Di ruang tamu rumah sederhana itu, suasana yang biasanya tenang berubah menjadi tegang. Najiha berdiri di depan kedua orang tuanya dengan mata yang menyiratkan kemarahan dan kelelahan.
"Ummi, Abiy, kenapa selalu maksa kehendak Najiha terus? Najiha masih ingin mondok, nggak mau kuliah!" serunya, suara serak oleh emosi yang tak lagi bisa dibendung.
Wajah Abiy Ahmad mengeras, matanya menyala penuh amarah. "Najiha! Berani sekarang melawan Abiy?!" bentaknya keras, membuat udara di ruangan itu seolah membeku.
"Nak... ikuti saja apa yang Abiy katakan. Semua ini demi masa depanmu," suara Ummi Lina terdengar lirih, penuh harap agar suasana mereda.
Namun Najiha hanya menggeleng dengan getir. "Najiha capek, Mi. Selalu harus nurut sama Abiy tanpa boleh bilang apa yang Najiha rasain!"
Amarah Abiy Ahmad makin memuncak. "Udah besar kepala rupanya anak ini! Kalau terus melawan, Abiy akan kawinkan kamu! Biar tahu rasanya hidup tak bisa seenaknya sendiri!" ancamnya dengan nada yang membuat hati siapa pun bergidik.
"Sudah, Biy... kasihan Najiha," bujuk Ummi Lina lembut, mencoba menenangkan sang suami yang sudah kehilangan kesabarannya.
Namun Abiy Ahmad tak tergerak. "Nggak ada kata kasihan buat anak yang membantah orang tuanya!" tegasnya dingin. "Besok pagi Om Malik akan jemput kamu. Berperilakulah seperti kamu menerima keputusan ini. Kalau tidak, Abiy akan jodohkan kamu dengan anak rekan Abiy!"
Najiha terdiam sejenak, napasnya terengah menahan segala emosi yang berkecamuk. Matanya menatap lantai, kehilangan daya untuk membalas. "Baik, kalau itu maunya Abiy. Najiha capek..." suaranya parau, penuh kepasrahan yang menyayat hati.
Tanpa menunggu jawaban, Najiha berbalik masuk ke kamarnya. Langkahnya berat, tetapi hatinya lebih berat menanggung beban keputusan yang tak pernah ia inginkan. Begitu pintu tertutup, tangisnya pecah, menggema dalam keheningan malam yang muram.
Dari luar kamar, suara Abiy Ahmad masih terdengar menggema. "Siapkan barang-barangmu! Besok kamu pindah ke Jakarta!" teriaknya tanpa peduli akan isak tangis yang tak kunjung reda.
Sementara itu, Ummi Lina hanya bisa menunduk, menahan tangisnya sendiri.
Hatinya ingin melindungi putrinya, namun di sisi lain ia tak mampu melawan keputusan suaminya yang begitu keras.
Di dalam kamar, Najiha menyadari satu hal — hidup yang ia bayangkan kini semakin jauh dari genggamannya.
......................
Hari pertama sekolah.
najiha menatap jam dinding, merasakan detik-detik yang semakin mendekatkan pada momen yang penuh harap dan kekhawatiran. Dengan langkah ringan, ia mengambil tasnya dan memutuskan untuk berangkat lebih awal, ingin memastikan bahwa ia tidak terlambat di hari pertamanya.
Di luar, angin pagi menyambutnya dengan segar, memberikan semangat baru. "Semoga hari ini berjalan lancar," gumam najiha, sambil menyesap udara pagi yang masih sejuk.
Sesampainya di kampus, pemandangan ramai mahasiswa baru membuatnya sedikit gugup, namun ia mencoba menguatkan diri.
Di sisi lain, Najiha melangkah mantap memasuki gedung kampus dengan langkah yang terukur. Meskipun ekspresinya dingin, sorot matanya penuh keyakinan.
Najiha memilih duduk di barisan paling depan, seperti biasa, agar lebih mudah fokus pada pelajaran yang akan diberikan.
Ia menyukai suasana tenang yang ada di ruang kuliah, jauh dari gangguan.
Tak lama, bel berbunyi, menandakan dimulainya perkuliahan.
“Hai cantik,” sapa seorang perempuan yang duduk di seberangnya dengan senyuman cerah.
Najiha hanya membalas dengan senyuman tipis, tidak terlalu antusias, tetapi cukup untuk menunjukkan kesopanan.
Perempuan itu tidak mau menyerah dan terus berbicara, “Namaku kasih andiaraka...panggil aja kasih, kalau kamu?” tanyanya dengan ceria.
“Najiha,” jawabnya singkat, masih tersenyum, lalu kembali fokus pada bukunya.
Tak lama, dosen masuk dengan penampilan khasnya: kacamata bulat besar dan rambut yang disisir rapi ala profesor. Suasana menjadi lebih serius seiring dengan kedatangan sang pengajar.
Tiba-tiba, pintu terbuka, dan seorang pemuda masuk dengan langkah terburu-buru, napasnya terengah-engah. "Assalamu'alaikum, maaf Pak, saya hampir telat," ucapnya, mencoba meminta maaf.
"Hampir telat apanya? Kamu ini, masih hari pertama udah telat aja!" geram Pak Rizal, dosen yang terkenal disiplin itu.
Pemuda itu hanya tersenyum malu dan tetap berdiri di depan kelas, tak berani duduk sembarangan. “Cepetan kamu duduk di depan situ, sampingan sama siapa itu namanya?” tanya Pak Rizal, menunjuk kursi yang kosong di samping Najiha.
"Najiha, Pak," jawab gadis itu dengan semangat, meski sudah kembali serius dengan buku yang ada di depannya.
"Ah, iya, itu lah pokoknya. Cepat duduk!" perintah Pak Rizal tegas.
"Baik, Pak," jawab pemuda itu, akhirnya memilih duduk di kursi yang dimaksud, di samping Najiha, dan mencoba untuk lebih tenang.
"Yaa Allaah... Kok bisa-bisanya sih, cowok yang nggak disiplin ini duduk sampingan sama Najiha? Semoga aja dia nggak macem-macem," batin Najiha, merasa tidak nyaman dengan kehadiran pemuda tersebut di sebelahnya.
Ia mencoba untuk tetap fokus pada pelajaran, meskipun ada sedikit kegelisahan dalam hatinya.
Najiha hanya berharap bisa melewati hari itu tanpa ada gangguan yang lebih besar.
Saat Pak Rizal sedang menjelaskan materi, pemuda itu tak bisa menahan diri untuk berbicara lagi. "Hai..." ucapnya dengan nada menggoda, berharap mendapat perhatian dari Najiha.
Namun, Najiha yang sedang berusaha fokus, hanya mengangkat sedikit alisnya, lalu tetap melanjutkan menulis di bukunya tanpa menggubrisnya.
Api kekesalan mulai membara di dalam hatinya. Bagaimana tidak, dari tadi pemuda itu tak berhenti mencuri pandang ke arahnya.
"Cuek banget sih..." gumam pemuda itu dengan tawa ringan. "Siapa namanya tadi... Ouhh, Najiha yaa?" tambahnya dengan nada yang lebih santai, seakan tidak peduli dengan suasana kelas yang sedang serius.
Najiha menghela napas pelan, berusaha menahan amarah yang semakin menggeliat.
Dia tidak suka diganggu seperti ini, terutama oleh seseorang yang tidak tahu sopan santun. Namun, dia tahu, tetap menjaga ketenangan adalah pilihan yang lebih bijak.
"Maa syaa Allaah... Hidungnya, mancung amat, Jiha, sama dong kayak punya aku," kata Haidar dengan santai sambil memegang hidungnya sendiri.
Dia terus memandang Najiha, dengan tangan diletakkan di belakang kepala, seolah menunggu reaksinya.
Namun, Najiha tetap fokus pada pelajaran, mencoba mengabaikan semua tingkah laku Haidar. Kekesalannya semakin terasa, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang dan tidak memberi perhatian lebih.
Tiba-tiba, suara tegas Pak Rizal terdengar di ruangan. "Hei, kamu!" serunya, memandang Haidar dengan serius. "Siapa nama kamu?"
"Haidar, Pak," jawab pemuda itu dengan sedikit canggung, namun tidak terlihat menyesal.
"Kamu ini, Haidar, udah telat, nggak memperhatikan pula, malah mengganggu teman sebangku kamu!" kata Pak Rizal dengan nada marah. "Kamu pikir, kelas ini tempat bermain? Segera fokus pada pelajaran, atau nanti kamu bakal kena konsekuensinya!"
Haidar hanya tersenyum malu, tetapi tetap duduk dengan posisi santai, seakan tidak terpengaruh dengan teguran tersebut. Najiha hanya bisa menghela napas panjang, berharap hari ini segera berlalu tanpa ada gangguan lebih lanjut.
......................
Saat Bel Istirahat Berbunyi
Tiba-tiba, terdengar bunyi bel yang memecah keheningan kelas. "Yeayyyy, istirahat!" Kasih berseru dengan penuh keriangan, tangannya bertepuk beberapa kali di atas meja.
Najiha tersenyum tipis mendengar kegembiraan Kasih, meskipun ekspresinya tetap tenang dan dingin.
"Najiha, kamu nggak mau ke kantin? Ayo kita bareng yuk!" ajak Kasih, mencoba menarik perhatian Najiha yang terlihat tenang di kursinya.
Najiha mengangkat pandangannya, matanya yang tajam seolah menyelidiki Kasih sejenak sebelum menjawab dengan lembut namun tegas, "Nggak, aku disini aja dulu. Makasih."
Kasih hanya mengangguk dengan senyum yang sedikit memudar, lalu dia berjalan menuju pintu. Namun, tiba-tiba Haidar yang sedari tadi memperhatikan Najiha, melangkah maju dengan percaya diri.
"Lu mau nemenin gue yaa? Makanya kamu nggak mau diajak tadi," Haidar berkata dengan nada yang santai namun penuh keyakinan, mencoba mengeluarkan keberaniannya.
Najiha hanya melirik Haidar dengan tatapan yang dalam dan tajam, seolah tidak menghiraukan ucapannya.
Meskipun Haidar merasa sedikit tidak nyaman dengan tatapan itu, ia tetap mencoba tersenyum dan bersikap santai. "Kenapa? Gak mau ya?" tanyanya dengan sedikit kelakar yang dipaksakan.
Najiha menatapnya beberapa detik lagi sebelum akhirnya mengangkat bahunya dengan ringan, "Entahlah." Dia tidak memberikan jawaban yang lebih mendalam, tetapi Haidar seolah terhipnotis dengan misteri yang ada pada diri Najiha.
Haidar mencoba meraih kesempatan dengan lebih tenang, "Kamu ini selalu susah ditebak, ya?" tanyanya, tetap dengan sikap yang ceria namun sedikit gugup.
Najiha hanya menghela nafas pelan, menatap lurus ke depan seolah-olah tidak terlalu peduli dengan perhatiannya.
......................
Perubahan yang Tak Terduga
Haidar yang tak ingin menyerah untuk mendekati Najiha akhirnya berucap, "Najiha, tunggu dulu yaa... Jangan kemana-mana." Tanpa menunggu jawaban, dia segera melangkah keluar menuju kantin.
Najiha hanya melirik sekilas dan kembali fokus pada buku pelajarannya yang terbuka di hadapannya.
Ketegangan yang ada di antara mereka tampaknya belum terpecahkan, tetapi Najiha lebih memilih untuk tenggelam dalam dunia bukunya sendiri.
Tak lama kemudian, Kasih yang baru saja kembali dari kantin duduk di sebelah Najiha, tampak antusias. "Naj, jangan diam terus dong... Kita kan sampingan tuh duduknya. Jadi biar lebih akrab, kita tukeran nomor WhatsApp, gimana?" tawar Kasih dengan senyum lebar.
"Okkey," jawab Najiha singkat, sambil memberikan nomor WhatsApp-nya kepada Kasih. Kasih senang dan langsung menyimpan nomor tersebut di ponselnya.
Tiba-tiba, seorang perempuan cantik dengan senyum sinis mendekati mereka. "Haii, Najiha, apa kabar?" tanyanya dengan nada yang agak terkesan menantang.
Najiha menoleh dan mengenali wajah yang dulu begitu familiar. Itu adalah Aqila Dinata Anggaran, teman masa kecilnya.
Aqila, yang dulunya adalah teman sederhana, kini berubah menjadi seseorang yang tampaknya sangat sombong dan penuh keangkuhan.
"Hmm, hai Aqila, aku baik... Bagaimana denganmu?" jawab Najiha dengan wajah datar dan suara tenang, meskipun hatinya sedikit terkejut dengan perubahan sikap Aqila.
"Kalo aku mahhh baik terus, nggak kayak kamu dari dulu, muka nya datar mulu, ups," jawab Aqila sambil tertawa kecil, seakan mengolok-olok Najiha.
Mendengar itu, Najiha merasa kesal dan bangkit dari tempat duduknya, hendak menarik rambut Aqila yang tampak semakin menyebalkan.
Namun, Kasih yang melihat kejadian itu cepat-cepat menarik tubuh Najiha dan memberikan jarak di antara mereka.
"Tunggu dulu, Naj! Jangan dilanjutkan," kata Kasih dengan tegas, mencoba menenangkan Najiha yang sudah mulai emosi.
Tiba-tiba, suara keras terdengar dari pintu kelas. "Aqila!! Apa yang kamu lakukan di kelas ini!?" seru Haidar, yang kembali dari kantin dan melihat keributan yang terjadi.
Aqila yang merasa terpojok dengan kehadiran Haidar hanya tersenyum kikuk. "Kamuu... ouhhh nggak ada apa-apa kok Haidar. Ini Najiha, teman kecilku dulu... Yaa kan Najiha?" Aqila berkata dengan nada yang dipaksakan ramah, mencoba menutupi ketegangan yang ada.
Najiha hanya bisa menatap Aqila dengan bingung.
Tak ada ekspresi berarti di wajahnya. Sikap Aqila yang tiba-tiba berubah menjadi lebih manis dan lembut terasa sangat aneh bagi Najiha, seperti ada sesuatu yang disembunyikan.
"Kalo gitu, aku cabut dulu ya, girls... byee," ujar Aqila, berusaha menghindar dari tatapan tajam Haidar, yang tampaknya tidak senang dengan kehadirannya di kelas tersebut.
Aqila berbalik dan berjalan dengan langkah cepat menuju pintu, meninggalkan Najiha dan Haidar di dalam kelas.
Najiha tetap berdiri di tempatnya, masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Haidar, yang berdiri di dekatnya, mengamati dengan serius, seolah menyadari ada lebih banyak hal yang tersembunyi di balik sikap Aqila yang tiba-tiba berubah.
Najiha yang tidak ingin terjebak dalam keributan itu, duduk kembali dengan tenang, namun hatinya mulai merasa ada sesuatu yang salah. Ia memutuskan untuk tidak terlalu memikirkan Aqila atau Haidar untuk saat ini.
Pulang sekolah, Najiha berjalan keluar sambil mengendarai motornya. Tiba-tiba, Haidar menghadang di depan jalan.
"Hai, Najiha," ucap Haidar santai, disertai tawanya yang ringan.
Najiha menghentikan motornya, menatap Haidar dengan dingin tanpa ekspresi, seperti biasanya.
"Boleh aku ikut ke rumahmu? Eh, apartemenmu?" tanyanya, nada bercandanya jelas terdengar.
Tanpa menjawab, Najiha hanya menatapnya selama beberapa detik, lalu melajukan motornya melewati Haidar tanpa sepatah kata pun.
"Yah, cuek banget," gumam Haidar sambil menggaruk kepalanya, tapi senyum kecil tetap menghiasi wajahnya.
Sesampainya di Apartemen
Najiha membuka pintu apartemennya, ruangan kecil yang bersih dan rapi menyambutnya. Ia menaruh helm dan tasnya di sofa, lalu melangkah ke dapur untuk mengambil segelas air dingin.
Ia melirik ponselnya yang tergeletak di meja. Sebuah pesan dari Haidar muncul di layar:
"Selamat sampai di apartemen, kan? Jangan lupa makan dan istirahat, ya!"
Najiha mendengus kecil, membiarkan pesan itu tak terbaca. Ia duduk di kursi, menatap jendela apartemennya yang menghadap ke kota.
Dalam hati, ia bertanya-tanya, "Kenapa sih orang itu selalu ingin ikut campur urusanku? Apa dia nggak punya hidup sendiri?"
Namun, tanpa sadar, pikirannya terusik oleh Haidar. Senyum dan tingkah lakunya yang selalu ceria membuatnya heran, tapi ia buru-buru mengenyahkan pikiran itu.
"Aku nggak punya waktu untuk hal seperti ini," gumam Najiha sambil memejamkan mata, mencoba menenangkan dirinya di tengah kesunyian apartemennya.
# # #
Najiha di Mall: Sebuah Awal Cerita
Di pagi yang cerah, Najiha memutuskan untuk pergi ke mall. Tas selempang sederhana melingkar di bahunya, sementara tangannya menggenggam daftar belanja yang sudah ia tulis semalam.
Sebagai seorang mahasiswa dari keluarga sederhana, Najiha selalu berusaha untuk hidup hemat, termasuk memilih sayuran segar yang berkualitas dengan harga terjangkau.
Langkahnya terhenti di depan rak sayuran. Matanya yang tajam dan penuh perhitungan memeriksa satu per satu, memastikan setiap lembaran daun segar dan bebas dari cacat. Pilihan itu bukan hanya sekadar karena kebutuhan, tetapi juga cerminan sikap teliti dan disiplin yang ia tanamkan sejak kecil.
Setelah beberapa saat, ia memasukkan beberapa wortel, bayam, dan tomat ke dalam keranjang belanjaannya.
Ia menarik napas lega, merasa cukup puas dengan pilihannya.
Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang wanita tua yang tampak kesulitan membawa beberapa kantong belanjaan besar.
Tanpa ragu, Najiha menghampiri dan menawarkan bantuan. "Boleh saya bantu, Bu?" tanyanya dengan sopan. Wanita itu tersenyum penuh syukur, "Terima kasih, Nak. Kamu baik sekali."
Momen sederhana itu menjadi pengingat bagi Najiha bahwa hidup bukan hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang memberi manfaat bagi orang lain, sebagaimana yang diajarkan keluarganya sejak kecil.
Haidar berdiri di sudut mall, memperhatikan gerak-gerik Najiha dengan tatapan serius. Hatinya bergumam pelan, “Wanita ini... ada sesuatu yang unik tentangnya. Dingin di luar, tapi hangat dalam tindakannya.”
Dendi yang tiba-tiba muncul dari belakang membuat Haidar terkejut.
"Bro, lu ngapain bengong gitu? Serius amat," ucap Dendi sambil menepuk bahunya.
"Berisik lo!" balas Haidar cepat, mencoba menyembunyikan kegugupannya.
Dendi menyipitkan mata, lalu tersenyum lebar. "Jangan bilang lu lagi ngeliatin cewek?" godanya.
Haidar mendesah, tapi tatapannya tetap tertuju ke arah Najiha.
Wanita itu tampak tenang, memilih-milih buah dengan sikap dinginnya yang khas. Seolah tak peduli dunia.
Namun, Najiha menyadari tatapan itu. Ia menoleh sekilas, lalu memilih untuk mengabaikannya dan berjalan ke rak buah lainnya.
"Sial, dia pergi!" umpat Haidar, sedikit frustrasi.
"Tenang, Bro. Itu dia lagi milih-milih buah di rak sebelah," ujar Dendi santai.
Haidar tersenyum kecil, lalu menepuk pundak temannya. "Thanks, Bro. Saatnya gua bergerak."
Dengan langkah penuh percaya diri, Haidar berjalan ke arah Najiha. Ia berdiri tak jauh darinya dan mulai bicara sendiri dengan suara yang cukup keras. "Hmm, buah pir yang segar di mana, ya?"
Najiha hanya melirik dari ujung matanya, lalu kembali sibuk memilih buah tanpa berkata apa-apa. Haidar, yang merasa canggung, mencoba terlihat santai, meski hatinya berdebar.
Melihat Haidar salah memilih buah, Najiha akhirnya turun tangan.
Dengan gerakan tenang, ia mengambil sebuah buah pir dan menyerahkannya kepada Haidar. "Ini, yang segar," ucapnya dengan nada dingin tanpa melihat langsung ke arah Haidar.
Haidar tertegun sejenak, lalu mencoba tersenyum. "Oh, ternyata kamu di sini juga ya, Najiha. Kebetulan banget," ucapnya, berusaha terdengar santai.
Najiha menoleh perlahan, menatapnya dengan ekspresi datar yang tajam. "Aku tahu kok, kamu udah ngeliatin aku dari tadi," katanya langsung, membuat Haidar tersentak dan salah tingkah.
Ia menggaruk belakang kepalanya, berusaha menyembunyikan rasa malunya. "Err... Enggak, aku cuma lagi—"
"Ambil ini," potong Najiha cepat sambil menyerahkan buah pir yang sudah dipilihnya. Tatapannya tetap dingin, tapi entah kenapa Haidar merasakan kehangatan dari sikap kecil itu.
Dengan gugup, Haidar menerima buah tersebut. "Makasih, ya," ucapnya pelan.
Najiha hanya mengangguk singkat sebelum kembali memilih buah.
Haidar menghela napas panjang, hatinya berdebar keras. Meski interaksinya singkat, ia merasa ada sesuatu yang istimewa dalam kebekuan Najiha. “Dia benar-benar berbeda,” pikirnya sambil tersenyum kecil, menatap punggung Najiha yang menjauh.
Haidar tengah melangkah keluar dari mall ketika ponselnya berdering. la mengangkatnya dengan gerakan cepat, wajahnya berubah tegang begitu mendengar suara dari seberang.
"Halo, Rey, gawat, Rey... markas kita diserang!" seru seseorang dengan nada panik.
"Sial!" Haidar mendesis sambil mengepalkan tangannya. "Gue kesana sekarang!" jawabnya singkat, lalu menutup telepon.
Dendi, yang berdiri di sampingnya, menatap dengan alis terangkat. "Ada apa, Bro?"
"Markas diserang. Kita harus ke sana!" balas Haidar dengan nada tegas.
Tanpa pikir panjang, mereka masuk ke mobil. Haidar menginjak pedal gas dalam-dalam, mobil melaju dengan kecepatan tinggi menerobos jalanan Jakarta yang padat. Di tengah perjalanan, pikiran Haidar dipenuhi oleh bayangan kelam gengnya, Reylios.
Reylios adalah nama yang diambil dari pendiri mereka, Reyhan, Ali, dan Oska.
Tiga sahabat yang membangun geng motor paling ditakuti di Jakarta. Mereka dikenal kejam dan tanpa ampun, terutama kepada siapa saja yang berani menantang mereka. Namun, kebersamaan mereka tidak bertahan lama.
Ali, yang dikenal sebagai panglima tempur geng itu, tewas mengenaskan. Dia ditikam dari belakang dalam perjalanan menuju rumahnya oleh anak geng motor Oldiaris.
Kematian Ali membuat geng Reylios kehilangan arah, hingga tragedi berikutnya terjadi.
Saat Oska merayakan ulang tahunnya yang ke-17 dengan pesta besar bersama anggota geng lain, seseorang berkhianat. Mereka menelepon polisi ke pesta itu , memfitnah mereka Menyelundup narkoba, oska yg tidak sempat melarikan diri pun tewas ditembak polisi.
Oska tewas di tempat dengan kematian yang mengenaskan, meninggalkan Reyhan sebagai satu-satunya pendiri yang tersisa.
Lamunan Haidar buyar ketika mobilnya berhenti mendadak di depan markas Reylios. Pemandangan di hadapannya membuat darahnya mendidih
Markas mereka porak-poranda. Sepeda motor tergeletak dengan bagian-bagian yang rusak, kaca-kaca pecah berserakan di mana-mana. Beberapa anggota geng terluka, sementara yang lain masih bertarung dengan sengit melawan kelompok penyerang.
Haidar keluar dari mobil, menatap tajam situasi di depannya. Dendi, yang berdiri di sampingnya, menghela napas berat. "Ini gila, Bro... mereka benar-benar serius mau habisin kita."
"Enggak akan gue biarin," ucap Haidar dengan nada dingin, matanya menyala penuh amarah. Ia mengepalkan tangan, bersiap untuk bergabung dalam pertempuran. "Dendi, pastikan kita enggak kalah. Ini markas kita. Ini rumah kita."
Dendi mengangguk singkat. "Lu tahu gue selalu di belakang lu, Bro."
Tanpa banyak bicara lagi, mereka berdua maju ke medan pertempuran, siap mempertahankan apa yang tersisa dari geng mereka, Reylios.
# # #
Haidar, Dendi, dan Aron berdiri dengan napas memburu di tengah markas yang kini penuh dengan sisa-sisa pertempuran.
Tubuh lawan mereka bergelimpangan di tanah, beberapa masih bergerak dengan lemah, sementara yang lainnya tak lagi bernapas.
Mereka telah berhasil mempertahankan markas Reylios, dan geng motor yang menyerang kini benar-benar hancur lebur.
Reyhan Bhaskara, yang juga dikenal sebagai Haidar Husein, melangkah maju dengan tatapan dingin.
la memandang lawan-lawannya yang tak berdaya dengan ekspresi tak tergoyahkan. "Cepat buang sampah-sampah ini ke tempat pembuangan," ucapnya tegas, suaranya menggetarkan.
Dendi dan Aron segera bergerak, menyeret tubuh-tubuh itu tanpa ampun ke arah truk tua yang sudah disiapkan.
Tak ada belas kasihan dalam tindakan mereka. Reyhan berdiri diam, mengawasi dengan tatapan penuh kehendak. Di hatinya, hanya ada satu pikiran: membalas dendam atas kematian saudara kembarnya, Ali Bhaskara.
#Masa Lalu Reyhan Bhaskara#
Nama asli Haidar adalah Reyhan Bhaskara. Namun, sejak kematian Ali, segalanya berubah.
Ali bukan hanya saudara kembarnya, tapi juga belahan jiwanya, orang yang selalu melengkapi dirinya.
Mereka dikenal sebagai dua wajah Reylios yang paling menakutkan: Reyhan, otak dari setiap rencana, dan Ali, panglima tempur yang memimpin di garis depan.
Namun, saat Ali tewas secara tragis di tikam di jalan, Reyhan kehilangan separuh dari dirinya.
Kematian itu tidak hanya menghancurkan hatinya, tetapi juga mengguncang fondasi Reylios.
Ayah mereka, Dian Bhaskara, yang juga seorang pebisnis keras, memutuskan untuk mengubah nama Reyhan menjadi Haidar Husein.
Nama itu bukan sekadar nama baru.
Ayahnya memintanya langsung dari seorang ustadz bernama Ahmad Zein saat berada di Kalimantan untuk urusan bisnis.
Dian berharap nama itu membawa kekuatan baru dan melindungi anaknya dari nasib tragis yang menimpa Ali. Namun, Reyhan tahu, nama baru itu tidak akan menghapus dendam yang ia simpan di dalam hatinya.
......................
#Saat Ini.....
Ketika semua mayat telah dimuat ke dalam truk, Aron menghidupkan mesin dan melaju menuju tempat pembuangan.
Reyhan memandang punggung truk itu dengan tatapan dingin. "Kematian mereka belum cukup untuk menebus apa yang mereka lakukan pada Ali," gumamnya, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Dendi yang mendengarnya hanya mengangguk. "Kita akan pastikan tidak ada yang berani menyentuh kita lagi, Rey."
Reyhan menoleh ke arah Dendi, sorot matanya tajam. "Bukan hanya menyentuh kita. Aku ingin mereka hancur. Sama seperti aku kehilangan Ali."
Langit malam mulai gelap, dan Reyhan Bhaskara berdiri di tengah markas yang kini sepi, memikirkan langkah berikutnya.
la tahu, ini belum berakhir. Perang dengan geng motor lainnya hanya akan semakin memanas, dan ia siap untuk membakar segalanya jika perlu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!