! Begitu juga militer yang meninggalkan keduanya untuk bertarung sendirian. Saat itu, harus ada yang berjaga di gerbang depan.
Tian mengarahkan bidiknya. Anak buah yang mencoba melawan Tian, segera Tian bergesit. Menjatuhkan lelaki dengan menendang tubuhnya.
Sang kakak telah menghunuskan pedangnya. Melihat banyaknya tusukan yang didapat oleh salah satu anak buah pemimpin, membuat Tuan Muda Viper tersenyum lega. Mungkin ada sedikit asa.
"Sekte Uno!"
Tuan Muda Viper terkejut. Tangan yang mengadah ke atas membuat malam semakin gelap. Dalam penerangan minim ada suara gemuruh yang jauh datangnya. Menyambar-nyambar daratan dengan kilat petirnya. Kekuatan Sekte Uno Pemuja Iblis yang mendapat kekuatan dari cara kotor. Mereka mengikat janji dengan iblis dan melakukan penumbalam dengan jenis anak kecil. Siapa yang tidak akan hafal suara lantang yang terus memanggil penumbalan mereka?
Tanpa tapi Tuan Muda Viper kini menyingkirkan tubuh Tian sembarangan. menendang tubuh anak lelaki dengan kaki sempurna. Terguling dalam tumpukan mayat anggota kemiliteran lainnya. Sebuah penumbalan harus gagal saat itu. Setidaknya ribuan volt menyambar tubuh kekar kakak laki-laki Tian.
Sejumlah tangis yang dia deraskan pada tanah tumpah sudah. Sedikit asa? Tidak. Bahkan hampir tidak ada harapan sama sekali. Tian hanya terpaku, melihat tubuh kakaknya yang gosong tanpa meninggalkan pesan apapun.
"Sialan! Lelaki itu!" Begitu merah amarah.
Lelaki yang kenal pemimpin Sekte Uno, kerap dipanggil Tuan Uno menendang tubuh gosong kakaknya. Cengkeram tangan Tian memegang senjata lepas sudah. Serasa hatinya remuk redam. Pasrah dengan teriakan yang diperintahkan Tuan Uno. Apakah dia akan membuat Tian menjadi korban selanjutnya? Sekedar menyimpan untuk bulan depan.
Dijambaknya rambut Tian, meludahi wajahnya dengan menjijikkan. Seakan lelaki keras itu mengatakan sesuatu, namun hanya dengingan yang Tian tahu.
Hanya satu yang Tian tahu, fakta yang tidak akan pernah Tian lupakan setiap dia melangkah.
Lelaki itu tidak tahu jumlah persis masyarakat Pulau Arash.
Bersambung...
..."Sapaan juga kata salam sudah terlupakan. Bagaimana jika berpindah kepada pundak kecil tanpa permisi? Tubuh terbujur kaku, panjang melintang rentangan tangan. Malam itu, akan saksikan amarah seorang anak yang akan meluap. Tetapi, belum waktunya." Surai....
Pagi menyapa tubuh lemahnya dalam dinginnya sel penjara. Tidak akan dia sapa balik. Hanya dengan dinginnya lantai sudah membuat dirinya berada dalam titik terendah. Sama seprti suhu tubuhnya yang mulai mendingin. Tian tidak pernah merasakan hangatnya kasih semenjak malam itu. Melihat kakaknya mati mengenaskan adalah pemandangan yang akan dia ingat seumur hidupnya.
Berapa jam yang sudah dia lalui?
Berapa menit yang sudah berjalan?
Adakah perayaan festival indah bersama Baron lagi?
Bersama dengan rekan satu penjaranya meronta ketakutan. Setiap detik bagaikan dalam neraka. Rambutnya yang memiliki ciri khas unik kini tidak terurus lagi, matanya sudah tidak menyiratka kebahgiaan lagi. hanya mengingat warna hitam gosong itu, enggan pergi.
Tian melirik lelaki kekar dengan lambang Bendera Mata Satu menatap asing kepada dirinya. "Kita bawa dia!"
Seorang lelaki masuk dan kini mencerngkeram tangan Tian. Dengan mudah dibawa ke hadapan pemimpin mereka. Sepanjang jalan hanya bisa menyaksikan semua anggota sekte yang ternyata jumlahnya ratusan. Mereka berjajar dalam sesaknya udara sempit. Satu-satunya yang tidak dihancurkan adalah pusat kepolisian. Bertujuan untuk merebut semua senjata, rahasia kepulauan, dan aset negara. Dengan begitu, Sekte Uno sudah memiliki kuasa atas Pulau Arash.
"Jadi dia anak yang bernama Tian?"
Para pengikut sekte kini menunduk hormat kepada tuan mereka yang berjalan melewati bahu.
Tian mendongak. Melihat setiap inchi wajah lelaki berengsek yang sudah menghancurkan semua penduduk. Wajah itu sangat menjijikkan bagi Tuan Uno. Ditendangnya keras Tian menggunakan kakinya yang runcing. Darah segar langsung mengalir melewati pelipis Tian. Hanya meringis menahan sakit.
"Menjijikkan! Sungguh mata yang menjijikkan!"
Mengatur nafasnya barang sejenak. Apakah kamu tahu, siapa yang pernah mengalahkanku dalam penyerangan Kerajaan Seberang?" Kini berjalan di depan Tian, berjongkok. "Kedua orang tuamu!"
Tuan Uno berbalik. "Bunuh dia!"
Pedang ditarik dengan mudah dari salah satu pengikut sekte. Hendak menebaskan ke arah leher Tian. Suara pinu didobrak dengan keras."Tuan Uno! Semua harta milik Regen sudah menghilang!"
Dengan cepat Tuan Uno menghampiri Tian. Membuat lelaki itu menatap matanya lekat. "Katakan! Di mana semua harta Regen!"
Tian hanya terdiam. Suara sunyi juga mengisi kekosongan.
"Tian Cleodra Amarillis," panggil Tuan Uno dengan suara yang merendah. Berharap menahan marahnya dengan sangat kuat. "Katakan, di mana letak kekayaan Regen!"
"Seharusnya kamu tidak membunuh kakakku, dengan begitu kamu bisa menguasai semuanya. Aku hanyalah anak berusia 12 tahun. Namaku tidak pernah dikenalkan sebagai keluarga Regen sebelum 17 tahun."
Adalah sebuah fakta yang tidak pernah diketahui oleh Tuan Uno. Mengernyit keningnya menyatu. "Jadi begitu," lirih Tuan Uno.
"Bunuh dia!" perintahnya untuk kedua kalinya.
"Regen menyembunyikan kekayaan yang selama ini dia miliki." Dengan kedua tangan menopang tubuhnya mengaca dalam sebuah singgasana sebelum akhirnya Tian dibawa pergi oleh penjaga.
Lelaki yang membawa Tian kini menyeret kasar. Salah seorag yang cukup berbaik hati karena membawa Tian menuju pusat pemakaan. Tian hanya menyerahkan dirinya. Rasanya hidup juga sudah tidak mungkin terjadi. Dilihatnya lekat lelaki yang akan menjadi algojonya. Terlihat menoleh kesana-kemari sebelum akhirnya melepaskan cengkeram Tian. Tepat berhenti pada lubang yang ada dibelakang Tian adalah tempat kuburnya. Lelaki itu membuka tudungnya, mata hitam dengan sedikit semburat kehijauan yang merupakan ciri khas penduduk Arash.
"Pergilah!" perintahnya dengan nada rendah, takut jika ketahuan penjaga yang lainnya.
"Tunggu, kamu siapa?"
"Apakah penting Tuan Muda Tian. Saat ini pergilah dan buat Anda seolah mati. Saya sudah tidak tahan. Cepat!" Lelaki itu mendorong tubuh Tian agar menjauh darinya. Dilepaskannya jaket yang membungkus Tian lalu mengotori jaket dengan darah dari kantong darah.
"Semoga Tuan Muda mengenaliku," lirihnya sebelum Tian berlari pergi menuju hutan yang sudah menjadi tempatnya selama ini berlindung.
Tian tersenyum, dia adalah penjaga yang sering mengadu mulut dengan Tian. Harapan sudah dipanjatkan oleh Tuan Muda Regen yang kabur sore itu. "Semoga lama hidupmu, agar kamu bisa melihat perjuanganku sampai akhir."
Tian berhenti pada gerbang kehutanan sangat dia hafal. Hendak menepuk tangannya memanggil kuda bersurai perak yang sering dia bawa. Seketika mengurugkan kehendak. Ada yang harus dia lakukan sebagai pewaris Regen selain bersembunyi lalu merebut kembali Kota. Ada sesuatu yang harus selesai.
Diingatkannya kembali sebuah perjuangan yang telah dia lampaui untuk sampai pada titik ini. Melihat dengan matanya. kota yang hancur. Pembunuhan secara besar-besaran itu ternyata sudah dua minggu lamanya.
Tian memantapkan langkahnya menuju sebuah jalan setapak bebeda dengan apa yang dilalui Baron. Terus menguatkan hatinya menuju desiran pantai yang sudah lama tidak dia sapa. Berlomba mengumpulkan ikan dengan pembelajaran dia terima. Membangun gubuk setelah dia tidak lapar, dan menunggu seseorang untuk dia tumpangi pergi meninggalkan Pulau Arash.
...***...
Hujan serapah dan makian. Terus berteriak tanpa henti tentang penatnya hidup yang dijalani oleh perempuan muda. Emosional tidak terkendali ketika melihat anak yang memandang sayu gelap malam. Meringkuk dalam ketakutan sudut ruangan. Bocah lelaki berusia 7 tahun yang menjijikkan sudah membuat rasa wanita ini muak.
Berceloteh sembari memukul meja, sudah bocah ini dengarkan setiap hari. Seakan bertaruh apakah dia akan menjadi sama seperti ibunya kelak. Lelaki mana yang sudah menghamili perempuan desa penjaja. Pada akhirnya, karirnya harus goyah karena melahirkan anak. Buruk sudah tubuhnya banyak yang menolak karena tidak cantik lagi. Namun, apa yang dia hasilkan dari pekerjaan instan dimiliki?
Hanyalah bocah tengil. Bocah yang memiliki rambut perak abu-abu juga mata senada sedikit biru.
Dihampiri bocah lelaki itu. "Apa yang bisa dibuat darimu? Biaya sekolah mahal, biaya perawatan juga mahal. Apa yang bisa kamu perbuat?"
Teriakan yang sudah lama dia temani kini sudah terucap kembali. Membuang anak itu? Sudah berjaga kepolisian atas banyaknya kejahatan.
Pulau Arahis menjijikkan yang dia tinggali. Kota utamanya kebak dengan penjagaan militer hebat. Tahun di mana anak itu lahir bagi perempuan yang kerap dipanggil Airis itu menjadi tahun paling buruk sepanjang masa. Merutuki diri dalam keheningan malam. Menyumpahi dunia ketika melihat wajah putranya.
Apakah semua dengan kasih sayang?
Daging dihadapannya sekarang ini?
Menyebalkan melihat wajah tiada tampan dia kira. Hanya sedikit kecantikan yang terpatri. Dilangkahkan kaki keluar rumah kecil di sudut kota. Berbekal dengan sepersen koin untuk menjaja makanan. Bersumpah serapah dalam diri perempuan ini untuk tidak memberikan makanan malam ini kepada anak tengil.
Memesan satu bungkus mie dengan daging diatasnya. Pedagang itu tampak sedikit khawatir. “Ada apa?” Tanya Airis dengan tatapan kecut.
“Akhir ini sering ada pembunuhan. Nona yakin akan keluar malam-malam?”
Mungkin melihat sepatu juga gaun yang dia sandang. “Tidak, aku sepulang kerja,” jawabnya dengan ramah. Mengingat hanya mempertahankan dirinya diluaran sana.
“Ah begitu ya,” leganya pedagang itu.
Airis segera melajukan langkahnya setelah mendapatkan apa yang dia bungkus. Tanpa sengaja matanya melihat sebuah pamflet seukuran kecil. Menampakkan nama sebuah bar yang terkenal elite, mata Airis terpaku. Mulutnya terbisu.
“Pencarian bintang?” Tanyanya pada diri sendiri untuk meyakinkan.
Setelah memastikan puluhan kali barulah sebuah ide tersangkut diotaknya. Segera berbalik arah dan menghampiri pedagang tadi. Memesan satu untuk dibungkus.
“Seorang penari untuk Tuan. Berusia 10-15 tahun. Laki-laki atau perempuan. Bisa dididik.”
Kalimat yang akan dia ingat sepanjang masa.
Sejenak menikmati pemandangan yang ada di depan matanya. Kilas balik mengenai masa suram enggan mampir. Kini hanya tergantikan dengan sedikit kebahagiaan dan harapan, kepada anak yang dia sisir rambutnya manja.
Tidak berani mengungkapkan kata atau pertanyaan, begitulah yang lelaki kecil rasakan. Mendarah sudah jantungnya ketika malam itu ibundanya mengatakan sebuah pekerjaan kotor.
Namun, kini cerita rumah yang dia tahu sudah berbeda.
Diantarkannya lelaki kecil menuju satu gang kecil. Seraya menggandeng tangan putra kecilnya. “Coin,” panggil ibundanya.
“Iya Ma,” sapanya balik.
“Hari ini aku ingin kamu mempertahankan senyum itu.”
Cantik dan manis, adalah dua kata yang sudah menggambarkan senyum perempuan ini.
“Baiklah Ma.”
Mati lebih baik dari bertahan. Sedangkan, hidup lebih susah.
Dilihatnya sebuah bangunan besar tiada kira. Pagi menjelang siang kala itu membuat gedung tinggi selayaknya cahaya kota kemilau. Sinar mentari yang memancar indah dari pantulan kaca atau pernak-pernik.
Didengar sedikit samar ibundanya berbicara dengan penjaga. Mengatakan jika mengantarkan anaknya mencari audisi bintang. Dengan halus penjaga mempersilakan keduanya masuk.
Beruntungnya Airis pernah membelikan putranya baju yang bagus untuk menghadiri acara. Dan itu akan dia pakai sekarang dan seterusnya. Bertemu dengan sosok yang duduk di kursi malas. Sembari memberikan saran untuk anak seusia dirinya yang juga mendaftar audisi yang sama. Seorang gadis kecil yang cantik menurut Coin. Imut wajahnya juga cantik parasnya.
Namun, mengapa seakan meminta tolong?
Coin telah mengerti apa yang dilakukan ibundanya. Menjual Coin seperti anak haram lainnya. Begitulah Coin menyebutnya.
“Selamat siang Tuan. Ijinkan Airis menyampaikan sebuah pesan juga permintaan.”
Diteguknya teh hangat yang masih mengepul uapnya. Melihat wajah Coin yang merona membuat lelaki itu tertarik. “Apa warna rambut dan matanya asli?”
Lelaki dipanggil Tuan menghampiri Coin. Mendekat secara perlahan memastikan jika Coin tidak takut dengannya. “Siapa namanya?”
“Coin Carello,” jawab ibundanya.
Hanya dengan melihat lelaki itu begitu banyak kepuasan diwajah Airis. Begitu juga dengan Tuan. “Dia sangat unik.”
“Selamat siang Tuan,” sapa Coin hormat.
“Manisnya,” pujinya lagi. “Apa yang bisa kamu tunjukkan?”
Coin sempat meragu, namun melihat ibundanya menyemangati. Dia kemudian melirik sekitar. Ada beberapa alat musik yang terpajang dalam ruangan. “Apakah ada Arkodeon?”
“Ada,” jawab Tuan.
Segera dia mengisyarahatkan pengawalnya untuk memberikan Arkodeon kepada anak lelaki ini. Coin memegang luwes Arkodeon. Memainkannya barang sekilas untuk menciptakan irama yang indah. Senyum puas terpatri di wajah Tuan.
“Aku akan membelinya. Berapa yang akan kamu tawarkan?”
Senyuman di wajah Airis adalah yang paling Coin sukai saat itu. Wajah ibundanya begitu bahagia. Sangat lepas.
Sembari melambaikan tangan sembari menangis. Sembari menitikkan air mata sembari merasa luka. Coin tidak akan pernah berjumpa dengan sosok itu semakin lama waktu memisahkan mereka.
Dalam perjalanan pulang kilas balik memutari otaknya. Lambaian tangan itu mirip dengan dirinya. Mirip dengan saat itu, dikala guyuran salju dingin. Dia dijual oleh orang tuanya kepada paman telah tewas ditikam oleh emosinya.
Sejenak berhenti untuk merutuki diri sendiri. Lalu melambaikan tangan terakhir untuk lelaki berusia 10 tahun yang dibawa oleh dua pengawal.
Koper yang ada ditangannya sedikit melonggar genggaman. Hidup sendirian lagi.
Pada tahun itu, tiga tahun sebelum Kita Arash dibombardir ada seorang lelaki beranjak dewasa sedang menangisi hidup. Dalam ruangan kecil yang dia sebut dengan rumah sekarang, banyaknya teman sepermainan dalam riuhnya bangunan menjulang malam hari.
Bangunan yang disebut dengan Paviliun Surga. Bangunan berlantai dua yang memiliki banyak rumah. Terkesan indah dengan banyak aksen bunga. Motif itu menjelujur memenuhi paviliun.
“Coin, mulai sekarang kamu akan bekerja paviliun itu.” Tunjuk lelaki yang membawanya. “Tugasmu sangat mudah. Sebagai pemegang musik, kamu harus bisa melantunkan lagu indah untuk mereka yang haus akan suara.”
Coin mengangguk.
Dandanan sedikit memoles wajahnya. Hampir menjelang tengah malam, hari pertama Coin bekerja. Dilihatnya semua pelanggan yang sudah terjejer rapi menunggu pelayan menjajakan musik.
Rumah yang memiliki karpet merah menjadi tempat pertama Coin bekerja. Diketuknya perlahan. Lalu seorang gadis berburu membuka pintu. “Ah Coin ya,” suara gadis lembut menyapa.
Dandanan penuh dengan kupu-kupu. Jepit, helaian rambut menjuntai senada dengan gaun malam itu, merah pipinya, juga bibirnya.
“Iya,” jawab Coin dengan senyuman.
“Dia sangat cantik dan tampan,” seorang gadis lainnya dengan gaun biru melambaikan tangan.
Coin dipersilakan masuk. Setelah melihat seluruh ruangan sampai ke sudut. Berpikir tempat yang nyaman untuk tidur walau hanya dilantai. “Memangnya apa pekerjaan yang akan saya lakukan?”
“Ahaha, kamu jangan formal. Kita semua saudara.” Gadis kupu-kupu begitulah Coin menyebutnya berceloteh.
“Mudah,” lanjutnya.
Coin dibawa dalam ruangan. Seperti keindahan hutan yang pernah dia lihat.
“Nah, kamu duduk di sini saja.” Suara lembut itu membuyarkan lamunan. Coin menurutinya, bagaikan anak anjing mulai penasaran dengan alat musik di depannya.
Harpa. Begitulah orang menyebutnya.
Malam hanya akan semakin dingin. Beberapa gelas arak mulai tersedia. Siap memanjakan lidah para pengunjung.
Coin mencoba menyesuaikan dengan satu nada ke nada lainnya. Masih dia amati jika Harpa itu sumbang. “Nona, apakah sudah lama tidak dibenahi?”
“Pemain musik kami meninggal dua bulan yang lalu. Mungkin dia tidak membenahi.”
Coin mengangguk. Menyetel musiknya, seorang lelaki berjalan menuju karpet merah. Terbukanya pintu menyambut seorang Tuan bersama dengan segudang uang. Koper yang berbentuk kotak kebak dengan mata uang.
“Ada hadiah buat kalian,” ucapnya dengan bangga.
Coin menunduk hormat ketika dia melihat lelaki berjenggot tipis. “Selamat datang Tuan.”
“Tuan Bon, perkenalkan dia pemain baru di sini.”
Sedikit menaikkan alisnya. Melihat baju yang terbuka, memperlihatkan kedua bahu. Dengan anting-anting. Dengan sepatu jinjit. Dengan polesan riasan sederhana. Dengan jaket berwarna hitam indah, juga dengan buah dada tidak tampak.
“Kamu cukup mengesankan.”
Gadis kupu-kupu berbisik, “lihat, kamu disukai olehnya. Kami akan membagi uang ini denganmu nanti.”
“Terima kasih,” bisik Coin membalas.
Sebenarnya apa pekerjaan yang ditawarkan tidak lebih bagi mereka yang haus akan suara? Bukan? Setidaknya bukan itu yang Coin pelajari sekarang. Hanya melihat banyaknya gadis merayu memanjakan tubuhnya dengan lelaki kekar itu. Lalu bercumbu diriingi dengan alunan musik. Coin membutakan telinga? Seperi inikah dia akan berakhir selama hidupnya?
Tuan bertengger dalam pinggiran pavilliun. Menyaksikan berbagai barang wanita berserakan, bergidik ngeri bulu romanya. Lalu sembari menyesap rokoknya melambaikan tangan kepada dua pelayan mereka.
"Huwah lelahnya. Hari ini Tuan Bon ternyata datang. Dia berjanji kepada kita dua bulan yang lalu ya."
"Iya, kita juga akan menyerahkan uang ini kepada atasan."
"Ayok Coin," Kakak Kupu-kupu berceloeh kepada Coin.
Coin menelan ludahnya susah payah. Memainkan alat musik sudah lama Coin lakukan. Tetangga Coin menyukai hal seni juga hiburan, sempat beberapa kali dalam seminggu Coin akan datang lalu memainkan semua alat musik yang dia punya. Tidak menyangka jika kemamuannya akan digunakan dalam menghasilkan uang haram.
Mengikuti kedua gadis dengan tatapan tiada senang. Melihat riasan wajah mereka yang sudah sepenhnya berantakan tidak dihiraukan mata memandang. Coin mengenali Tuan yang membawanya. Panggil dengan Tuan Jaza, seorang yang entah dari mana asalnya.
"Oh bintangku," suara Tuan Jaza menyambut.
"Kalian yang paling lama keluar. Peserta yang lainnya sudah keluar 1 jam yang lalu."
"Kami sangat merindukan Tun Bon dia malah bercerita banyak mengenai bisnisnya."
Ah ya, Coin juga mendengarnya beserta desahan dua gadis. Itulah mengapa setiap paviliun memiliki kasur.
"Baiklah, apa yang kalian dapat?" Tuan Jaza mengusap kepala keduanya. Gadis Kupu-kupu juga Gadis Bergaun Biru. "Serahkan dan aku akan membaginya dengan kalian."
"Bagi juga dengan Coin ya, dia sudah memainkan musik dengan sangat bagus. Tuan Bon juga menyukai dirinya," ujar Gadis Kupu-kupu.
"Baiklah," senyuman sudah berada pada titik terbahagia.
Apa yang akan mereka dapat? Tentu saja uang. Pelanggan istmewa yang dinamakan Tuan Bon merupakan lelaki dengan pangkat tertinggi yang Coin tahu. Memiliki lencana- kepolisian.
Keluar ruangan setelah semalaman tidak tidur. Terus menyakiti diri dengan angin juga kunang-kunang tiada tersenyum. Coin baru mengerti, pavilliun yang dia tempati adalah paviliun utama yang kerap dikunjungi banyak orang. Malam hari ini ada dua anggota. Malam berikutnya ada tiga anggota. Malam keempat, hanya ada satu anggota. Seterusnya. Sampai entah kapan rasa bosan sudah mewarnai dirinya.
Coin mengusap wajahnya setelah berpamitan dengan Gadis Kupu-kupu bahwa dia akan ke toilet. Ada yang salah dengan pencernaannya. Ada yang salah dengan perasaannya.
"Mengapa aku mual?"
Coin berlari setelah merasa tidak sanggup untuk menahan rasa mual. Mmjuntahkan isi makanannya yang dia sarap sore ini. Membasuh wajahnya dengan air mengalir. Membuka jaket hitamnya lalu melemparkannya di samping dia terjongkok.
"Hidup dengan mama lebih enak."
Suara langkah kaki berhak tinggi membuyarkan kemurungan. Dilihatnya Gadis Bergaun Biru yang sudah dia hafal lekuk wajah juga tubuhnya. "Apa kamu ingin tahu sebuah cerita?"
Coin mendongak. "Apa?" jawabnya ketus.
Seorang kakak duduk di samping Coin. "Aku juga tidak suka menjajakan diriku. Tetapi, kami butuh uang. Untuk bertahan di dunia yang kejam kami membutuhkan uang. Kamu tahu aku lahir dari seorang ibunda buta yang menusuk matanya sendiri akibat melihat ayahku selingkuh."
"Jika kakak tidak menyukainya mengapa kamu memilih pekerjaan ini?"
"Karena aku ingin menjadi seseorang yang akan menghancurkan keluargaku sendiri."
"Apa yang kamu lakukan? Bukankah itu keterlaluan?"
"Apakah aku lebih kejam daripada ayahku?" Sejenak keheningan diantara mereka. Coin memberanikan dirinya menatap manik gadis yang Coin anggap sudah berusia 17 atau 18 tahun. "Apakah kamu tahu dengan siapa ayahku melakukan perselingkuhan? Dengan kakakku sendiri."
Coin terkejut setengah mati, hampir saja melorot jantungnya.
"Dan apakah kamu tahu siapa gadis yang sering kamu panggil Kakak Kupu-Kupu?"
Coin menggeleng.
"Dia adalah gadis yang lahir dari pasangan bangsawan yang memilih untuk bunuh diri karena terlilit utang dan tidak bisa membayarnya. Sebelumnya mereka menjual putri kesayangannya sendiri sebelum bunuh diri. Dan uang hasil jual itu mereka gunakan untuk hidup mewah. Selanjutnya, anak mereka yang akan menanggung beban.
Apakah kamu tidak melihat jika kita semua yang berada dalam rumah ini adalah anak yang memiliki cerita yang sama, penderitaan yang sama, dan juga rasa sakit yang sama.
Jadi, Coin. Jika kamu menginginkan kebebasan maka, pergilah. Sekalipun kamu tidak berhasil kabur dan hidup menua bersama diri sendiri atau orang terkasih, kamu masih bisa mati."
Gadis Bergaun Biru bangkit, sedikit berkaca membenahi riasan wajahnya.
"Apakah pemain musik sebelumnya juga pergi? Artinya, dia meninggal?"
Gadis Bergaun Biru teringat akan wajah lelaki cukup dewasa yang memainkan seruling. Nampak begitu bahagia keika dia bekerja tetapi begitu sedih ketika dia keluar dari paviliun. Sama seperti orang ini lakukan. "Iya," jawabnya kemudian.
"Dia meninggal bukan karena usia atau takdir Tuhan. Tapi, ada seseorang yang merenggut kebebasan hidupnya," Lanjut kakak Bergaun Biru.
Coin melihat punggung Kakak Bergaun Biru menjauhi dirinya. Sedikit memiliki harapan hidup, Coin mengambil jaketnya lalu membenahi riasannya.
"Di sini mereka seperti memiliki saudara."
...***...
Berapa tahun sudah dalam kungkungan. Pertama kalinya lelaki dengan mata abu-abu perak itu keluar melihat matahari langsung secara bebas. Memiliki kelonggaran dengan lencana yang sudah dia dapatkan sebulan yang lalu. Mereka yang sudah memiliki lencana bintang satu akan memiliki libur barang sebentar seminggu sekali.
Berjalan menggunakan kereta kuda di bawah terik matahari. Kali ini Kakak Gadis Kupu-kupu juga sudah mendapatkan tugas lain diluaran sana. Sepanjang jalan hanya melihat orang-orang berjalan dengan keluarganya. Mengunjungi pusat permainan anak juga hidup bebas. Tanpa sadar air matanya menetes melewati pipinya, diusapnya cepat.
Kali ini berhenti di rumah seorang lelaki yang sudah siap dengan penyambutan. Bersama dengan Tuan Jaza yang berjalan mendahului Coin.
"Kita sudah sampai di Rumah Tuan Bon. Sore nanti kamu akan disewa oleh Tuan Bon untuk mengiringi musik dalam acara ulang tahun pernikahan mereka yang ke 30 tahun. Aku harap kamu tidak mengacaukan segalanya. Tetapi, jika itu kamu pasti akan sangat memuaskan."
Tuan Jaza menoleh barang sejenak, memastikan jika Coin berada dalam jangkauannya. "Tuan Bon sudah menjadi pelanggan setia. Aku juga tidak mengirimkan pelayan murahan untuknya. Kamu memiliki lencana Bintang Satu itu adalah prestasi yang hebat."
Tidak banyak bicara itulah yang setidaknya menjadi ciri khas anak yang dibawa oleh Tuan Jaza. Setelah menemui dayang pribadinya, seorang wanita keluar dari rumah persinggahannya. Sangat bahaga ketika melihat seorang anak yang memiliki lencana bintang satu.
"Astaga, apakah kalian dari Agensi Surga?"
Mengernyit kening Coin. Bukankah dia salah menyebutkan nama paviliun? Namun, tidak bodoh untuk menyadari bahwa semuanya hanya kedok dibalik kedok.
Coin menunduk hormat. "Selamat siang, Nyonya Bon."
"Ah jangan begitu. Mari masuk aku sudah tidak sabar mendengarkan kamu meminkan musik. Salah seorang artis Agensi Surga."
Begitu bahagia ibunda itu melihat Coin. Memang menyukai paras yang lumayan cantik juga tampan. "Sayang, lihatlah siapa yang datang!" Menyerunya wanita itu dari lantai bawah rumah.
"Ah Tuan Jaza." Sambutan ramah sudah didapatkan dari tuan Bon yang kerap Coin lihat. Sangat bahagia ketika melihat anak yang dibawa.
"Apakah sesuai dengan kriteria Anda?" Tuan Jaza seperti menggoda Tuan Bon.
"Sangat! Sangat!" Angguknya dengan antusias.
Setelah meninggalkan banyak kata untuk doa pernikahan mereka. Tuan Jaza meninggalkan Coin dalam rumah Tuan Bon.
Masih dia dingati sebuah nasihat dari kakak yang sudah dia anggap keluarga. Coin sepanjang detik semasa dirinya bekerja sudah tiga tahun lamanya. Masih dia sangat ingin kabur lalu membentuk keluarga yang dia inginkan. Atau bahkan hanya sekedar bebas saja sudah bersyukur paling serius.
Setelah memiliki kamarnya sendiri, Coin berbaring untuk mempersiapkan diri. Dilihat aula utama kediaman Tuan Bon dan Nyonya Bon yang dihias selayaknya pernikahan. Dengan tema 'Kembali Suci', yang membuat Coin tertawa seketika. Menutup mulutnya segera.
"Apanya yang suci? Kelamin itu sudah dipakai bersama Kakak Bergaun Biru dan Kakak Kupu-Kupu."
Menghembuskan nafasnya kasar, beralih memandang jendela semilir angin masuk melalui celah. Sore hari yang akan segera berakhir setelah memberikan arahan kepada beberapa pengiring musik lain yang disewa kini saatnya mengistirahatkan tubuh lelahnya. Bersiap malam nanti akan menjadi pertarungan terakhirnya.
Niatnya.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!