Di Hotel The Mark, salah satu hotel ternama di New York, Amerika Serikat, berlangsung lah pernikahan mewah antara Gavin Alessandro, CEO di Alessandro Corporation, dan Clara Nathania Lim, supermodel yang saat ini sedang naik daun. Pasangan ini membuat iri tamu undangan karena kecocokan mereka dalam segala aspek. Suasana di dalam hotel sangat elegan dengan dekorasi yang mewah dan cahaya yang hangat. Tamu undangan berpakaian formal, memadati ballroom yang dihiasi bunga-bunga indah dan candle bir yang berkilau. Foto besar pasangan pengantin, Gavin dan Clara, dipajang di atas panggung, menjadi pusat perhatian.
Hidangan yang disajikan sangat beragam, mulai dari kuliner internasional seperti sushi, pasta, hingga hidangan khas Amerika seperti steak dan lobster. Bar juga menyajikan berbagai minuman eksklusif, seperti champagne dan koktail. Tamu undangan menikmati hidangan sambil berbincang dan menikmati musik yang merdu. Semua mata terfokus pada Gavin dan Clara yang berdiri di panggung, menanti detik-detik sakral pernikahan mereka. Namun, tidak ada yang menyangka bahwa kebahagiaan ini akan berakhir dengan kejutan yang tidak terduga.
Tiba-tiba, Gavin Alessandro berbicara dengan suara tegang, "Saya membatalkan pernikahan ini."
Ballroom yang penuh dengan tamu undangan terdiam, keheranan dan kebingungan terukir di wajah mereka. Keluarga Clara terlihat terpukul dan marah.
Ayah Clara Mr. Lim, berdiri dengan wajah merah padam. "Apa yang kamu lakukan, Gavin?!"
Ibu Clara Mrs. Lim, menangis. "Mengapa kamu melakukan ini, Gavin! Apa salah Clara?"
Wajah Clara seketika memerah menahan malu, mata merah menahan air mata. "Gavin, apa yang terjadi? Mengapa kamu membatalkan pernikahan kita?"
Gavin tidak menjawab, berpaling dan meninggalkan panggung. Tamu undangan berbisik, mencari tahu penyebab pembatalan pernikahan tersebut. Keheningan dan kekacauan memenuhi ballroom Hotel The Mark, malam yang seharusnya menjadi malam bahagia berubah menjadi malam yang penuh tanda tanya.
Mr. Lim mendekati Gavin dengan langkah besar, wajahnya merah padam. "Gavin Alessandro, kamu harus menjelaskan apa yang terjadi! Mengapa kamu membatalkan pernikahan ini?"
Gavin tetap tenang tidak menjawab. Ia memandang Mr. Lim dengan mata dingin tanpa ekspresi.
"Kamu tidak bisa meninggalkan putriku begitu saja!" Mr. Lim meninggikan suara.
Gavin berpaling, meninggalkan ballroom dengan langkah cepat meninggalkan kekacauan dan kekecewaan di belakangnya. Clara masih berdiri di panggung, menahan air mata dan malu. Ia merasakan kekecewaan.
"Apa yang terjadi, Clara?" tanya ibu Clara.
Clara hanya menggelengkan kepala, tidak bisa berbicara.
Menatap punggung Gavin yang menjauh, Clara merasakan amarah dan kebencian memuncak. Dalam hati ia bersumpah. "Gavin Alessandro, kamu akan membayar atas apa yang kamu lakukan hari ini. Aku akan membuatmu hancur, lebih hancur dari apa yang kamu lakukan padaku."
Ballroom yang megah kini terasa seperti penjara. Tamu undangan berbisik, memandang Clara dengan rasa iba dan penasaran. Keluarga Lim terlihat menahan marah dan malu.
Ibu Clara mendekati putrinya, "Clara, sayang, kita harus keluar dari sini. Ini tidak lagi tempat yang tepat bagi kita."
Clara mengangguk, menahan amarahnya. Ia berjalan keluar dari ballroom dengan kepala tegak, meninggalkan pesta pernikahan yang gagal dan malam yang penuh kekecewaan.
Di luar hotel Clara menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan rasa sakit. Ia memandang ibunya dan ayahnya. "Aku tidak akan membiarkan Gavin Alessandro melanjutkan hidupnya dengan tenang, aku akan membalas dendam ini."
Ayah Clara, Mr. Lim mengangguk. "Kita akan mendukungmu, Clara. Kita tidak akan membiarkan Gavin Alessandro menghancurkan hidupmu."
Keesokan harinya, Clara memulai rencana balas dendamnya. Ia menghubungi pengacara terbaik untuk mengajukan gugatan terhadap Gavin. Ia juga memulai kampanye di media sosial untuk menghancurkan reputasi Gavin. Sementara itu, Gavin Alessandro tampak tenang dan tidak terpengaruh oleh kejadian tersebut. Namun, dibalik kesan tenangnya, Gavin menyembunyikan rahasia yang bisa menghancurkan hidup Clara.
Flashback
Gavin Alessandro duduk di ruang kerjanya, jemarinya mengetuk perlahan meja di depannya. Sorot matanya tajam menatap layar laptop, memperhatikan rekaman yang diputar oleh anak buahnya. Rekaman itu menunjukkan Clara, masuk ke sebuah ruangan tepat di sebelah ruang ganti pengantin, satu jam sebelum prosesi pernikahan dimulai.
Di dalam ruangan itu, sudah menunggu seseorang—Adrian Callisto. Gavin mengepalkan tangannya di atas meja. Ia tahu betul siapa pria itu. Adrian bukan hanya saingan bisnis terbesarnya, tetapi juga seseorang yang selalu berusaha mencari celah untuk menjatuhkannya.
Di rekaman itu, suara Clara terdengar bergetar bukan karena takut, melainkan karena emosi yang ia tahan. "Jadi, kau sudah mendapatkan semua yang kau butuhkan?" tanyanya tajam.
Adrian menyeringai, menyilangkan tangan di dadanya. "Tentu saja. Kau memberiku lebih dari cukup, Clara. Sekarang terserah padamu."
Gavin tidak bisa mendengar dengan jelas seluruh percakapan mereka, tetapi ia cukup memahami maksudnya. Bahwa Clara dan Adrian memiliki hubungan khusus. Ia menutup laptop dengan gerakan tenang, tetapi di balik ketenangan itu, ada badai yang berputar di dalam dirinya. Gavin bisa saja menggunakan informasi ini untuk menghancurkan Clara, membalas apa yang telah dilakukan wanita itu kepadanya di altar. Namun, ia tidak akan melakukannya.
Clara adalah sahabat kecilnya. Ia mengenalnya lebih dari siapapun. Ada sesuatu yang lebih besar di balik dendam yang Clara simpan. Sesuatu yang membuatnya memilih pergi, sesuatu yang membuatnya berpikir Gavin adalah musuhnya.
"Selidiki semua yang Clara rencanakan," kata Gavin akhirnya. "Tapi jangan menyentuhnya. Aku ingin tahu seberapa jauh dia akan melangkah sebelum aku bertindak."
Luca, pengawal pribadinya mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan mengawasinya dari jauh."
Gavin menyandarkan punggungnya ke kursi, menghela nafas panjang. Clara mungkin mengira dirinya telah memenangkan perang ini, tapi ia salah. Gavin tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan begitu saja. Namun, di saat yang sama, ia juga tidak akan membiarkan Clara tenggelam dalam kebencian yang bisa menghancurkan segalanya.
Ia hanya perlu mengingatkannya, bahwa mereka pernah saling melindungi. Gavin juga tahu bahwa Clara bukan wanita bodoh. Jika dia benar-benar bekerja sama dengan Adrian, pasti ada alasan kuat di baliknya.
Gavin menghela napas panjang, meletakkan gelas minumannya di meja sebelum berdiri. Pikirannya masih dipenuhi rekaman pertemuan Clara dan Adrian, tetapi saat ini bukan waktunya untuk memikirkan itu lebih jauh.
Langkahnya mantap saat ia berjalan keluar dari ruang kerjanya, menyusuri lorong menuju tempat dimana seharusnya hari paling bahagia dalam hidupnya terjadi, altar pernikahan. Suara musik lembut memenuhi ruangan besar yang dipenuhi tamu undangan, semuanya menunggu momen sakral itu. Para tamu tampak berbisik-bisik, beberapa terlihat tak sabar, sementara yang lain hanya tersenyum menyaksikan suasana yang begitu megah.
Dengan ekspresi datar Gavin berkata. "Saya membatalkan pernikahan ini." Lalu meninggalkan tempat.
Gavin Alessandro memasuki kantor dengan langkah cepat, matanya menyapu seluruh ruangan tanpa benar-benar melihat siapa pun. Wajah tegangnya seakan memancarkan peringatan agar tidak ada yang berani mendekat. Namun, keheningan di ruangan itu membuat setiap gerakannya terasa berat. Para karyawan Alessandro Corporation hanya bisa saling bertukar pandang, mencoba menebak apa yang sebenarnya terjadi.
Rumor tentang pembatalan pernikahannya sudah menyebar sejak pagi. Pernikahan mewah yang dirayakan dengan penuh kemewahan beberapa hari lalu, kini tinggal kenangan. Semua orang tahu betapa besar harapan yang ditumpuk pada hubungan itu, baik dari sisi keluarga maupun bisnis.
"Pagi, pak Gavin," sapa sekretarisnya, Emily.
Gavin hanya mengangguk dan memberikan isyarat agar sekretarisnya menuju ke ruang kerjanya. Ia tidak ingin membahas sesuatu di depan para karyawannya yang saat ini terlihat penasaran dengan dirinya terutama tentang pernikahan yang gagal tersebut.
Ia berhenti sejenak di depan ruangannya, menarik napas dalam-dalam sebelum mendorong pintu dengan keras. Begitu pintu tertutup, Gavin menjatuhkan diri ke kursi dengan frustasi. Tangannya mencengkeram rambut, mencoba menahan emosi yang membuncah.
Di ruang kerja, Emily memberikan surat kabar yang telah memuat berita tentang pembatalan pernikahannya di halaman depan surat kabar. Ia merasa kesal dan kecewa. Bagaimana berita ini bisa tersebar begitu cepat?. Emily bergidik ngeri melihat bosnya menahan marah, ia buru-buru keluar dari ruangan tersebut.
Tiba-tiba, telepon di meja Gavin berdering. Ia menjawabnya.
"Gavin, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya suara di seberang telepon.
Gavin menghela nafas panjang, berusaha mengendalikan emosi yang menguasainya. "Aku tidak ingin membicarakan ini." Katanya dengan suara serak yang nyaris mengintimidasi.
"Aku paham" Jawab Liam dari seberang telepon, suaranya terdengar tegas namun tetap bersimpati. "Tapi kamu harus memberikan penjelasan kepada publik. Reputasimu sedang terpengaruh."
Tanpa banyak pikir Gavin menutup telepon dengan kasar membiarkan suara dentingan menandai akhir percakapan itu. Ia merasa seolah terjebak dalam tekanan yang terus meningkat dan kehilangan kendali atas situasi yang seharusnya ia kuasai. Ruangan kantor terasa sempit dan menyesakkan, meski dinding kaca yang mengelilinginya memperlihatkan pemandangan kota yang luas.
Tak lama kemudian, pintu kantornya kembali terbuka.
"Bagaimana kita mengatasi semua gosip ini pak?" tanyanya tanpa basa-basi. "Media sedang mencari penjelasan, dan publik—"
"Tidak," potong Gavin cepat. "Aku tidak akan menjelaskan apa pun. Tidak ada konferensi pers, tidak ada pernyataan resmi. Biarkan saja. Gosip akan hilang dengan sendirinya."
Emily menghela napas, mencoba menahan rasa frustasi. "Pak Gavin, kau tahu ini lebih dari sekadar gosip—"
"Tidak."
***
Sementara itu, di ruang kerja lain, Clara memandang layar ponselnya dengan senyum tipis yang penuh arti. Dalam hitungan menit, ia mulai menyusun serangan halus tapi mematikan melalui media sosial. Sebagai mantan tunangan Gavin yang gagal saat prosesi pernikahan, ia tahu betul bagaimana memanfaatkan simpati publik. Foto-foto yang seharusnya menjadi kenangan indah pernikahan mereka dengan gaun putihnya yang megah, venue yang mewah, hingga undangan yang elegan—diunggah dengan keterangan yang penuh emosi dan sentuhan dramatis.
"Kamu akan membayar atas apa yang kamu lakukan, Gavin Alessandro," katanya kepada dirinya sendiri.
“Ketika cinta dan kepercayaan dihancurkan oleh pengkhianatan,” tulis Clara dalam salah satu unggahannya.
Cerita itu langsung viral. Komentar demi komentar bermunculan, kebanyakan memihak Clara. Publik mulai menyalahkan Gavin, meskipun tidak ada penjelasan detail dari pihak Clara. Pengkhianatan yang ia sebutkan menjadi misteri, tapi cukup untuk memancing kemarahan banyak orang. Reputasi Gavin, yang selama ini dikenal sebagai pebisnis muda yang tangguh dan bermartabat, mulai goyah.
Sementara itu, Gavin sibuk dengan usahanya untuk menghindari media dan menyelamatkan perusahaan dari dampak rumor tersebut. Namun, keputusan untuk bungkam justru membuatnya terlihat bersalah di mata publik.
Liam dan Emily mencoba memperingatkan Gavin tentang kampanye Clara, tetapi ia hanya menggeleng dengan keras kepala. "Aku tidak akan menanggapinya," katanya.
Namun, Clara tidak berhenti. Setiap unggahan yang ia buat semakin memperuncing opini publik dan tindakannya ini perlahan-lahan berubah menjadi perang balas dendam yang tidak ada akhirnya. Tanpa Clara sadari sebenarnya Gavin memperhatikan setiap tindakan itu.
Kehebohan itu terus berlanjut, membelah opini publik menjadi dua kubu. Sebagian besar bersimpati pada Clara, mengutuk Gavin sebagai pria yang tidak tahu menghargai komitmen. Namun, ada juga yang mulai mempertanyakan kebenaran cerita Clara. Sejumlah netizen merasa ada sesuatu yang janggal, terutama karena Gavin tetap memilih bungkam di tengah badai rumor tersebut.
Keheningan Gavin justru menjadi bahan spekulasi baru. Sebuah akun anonim mulai menyebarkan teori bahwa alasan Gavin membatalkan pernikahan adalah karena ia memiliki masalah orientasi atau bisa juga adanya orang ketiga. "Mungkin ini alasan dia menghindari pernikahan," tulis akun tersebut, diiringi dengan berbagai spekulasi tanpa dasar.
Tak butuh waktu lama, teori itu menjadi viral. Beberapa media gosip ikut memuat cerita tersebut, memperkeruh suasana. Ada yang mendukung Gavin, bahwa itu adalah urusan pribadi yang tidak pantas dijadikan bahan diskusi publik. Namun, sebagian lainnya menganggap bahwa Gavin telah membohongi Clara dan keluarganya demi menjaga citra sebagai pria sempurna.
Di kantor Alessandro Corporation, situasi semakin tidak terkendali. Karyawan mulai berbisik-bisik, merasa bingung antara mendukung bos mereka atau percaya pada apa yang mereka baca di media. Emily, yang sudah pusing dengan dampak gosip ini, akhirnya memberanikan diri untuk menemui Gavin.
"Kita harus mengatasi ini, Pak Gavin," kata Emily dengan nada mendesak. "Publik tidak akan berhenti berspekulasi. Sekarang mereka bahkan menyebarkan rumor tentang anda. Jika kita tidak bertindak, semuanya bisa lepas kendali."
"Aku tidak peduli apa yang mereka katakan. Aku tidak akan memberi mereka bahan lebih untuk menyerangku." Ucap Gavin.
"Tapi ini bukan hanya tentang anda," desak Emily. "Perusahaan juga terpengaruh. saham terancam anjlok."
Gavin terdiam, menyadari bahwa perang opini ini tidak akan berakhir hanya karena ia memilih untuk diam. Gavin bangkit dari kursinya, berjalan ke arah jendela besar kantornya yang memperlihatkan pemandangan kota.
Emily mendekat. "Bagaimana kalau anda klarifikasi, hanya singkat saja tanpa memberi ruang untuk spekulasi lebih lanjut. Jika anda terus diam, mereka akan menciptakan cerita yang lebih buruk."
Sebelum Gavin sempat merespons, pintu kantornya terbuka perlahan. Liam masuk dengan wajah serius, membawa seberkas laporan. "Gavin, ini mulai mempengaruhi saham perusahaan. Beberapa mitra bisnis juga mulai mempertanyakan stabilitas kita. Clara tahu apa yang dia lakukan, dan kita harus bertindak."
Gavin memandang Liam dan Emily bergantian. "Baiklah, susun pernyataan resmi. Tapi aku tidak akan berbicara tentang gosip konyol itu. Aku hanya akan menjelaskan pembatalan pernikahan tanpa merinci alasan pribadi."
Rapat tim pemasaran berlangsung di ruang konferensi Alessandro Corporation. Alena mempresentasikan rencana pemasaran baru untuk produk terbaru perusahaan. Presentasinya rapi dan profesional, namun Gavin Alessandro terus mengkritik dengan nada dingin dan tegas.
"Tidak cukup baik, Alena. Kurang inovatif dan tidak memenuhi target pasar." Kata Gavin.
Alena mencoba menjelaskan konsepnya, namun Gavin memotongnya. "Tidak perlu menjelaskan, aku sudah memahami. Ini tidak cukup baik."
Setelah rapat, Alena langsung menuju ruang kerja Gavin, dengan langkah pasti dan wajah serius. Ia membuka pintu tanpa mengetuk.
"Pak Gavin, saya tidak mengerti. Apa yang salah dengan presentasi saya?" tanya Alena dengan nada tegas dan profesional.
Gavin terkejut, mengangkat alisnya. Belum pernah ada bawahan yang membantahnya dengan begitu berani. Ia mengernyit dahinya.
"Apa yang kamu inginkan? Kamu tidak puas dengan kritikanku?" tanya Gavin dengan nada menantang.
Alena tidak gentar. "Saya ingin tahu letak kesalahannya secara spesifik. Saya ingin memperbaiki dan meningkatkan kualitas kerja."
Gavin terdiam, memandang Alena dengan rasa heran. Ia tidak terbiasa dengan bawahan yang berani membantahnya.
Gavin memandang Alena dengan ekspresi yang sulit diartikan. Membuat Alena merasa tidak nyaman. Namun, Alena menunggu penjelasan lebih lanjut. "Cukup, keluar sekarang."
Alena terkejut dan merasa kecewa. Ia tidak mendapatkan penjelasan tentang kesalahannya. Dengan rasa frustrasi, Alena berdiri dan menuju pintu.
"Saya harap Pak Gavin bisa memberikan umpan balik yang konstruktif." Kata Alena dengan nada sopan.
Gavin tidak menjawab. Ia malah menekan tombol di meja dan berbicara ke telepon. "Emily, tambahkan tugas baru untuk Alena. Aku ingin melihat kemampuan sebenarnya."
Alena merasa terpukul. Ia keluar dari ruangan Gavin dengan perasaan kesal dan bingung. Saat itu, Emily sudah menunggu dengan senyum sinis.
"Alena, kamu mendapatkan tugas baru dari Pak Gavin," kata Emily sambil menyerahkan berkas tebal. "Proyek pemasaran internasional. Deadline satu minggu."
Alena merasa terkejut. "Bagaimana bisa? Saya sudah memiliki tugas lain yang belum selesai."
Emily hanya mengangguk. "Pak Gavin ingin melihat kemampuanmu, Alena. Kamu harus bisa menyelesaikannya."
Alena merasa tertekan. Ia harus menyelesaikan tugas baru dengan waktu singkat dan tanpa bantuan yang memadai.
Alena duduk di meja kerjanya, memandang tugas baru dengan rasa cemas. Waktu singkat dan beban kerja yang besar membuatnya merasa tertekan.
"Ia harus bisa menyelesaikannya," kata Alena kepada dirinya sendiri.
Dengan tekad kuat, Alena mulai bekerja. Ia menghabiskan waktu berjam-jam untuk menganalisis data, membuat strategi pemasaran, dan menulis laporan.
Saat waktunya makan siang, Alena melihat Gavin berjalan cepat keluar ruangan, diikuti Emily. Semua mata tertuju pada mereka, dengan rasa penasaran dan spekulasi. Emily melirik dan mengisyaratkan agar mereka menundukkan pandangan, takut Gavin melihat mereka.
Alena tidak mengerti isyaratnya dan terus menatap Gavin dengan rasa ingin tahu. Saat Gavin melewati meja Alena, ia tidak meliriknya, namun memberikan isyarat halus menunjuk ke arah Alena. Isyarat itu tidak terlihat oleh orang lain, kecuali Emily.
Emily langsung menarik lengan Alena dengan cepat. "Ikut dengan pak Gavin, sekarang!" kata Emily pelan, dengan nada tegas.
Alena terkejut dan penasaran. "Apa yang terjadi? Kenapa harus ikut?" tanyanya, berusaha tidak meninggikan suara. “Padahal kerjaanku belum selesai, masak harus ditambah lagi sih.” Gerutunya.
Emily tidak menjawab. Tinggal Alena berjalan cepat mengejar Gavin, hingga tiba di ruang rapat tertutup yang terletak di lantai atas.
"Ada tugas baru untukmu." Ucap Gavin.
Alena merasa penasaran dan siap. "Apa tugasnya Pak?" tanyanya, dengan mata yang terfokus pada Gavin.
Gavin menarik napas dalam-dalam. "Saya ingin menawarkan kontrak pernikahan selama satu tahun. Kamu akan menjadi istri saya dan mendapatkan hak-hak serta keuntungan yang sesuai."
Alena terkejut. "Pernikahan kontrak? Mengapa?"
Gavin menjelaskan, "Saya membutuhkan image yang stabil untuk meningkatkan reputasi perusahaan. Dan kamu... kamu memiliki kualitas yang saya cari."
Alena merasa bingung dan tertekan. "Saya membutuhkan waktu untuk berpikir."
Gavin menyerahkan sebuah kontrak. "Waktu kamu terbatas, Alena. Saya membutuhkan jawabanmu hari ini juga."
Alena memandang kontrak yang ditawarkan Gavin dengan mata yang bergetar. Ia teringat kata-kata ibunya tentang pentingnya menikah dan memiliki kehidupan yang stabil.
"Pak Gavin, saya... saya tidak tahu," kata Alena, mencari kata-kata yang tepat.
Gavin mendekati Alena dengan langkah yang pelan. "Apa yang membuatmu ragu, Alena? Apakah karena pernikahan kontrak ini?"
Alena mengangguk. "Ya, saya tidak mengerti mengapa Anda memilih saya untuk pernikahan kontrak ini."
Gavin menjelaskan, "Saya membutuhkan image yang stabil dan kamu memiliki kualitas yang saya cari. Selain itu, saya sudah tau keluargamu, akan aku bantu."
Dalam hati Alena berkata, "Membantu untuk apa? Apakah rahasia keluargaku diketahui olehnya? Bukankah selama ini aku tidak pernah menunjukkan siapa keluargaku sebenarnya? Apakah paman dan bibiku di kampung yang diketahuinya?"
Alena mencoba menyembunyikan kecurigaannya. "Baiklah, saya setuju, tapi saya ingin negosiasi beberapa kondisi."
Gavin mengangguk. "Silakan, Alena. Saya terbuka untuk diskusi."
Alena melanjutkan, "Pertama, alasan pernikahan kontrak ini harus dijaga kerahasiaannya. Kita hanya menikah kontrak jadi harus ada perjanjian yang saling menguntungkan tanpa ikut campur urusan masing-masing."
Gavin menyetujui. "Baiklah aku setuju."
Alena melanjutkan negosiasi, memastikan kesepakatan yang adil dan aman bagi dirinya.
Alena melanjutkan, "Kedua, apa hak-hak saya selama pernikahan kontrak ini? Apakah saya akan mendapatkan kebebasan pribadi?"
Gavin menjawab, "Kamu akan mendapatkan apartemen mewah di pusat kota, mobil mewah, dan kartu kredit tanpa batas. Selain itu, kamu juga akan mendapatkan akses ke semua fasilitas perusahaan, termasuk klub golf dan spa."
Alena berpikir. "Bagaimana dengan peraturan selama pernikahan kontrak ini? Apakah saya harus melakukan sesuatu yang spesifik?"
Gavin menjelaskan, "Kamu harus hadir dalam acara-acara penting perusahaan, menjaga image kita sebagai pasangan yang bahagia dan saling mencintai, dan tidak melakukan sesuatu yang dapat merusak reputasi. Selain itu, kamu juga harus menjaga hubungan baik dengan keluargaku."
Alena bertanya lagi, "Apa yang akan saya dapatkan setelah pernikahan kontrak ini berakhir? Apakah saya akan mendapatkan kompensasi yang adil?"
Gavin menjawab, "Kamu akan mendapatkan uang tunai sebesar Rp 10 miliar, apartemen yang sudah menjadi milik kamu, dan kesempatan untuk memulai bisnis sendiri dengan dukunganku."
Alena mempertimbangkan semua kondisi tersebut. Ia masih ragu, tapi keinginan ibunya untuk melihatnya menikah membuatnya memutuskan untuk menerima tawaran tersebut.
"Aku setuju." Kata Alena pelan.
Gavin tersenyum. "Baiklah, tandatangani kontrak ini sekarang juga."
Gavin mengeluarkan kontrak yang sudah disiapkan dan menyerahkannya kepada Alena. Alena menandatangani kontrak tersebut, menandai awal dari pernikahan kontrak yang tidak biasa membuatnya harus bersiap-siap dengan segala kemungkinan ini.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!