Derai tangis terus mengalir saat Abi menggenggam tangan Surya. Dirgantara Abimayu Prakoso, Abi sahabat Surya Diwantara sejak mereka berusia 5 tahun, tepatnya saat Surya dan keluarganya menjadi tetangga baru Abi. Surya dan keluarganya pindah dari Yogyakarta ke Jakarta saat itu, dan tak perlu waktu lama untuk mereka saling mengenal dan menjadi sahabat karib. Hingga akhirnya saat ini... Menjelang kelulusan mereka...
"Bi...ttto...long... Ja...ga...a...dikku... Lllllindunggi diiia. Aaaakuuu tiiiitip diiia dannn kkkkeluuuargaaaku." Ucap Surya dengan terbata - bata diantara rasa sakitnya.
"Aku akan menjaganya dengan sekuat tenagaku dan seluruh jiwaku. Aku berjanji padamu Surya." Jawabku dengan menggenggam erat tangan Surya.
"Ttteriimaaa kaaasiiih aaabbbiii... Mmmaafkan aaaaku." Ucap Surya kemudian sebelum tanggannya melonggar dan melepaskan genggaman tanganku dan menatap pada kedua orangtuanya.
Abi pun beralih dari tempanya dan keluar dari ruangan itu. Mempersilahkan kedua orangtua Surya untuk menemui Surya. Saat membuka pintu ruang rawat Surya, Abi mendapati Mentari duduk dengan menelungkupkan wajahnya dengan kedua tangannya. Terdengar isak tangis yang begitu lirih saat Abi mendudukkan badan di sampingnya. Isakan tangis yang sangat lirih namun sangat memilukan.
Mentari adalah adik kembar Surya hanya selisih beberapa menit setelah kelahiran Surya, Mentari kemudian lahir. Keduanya sangat akrab, kehangatan dan keharmonisan keluarga mereka membuat Abi merasa sangat nyaman jika berada diantara keluarga mereka. Abi pun diperlakukan layaknya bagian dari keluarga mereka.
Abi yang di rumah hanya bersama kakak lelakinya dan beberapa asisten rumah tangga. Ayah seorang businessman yang jarang sekali pulang kerumah dan dia selalu meminta Ibu untuk mendampinginya kemanapun dia pergi. Jadi ya... Tinggallah mereka berdua. Kakaknya lebih suka di kamar, sesekali dia mengajak berbicara dan keluar rumah bersama sekedar berenang bersama atau bersepeda bersama. Abi selalu meluangkan waktunya saat kakak mengajaknya pergi, karena hanya moment itu yang dia miliki untuk dapat berdua bersama kakak. Selebihnya dia bersama Surya dan keluarganya. Dia sangat merindukan dan mengharapkan keluarga seperti keluarga Surya.
Namun, memang di dunia ini tidak ada yang sempurna. Diantara kehangatan keluarga mereka, 6 bulan yang lalu Surya di diagnosa terkena Cancer. Tepatnya Kanker Tulang Belakang. Pengobatan sudah ditempuh, namun takdir berkata lain. Hingga hari ini, kondisi Surya makin memburuk. Dan...
Serombongan petugas medis segera memasuki ruang rawat Surya. Seketika ayah dan bunda Surya keluar dari ruangan dengan keadaan lemas dan bunda dipapah oleh ayah.
"Ya Allah aku ikhlas... Yah... Aku ikhlas..." Bunda mencoba membesarkan hati dan meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa dia ikhlas.
"Iya bun, ayah tau bunda ikhlas. Ini qadarullah... Jika dengan demikian Surya ga sakit lagi, penderitaan Surya berakhir. Bunda yang sabar ya bun." Ayah mencoba menguatkan sang istri.
Mereka masih berdiri di depan ruang masuk kamar rawat menunggu hasil dari tim medis.
Abi menoleh kearah Mentari namun dia tak beranjak sedikitpun. Tak ada lonjakan emosional dari Mentari terhadap kondisi Surya saat ini.
Tiba-tiba tubuh Mentari tersentak dan tangisnya Meledak.
"Mas.... Mas Surya ... Jangan pergi mas ..."
Teriakan Mentari langsung membuat Abi kaget dan meraih tubuh Mentari. Membawanya dalam pelukan. Beberapa menit kemudian salah satu dokter keluar ruangan, dan memberitahukan kabar duka pada mereka.
Tangis bunda semakin menjadi. Ayah mengelus puncak kepala bunda dan meyakinkan bunda bahwa ini yang terbaik untuk anak mereka. Raut kesedihan terpancar jelas di wajah ayah, namun dia harus tetap tegar demi anak dan istrinya tercinta. Kulihat sesekali ayah mengusap pelupuk matanya dan suaranya bergetar. Sedangkan mentari larut dalam tangisnya hingga sweater yang Abi gunakan basah kuyup.
Tak ada yang bisa dia lakukan. Abi hanya mampu menahan rasa sedihnya seperti halnya ayah Surya. Dia tahan air mata yang hampir saja meluncur di pelupuk matanya. Abi tak ingin terlihat menangis di depan Mentari, dia akan semakin histeris jika nanti dia melihatku menangis. Namun apa daya, air mata tetap meluncur membasahi wajah Abi. Abi hanya bisa menangis dalam diam sama seperti ayah dan Mentari saat ini.
Setelah Jenazah Surya dibersihkan dan dimandikan, mereka segera menuju rumah Surya. Disana sudah disiapkan persiapan pemakaman dan sudah ramai dengan warga dan keluarga yang bertakziyah. Namun keluarga dari Jogja belum hadir, hanya kerabat yang tinggal di area Jakarta yang sudah turut mempersiapkan pemakaman.
Mentari masih dipelukan Abi saat ini, tubuhnya sesekali bergetar karena tangisnya. Namun belum ada sepatah katapun terucap darinya. Abi bisa mengerti kesedihannya. Dia hanya mengangguk saat Abi menawari minum dan hanya beberapa teguk sekedar membasahi tenggorokannya yang kering. Bunda pun masih dalam pelukan suaminya tercinta. Mereka saling berpelukan membagi duka.
Pemakan dilaksanakan sesegera mungkin setelah jenazah disholatkan. Dan sekarang tinggal mereka berdua. Abi dan Mentari di pusara Surya. Mentari menuangkan air mawar lagi dan lagi di atas pusara sang kakak sesekali mengusap nisan yang terpampang jelas nama Surya Diwantara bin Bima Diwantara.
"Mas...aku nanti sendiri mas... Sapa yang jagain aku kalo mas udah ga ad... Adek ga mau sendiri mas... Mas..." Rengekannya terdengar seperti anak kecil yang ditinggal main oleh kakaknya.
"Ada gue Mentari. Gue bakal jagain lo kaya mas Surya jagain lo. Gue janji. Gue bakal jadi mas lo." Abi mencoba meyakinkan Tari bahwa dia tidak sendiri.
Mentari hanya terdiam dan melanjutkan tangisannya. Dia kini memeluk foto Surya dan Abi memeluk Mentari.
"Loe ga sendiri Mentari, gue bakal selalu jagain lo dan nemenin lo." Ucap Abi lirih sambil memeluk tubuh Mentari dan mencium pucuk kepalanya. Tanpa disadari dia mencium pucuk kepala Mentari, ini naluriah. Ini hanya reflek biasa pikir Abi.
Seminggu berlalu dan setiap hari saat Abi kerumah Mentari, Mentari hanya diam sambil memeluk foto sang kakak. Lain halnya dengan bunda. Bunda sudah mengikhlaskan putranya menghadap sang Kuasa lebih dulu. Bunda sudah beraktifitas seperti dulu menyiapkan makan dengan para asisten dan sesekali dia memeluk anak gadisnya yang belum ikhlas atas kepergian kakaknya.
"Kakakmu udah ga sakit lagi sayang... Mas sudah sehat, adek yang sabar, yang ikhlas biar mas tenang." Ucapan Bunda yang Abi dengar saat memasuki rumah Mentari.
Setidaknya kata kata itulah yang sering Abi dengar dari bunda saat memeluk Mentari. Mungkin benar ikatan saudara kembar itu lebih erat. Bahkan jika salah satu dari mereka sakit yang lain pun merasakan kesakitan yang sama.
"Tar...Tari... Keluar yuk... Liat tuh mata lo jadi kaya apa..." Ajak Abi sambil menyodorkan cermin kehadapan Mentari.
"Iya terus, udah tau mata gue kaya gini mau ajakin gue keluar? Mau bikin gue malu?" Dia menyahut sambil manyun manyun. Setidaknya dia udah bisa diajak berkomunikasi. Pikir Abi.
"Emang lo tau mau diajak kemana? Emang lo ada rencana mau kemana?" Abi bertanya balik pada Mentari sambil menaik turunkan alisnya.
"Gue ga tau kak, gue kangen mas Surya." Sahutnya kemudian dengan nada sendu. Dia benar benar masih kehilangan kakaknya dan Abi akan mencoba masuk untuk menggantikan kakaknya seperti amanat Surya sang Kakak padanya.
"Yaudah yuk ikut aja... Emang lo ga bosen seminggu nangis mulu?" Ajak Abi sedikit memaksa.
"Yaudah deh, tunggu gue bentar ya kak..." Dia menerima ajakan Abi. Dan kini dia bergegas mengganti pakaiannya.
Sambil menunggu mentari yang berganti kostum, bunda mengajak Abi berbincang.
"Nak, bunda nitip jagain anak gadis bunda selagi di luar rumah. Sekarang Surya sudah ga ada, ga ada lagi yang bisa bunda andelin buat jagain dia. Boleh..." Pinta Bunda dengan mata berkaca - kaca.
"Iya bunda... Bunda gausah sungkan. Kan Surya sahabat baik Abi. Abi juga mau minta ijin nih bun." Pinta Abi kemudian.
"Ijin apa nak ..." Tanya Bunda dengan sedikit penasaran diantara kesedihannya.
"Abi boleh sesekali nginep disini kaya dulu waktu masih ada Surya ga Bun... Abi kangen sama kehangatan keluarga kalian , ga kaya keluarga Abi." Pinta Abi sambil menundukkan kepalanya berharap bunda mengijinkan permintaannya kali ini.
"Boleh Bi, Abi kan juga udah Bunda anggep anak Bunda sendiri, apalagi sekarang Surya ga ada. Pasti sepi." Jawab Bunda sambil tersenyum dan mengelus kepala Abi.
"Terima kasih Bunda..." Jawab Abi kemudian.
Abi memang sering menginap di rumah Surya apalagi setelah Surya divonis cancer stadium akhir. Bagi Abi Suryalah saudaranya. Sebab kakanya di rumah adalah orang yang sibuk, dingin dan sangat irit bicara.
Akhirnya Mentari selesai berganti kostum dan sekarang dia sedang berjalan menuruni tangga. Dengan atasan turtle neck dan blue jeans serta rambut yang diikat dua, dan beanie hat menempel diatasnya. Terlintas dalam otak Abi "cantik".
ABI POV
Aku tak pernah menyadari bahwa ternyata Mentari adalah gadis yang cantik. Karena sebelumnya aku hanya menganggap dia adik dari sahabatku. Dan kita terbiasa bermain bersama. Sehingga terkesan biasa saja. Tapi kali ini, dia cantik dipandanganku.
ABI POV END
"Ayo... Jadi ga?" Tanya Mentari sambil menepuk bahuku.
"Oh... O... Iya jadi dong." Jawab Abi tergagap. Masih terpesona dengan kecantikan terpendam yang baru dia sadari.
"Bun, aku ajak Tari jalan - jalan ya..." Pamit Abi sambil mencium tangan Bundanya Tari.
"Iya boleh, tapi hati - hati, jangan lupa waktu." pesan bunda.
"Siap Bunda." Jawab Abi mantap.
"Bunda, Tari keluar sama kak Abi dulu."
"Iya hati - hati sayang... Jangan pulang kemalaman ya..." Pesan bunda sambil mengecup anaknya.
Kami pun berjalan menuju keluar rumah. Sesampainya di teras depan rumah Mentari.
"Cieeee mobil baru..." Ledek Mentari ketika melihat sport city car di depan rumahnya.
"Ya iyalah... Ini mobil hadiah dari papi, kan gue lulusan terbaik ketiga setelah kalian." Jawab Abi seadanya.
Tiba - tiba Mentari langsung bergegas masuk ke dalam mobill dengan wajah mendadak sendu.
"Aduh...Salah..." Rutuk Abi dalam hati.
Abi segera menyusul Mentari memasuki mobil dan melajukan mobilnya.
Hening sesaat.
Suasana hening berlanjut beberapa lama hingga akhirnya Abi membuka suara.
"Maaf, lo pasti inget mas lo ya dek?" Tanya Abi memecah hening.
"Iya kak... Dan gue ga akan melupakan mas. Kita udah sama - sama bahkan sejak kita masih dalam perut Bunda." Jawab Tari dengan sedikit menahan tangis.
"Dia pasti juga dapet hadiah dari ayah kalo..." Tambah Abi menggantung.
"Dia udah dapet hadiah dari Allah, Allah sudah membebaskan dia dari rasa sakit yang menyiksanya selama ini." Lanjut Abi sambil mengelus kepala Tari.
Mentari mengangguk dan menyeka air matanya yang tanpa disadari bulir bulir itu menetes dari pelupuk mata indahnya.
Mata indah? Sejak kapan? Dulu biasa aja.
Abi menggeleng - gelengkan kepalanya saat tiba - tiba pikirannya mulai ngelantur.
"Lo bisa nyetir? Sejak kapan?" Tanya Tari kemudian.
"Udah lama lah Tari..." Jawabnya gemas sambil menarik hidung Tari.
"Ko gue baru tau?" Selidik tari penasaran.
"Ya... Emang lo pernah mau gue ajak jalan bareng sama Surya? Lo kan selalu nolak? Dan lo ga nyadar gue yang bawa mobil ayah waktu Surya pingsan di toko buku?" Jelas Abi panjang lebar. Sepertinya Tari melupakan kejadian itu karena saat itu dia sangat panik.
"Oh iya ya... Gue ga nyadar saking paniknya gue." Sambil mengingat dan menepuk dahinya sendiri.
Ishhh ko tiba - tiba Tari menggemaskan ya...
Kembali Abi menggeleng - gelengkan kepalanya.
"Kenapa lo? Sakit?" Tanya Tari ketika melihat tingkah gue yang tiba - tiba menggelengkan kepala kaya orang sakit kepala. Pfffft
"Enggak ko. Gak papa." Elak Abi singkat.
ABI POV
Kok Sekarang Tari makin cantik ya... Ngegemesin lagi. Apa aku yang baru sadar kalo Tari itu emang cantik? Apa karena dia ga pake kacamata? Ahhh... Aku kan juga sering liat dia ga pake kacamata. Tapi emang cantik kok.
Tenanglah Mentari apapun yang terjadi nanti, tak perlu risau. Karena kau bersamaku. Ujar Abi dalam hati dan tersenyum ke arah Tari.
ABI POV END
Tari yang melihat Abi tersenyum sendiri, merasa aneh dan menggidikkan badannya. Pffffft.
Tari memang cantik. Tubuh semampai, mata lebar dengan lensa coklat, alis tebal yang melengkung seperti bulan sabit, istilah jawanya "alis nanggal sepisan". Senyum yang menawan, rambut panjang hitam sedikit bergelombang. Bibir tipisnya selalu terkesan menebar senyum meski dia hanya diam mengatupkan kedua bibirnya. Dagu kecil yang terbelah. Berbanding terbalik dengan Surya yang memiliki kecil dan berlensa hitam. Alis tebal yang bertaut, dagu tegas namun sama sama memiliki belah serta kulit kuning langsat. Tari memiliki kulit putih. Bentuk wajah keduanya pun berbeda, Tari cenderung berwajah oval dan Surya cenderung berwajah kotak dengan rahang tinggi. Memang jika dilihat mereka tidak akan terlihat mirip secara fisik. Namun isi kepala mereka sama sama cerdas. Bahkan dalam kondisi sakit pun Surya masih bisa mendapatkan hasil terbaik dalam Ujian Akhir Sekolahnya.
Setelah menempuh setengah jam perjalanan, mereka sampai di tempat dimana Surya dimakamkan. Entah kenapa senyuman Mentari mengembang dan jantung Abi terasa mendadak berdegup kencang dibuatnya.
Usai mobil terparkir sempurna, Tari segera berhambur keluar mobil dan berlari menuju makam Surya. Seperti anak kecil yang berlari ketika melihat ayah atau ibunya pulang membawa bingkisan.
"Sebahagia itukah? Serindu itukah?" Gumam Abi dalam hati.
Sesampainya di makam Surya, Abi melihat Tari memeluk nisan sang kakak. Abi belum melihat wajahnya. Mungkin dia menangis, melepas kerinduan dengan sang kakak. Abi hanya berdiri di samping Tari dan mendengar gumaman gumaman lirih pada sang kakak bahwa ia sangat merindukan sang kakak.
Setelah beberapa lama tiba - tiba Tari menengok kearah kanan dan kirinya.
"Nyari sape lo?" Tanya Abi.
"Nyari abang sapu. Ya nyari lo lah kak. Kirain lo ga masuk sini." Jawab Tari sedikit ngasal.
"Ya mana mungkin gue ga kangen sahabat gue." Tutur Abi sambil mengambil posisi berjongkok di samping Mentari.
"Ngapain lo? Gue udahan, lo malah jongkok."
"Nyabutin rumput, ellah... Gue mau ngomong dulu ama sahabat gue. Tunggu bentar."
Setelah beberapa lama Abi pun bangkit dan mengajak Mentari untuk pulang.
"Yuk..." Ajak Abi sambil merangkulkan tangannya ke bahu Tari. Dan hanya diikuti Mentari dengan anggukan saja.
Dalam perjalanan menuju mobil, mereka berbincang.
"Emang tadi lo bawa bucket bunga? Ko tadi gue ga liat." Tanya Abi pada Mentari sebab disana terdapat bunga segar di atas pusara dan bucket bunga di samping nisan.
Mentari menggeleng.
"O... Mungkin bunda tadi pagi kali ya..." Tebak Abi asal.
"Bukan juga. Tadi pas gue nyampe makam mas Surya, ada Celia. Dia lagi nangis sesenggukan. Tapi pas gue deketin dia langsung pergi." Jelas Mentari kemudian.
"Mungkin Celia masih sedih, ternyata Surya udah pergi dan ga bisa balik lagi. Semoga aj dia cepet move on dari kakak lo." Tutur Abi.
"Aamiin." Mentari mengamini.
Celia itu cewe Surya, dia ga tau kalo selama ini Surya sakit cancer. Dan dia baru tau Surya meninggal itu, pas pengumuman kelulusan.
Flasback on
Hari Sabtu saat pengumuman kelulusan, semua siswa kelas XII dikumpulkan di tengah lapangan basket. Pak kepala sekolah sudah berdiri diatas mimbar untuk menyampaikan kelulusan.
"Alhamdulillah... Puji Syukur... Sekolah kita menjadi sekolah dengan lulusan terbaik dan semua siswanya dinyatakan Lulus 100%." Ucap pak kepsek dengan nada penuh semangat dan disambut tepuk tangan dari semua siswa dan dewan guru.
"Dan Lulusan terbaik kita adalah... Surya Diwantara..." Dengan nada sendu dan sedikit menitikkan air mata. Membuat semua anak bertanya ada apa sebenarnya.
Eh pak kepsek ko nangis.
Eh ko tiba tiba nangis.
Ih... Ada apa si... Ko nangis.
Nangis kenapa die...
"Sejenak kita tunjukkan kepala kita untuk mendoakan murid terbaik kita, sahabat kita, teman kita tercinta Surya Diwantara. Mari kita doakan agar segala amal baiknya diterima disisi Allah SWT." Suara pak kepsek tercekat dan menggambil napas sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya. Dan beberapa anak sudah ada yang menangis menyadari kata - kata pak kepsek.
Apa? Surya meninggal?
Dia kenapa?
Innalillahi wa inna ilaihi Roji'un...
Apa si... Pasti salah denger
"Dan marilah kita kirimkan Al-Fatihah sebagai hadiah kepada Surya. Al-Fatihah..."
SURYAAAAA....
Terdengar suara teriakan seorang gadis dan itu adalah Celia. Seseorang terlihat segera membawa Celia ke ruang UKS.
Pasti Celia shock berat mendengar berita kematian Surya. Abi dan Mentari berniat menemui dan menjelaskan semuanya pada Celia usai pengumuman dan selebrasi kami.
Tak lama setelah Pak Kepsek turun mimbar sebuah tangan langsung menarik Abi keluar dari kerumunan. Ternyata itu tangan Mentari yang menariknya ke arah ruang UKS.
Tiga puluh menit berlalu. Abi dan Mentari menjelaskan semuanya pada Celia dengan disertai derai air mata kami bertiga. Ya... Kami yang menyayangi Surya. Tiba - tiba pintu ruang UKS terbuka dan muncullah Clara.
"Sayang... Ngapain sih kamu disini lama - lama... Pake acara nangis - nangis segala lagi. Mending kita sekarang hepi - hepi... Rayain kelulusan kita apa lagi kamu kan rangking 3 terbaik di sekolah ini." Ucap Clara dengan gaya manjanya dan sesekali memutar bola matanya. Membuat Abi jengah juga melihat tingkah Clara.
"Yuk ah tinggalin aj mereka. Kita hepi - hepi."
Clara membawa Abi keluar ruangan dan menutup ruang UKS dengan kasar. Abi keluar bersama Clara meninggalkan mereka berdua bersama duka mereka.
Flashback off
Abi dan Mentari sudah kembali memasuki mobil BMW i8 milik Abi. Sampai kemudian terdengar panggilan masuk dari ponsel Abi.
"Ya... Ada apa lagi?" Abi menjawab panggilan dengan malas. Terlihat dia memutar bola matanya dan menggeser layar ponsel sehingga panggilan kini berubah menjadi panggilan video.
"Lagi mau kemana sih sayang... Ko di dalem mobil... Katanya lagi males keluar rumah pas aku ajakin ke mall." Ucap Clara dengan nada manjanya.
"Mendadak kangen Surya jadi aku ke makam Surya deh." Jelas Abi.
"Surya lagi...Surya lagi...dia kan udah mati Abi sayaaaaang... Ngapain juga dikangenin. Mending juga kangenin gue yang cantik, manis, manja, seksi lagi." Ucap Clara dengan sedikit memutar bola matanya.
Sementara Mentari terlihat acuh tak acuh pada obrolan mereka sambil melihat keluar jendela. Kemudian Tari mengkode meminta ijin untuk keluar mobil agar pembicaraan mereka leluasa dengan menunjuk ke arah luar dengan ibu jarinya. Abi pun memberi jawaban dengan kode menggeleng, dan menepuk jok kursi yang artinya "Jangan, gausah, tetep disini aja."
"Kamu sama sapa sayang? Dan itu kayaknya mobilnya lain dari mobil yang biasanya." Selidik Clara melihat gelagat Abi dengan kode kodenya.
"Ini" sambil mengarahkan ponsel ke arah Tari.
Tari yang seperti orang terciduk gelagapan tersenyum dengan menunjukkan giginya dan menyapa dengan kedua tangannya.
"Ahh reaksi macam apa tadi." Kesal Tari Merutuki sikapnya tadi.
"Ooooooo... Jadi kamu ga mau aku ajak ke mall malah jadi supir cewek manja itu ke kuburan." Cerca Clara dengan nada tidak senang.
Clara memang tidak suka dengan kedekatan mereka bertiga. Dengan meninggalnya Surya, Clara merasa lebih bebas karena dia pikir dia bisa nempel terus di deket Abi. Clara berambisi memiliki Abi karena Abi anak pengusaha kaya. Pengusaha Properti ternama A&C corp. Dia menganggap Surya dan Mentari adalah kutu yang menghisap kekayaan Abi sedikit demi sedikit.
"Stop. Kamu keterlaluan Clara. Aku dah bosen ingetin kamu berkali kali. Mereka sahabat aku. Aku kenal mereka lebih dulu dibanding kenal kamu. Jadi kamu ga berhak ngatur kedekatan kami. Ngerti!!" Bentak Abi pada Clara. Dia mulai jengah dengan hubungan mereka. Clara selalu berusaha menjauhkan Surya dan Tari dari Abi.
"Kayaknya kita udahan aja. Kita putus Clara." Sambung Abi kemudian dengan nada bicara dan intonasi yang lebih rendah. Kemudian memutuskan panggilan dan menon-aktifkan ponselnya. Abi membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel yang lain dan mengaktifkannya.
Abi melihat ke arah Tari dan ditanggapi dengan Tari yg mengangkat kedua bahunya. Kemudian Abi mulai memacu mobilnya. Keluar area pemakaman di Pondok Indah.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!