Balairung istana gemerlap dengan hiasan emas dan permata, tetapi suasananya tegang seperti langit yang mendung sebelum badai. Dua pangeran muda, Arven dan Raze, berdiri di tengah aula, saling melontarkan tatapan penuh kemarahan. Di singgasana megah di ujung ruangan, Raja Veghour menatap mereka dengan kerutan di dahi.
“Apa yang terjadi?” tanya Raja dengan suara berat yang menggetarkan ruangan.
Arven, pangeran sulung yang berusia tiga belas tahun, berbicara lebih dulu. Wajahnya memerah, tapi matanya teguh. “Raze menuduhku mencuri pedang perak miliknya, Paduka. Tapi itu tidak benar!”
Raze, pangeran kedua yang satu tahun lebih muda, tersenyum tipis penuh rasa menang. “Jangan bohong, Arven. Aku melihatmu keluar dari ruang senjata tadi pagi. Dan saat aku memeriksa, pedangku hilang.”
“Itu karena aku pergi mencari busurku! Aku bahkan tidak menyentuh pedangmu!” seru Arven, suaranya pecah oleh amarah yang ia tahan.
Raja Veghour menatap kedua anaknya, lalu melirik ke arah prajurit yang berdiri di sisi aula. “Bawa saksi ke mari. Kita akan dengar dari mereka.”
Seorang pelayan muda melangkah maju. Tubuhnya gemetar, tetapi ia menunduk hormat kepada Raja. “Ampun, Paduka. Saya melihat Pangeran Arven keluar dari ruang senjata pagi ini.”
Arven tertegun. “Kamu tahu aku tidak mencuri apa pun! Aku hanya mengambil busurku!”
Pelayan itu menunduk lebih dalam, menghindari tatapan Arven. Kenyataannya, ia telah menerima ancaman dari Raze beberapa jam sebelumnya. Jika ia tidak memberikan kesaksian sesuai keinginan sang pangeran kedua, nyawanya bisa terancam.
“Cukup,” ujar Raja Veghour. Tatapannya dingin, seperti pedang yang baru diasah. Ia memandang Arven dengan kekecewaan yang menusuk. “Kamu tahu mencuri adalah perbuatan tercela. Sebagai anakku, kamu seharusnya menjaga kehormatan keluarga.”
“Tapi Ayah—”
“Tidak ada tapi-tapian!” potong Raja. “Kamu akan dihukum menjalani tugas-tugas istana selama seminggu penuh tanpa istirahat. Mungkin itu akan mengajarkanmu arti tanggung jawab.”
Arven membuka mulutnya untuk membantah, tetapi pandangan tajam ayahnya menghentikannya. Ia menunduk, menahan amarah dan sakit hati yang mendidih di dalam dirinya.
Raze berdiri di samping dengan wajahnya penuh rasa puas. Namun, di balik senyumnya, ada kenyataan yang ia sembunyikan. Pedang peraknya sebenarnya ia sembunyikan di bawah tempat tidurnya pagi tadi, hanya untuk memberi pelajaran kepada pangeran sulung yang selalu menang darinya. Padahal Arven tidak pernah menang dari Raze kalau dihadapan raja. Dia memang unggul di bidang apapun dari Raze, tapi tidak dengan kasih sayang sang ayah.
Setelah balairung kosong, Arven duduk di anak tangga, memandang jauh ke luar jendela. Hatinya penuh dengan rasa kecewa dan marah. Biasanya kalau ibunya alias sang ratu masih bersamanya, Arven akan ada yang selalu memeluk. Sedangkan sekarang dia hanya bisa terdiam seorang diri menerima ketidakadilan. Ibunya Raze, sang selir yang sudah naik takhta menjadi ratu, menghampirinya seraya bertanya keadaan anak itu.
"Pangeran Arven, maaf bila ibu--"
Belum selesai kalimat sang ratu, Arven berdiri dari duduknya, menatap ibunya Raze dengan tatapan tidak suka. Lalu Arven pergi begitu saja meninggalkan Ratu Baily yang memandang Arven dengan tatapan nanar.
...___________________________________________...
Selamat membaca pemirsa.
Masa kini, di zaman kesibukan manusia.
Langit sore meredup, menyisakan semburat jingga yang merayap di sela tirai jendela ruang tamu. Nara duduk dengan kaku, seperti boneka yang terjebak dalam bingkai waktu. Di hadapannya, Papa dan Mama berbicara dengan nada tegas, namun lembut, seperti belati yang dibalut sutra.
“Kamu sudah dewasa, Nara,” kata Papa, membuka pembicaraan. “Kami merasa ini saat yang tepat untuk mengenalkan mu dengan anak teman Papa. Dia cocok sekali untukmu.”
Nara hampir tersedak mendengar kata-kata itu. Perjodohan? Di zaman ini? Ia menatap mereka bergantian, mencoba memastikan bahwa ini lelucon. Tapi ekspresi tegas di wajah mereka tidak memberikan ruang untuk bantahan.
"Kami sudah memikirkannya matang-matang,” imbuh Papa, matanya seperti tebing yang tak bisa ditembus. “Perjodohan ini bukan hanya demi kamu, tapi juga keluarga kita.”
"Papa sama Mama mau jodohin aku? demi keluarga kita yang gimana sih Pa? mau menyatukan dua kekuatan biar perekonomian keluarga kita makin meroket?"
“Nara, dengarkan dulu,” Mama mencoba melunak. “Bukan begitu maksudnya. Mama sama Papa jodohin kamu sama dia, ya karena dia anaknya baik, dan keluarganya dekat dengan kita.”
“Tapi Nara nggak mau. Masa di jaman modern kaya sekarang masih aja urusan hati ditentuin sama orangtua. Menikah itu harus dengan orang yang saling mencintai."
"Tapi kan kamu bisa mencoba berkenalan dulu Nara. Cinta itu akan tumbuh seiring berjalannya waktu." Papa tidak mau kalah.
"Tetap nggak bisa begitu Pa."
"Nara, kami hanya ingin yang terbaik,” sambung Mama, suaranya selembut angin malam. Namun di balik nada itu, ada desakan yang tidak bisa diabaikan. “Dia anak yang baik. Kamu akan menyukainya jika mau mencoba.”
Nara tertawa kecil, pahit. “Cinta bukan eksperimen, Ma.”
"Yasudah gini aja, sebagai bentuk bakti kamu kepada orangtua, Papa mau kamu tetap menemui anak temannya Papa. Entah itu kapan, Papa tunggu kamu sampai siap!" tidak ada yang mau kalah antara Nara dan orangtuanya. Nara sebenarnya tidak punya pacar. Tapi malas juga kalau sampai dijodohkan.
"Pa, Ma, jodoh itu bukan paksaan, tapi pertemuan yang Tuhan siapkan dengan cinta, bukan tekanan. Jadi kalau Papa Mama masih bersikeras memaksa Nara, ingat apa kata tukang sate."
Tanpa mendengar balasan, ia bergegas naik ke kamarnya menyisakan kalimat yang menuntut penjelasan lebih.
"Emangnya tukang sate bilang apa Ma?" Papa bertanya kepada istrinya. Wanita itu hanya mengedikkan bahu pertanda bingung.
"Pokoknya kita tidak boleh menyerah. Papa mau Nara menerima perjodohan ini. Umurnya sudah tiga puluh satu tahun, jadi sudah habis batas waktu yang sudah kita berikan untuk dirinya."
"Iya Pa, Mama setuju. Mama tidak akan menyerah membujuknya."
...***...
Beberapa bulan kemudian.
Nara menarik napas panjang, berdiri di depan cermin. Hari ini adalah hari besar—sidang terakhirnya sebagai pengacara muda. Namun, pikirannya terusik. Selama berbulan-bulan, orang tuanya terus mendesaknya soal perjodohan. Mereka ingin dia menikah dengan anak kolega bisnis, padahal Nara tidak pernah sekalipun menginginkan itu.
“Apa hidup gue nggak bisa santai sebentar aja?” gumamnya.
Setelah sidang selesai dengan hasil yang memuaskan, Nara memutuskan kabur sejenak dari rutinitas. Dia mengambil mobilnya tanpa tujuan pasti. Jalanan membawanya ke sebuah desa yang sunyi. Angin segar dan pemandangan hijau membuat hatinya sedikit lega.
Di sebuah tikungan, dia melihat seorang wanita tua duduk di beranda rumah kayu yang sederhana. Wanita itu menyapanya ramah.
“Anak muda, mampir dulu. Sepertinya lelah,” katanya.
Nara berhenti. Ia butuh suasana baru. Mereka berbincang, dan dari cerita sang nenek, Nara tahu rumah itu akan dijual karena nenek ingin pindah ke kota bersama anak-anaknya.
“Rumah ini seperti membawa kedamaian,” kata Nara sambil memandangi pekarangan yang luas dan rapi.
“Kalau kamu suka, belilah. Aku yakin rumah ini akan membawa ketenangan untukmu,” ujar nenek dengan senyum lembut.
Tanpa berpikir lama, Nara setuju. Rumah itu kini menjadi tempat pelariannya dari segala penat dunia. Dan untuk pertama kalinya, dia merasa punya kendali atas hidupnya sendiri.
Gue tinggal disini aja ah untuk sementara waktu. Penat juga ngeladenin perjodohan Papa dan Mama. Kasihan sebenarnya. Tapi mau bagaimana lagi, menikah itu harus dengan pilihan hati. Selama ini gue juga lagi usaha menemukan jodoh dengan cara natural.
Nara bahkan mengambil keputusan untuk tidak bilang pada orangtuanya soal pembelian rumah tersebut. Dia mau menjadikan rumah ini sebagai tempat pelariannya. Tanpa dia sadari, angin yang berhembus terasa begitu berbeda. Seakan membawa kabar kalau dia---
.
.
Bersambung.
Pagi datang seperti lonceng kemerdekaan. Dengan koper kecil dan ransel di pundaknya, Nara meninggalkan rumah tanpa menoleh. Angin dingin pagi itu seolah mendukung langkahnya, membisikkan kata-kata yang menenangkan: ini saatnya terbang, jauh dari sangkar.
Ia pergi ke pinggir desa--tempat di mana dunia terasa lebih sunyi, tetapi juga lebih jujur. Rumah itu sederhana, nyaris kosong, kecuali sebuah lemari tua di sudut ruangan. Kayunya retak-retak, dan catnya mengelupas seperti luka yang sudah lama dilupakan.
“Haduh, kenapa nenek nggak bawa lemari miliknya ya?” gumam Nara sambil mendekat. Ia membuka pintunya perlahan, dan matanya langsung terpaku.
Nara menemukan sebuah lemari tua tersebut di sudut ruangan ketika sedang menata barang-barang miliknya. Awalnya ia mengira lemari itu kosong, tapi ketika dibuka, matanya membelalak. Di dalamnya, tergantung sebuah gaun berwarna ungu dengan desain yang luar biasa indah seperti gaun putri di negeri dongeng.
“Kenapa gaun secantik ini ada di sini?” bisiknya, jari-jarinya menyentuh kainnya dengan hati-hati.
Rasa penasaran menyeretnya lebih jauh. Ia melepas jaketnya dan mengenakan gaun itu. Ketika kain lembut itu menyentuh kulitnya, dunia di sekitarnya berubah. Udara menjadi berat, seperti ribuan kupu-kupu yang mengepakkan sayap di dadanya.
Tapi belum sempat ia mencerna apa yang terjadi, tubuhnya seperti ditarik oleh kekuatan tak terlihat. Pandangannya gelap, dunia sekelilingnya lenyap dalam sekejap.
Angin kencang berputar di sekelilingnya membawa bisikan-bisikan tak jelas seperti suara-suara asing yang memanggil dari balik tirai waktu. Nara terjatuh, terhempas tanpa bisa mencegahnya.
Ketika tarikan itu berhenti, Nara membuka matanya dan dia mendapati dirinya berada di tempat yang asing—hutan lebat yang penuh kabut dengan langit berwarna senja, merah-oranye yang memudar. Kesejukan angin menyentuh kulitnya, membawa bau tanah basah yang asing di hidung. Dia mencoba berdiri. Tubuhnya masih terasa lemas setelah apa yang terjadi, tapi tak ada waktu untuk merenung.
Di depannya, jurang menganga lebar. Air terjun bertingkat-tingkat mengalir deras di bawahnya, dan suara gemuruhnya menambah suasana mencekam.
“Dimana ini?” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, suara derap langkah kuda mendekat memecah keheningan. Beberapa pria berpakaian baju zirah duduk di atas para kudanya.
Ketupak.. ketupak.. ketupak..
Nara bisa melihat bayang-bayang mereka melintas di antara pepohonan. Dari arah itu, dia bisa merasakan bahwa mereka sedang mendekat.
Nara menahan napas, berusaha menundukkan tubuhnya dan menyembunyikan diri di balik batu besar di tepi jurang. Sepertinya tak ada pilihan selain berdiam diri dan berharap mereka tidak melihatnya. Selama dia belum tahu tempat apa yang ia pijak, Nara sebisa mungkin menghindari pertemuan dengan makhluk di dalamnya. Salah-salah dia bisa jadi tawanan bahkan terjebak selamanya di sini.
Di balik batang pohon besar, jantungnya berdebar saat suara derap langkah kuda semakin mendekat. Ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan diri agar tidak terlihat oleh pasukan prajurit yang sedang lewat.
"Area ini bersih," salah satu prajurit berkata dengan suara tegas.
"Terus maju! Jangan biarkan dia lolos!" sahut yang lain.
Perlahan, derap kuda mulai menjauh. Nara akhirnya menghela napas lega, melonggarkan tubuhnya yang sempat tegang. Namun, saat ia baru hendak melangkah pergi, suara berat terdengar dari arah belakang.
"Woy, tolongin gue!"
Nara tersentak. Ia segera menoleh ke arah sumber suara. Matanya memindai sekitar, namun yang ia lihat hanya semak belukar dan kabut tebal. Tidak ada apa-apa di sana.
"Nara, tolongin gue."
Hah? namanya disebut membuat Nara terjingkat.
"Lo dimana? kenapa ada suaranya doang?" Nara bertanya dengan nada waspada. Tak ada jawaban. Hutan kembali sunyi, seakan suara tadi hanyalah halusinasinya.
Namun, saat ia menurunkan pandangan, matanya tertumbuk pada sosok kecil di atas tanah. Seekor landak kecil, dengan bulu berduri yang sebagian kusut dan berdarah hitam, tengah menatapnya lekat.
"Gue di sini!" Landak itu berbicara, suaranya berat dan terdengar sedikit memaksa.
Nara terperangah. "Lo... bisa ngomong?"
"Ya, bisa. Nggak usah kaget, wahai manusia. Di sini banyak hal yang lebih aneh dari sekadar landak yang ngomong," jawabnya sambil mencoba berdiri, tapi terlihat meringis.
"Lo kecebur di got?" kata Nara spontan. Dia melihat landak itu berlumuran cairan hitam.
Landak itu mendengus. "Ini bukan kecebur di got, tapi gue lagi terluka. Cairan hitam ini darah gue Nara." Sekali lagi Nara mendengar namanya disebut-sebut.
"Kok lo bisa tahu nama gue? sedangkan gue aja masih bingung ini tempat apa?!"
"Pokoknya lo bantuin gue dulu sekarang. Ceritanya nanti aja."
Nara memutar bola matanya. "Oke, terus gue harus ngapain?"
"Pertama-tama lo taruh tubuh gue di telapak tangan lo."
Nara melakukan apa yang si landak minta. Sekarang sudah ada di tangan wanita itu, landak kembali bersuara.
"Lo basuh gue pakai Air Mata Senja, nama danau yang tidak jauh dari sini. Ayo jalan ke arah barat daya."
Tanpa banyak bertanya, Nara pun mengikuti arahan landak. Sebenarnya Nara kurang begitu yakin landak ada di pihaknya, tapi karena nalurinya mengatakan harus menolong landak ini, wanita itu jadi bergerak sesuai hati.
"Nama gue Uto," ujar si landak singkat di dalam keheningan yang tercipta. "Dan kalau lo mau tahu kenapa lo ada di sini, gue mungkin bisa ceritakan setelah nanti gue berubah wujud."
"Berubah wujud? lo landak jadi-jadian?"
"Wujud gue aslinya bukan begini. Kita udah sampai di Mata Air Senja. Lo buruan basuh gue pakai itu."
Nara menaruh telapak tangannya di atas permukaan danau. Tangan satunya lagi ingin mencebik air ke tubuh Uto, namun landak tersebut meminta agar diceburkan saja.
Byuur.
"Uto?" Nara memanggil dengan nada bingung, berdiri dan mundur beberapa langkah.
Tubuh Uto tampak berubah. Bulunya perlahan menghilang, digantikan oleh sesuatu yang jauh lebih besar dan... manusiawi?
"Apaan ini?!" seru Nara dengan tampang tak percaya.
.
.
Bersambung.
Nara
Nara terlonjak mundur ketika cahaya lembut keperakan menyelimuti tubuh Uto. Sosok landak hitam legam itu memanjang, tubuhnya membesar, dan durinya menyusut menjadi punggung yang tegap. Dalam hitungan detik, Uto berubah menjadi seorang pria muda dengan rambut hitam acak-acakan dan mata yang sama bersinar seperti sebelumnya. Pakaiannya serba hitam dengan pola keemasan lambang tertentu. Nara hanya bisa ternganga, sementara lelaki itu berdiri dengan santai. Seringai khas Uto masih terpampang jelas di wajahnya.
“Jadi...wujud asli gue kaya gini.” kata Uto dengan nada ringan, merentangkan tangan seperti memperlihatkan dirinya kepada dunia. “Kaget?”
“Kaget gue, Uto!” Nara hampir berteriak. “Lu landak! Seekor landak yang terluka, kemudian minta tolong sama gue....ternyata lu manusia?!”
Uto terkekeh, suaranya rendah dan dalam, tetapi masih mengandung jejak kejenakaannya yang biasa. “Gue bukan manusia Nara. Gue hanya memilih bentuk yang paling efektif untuk situasi tertentu buat jadi pemandu lo selama di dunia bayangan ini. Dan, yah, kadang manusia lebih mudah percaya pada manusia lain daripada pada seekor landak.”
Nara masih sulit mencerna apa yang baru saja dilihatnya. “Ini--ini gila. Apa tadi lo bilang? Pemandu? Dunia bayangan?"
Uto mendekat, tatapannya tiba-tiba menjadi serius, meski senyum kecil masih menghiasi wajahnya. “Iya gue pemandu lo, karena gue ngerti cara kerja dunia ini dan lo pendatang baru yang belum ngerti apa-apa buat melakukan survive."
Nara terdiam, masih mencoba mengumpulkan pikirannya. Dalam kekacauan dunia bayangan, ini adalah kejutan lain yang harus diterima. Namun, di balik keterkejutannya, ia tak bisa menahan rasa penasaran yang semakin membesar tentang dunia bayangan yang dia pijak.
"Lalu,” Nara memulai, “dunia bayangan ini apa sebenarnya?”
Uto mendongak, memperlihatkan seringai khasnya. “Bayangan dunia yang lahir dari ketakutan dan ambisi manusia. Tempat ini ada karena ada keinginan yang terlalu kuat untuk dikendalikan.”
Nara memiringkan kepala. “Keinginan apa?”
“Segalanya,” jawab Uto dengan suara dramatis. “Keinginan untuk berkuasa, membalas dendam, cinta yang tak terbalas, bahkan ketakutan akan kematian. Dunia ini adalah refleksi dari apa yang manusia sembunyikan di hatinya.”
Nara memandang ke kejauhan, melihat pepohonan bengkok dengan dedaunan hitam. Danau berkilauan seperti tinta, dan bebatuan yang tampak memancarkan cahaya redup. “Jadi, ini semacam dunia paralel?”
"Bukan paralel. Ini adalah limbah,” kata Uto sambil duduk ke batu di sebelahnya. “Apa yang manusia tolak, dunia ini menyerap. Semua rahasia gelap, semua keinginan yang mereka pikir tidak ada yang tahu--tempat ini adalah tempat pembuangannya.”
“Berarti semua orang punya hubungan dengan dunia ini?” tanya Nara sambil memeluk lututnya
Semua orang menciptakan dunia ini, bahkan tanpa sadar,” jawab Uto. “Tapi hanya mereka yang cukup kuat atau cukup sial yang benar-benar tersedot ke dalamnya.”
Nara menatap Uto tajam. “Kalau begitu, kenapa gue ada di sini?”
Uto tersenyum kecil, matanya bersinar nakal. “Itu yang harus lo cari tahu, Nara. Dunia ini jarang memilih seseorang tanpa alasan. Dan kalau lo cukup pintar, mungkin lo akan mengerti apa yang sebenarnya dia inginkan dari lo.”
Nara menghela napas panjang, tatapannya kembali mengamati sekeliling. Dunia ini terasa dingin, sepi, tetapi juga penuh dengan energi yang sulit dijelaskan. “Jadi, kalau ini dunia dari keinginan manusia, artinya gue harus melawan semua hal yang bahkan nggak nyata?”
“Bukan melawan, Nara. Tapi belajar bertahan. Karena dunia ini bukan tempat untuk bertempur tanpa alasan. Di sini, setiap langkah lo punya harga, dan setiap keputusan lo punya konsekuensi.”
“Hebat,” gumam Nara dengan nada sarkastik. “Dunia yang nggak cuma aneh, tapi juga penuh hutang.”
Uto tertawa kecil. “Selamat datang di dunia bayangan. Tempat di mana keberanian adalah mata uang terkuat, tapi juga paling berbahaya. Perlahan-lahan lo bakal bisa mencerna kenapa lo bisa masuk kesini."
Nara menghela nafas. Dia bertanya kembali pada Uto dengan mata yang lekat menatap hutan bak dunia fantasi.
“Dunia ini nggak cuma penuh makhluk aneh, ya?” tanya Nara sambil mengamati sekeliling. “Kayaknya ada struktur tertentu. Hierarki.” Netranya tiba-tiba menangkap pemandangan istana.
Uto menoleh dengan seringai khasnya. “Ah, akhirnya otak lo mulai bekerja. Benar, di dunia ini ada dua penguasa. Dua pangeran, tepatnya.”
“Dua pangeran?” Nara memiringkan kepala. “Mereka raja kembar atau apa?”
“Kalau saja mereka kembar, masalahnya nggak akan serumit ini. Mereka belum jadi Raja dan masih dalam tahap pengangkatan. Raja yang sekarang masih di duduki oleh Raja Veghour, ayah kedua pangeran tersebut.” Uto bangkit dari duduknya. “Yang satu dikenal sebagai Pangeran Bayangan. Elegan, penuh perhitungan, dan tidak ada yang bisa menebak rencananya.”
“Dan yang satunya?”
“Pangeran Malam,” lanjut Uto dengan nada dramatis. “Pemberontak. Kasar, impulsif, tapi punya kekuatan yang sulit ditandingi.”
Nara menyilangkan tangan. “Oke, dua pangeran yang kuat. Tapi kenapa lo bilang serumit itu? Mereka nggak akur?”
“‘Nggak akur’ adalah pernyataan yang terlalu ramah,” Uto terkekeh. “Mereka saling membenci. Pangeran Bayangan menganggap Pangeran Malam seperti api liar yang merusak tatanan. Sedangkan Pangeran Malam menganggap Pangeran Bayangan seperti boneka rapi yang tak punya jiwa.”
Nara mengangkat alis. “Lalu, menurut lo siapa yang dominan menjadi pemimpin selanjutnya yang terpilih?”
“Nggak ada,” jawab Uto. “Mereka terlalu sibuk menjatuhkan satu sama lain untuk benar-benar memerintah. Dunia ini dibiarkan dalam kekacauan. Dan kalau lo nggak hati-hati, lo akan terjebak di tengah-tengah perang mereka.”
Nara merenung sejenak. “Jadi, gue harus memilih pihak?”
“Memilih?” Uto tertawa keras. “Oh, itu pilihan bodoh. Pihak yang lo pilih bisa aja membunuh lo lebih cepat daripada musuh mereka.”
“Lalu gue harus gimana?” Nara bertanya, nada suaranya tajam.
“Cukup cerdas untuk tidak terlihat berpihak,” jawab Uto, tatapannya serius. “Tapi cukup pintar untuk membuat mereka percaya lo bisa berguna.”
Nara tersenyum miring. “Jadi, gue harus jadi oportunis?”
“Selamat datang di dunia bayangan, Nara.” Uto membungkuk dengan gaya jenaka. “Di sini, moralitas adalah kemewahan, dan hanya yang cerdas yang bertahan.”
Nara terkekeh kecil. “Lo sepertinya menikmati kekacauan ini.”
“Ah, tentu saja,” jawab Uto, berjalan kembali. “Kalau dunia ini rapi, gue nggak punya pekerjaan, kan?”
Hahahaha. Mereka tergelak bersama.
"Ngomong-ngomong soal pekerjaan, kaya punya bos aja lo! apa jangan-jangan lo nganggep gue majikan sekarang?" ujar Nara dengan nada bercanda.
"Gue memang punya Tuan, tapi bukan lo Nara. Lo itu cuma terget pekerjaan gue. Lo itu target yang harus gue jaga sesuai dengan perintah."
"Apa lo bilang?! jadi sebenarnya lo begini karena disuruh dan bukan karena gue abis nolongin lo tadi?"
"Tepat! Mulai pintar lo sekarang hehe. Maaf tadi gue agak dramatis dikit. Iya gue ngelakuin ini karena disuruh, dan Tuan gue adalah salah satu dari pangeran yang gue cerita."
"AH YANG BENAR LO?" Nara terperanjat, jantungnya berdebar cepat.
"Iya benar."
Nara refleks memegang dadanya, dimana jantungnya masih berdetak tidak karuan.
"Kenapa lo? awas jangan baper!"
"Nggak! siapa yang baper, gue cuma kaget aja Uto. Oh iya, Pangeran apa yang jadi Tuan lo?"
"Rahasia. Nanti juga lo bakal tahu. Mending sekarang lo ikut gue ke tempat istirahat. Nanti gue temuin lo lagi kalau udah bangun."
"Sebentar Uto, ada yang masih pengen gue tanyain lagi. Janji ini pertanyaan terakhir buat malam ini, siapa nama Pangeran Bayangan dan Pangeran Malam?"
"Pangeran Bayangan yaitu Pangeran pertama bernama Pangeran Arven, dan Pangeran Malam yaitu Pangeran kedua bernama Pangeran Raze. Sekarang lo istirahat dulu, udah malam."
Nara mengangguk pelan.
Arven dan Raze? jadi penasaran sama mereka.
.
.
Bersambung.
Note: mentor by Kak Rain (ikan). Dia yang udah melatih progress kepenulisan Zenun soal tanda baca.
Nara di dunia bayangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!