Dengan sorot mata sendu oliv menatap wajah barra yang tampak bingung dengan situasi mendesak itu.
"kau cukup ucapkan kalimat ini, bahwa anak itu adalah anakku" ujarnya
namun tak sedikitpun oliv bergeming dan mengatakan satu kata apapun lewat mulutnya, mengapa di saat situasi yang begitu mendesak itu bibirnya justru terkunci rapat.
"yumi adalah putriku, katakan bahwa dia adalah anak kita liv!" desak barra dengan sorot mata yang telah di penuhi genangan bulir air bening.
Berulang kali oliv menelan ludah susah payah dan berusaha menguatkan tekat untuk angkat bicara, namun seolah ia tak kuat menahan sesuatu yang hampir meledak, tubuhnya sampai gemetar dan tak berani menatap sepasang mata lelaki itu lagi.
"padahal akulah yang sudah menahan diri selama ini, tapi kenapa malah wajahmu yang terlihat sangat menderita? siapa yang membuatmu begitu putus asa seolah kau tidak pernah menghadapi kondisi genting sama sekali!" ujar oliv sembari menatap ke arah tanah yang ia pijaki, kondisi trotoar yang mulai basah membuat ujung jari kakinya memucat karena dingin.
"katakanlah oliv, tolong katakan itu sekarang" desaknya lagi
"benar, dia adalah anakmu barra" ujar oliv lantang sembari memegang lembut wajah mantan suaminya yang telah basah kuyup karena tetes hujan malam itu oliv menahan isak tangisnya.
"yumi adalah anak kita" ucapnya lagi, lantas tangis keduanya pun akhirnya pecah di kesunyian kota malam itu. Untunglah keadaan jalan sunyi sepi, kalau tidak mana mungkin akan terjadi adegan dramatis seperti malam itu.
7 tahun yang lalu tepatnya ketika pernikahan mereka masih berjalan baik baik saja, tiba-tiba oliv mendapati sebuah kenyataan pahit yang tak pernah terpikirkan sedikitpun olehnya.
"ini tidak mungkin, sungguh ini tidak mungkin terjadi" pekiknya panik, seketika wajahnya pucat pasi dan tangannnya gemetar ketika melihat dua garis merah tertoreh genah dari alat pengukur kehamilan di tangannya. Saat itu usianya baru menginjak 22 tahun dan statusnya masih menjadi mahasiswa tahun ke 3.
"tidak tidak tidak, ini pasti alatnya yang rusak, bagaimana aku bisa hamil sedangkan malam itu sudah pasti dia pakai alat kontrasepsi" gerutunya sembari mengacak acak rambutnya sendiri. Mulutnya terus berkomat kamit dan pikirannya berkabung kemana-mana mencoba mengingat malam malam panas yang pernah ia lewati bersama suami kontraknya.
"tidak, ayo tenang dulu.. Aku harus tenang" ucapnya sembari berupaya untuk berpikir jernih
"ah, aku tidak bisa tenang! Dimana letak kesalahannya? Mana mungkin barra tega melakukan itu padaku? Sebelumnya kita kan sudah membuat kesepakatan harus pakai kontrasepsi setiap kali melakukannya, kalau begitu sebenarnya apa ini? Apa yang harus aku katakan padanya? Apa dia mau pergi ke rumah sakit denganku atau jangan-jangan dia justu akan marah kalau ku beritahu?" gumamnya tak ada habis menyalahkan keadaannya kala itu.
"tidak, kenapa benda ini harus merah? Kenapa ketiga benda ini harus garis dua? Ini sudah jelas salahnya, dasar barra dewanto ini semua salahmu!" pekiknya kesal, sembari menuding ketiga tespack yang tergeletak di wastafel toilet.
Tiba-tiba getar ponsel di di saku celana mengagetkannya.
"astaga !! Jam berapa sekarang? Oh iya aku lupa dengan janjian makan malam keluarga! Argh ... Bisa bisa kau lupa acara sakral itu olivia!" gerutunya sendiri.
Di tengah dinginnya musim penghujan oliv berjalan terburu-buru untuk menemui barra di tempat janjian.
"Hei barra!!" Teriak oliv begitu melihat pasangan kontraknya masih bertengger di depan restoran yang mereka tuju.
Saat itu usia barra masih 26 tahun dan juga masih menjadi seorang mahasiswa di tahun ke-4, jarak pendidikannya hanya selisih satu tahun dengan olivia. Pria itu terpaksa menikah di usia belia karena desakan kondisi keluarga, yang tak lain hanya karena ikatan bisnis antara kedua orang tua masing masing yang harus terjalin kuat demi kepentingan bisnis mereka.
"Kenapa kau datang seperti itu?" Ucapnya berkomentar
"Loh, memangnya kenapa?"
"Pakaianmu terlalu tipis, nih pakai jasku supaya enggak masuk angin" ucapnya seraya menyodorkan jas tebalnya.
Meskipun cuma menikah secara kontrak, namun pihak dari kedua keluarga tak ada yang tahu perihal perjanjian rahasia di balik pernikahan bisnis mereka. Mereka berdua memilih untuk merahasiakannya sampai alasan untuk bercerai telah di temukan nantinya.
Dan saat ini pernikahan mereka berdua masih berjalan sekitar 6 bulan lamanya.
Tak ada yang tahu takdir telah mempertemukan mereka sebelumnya di negara barat dan pada akhirnya berujung pada pernikahan kontrak yang tengah mereka lalui bersama sampai saat ini.
Berawal saat musim liburan suatu hari di Australia, setelah kelaparan dua hari karena lost kontak dengan keluarga saat berlibur di sana, tak sengaja oliv bertemu dengan barra, oliv menangis di depan supermarket dan bertemu dengan pria ini. Dalam kondisi tak saling kenal di negara orang, pria itu tak ragu meminjamkan uang padanya yang tak bisa membeli makanan. Memang tak bisa di pungkiri sejak awal pertemuan dia adalah pria yang baik untuk kesan pertamanya, dia orang yang ramah dan sangat bisa di andalkan, bahkan sampai sekarangpun baginya barra adalah pria sempurna yang pernah ia temui.
"Apa apaan sih! Aku kan juga punya style sindiri, kenapa aku harus pakai mantel raksasa ini!" Protes oliv dengan mulut mengembung bagai ikan buntal. Melihat kelucuan istrinya tatkala sedang merajuk barra jadi terkekeh kecil sembari memakaikan mantel ke tubuh oliv yang kecil dan mungil.
"Udaranya dingin, lagi pula Itu sangat cocok kok untukmu!" Ujarnya sambil tersenyum manis
"Cocok apanya, aku bahkan sudah tak ada bedanya dengan orang orangan sawah!" Gerutunya seraya tersipu malu.
"Tapi apakah alat kontrasepsinya akurat? Atau apakah gairah pria ini bisa di bilang cukup aman?" Lagi lagi prasangka buruk itu terus berputar bak roll coaster di kepalanya.
"Ada apa?" tanya barra heran melihat raut wajah oliv yang tampak gelisah.
"enggak"
"Ayo masuk!"
"Nanti aku akan masuk, kakak masuk duluan saja!" Ucap oliv agak getir.
"Loh kenapa? Kamu sedang enggak enak badan? Atau kamu enggak suka makan di restoran chinese?"
"Enggak bukan itu"
"Kalau kamu tidak nyaman bilang saja tidak usah memaksakan diri, atau bagaimana kalau kita makan sendiri saja di luar?" usulnya
"Eh, tidak usah kak!"
"Kau tidak mau makan?"
"Eh, iya .. anu soalnya perutku agak sakit" ucap oliv ragu-ragu
Dengan lembutnya tangan besar itu memeriksa suhu tubuh oliv dengan teliti, seketika tatapannya juga sendu seolah sangat mengkhawatirkan kesehatan oliv saat itu.
"Ya sudah kita pulang saja!"
"Loh kok pulang, bagaimana dengan makan malamnya kak? Kedua orang tua kita pasti marah kalau kita kabur seperti ini?" Ucap oliv panik
"Enggak apa apa, sekali ini saja kita abaikan aturan keluarga, kalau aku bilang kamu lagi enggak enak badan nantinya mereka juga bakal ngertiin kok" ujarnya santai.
Entah apa yang membuat suasana tiba-tiba berubah, mendadak barra terdiam di sepanjang perjalanan pulang. Melihat situasi yang sedang tidak sangat mendukung, oliv jadi makin kepikiran untuk memulai pembicaraan yang sangat sensitif itu. Tapi, disisi lain ia juga harus langsung mengatakannya pada barra.
"Aku harus bilang apa? Bagaimana kalau dia jadi salah paham?" Gumam oliv lirih.
"Siapa yang salah paham?" Timpal Barra mengagetkan oliv
"Ha? Enggak itu temanku salah paham sama tugas yang sedang di berikan oleh dosen akhir akhir ini kak, haha .. mungkin dia enggak memperhatikan instruksinya kali ya, haha" Ucapnya garing
"Oh begitu, aku kira apa"
Sesampainya di ruang tamu mendadak barra memeluk oliv dari belakang begitu eratnya, bahkan nafasnya yang berat pun sampai terdengar dan terasa menyentuh kulit oliv.
"Kau kedinginan? Aku akan menghangatkanmu ya?"
"Kau ini bicara apa sih kak!" Dan seketika bibirnya yang hangat menempel di bibir oliv dengan lembut.
"Tunggu dulu kak, aku ingin mengatakan sesuatu" ucapnya seraya mendorong lirih tubuh barra
Sekarang ekspresi wajahmu akan seperti apa kalau kuberi tahu saat ini?, Batin oliv sembari menatap lekat lekat wajah barra.
"Katakan saja, apa yamg ingin kamu sampaikan" bujuknya
"Jadi, aku"
seketika bunyi perut oliv bergema cukup keras hingga terdengar oleh barra.
"Aku lapar" ucapnya tidak jadi menyampaikan maksudnya.
"Kalau begitu kenapa tadi kau tidak mau makan?"
"Eh, itu"
"Baiklah ayo makan sekarang, kau mau di buatkan apa?"
"Terserah kakak saja"
"Apa hanya ada telur di dalam kulkas?"
"Sepertinya iya" ucap oliv sambil nyengir malu karena dirinya hampir tak pernah beli bahan makanan ke supermarket untuk mengisi persedian makanan ke dalam kulkas.
"Hm, bagaimana kalau bikin nasi goreng spesial aja pakai 3 telur?"
"Oke"
"hari ini aku kokinya, kamu duduk diam saja di meja makan"
Sebelum memulai aksinya barra segera menggulung lengan kemejanya lalu mengambil rompi khusus untuk memasak. Seolah sudah sangat hafal dengan resep masakannya dia melakukan step by step dengan sangat rapih.
"Wow aku masih takjub saja, padahal sudah sering melihat kakak memasak di dapur" ujar oliv sembari terkesima oleh tangan kekar yang cukup cekatan membolak balik nasi goreng di wajan.
"Ayo cepat makan" ucap barra sembari menyajikan sepiring nasi goreng spesial buatannya.
"Kakak juga makan ya"
"Makanlah yang banyak"
"Bagaimana aku bisa makan sendirian dengan porsi sepiring penuh begini?"
"Di coba saja dulu, pasti kamu ketagihan"
Hingga beberapa menit kemudian nasi yang semula memenuhi permukaan piring datar itu kini sudah tak tersisa sedikitpun.
"Ternyata enak sekali, aku sampai nggak sadar memakannya sendirian" ujar oliv sembari memancarkan perasaan kenyang yang menyenangkan.
"Bagaimana perasaanmu sekarang?" Tanya barra sembari memeriksa kembali suhu tubuh oliv.
"Aku baik-baik saja, dari awal juga aku enggak kenapa-kenapa kok kak"
"Lain kali jangan sembunyikan rasa sakitmu, kalau kamu lapar dan tidak mau makan di restoran bilang terus terang saja padaku"katanya
"Iya"
Mungkin lain waktu saja kita akan bicara, kalau waktunya tepat aku yakin kakak pasti akan mengerti segalanya, batin oliv
"Aku harus pergi sekarang" ucapnya seraya berjalan terburu-buru mengambil beberapa dokumen ke dalam tas kerjanya.
"Eh, mau pergi kemana? Kenapa tiba-tiba sekali?"
"Iya, karena ada pekerjaan ayah yang harus aku selesaikan, mungkin nanti malam aku tidak bisa pulang karena harus bertemu klien ayah ke luar kota" jelasnya
Saat tengah mencari beberapa potong pakaian yang hendak ia bawa, tak sengaja sepasang mata itu terbelalak tatkala menatap sebuah stik berwarna pink yang tergeletak di atas meja rias oliv. Karena semakin penasaran ia pun akhirnya meraih benda kecil nan panjang itu.
"Kak ini mantelnya, jangan lupa di bawa" ujar oliv
"Apa ini?" Ucap barra sembari menyodorkan benda itu ke arahnya, seketika oliv pun terkejut bukan main, dirinya langsung mematung dan tak bisa berkata-kata.
"Apa ini liv?"tanyanya lagi
"itu bukan apa-apa" segera dia rebut benda itu dari tangan barra dan memasukkannya kembali ke dalam laci, namun alangkah lebih terkejutnya lagi ketika barra melihat tak hanya ada satu benda serupa yang tersimpan di dalam laci itu.
"Tentang apa ini semua?" tanyanya seraya mencegah gerakan tangan oliv yang hendak menutup laci itu rapat-rapat.
"oliv jawab aku, Apa kamu baik baik saja?"
Nyatanya oliv tak punya keberanian untuk berkata yang sejujurnya meski barra telah mengetahui kebenarannya.
"Jangan khawatir aku tidak ingin memaksamu untuk bercerita, sebaiknya kau istirahat dulu" katanya seraya memeluk tubuh oliv yang mulai gemetar
"Tapi, aku"
"Tak apa liv, mari kita bicarakan lagi nanti, oke?"bujuknya
"oke"
Begitu tenangnya perasaan oliv ketika barra tak menuntutnya untuk menceritakan apa yang baru saja ia lihat.
"Jangan keluar dulu, tetaplah di rumah, nanti malam aku akan menghubungimu" ujarnya seraya memakai mantel jaketnya.
Malam berlalu begitu lama bagi oliv. Ponsel yang tengah di cas ia sandingkan di samping bantalnya sembari berharap barra segera menghubunginya, dan tak berselang lama ponsel pun bergetar keras dan mengagetkannya.
"Hallo"
"Oliv, apa kamu sedang tidur?"
"Tidak, aku belum bisa tidur"
"Apa tadi kamu yang memasukkan buah jeruk ke dalam saku jaket ku?"
"Iya, aku ingin kau memakannya karena itu sangat manis"
"Terima kasih, oliv"
"Hmm?"
"Ayo pergi ke rumah sakit bersama" ajaknya tiba-tiba
"apa?!" Pekiknya kaget
"Kamu harus segera periksa dan mendapatkan buku catatan bersalin, benar bukan? Setahuku bahwa ibu hamil akan diberikan sesuatu seperti itu" ucapnya ragu-ragu, spontan saja sepasang mata oliv langsung berkaca kaca mendengar perkataan barra yang terdengar cukup mengharukan baginya.
"Aku pikir kamu akan membencinya ketika tahu kalau aku hamil" ungkap oliv sembari terisak
"Kenapa aku harus membencinya, justru aku yang harus minta maaf karena telah melanggar perjanjian kita, besok aku sudah bisa pulang dan ada waktu luang, jadi ayo kuantar kau ke rumah sakit" imbuhnya
"Iya kak"
"Oliv"
"Hm?"
Aku mencintaimu, tadinya aku hendak mengatakannya, tapi aku tidak ingin menyampaikannya dulu, karena aku harus melakukannya besok, batin barra seraya memandangi kotak kecil manis yang berisikan sebuah cincin pernikahan mereka berdua.
"Kenapa kak?"
"Tidak, kalau begitu selamat malam liv"
Pernyataannya mungkin akan terasa cukup mendadak, namun dirinya harus membuat lamaran yang bagus untuk menunjukkan keseriusannya kali ini.
Dalam setiap momen itu barra tak pernah lupa selalu menggunakan kontrasepsi, namun kala itu baru teringat lalu ia pun menerka bahwa ada satu momen ketika ia melupakannya dan itu memang sebuah kesalahan.
"Sekarang keadaannya sudah seperti ini, aku harus melamarnya kembali dan mempertahankan pernikahan kita" ungkapnya
Oliv, aku tidak akan menghancurkan impianmu, aku akan menjadi orang yang lebih baik lagi untukmu, karena aku sudah sangat mencintaimu, batinnya seraya menatap lekat sepasang cincin di tangannya.
Hari berikutnya, tepatnya hari yang paling di nantikan oleh oliv pun akhirnya tiba. Selepas mandi barra langsung mengecek pesan yang masuk, ternyata ada pesan dari oliv yang mengatakan dia akan menunggu kepulangannya sembari menyematkan emotikon hati di ujung teksnya.
"Sepertinya dia salah ketik, atau memang sengaja? Imutnya anak ini" gumam barra sambil senyum senyum sendiri.
Drrrttt .. ponselnya kembali bergetar keras, kali ini ibunya yang menelfon.
"Halo bu?"
"Nak, apakah hari ini kau sibuk?"
"Iya sedikit"
"Bagaimana bisa kau menunjukkan wajahmu kemarin? Bahkan tanpa punya waktu bicara, ibu sangat sedih"
"Maafkan aku bu, tapi kemarin memang tidak bisa datang karena oliv sakit"
"Lagi-lagi anak itu berbuat semaunya, dia selalu mencari alasan untuk membatalkan pertemuan penting keluarga" cerocos ibu
"Maaf bu"
"Kau selalu tak punya waktu dengan ibumu, selalu saja sibuk dengan istri mu yang manja itu, kemarin pun kau hanya pulang sebentar dan malah bermain catur dengan ayahmu saja"
"Apa semua baik-baik saja bu, tumben sekali ibu menelepon hanya untuk menceramahiku"
"Tidak ada hal buruk yang terjadi, hanya saja ibu sedikit khawatir padamu karena kemarin ada seseorang yang melempari telur begitu banyak ke mobil saudaramu, entah kenapa persaingan bisnis sekarang lebih agresif ketimbang dulu, ibu harap kau harus selalu berhati-hati nak" ucap ibu mencemaskan barra
"Jangan khawatir bu, sepulang dari sini aku akan mampir pulang, aku juga punya kabar gembira yang ingin ku beritahukan nanti pada ibu"
"Apa? Tentang apa?"
"Nanti saja kalau aku sudah pulang, ibu istirahatlah dan jangan terlalu dipikirkan masalah yang tadi"
"Iya nak"
Olivia, betapa cantiknya seorang anak yang mirip denganmu nanti, dan untuk anakku yang akan lahir kelak entah itu perempuan ataupun laki-laki, aku akan membiarkan kamu menjadi orang pertama yang menginjak salju ke negara yang pernah mempertemukan aku dan oliv disana.
Aku akan mengajarimu bersepeda untuk yang pertama kalinya, aku yang akan selalu mengenggam tanganmu dan aku pula yang akan selalu melindungimu.
Aku akan selalu melakukan kontak mata untuk memberitahumu bahwa aku sangat mencintaimu calon buah hatiku.
"Kalau aku bergegas, mungkin aku tidak akan terlambat bertemu dengan oliv" gumam bara tergesa-gesa
Namun, entah nasib buruk yang datang sendiri atau karena faktor kesengajaan seseorang, mendadak sebuah mobil melaju kencang dari arah belakang dan menabrak barra yang tengah berjalan terburu-buru menuju ke arah mobilnya. Naasnya tak ada seorang pun yang menyaksikan kejadian itu di basement.
Terlambat sudah untuk menghindarinya kini barra tergeletak setengah sadar dengan kondisi yang terbentur keras hingga mengucur darah segar dari kepalanya.
"Tidak mungkin seperti ini, aku harus menemui oliv dan melamarnya lagi"
Di tengah kesadarannya yang mulai menipis ia melihat seorang lelaki berpakaian serba hitam dan memakai topi tengah berdiri memandanginya. Lelaki itu mungkin seumuran dengannya dan tampak tenang meski telah menabrak seseorang.
"Pernahkah kau mendengar namanya?" Katanya, namun suara itu terdengar samar oleh barra.
"Apa ?" Batinnya tak mengerti, perlahan kesadarannya mulai hilang sementara nafasnya juga mulai tersengal sengal karena menahan rasa sakit di kepalanya.
Meski dalam hati ia menjerit untuk meminta pertolongan orang tersebut, namun anehnya orang itu justru pergi berlalu begitu saja meninggalkannya yang sekarat di basement yang sangat sepi itu.
Oliv, aku harus menemuimu, bagaimana jika dia menangis? Padahal aku ingin hidup dengannya untuk waktu yang lama, akan sangat sulit untuk membesarkan anak kita seorang diri nantinya, aku mencintaimu olivia dan mengapa aku harus menyimpan kata-kata itu.
Di depan pintu ruang operasi, kini sang ibu menangis tersedu sedu menyaksikan kondisi anak sulungnya yang masih menjalani operasi karena luka di kepalanya, cidera kecelakaan pasca itu mungkin akan menyisakan hal yang tak di inginkan jika nanti operasinya berhasil.
"Barra, bagaimana ini bisa terjadi pada anakku" isaknya
"Bu tenanglah, aku yakin kakak pasti akan baik baik saja" ucap anak kedua seraya menepuk pelan pundak sang ibu.
"Permisi, kami berasal dari kantor kepolisian, apakah anda adalah ibu dari korban yang bernama barra dewanto?" Mendadak dua orang berpakaian rapih dengan jaket kulit mendekati satu keluarga itu di depan ruang operasi.
"Iya benar pak"
"Ada yang melapor lewat bukti cctv yang aktif disekitar pintu masuk basement di TKP, dan kami berhasil mendapatkan nomer plat kendaraan tersangka, bukti lain juga kami dapatkan dari blackbox kendaraan lain"
"Terus bagaimana dengan kondisi pelaku kejahatan itu pak?" Tanya ibu sangat penasaran
"Kecelakan itu adalah tabrak lari yang di sengaja oleh pelaku, dan kami sudah mencatat agar bisa mengamankan identitas pelakunya"
"Syukurlah kalau begitu, tolong tangkap dia pak, tolong pastikan kalian mengadilinya" ujar ibu bergetar
"Akan saya pastikan itu, sementara nama pelaku adalah feri irawan apakah anda mengenalnya?"
"Tidak, saya tidak tahu"
"Baiklah kalau begitu, kami akan menelusuri lebih dalam lagi, mohon ibu untuk sedikit lebih bersabar lagi"
"Iya"
"Permisi pak, apa bapak detektif dari kepolisian?" Teriak salah seorang wanita muda yang tiba-tiba menarik perhatian semua orang disana.
"Maaf anda siapa?" Tanya salah seorang petugas kepolisian.
"Saya adalah saksi terhadap kejadian kecelakan tabrak lari itu, kebetulan saya juga ada kepentingan pergi ke gedung itu sejak pagi, lalu saat saya hendak pulang dan menyalakan mesin mobil tiba-tiba saya melihat adegan tabrak lari itu" jelasnya
"Dimana posisi anda dari kejadian saat itu?"
"Saya ada di jarak 50 meter dari kecelakaan itu"
Begitu mendapatkan informasi tambahan kedua petugas itu segera bergegas pergi untuk mengumpulkan bukti lain dan segera menangkap pelaku kejahatan tersebut.
"Bu, saya adalah cindy adik dari Angga saputra teman kak barra yang dulu sering datang kerumah, apa ibu masih ingat saya?"
"Cindy?" Terlihat raut wajah ibu agak bingung
"Sudah lama sekali saya tidak berkunjung lagi ke rumah ibu karena saya masih kuliah di jerman, berhubung sekarang sedang masa liburan makanya saya kembali sekarang"
"Cindy, jadi kamu cindy anak kecil yang lucu itu?"
"Iya bu"
"Ya tuhan, untung saja ada kamu cindy, sekarang ibu takut dengan kondisi barra, apa yang harus aku lakukan sekarang" ucapnya seraya memeluk erat cindy yang ada di hadapannya
"Jangan khawatir bu, sekarang kak barra sedang di operasi jadi dia pasti akan membaik setelahnya"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!