NovelToon NovelToon

My Posesif Brother

Bab 1

"Papa akan tetap pergi?" Galang, remaja empat belas tahun itu memandang sedih ayah nya yang sedang mengemas pakaian nya.

Tuan Angga Ravindra- sang ayah, memandang sedih putranya "Kami sudah memutuskan untuk berpisah Galang..."

Galang menggelengkan kepalanya. "Tidak! Papa tidak boleh pergi!"

Tuan Angga mengusap rambut putranya. "Maaf. Tapi Mama mu tidak akan suka bila Ayah tetap tinggal. Sehat selalu Galang. Papa minta maaf..."

Angga tidak sanggup lagi melihat kesedihan dimata putranya. Pengadilan sudah memutuskan dia dan Hera berpisah, juga sudah memutuskan hak asuh Galang dimiliki Hera. Yang harus dia lakukan sekarang hanyalah pergi. Meskipun berat harus meninggalkan putranya itu.

Galang memandang sedih kepergian ayahnya. Sejak kecil memang sudah biasa dengan pertengkaran ayah dan ibunya. Namun Galang tidak pernah menyangka bahwa puncak nya mereka berdua akan berpisah dan sang ayah meninggalkan nya.

"Papa... Kenapa harus meninggalkan ku?"

.

.

.

Tuan Angga menghela napasnya. Melihat sekali lagi rumah yang sudah lima belas tahun dia tempati bersama keluarga kecil nya. Namun masalah nyatanya terus menerus menerpa keluarga kecil nya itu. Sampai membuat istrinya Hera Sanaya, berakhir menggugat cerai dirinya. Hera dan dirinya memang menikah karena perjodohan. Awalnya tidak ada cinta antara mereka. Namun kehadiran Galang sejenak merubah kehidupan pernikahan mereka. Tapi lagi lagi masalah itu kembali menghampiri, Hera yang tempramen serta keras kepala. Tetap memutuskan perpisahan diantara keduanya bahkan tanpa memikirkan perasaan Galang.

"Galang....Ayah minta maaf..."

.

.

.

Sementara itu, di Rumah besar keluarga Adikara yang berada di Pulau Bali.

"Mama ... Kenapa berkemas?"

Hana, ibu cantik itu menghela napasnya. Memandang putri kecil nya. Saat ini tengah malam, tentu putrinya begitu heran tiba-tiba di bangunkan, serta seluruh pakaian nya sudah berada di dalam koper milik nya. Hana mengusap lembut pipi putrinya itu.

"Kita harus pergi Raya..." ucap Hana pada Naraya.

"Pergi? Pergi kemana Mama, ini kan rumah kita." Naraya, gadis kecil itu hanya mengerjap polos tidak mengerti dengan ucapan ibunya.

Hana semakin sedih melihat wajah polos putrinya. Namun dia sudah meneguhkan tekad nya. Belum lagi ibu mertua nya yang terus menekan dirinya untuk pergi. Serta dirinya yang sudah menandatangani surat perceraian nya dengan sang suami. Dan lagi, suaminya sudah memiliki istri baru sejak setahun yang lalu. Mana mungkin dia terus bertahan di tempat yang hanya membuat nya sesak saja.

"Pergi, pergi yang jauh dari rumah besar ini. Rumah ini tidak cocok untuk kita."

"Kenapa?" Raya kembali bertanya.

Hana menangis. "Kamu tidak lihat sayang? Ayah mu, nenek mu, mereka tidak menginginkan kita untuk tetap disini. Kita harus pergi ya?"

Naraya ikut sedih melihat ibunya menangis. Meskipun masih kecil, Naraya bisa merasakan bahwa nenek dan Ayah nya memang tidak begitu menyukai nya. Entah karena apa.

"Mereka benci kita ya Mama ?"

Hana menggeleng. Semua barang nya dan juga Naraya sudah terkumpul. Tinggal pergi dari rumah besar yang sudah ditinggali nya selama tujuh tahun ini. Hana punya sedikit simpanan. Jadi setelah ini, dia akan berjuang sendiri untuk putri kecil nya. Tanpa harus berada di dalam keluarga terpandang ini lagi.

"Sudahlah, semua barang Raya sudah masuk. Sekarang kita pergi yah?"

Naraya yang bahkan masih memakai piama nya itu menganggukkan kepalanya patuh. Hana tersenyum lalu memakaikan jaket tebal untuk putrinya dan keluar dari rumah itu.

Selamat tinggal Adikara. Maaf, aku tidak bisa terus bertahan di keluarga besar ini. Kau sendiripun telah terlarut dengan kesalah pahaman yang ibumu buat, kau juga menginginkan kepergian ku... Selamat berbahagia dengan wanita pilihan ibu mu itu...Juan Adikara, terima kasih untuk tujuh tahun bersama ku... 

"Ayo Raya. Kita pergi."

Raya mengangguk. Melihat lagi rumah besar yang sejak bayi sudah di tempati nya ini.

Selamat tinggal Ayah, Nenek... Dan Kakak... Raya pasti bakal kangen sama kalian... 

.

.

.

"Pengkhianat! Aku tidak suka Pengkhianat!"

"Aku membenci mu Angga ! Aku membenci mu yang tidak pernah benar-benar mencintai ku!!"

Hera memecahkan semua figura foto nya bersama sang mantan suami. Pernikahan nya yang memang sejak awal sudah tidak sehat kini berakhir. Hera sejujur nya sudah memiliki setitik rasa untuk Angga sejak memiliki Galang. Namun dia merasa, Angga  tidak pernah mencintai nya. Dan akhirnya dia memutuskan untuk berpisah. Tidak ingin terus terjebak dalam pernikahan tidak sehat nya.

"Aku membenci mu Angga. Sangat membenci mu!!" Hana terus berteriak marah sambil memecahkan barang barang di kamarnya.

"Mama ..." Galang menghampiri Mama nya yang sejak di tinggal sang Papa terus berteriak marah sambil memecahkan banyak barang. Namun Hera langsung memandang tajam putranya. Putra yang memiliki wajah serupa ayah nya.

"Kau, Galang... Aku juga membenci mu! Membenci mu yang memiliki wajah serupa ayah muuu!!"

PLAK

Hera langsung menampar wajah Galang. Membuat putranya itu membulatkan kedua bola matanya. Kaget dengan perlakuan ibunya ini. Hera tersenyum licik memandang Galang dan kembali melampiaskan amarah nya. Kali ini pada Galang. Dia terus memukuli putranya sampai merasa puas. Meskipun Galang menghindar. Hera tetap berusaha untuk memukul putranya itu. Ada perasaan puas saat melihat wajah serupa Angga  itu berteriak meminta ampun agar dirinya berhenti.

"Mama ... Sakit Mama ~" Galang sudah tidak melawan lagi. Hanya meringkuk di sudut kamar dengan sang Mama  yang berdiri menjulang di depan nya.

"Aku membenci mu. Sangat membenci mu!"

Galang terduduk pasrah saat sang ibu kembali memukul nya. Kali ini dengan sebuah payung panjang yang sudah berada di tangan Mama  nya. Dan Galang hanya bisa pasrah. Karena tidak ada yang bisa menolong nya.

Papa... Kau tega meninggalkan ku dengan Mama ... 

.

.

.

Hana memeluk tubuh putrinya yang sudah kembali terlelap saat menaiki kereta menuju tempat baru yang akan menjadi tempat tinggal nya. Memandang wajah polos putri kecil nya. Kembali menangis saat mengingat jalan hidupnya. Penuh drama dan lika liku kehidupan. Terlahir dari keluarga miskin, lalu menikah dengan seorang pria kaya. Namun pernikahan nya tidak berjalan dengan mulus. Perbedaan kasta nya selalu di perdebatkan oleh keluarga Kaya itu. Dan Hana sudah tidak sanggup untuk menahan semuanya. Apalagi mereka juga nampak tidak menyukai putri kecil nya yang polos.

"Semoga, kehidupan baru kita lebih baik. Semoga, kita tidak mendapatkan kebencian di tempat baru. Raya sayang, mari hidup bahagia nak. Mama menyayangi mu..."

"Sangat menyayangi mu.."

.

.

.

.

.

.

.

.

1 Tahun Kemudian...

"Hana, bersediakah kau jika menjadi istri ku?"

Hana membulatkan kedua bola matanya mendengar penuturan seorang pria yang beberapa bulan ini sering mengunjungi kedai mie nya. Angga Ravindra. Hana benar-benar menjalani kehidupan baru nya di tempat baru. Dengan uang simpanan nya Hana membuka sebuah kedai mie. Juga mendapatkan beberapa teman baru, termasuk Angga  yang selalu mengunjungi kedai mie nya hampir setiap hari.

"Angga, bukankah ini terlalu cepat? Kita bahkan baru beberapa bulan ini dekat. Kau sudah yakin padaku Angga?"

Hana jelas merasa ragu meskipun Angga  terlihat begitu baik. Apalagi kenangan buruk nya tentang pernikahan membuat nya takut untuk kembali memulai hidup baru bersama seorang pria. Hana tidak ingin membuat kesalahan yang sama untuk kedua kalinya.

"Em. Aku sangat yakin Hana. Jadilah istri ku eoh? Dan aku, akan menjadi Papa untuk putri kecil mu itu." Angga  berusaha untuk meyakinkan wanita cantik yang sejak awal sudah menarik perhatian nya itu.

"Papa?" Hana dan Angga langsung membulatkan kedua bola matanya dan terkejut melihat seorang bocah tujuh tahun dengan seragam nya. Menghampiri kedua orang dewasa itu.

"Mama . Apa benar Om Angga akan jadi Papa nya Raya? Benar Mama?" mata bulat itu nampak berbinar saat bertanya pada ibunya. Begitu senang jika sosok paman baik itu akan menjadi ayahnya.

Hana nampak bingung. Namun Naraya  memeluk sang Mama dan memperlihatkan mata puppy nya. "Mama , Raya suka Om Angga..."

Angga tersenyum melihat hal itu. Sepertinya sudah mendapatkan restu dari calon putri kecil nya.

"Naraya. Apa maksud mu sayang?" Hana bertanya sambil berjongkok. Mensejajarkan tubuhnya dengan sang putri.

Naraya memandang om Angga yang selalu baik padanya.

"Raya mau punya Papa! Dan om Angga yang akan jadi Papa nya Raya yah..."

"Anak kecil tahu apa sih..." Hana mencubit pipi tembam putrinya gemas.

"Hana. Anak kecil ini tahu, bahwa aku cocok menjadi Papa nya. Iya kan Raya.?"

"Emm... Itu benar!"

"Ya ampun.."

"Hana. Aku butuh jawaban nya."

Hana memandang putrinya lalu memandang Angga . Menghela napasnya dan akhirnya menganggukkan kepalanya.

"Hmm. Aku bersedia Angga. "

"Yeeay... Punya Papa baruuu!"

.

.

.

"Galang Ravindra!!"

Galang tersentak kaget saat mendengar teriakan serta gebrakan pintu kamarnya. Ibunya yang sudah berdandan dengan make up tebal nya itu menghampiri meja belajar nya.

"Kau bodoh atau apa ha?! Sudah ku bilang, setiap malam minggu kau harus berada di luar rumah!!"

Galang menghela napasnya saat ibunya tiba-tiba mendatangi kamar nya sambil berteriak marah. Dan entah mengapa sampai sekarang Galang belum bisa terbiasa. Karena sikap Mama nya itu, Galang bahkan menjadi seseorang yang pendiam. Di sekolah pun tidak punya teman karena Galang menjadi seseorang yang tertutup. Galang tidak punya siapapun. Ayahnya pun meninggalkan nya dengan sang Mama yang Galang pikir sudah gila. "Ta-pi Mama ..."

Hera mendengus jengkel dan menyeret lengan putranya. "Keluar sekarang juga! Bocah sial!"

Hera menghela napasnya. "Ya ampun kenapa juga pengadilan harus memberikan hak asuh mu padaku sih! Menyusahkan!"

Galang mengepalkan kedua tangannya erat mendengar ucapan sang ibu. Menghela napasnya keras dan menuruti kemauan ibunya untuk pergi keluar rumah. Walaupun di luar nampak hujan, namun sepertinya sang ibu tetap bersikukuh agar dia pergi. Setiap malam minggu, ibunya memang akan membawa seorang pria ke rumah dan menyuruh Galang untuk pergi keluar. Ibunya  bilang dia akan mengganggu. Dan itu menjadi satu dari banyak alasan yang membuat Galang membenci Ibu nya.

"Aku membenci wanita yang ku sebut ibu itu. Papa, kau tega sekali meninggalkan ku..."

Bab 2

.

.

Gilang  pergi keluar rumah saat hujan sedang deras deras nya. Namun sang ibu mana mau memperdulikan hal tersebut. Dia keluar pun tanpa tujuan. Tidak punya teman juga kerabat. Gilang hanya berdiam diri di depan mini market dekat rumahnya.

Sesekali menggigil kedinginan karena dia keluar hanya memakai kaos lengan pendek.

"Aku bersumpah... Aku benar-benar membenci mu Mama ..."

.

.

.

Sementara itu, di rumah sederhana milik Hana. Naraya  duduk di samping Mama  nya. Bergelayut manja pada ibunya itu. Sesekali mulut kecil nya meniup niup coklat panas yang di berikan oleh ibunya itu.

Sementara Hana sendiri nampak sesekali tersenyum saat melihat drama yang sedang di tonton nya membuat Naraya ikut tersenyum melihat senyum cantik ibunya itu.

Naraya mendongakan wajahnya. Sementara tubuhnya bersandar pada Mama  nya. "Mama. Jadi kapan Mama  sama Papa Angga menikah nya."

Hana mengalihkan perhatiannya dari tontonan drama nya pada putri kecil nya. Begitu terkejut karena Naraya  putrinya itu seolah benar-benar tidak sabar ingin dirinya cepat menikah dengan Angga. Namun pertanyaan putrinya itu membuat Hana bingung dengan jawaban nya.

"Ya ampun, putri kecil Papa ini sudah tidak sabar eoh?"

Angga datang bergabung, duduk di dekat Naraya membuat anak itu terapit oleh dua orang dewasa tersebut. Hana menghela napasnya lega, mungkin seharusnya pertanyaan itu di ajukan untuk Angga bukan dirinya.

"Emmm. Raya sudah tidak sabar Papa Angga. Nanti, Raya bisa pamer sama Melisa dan Abim kalau Raya punya Papa. Hehe."

Hana tertawa geli dengan alasan itu. Memandang Angga yang juga sedang memandang nya.

"Oke. Mama dan Papa akan segera menikah. Dan kamu, sekarang harus segera tidur eoh?"

"Oke! Tapi dengan Papa Angga yah..."

"Baiklah...tuan putri."

Naraya tertawa senang saat Papa  Kim memangku tubuhnya dan mencium pipinya gemas. Sepertinya malam ini, Naraya  akan tidur bersama Papa  baru nya. Dan Naraya sangat senang.

.

.

.

Gilang memeluk tubuhnya yang begitu kedinginan. Merutuk ibunya yang dengan tega membiarkan putra nya sendiri berada di luar di tengah hujan yang begitu deras. Seluruh tubuhnya sudah basah karena air hujan yang mengguyur tubuhnya. Seluruh tubuhnya terasa sakit karena kedinginan. Namun hatinya jauh lebih sakit. Karena perceraian kedua orang tua nya. Dia yang jadi korban. Karena dua orang dewasa yang di sebutnya sebagai orang tua. Nyatanya tidak pernah benar-benar menjadi orang tua nya. Gilang  kesepian, kesakitan tapi tidak ada yang peduli. Gilang sendiri walaupun memiliki orang tua yang lengkap. Dan Gilang  benci itu semua. Rasanya, jika bisa memilih Gilang tidak ingin terlahir di keluarga hancur sepertinya.

"Papa ... Aku sendirian... D-an... A-kk-u le-la-h.... Hiks... Aku benci kalian..."

.

.

.

.

1 Bulan Kemudian....

Hera membuka pintu rumahnya saat bel pintu rumahnya terus berbunyi.

Dan Hera begitu terkejut saat melihat mantan suaminya berada di depan rumah nya. Hera menyilangkan kedua tangannya.

"Angga? Ada apa kau kemari?"

"Aku ingin bertemu dengan Gilang. Mana dia?"

Hera memeluk lengan atas nya. Gilang  sedang demam karena pukulan nya. Dan mana mungkin dia mengijinkan mantan suami nya itu untuk melihat Gilang . Angga bisa semakin membenci nya.

"Dia, dia sudah pergi sekolah." jawab Hera dengan tenang.

"Kalau begitu beritahu aku sekolah nya."

"Untuk apa Angga?"

Angga menghela napasnya. Setelah satu tahun perceraian nya, Hera selalu melarang nya untuk menemui Gilang . Dan itu membuat Angga merasa bersalah pada Gilang .

"Hera, kau selalu melarangku untuk menemui Gilang . Nomor ponsel nya pun aku tidak punya. Aku ayahnya Hera, aku berhak atas Gilang meskipun hak asuh nya jatuh padamu! Sekarang beritahu aku Gilang dimana?!"

Hera memutar bola matanya jengah. "Ku bilang Gilang sedang sekolah!"

"Kalau begitu beritahu aku nomor ponsel nya!"

Hera memandang tajam mantan suaminya itu. "Gilang membenci mu yang sudah meninggalkan nya! Dan dia tidak pernah mau bertemu dengan mu lagi Angga!!"

"KAU BOHONG HERA!"

.

.

"Papa?"

Gilang mengernyit saat mendengar suara ayahnya setelah satu tahun ini. Dan selanjutnya Gilang  kembali mendengar suara ayahnya itu memanggil nya. Gilang tidak bermimpi. Jadi dengan perlahan mencoba bangkit dari ranjang nya.

Meskipun seluruh tubuhnya sedang demam, namun Gilang begitu senang mendengar suara ayahnya itu. Dengan gontai Gilang  mendekati pintu kamar nya. Namun Gilang  begitu panik saat ternyata pintu kamar nya ternyata terkunci. Pasti Mama nya yang sudah melakukan ini.

"Gilang  GILAAANG!!!"

Tubuh lemas Gilang merosot di depan pintu. Terisak mendengar suara ayahnya. Ingin nya berteriak menyahut, namun tenggorokan nya begitu sakit. Dan Gilang semakin merasa sakit saat suara ayahnya itu tidak terdengar lagi.

"Papa ...jangan... Jangan pergi lagi Papa... Aku ingin ikut Papa ... Hiks..."

.

.

"Gilang ... Ini Papa nak..."

Hera mencegat lengan Angga. Dan memandang tajam mantan suaminya itu.

"Sudah ku bilang, Gilang itu sedang sekolah Angga !"

Angga mengatur napas nya karena emosi. Tidak bisa bertemu dengan putranya. Memandang mantan istrinya lalu memberikan surat undangan untuk istrinya itu.

"Kalau begitu, berikan ini pada Gilang."

Hera memandang heran surat undangan di tangan nya. Dan begitu terkejut saat melihat bahwa itu merupakan surat undangan pernikahan milik Angga .

"Angga... Kau?"

"Aku akan menikah minggu depan Hera. Ku harap Gilang bisa datang. Kau pun datang lah. Aku pergi..."

.

.

.

Hera meremas surat undangan itu dengan emosi. Airmata nya mengalir begitu saja saat mengetahui Angga  telah memiliki penggantinya. Sementara dia sendiri masih terpuruk dengan perceraian nya dan melampiaskan nya dengan berhubungan dengan banyak lelaki.

"Angga menikah lagi?!"

Hera tertawa. Memandang surat undangan itu dengan penuh kebencian.

"Sudah ku duga! Dia memang tidak pernah mencintai ku! Satu tahun! Kita baru berpisah satu tahun Angga !"

Hera kembali melampiaskan emosi nya. Kali ini pada barang barang yang berada di rumah nya. Memecahkan beberapa barang. Dan sesekali meraung memanggil Angga .

"Tapi kau...! Kau sudah kembali bahagia dengan wanita lain! Bajingan Angga !"

"Sedangkan aku! Aku terjebak dengan cinta mu dan tidak pernah bisa mencintai lelaki laiin! Aku membenci muuu!!"

"Aku tidak bisa melihat mu bahagia Angga. Tidak boleh!"

Pandangan Hera tampak kosong. Kemudian tertawa lepas seolah semua ucapan Angga tadi adalah lelucon.

"Gilang ... Kau menyayangi anak kita kan.. Lalu apakah kau masih bisa bahagia, jika aku melenyapkan Gilang ..." Hera menyeringai. Sepertinya pikiran nya memang sudah gila karena Angga . Dengan cepat Hera mengambil pemukul kasti dan berlari menuju kamar putranya. Hera seolah kehilangan jiwa nya saat melihat Angga bahagia sementara dirinya menderita. Jadi mungkin dengan cara ini, Angga  juga akan menderita sepertinya.

Hera membuka pintu kamar Gilang . Terkejut saat melihat anak itu tergeletak tak berdaya di depan pintu.

Hera lalu mencengkram dagu Gilang  dan memandang buah hati nya bersama Angga. Kembali mengingat surat undangan itu, hati Hera semakin hancur. Sementara Gilang  nampak begitu ketakutan melihat ibunya. Apalagi melihat pemukul kasti yang di bawa ibunya.

"Mama ...."

"Mari mati bersama Gilang. Dan buat Papa mu menyesal sudah meninggalkan kita. Haha. Dia pasti menyesal mengetahui putra dan mantan istrinya meninggal."

Gilang menggelang kasar. Namun Hera yang sudah di butakan oleh emosi. Langsung melayangkan pemukul kasti itu pada tubuh putranya.

"Mama ....Mama AAA!!!"

BRUK!!

Bukan hanya sekali. Namun Hera terus memukulkan pemukul itu pada putranya berkali-kali meskipun Gilang menjerit kesakitan. Namun jeritan tangis putranya malah membuat Hera tertawa.

"Haha... Lihat Angga . Aku membunuh putramu. Putra kesayangan mu!!"

"HAHAHAHA..."

.

.

.

"Hana... Kau tampak sangat cantik dengan gaun nya." Hana nampak tersenyum malu mendengar pujian itu. Meskipun ini bukanlah pernikahan pertama mereka. Namun Angga  menginginkan pernikahan yang meriah.

"Benar. Mama cantik sekali..." Naraya  memandang kagum ibunya dengan gaun pengantin nya.

"Lalu setelah ini apa yang akan kita lakukan?"

Hana mendekat lalu mencium pipi putrinya. Memandang Angga  yang masih terkagum padanya.

"Memilih bunga yang cantik untuk upacara pernikahan kita."

Angga  tersenyum bahagia. Seolah dia memiliki kesempatan kedua untuk memulai hidupnya dengan keluarga baru.

"Oh tunggu ya Hana. Aku dapat telepon."

Angga meninggalkan Hana dan juga Naraya saat ponsel nya berdering. Dia lalu mengangkat panggilan tersebut.

"Oh iya halo...?"

"Ini dengan Tuan Angga ?"

"Oh iya itu saya. Ada apa ya?"

"Tuan Angga, bisakah Anda datang ke rumah sakit? Putra dan juga mantan istri mu terluka parah. Sepertinya, Nyonya Hera berusaha bunuh diri bersama Gilang. Bisakah Anda datang kemari?" 

Angga  menggeleng tidak percaya. Ponsel nya jatuh. Dan lutut nya menjadi lemas.

"Tidak mungkin..."

Hana menghampiri Angga  yang nampak pucat dan lemas setelah mendapatkan panggilan tersebut.

"Mas Angga ada apa?"

"Hana aku harus ke rumah sakit..."

"Kenapa? Siapa yang sakit?" Hana nampak begitu cemas melihat calon suaminya itu.

"Gilang, putra ku."

"Putra mu yang bersama Hera?"

Angga  menganggukkan kepalanya. "Iya... Aku pergi dulu Hana."

"Iya. Hati-hati Mas."

Angga berpamitan. Dan pergi menuju rumah sakit. Naraya  menghampiri Mama  nya. Memandang heran kenapa Papa  Angga tiba-tiba saja meninggalkan mereka.

"Mama. Ada apa?"

Hana berjogkok di depan putri nya. "Sepertinya. Kakaknya Raya dapat masalah sayang."

"Putranya Papa Angga?"

Hana menganggukkan kepalanya. "Emm... Semoga dia baik-baik saja..."

Bab 3

Angga terlihat begitu tergesa saat sampai di rumah sakit. Mencari tahu kamar putranya. Sampai dia menemukan ruangan seorang dokter yang menghubungi nya.

"Dimana Galang? Dimana Putra ku?" Angga  bertanya pada seorang dokter yang menghubungi nya itu.

"Anda Tuan Angga ?"

"Iya. Saya ayahnya Galang . Apa putra ku baik-baik saja?"

Dokter itu mempersilahkan Angga  untuk duduk terlebih dahulu. "Tidak bisa dibilang baik-baik saja. Seluruh tubuhnya penuh luka dan..."

"Dan apa? Ceritakan bagaimana kondisi putra ku. Dokter ."

"Aku pikir, mental Galang  terganggu karena kekerasan yang diterima nya. Sejak dia sadar, dia hanya memandang kosong. Dan saat seorang perawat atau dokter wanita ingin memeriksa nya. Putra Anda jadi histeris dan bahkan menyakiti para perawat tersebut. Maaf Tuan Angga. Aku pikir Galang mengalami trauma karena ibunya sering menyiksa nya. Aku sarankan, Galang  mendapatkan perawatan dari seorang psikiater juga. "

Angga memejam frustrasi mendengar penjelasan dokter tersebut, selama ini dia pikir Galang hidup dengan baik bersama mantan istrinya itu.

.

.

.

Setelah mendapat penjelasan dari dokter yang menangani Galang . Angga  langsung memasuki kamar rawat putra nya.

"LEPAS! JANGAN MENDEKAT! JANGAN MENDEKATI KU!"

Angga tertegun saat melihat keadaan putra nya. Penuh luka di sekujur tubuh. Serta tatapan penuh ketakutan dan waspada pada seorang perawat wanita yang sedang memeriksa keadaan nya.

"AKU MEMBENCI MU! AKU MEMBENCI WANITA JAHAT SEPERTI MUU..!!"

"LEPAS! KENAPA KAU MENGIKAT KU HA?! KAU MAU MENYIKSA KU?! MEMBUNUH KU!? PERGI SANA!!"

Galang memberontak saat beberapa perawat mengikat tangan dan kaki nya ke sisi ranjang. Mereka terpaksa melakukan hal itu karena Galang telah membuat salah satu perawat wanita terluka.

"Galang ...." Angga  melihat putranya yang begitu rapuh.

"Kau... Kau juga pergilah!! Aku tidak membutuhkan mu! Aku tidak membutuhkan siapa puuun!! Tidak ada yang menginginkan kuu!! Jadi biarkan aku matiiiiii....!! LEPASKAN!!!"

Galang memberontak berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Membuat beberapa perawat kewalahan dan hendak menyuntik Galang dengan obat penenang. Namun Angga  mencegah para perawat tersebut.

"Tolong jangan suntik putra ku. Biar aku coba menenangkan nya."

"Baiklah."

Angga mendekati putranya yang terus berontak. Galang Memandang begitu waspada pada siapapun yang mendekatinya. Terdapat beberapa luka lebam di tubuh Galang . Membuat Angga  kembali merasakan kegagalan sebagai seorang ayah.

"Galang.. Ini Papa nak." Angga mencoba untuk memeluk Galang . Namun Galang jelas menolak.

"Papa?! Haha jika aku punya Papa , aku tidak akan berakhir seperti ini!!! Kau membenci ku kaan...! Itu sebabnya kau meninggalkan kuuu!! Wanita jahat itu juga menyiksa kuuu!! KALIAN MENYIKSA KUUU!!!"

Angga tetap memeluk Galang meskipun putranya itu menolak. Menyesal mengapa dia meninggalkan Galang  dengan Hera. Mungkin jika dia yang membawa Galang , putranya tidak akan berakhir seperti ini.

.

.

.

"Mas Angga. Bagaimana keadaan Galang?" Hana bertanya pada Angga yang sejak mendatangi kedai nya hanya melamun. Itu membuat nya cemas.

"Haaah... Galang tidak begitu baik Hana. Aku pikir, bolehkah aku menunda pernikahan kita?"

"Maksud ku, aku ingin fokus lebih dulu dengan kesembuhan Galang ."

Hana tersenyum dan mengusap bahu Angga . "Gak papa Mas. Aku mengerti. Lain kali, boleh aku melihat Galang? Dia juga akan menjadi putra ku..."

Angga menggeleng. Tidak mungkin membawa Hana. Galang  pasti langsung histeris bahkan mungkin menyakiti Hana. "Maaf Hana. Tapi Galang , memiliki trauma terhadap seorang wanita. Galang akan histeris jika melihat wanita."

"Gak papa Mas. Aku harap Galang  segera sembuh. Lalu bagaimana dengan Hera?"

"Hera, dia selamat.... Tapi sepertinya, Hera mengalami depresi bahkan mungkin gila."

.

.

.

Seminggu berlalu. Hari ini seharusnya pernikahan Hana dan Angga di gelar. Namun di undur karena Angga  ingin fokus merawat Galang. Putranya itu masih sering histeris apalagi saat melihat seorang perempuan. Galang  memiliki trauma terhadap perempuan. Melihat seorang perempuan sepertinya selalu mengingatkan Galang tentang sang ibu yang selalu menyiksa nya. Dan hal tersebut membuat Angga  jauh lebih tersiksa. Melihat putra semata wayang nya seperti itu tentu Angga  begitu sedih.

.

.

.

Naraya  berjalan bersama teman teman nya sepulang sekolah. Saling merangkul dan sesekali mengobrol ala anak anak kecil.

"Naraya. Bagaimana dengan pernikahan Mama mu...?"

Naraya  yang berjalan di tengah tengah temannya menghela napasnya. "Tidak tahu Melisa, Abim..." Naraya  merengut membuat kedua temannya merangkul nya.

"Cari tahu dong Raya ... Bukannya Raya ingin cepat punya Papa ..."

"Benar... Raya harap mereka segera menikah..."

"Hmmm. Aku mendukung mu... Saat pernikahan Mama mu nanti, pastikan keluarga ku di undang ya Raya ... Aku ingin makan banyak makanaaan..."

"Abim... Pikiran mu hanya makanan yaah..."

.

.

.

"Mama Raya pulang~ eoh ada Papa  Angga juga! Halo Papa "

Naraya menyapa dengan sopan saat melihat Papa Angga berada di rumah nya.

"Hai Raya. Pulang dengan siapa?" Tuan Angga menghampiri Naraya dan memangku anak itu. Tidak bertemu beberapa hari dengan putrinya Hana yang lucu ini ternyata membuat nya kangen juga.

"Dengan Melisa dan Abim, Papa ..." Naraya  tersenyum. Begitu senang saat melihat calon Papa nya berkunjung setelah beberapa hari tidak bertemu. Angga lalu mendudukan Naraya di sofa sementara Hana mengambil minuman untuk putrinya.

Naraya lalu memandang bergantian dua orang dewasa di samping kiri dan kanan nya. "Emmm... Mama, kapan kalian menikah nya? Bukankah seharusnya minggu ini yaaa... Apa Papa Angga tidak jadi buat jadi Papa nya Raya?"

Angga tersenyum. "Tidak Raya... Papa  Angga sedang ada sedikit masalah. Makanya pernikahan nya ditunda."

"Masalah? Masalah apa? Mungkin Raya bisa bantu Papa Angga. Agar kalian cepat nikah nya dan Raya bisa pamer Papa kalau pergi sekolah..."

"Ya ampun, jadi itu alasan Raya ingin kami segera menikah eoh?" Hana mencubit gemas pipi tembam putrinya.

"Mama~"

Angga merasa sedikit bersalah pada Naraya .

"Maaf Raya. Tapi saat ini Papa sedang mengurus Kakak nya Raya yang sedang sakit. "

"Kakak? Raya punya Kakak Mama?"

"Emmm... Namanya Galang . Tapi saat ini sedang sakit. Makanya pernikahan Mama dan Papa  diundur. Tidak apakan sayang?"

"Tidak apa. Tapi Raya ingin liat Kakak . Bolehkah Papa ?"

"Emmm... Nanti yah, kalau Kakak nya sudah sembuh. Kakak akan bertemu dengan Raya..."

"Tapi Raya  pengen jenguk Kakak~"

"Tidak apa-apa kan Mas? Naraya akan terus merengek sebelum keinginan nya terpenuhi."

"Baiklah. Nanti Raya ikut Papa yah...?"

"Iya! Makasih Papa ..."

.

.

.

Angga kembali ke rumah sakit. Kali ini bersama Naraya yang dia gendong. Naraya benar-benar memaksa ingin ikut. Jadi Angga membawa putri Hana itu untuk menemui Galang .

Angga lalu memasuki kamar rawat Galang . Angga menghela napasnya lega saat melihat Galang  tengah tertidur. Angga  takut saja jika Naraya  jadi takut bila melihat Galang .

Naraya langsung turun dari pangkuan Papa Angga dan menghampiri ranjang Galang . Sedikit menjinjit untuk bisa melihat Kakak baru nya itu.

"Papa... Ini Kak Galang?"

Angga mendekat dan menganggukkan kepalanya.

"Emmm... Kak Galang sedang sakit. Jadi Raya harus doakan agar Kakak  cepat sembuh yah..."

Naraya menganggukkan kepalanya semangat dan kembali memandang Galang .

Seorang perawat lalu memasuki ruangan Galang  dan memandang Angga.

"Tuan Angga ?"

"Iya ."

"Dokter Denis berkata jika Tuan Angga datang. Anda harus menemui nya. Beliau bilang ada yang harus di bicarakan."

Angga mengangguk. Lalu memandang Galang dan Naraya. Mungkin tidak apa meninggalkan Galang dan Naraya karena Galang sedang tidur.

"Naraya. Tunggu sebentar disini ya. Papa ingin menemui dokter dulu."

"Iya Papa."

.

.

.

"Kakak sebenarnya sakit apa? Kenapa harus diikat begini~ cepat sembuh ya Kakak, biar bisa main sama Raya Hehe..."

Naraya tersenyum. Begitu senang jika dia bisa memperlihatkan pada temannya jika dia punya Kakak juga Papa baru.

"Kalau Raya punya Kakak, Raya juga pengen pamer. Jadi, Kakak harus cepat sembuh yaah..."

"Tidak.... Tidak~ jangan memukulku Kumohon ~" Galang nampak menggelengkan kepala nya. Tidurnya terlihat tidak nyenyak. Terlihat begitu resah membuat Naraya kembali mendekat.

"Aku takut Papa ~" Naraya  berjinjit agar bisa mengusap kepala Galang. Itu yang selalu dilakukan Mama nya jika dia mendapatkan mimpi buruk.

"Kakak... Tidak apa-apa, jangan takut Kakak..."

Galang terbangun dari tidur nya. Napasnya memburu karena mimpi buruk yang dialami nya. Memandang sekelilingnya. Dia masih di tempat yang sama. Ranjang rumah sakit, serta kedua tangan dan kakinya yang diikat bagaikan penjahat. Namun Galang mengerutkan dahinya saat melihat seorang bocah kecil yang berdiri di dekat ranjang nya. Bocah itu nampak mengerjapkan kedua matanya pelan. Namun saat Galang melihat dengan tatapan tajamnya, bukannya takut bocah itu malah tersenyum dengan wajah polos nya. Membuat Galang  agak tenang karena bukan perawat atau pun dokter yang dipikir nya juga menyakiti nya yang berada di ruangan nya.

Naraya tersenyum melihat Galang  Kakak nya yang nampak lebih tenang. Naraya lalu menepuk lengan Kakak  nya itu.

"Bi- bisakah kau melepaskan ikatan ku? Ini sakit..." ucap Galang dengan suaranya yang serak.

"Oh? Ini sakit? Baiklah Raya bantu membuka nya yaah..."

Naraya menuruti kemauan Kakak baru nya itu. Membuat Galang tersenyum karena tingkah bocah didepan nya ini. Juga senang karena dia tidak diikat lagi seolah dirinya adalah penjahat. Setelah Naraya melepaskan ikatan di tangan Galang, Galang mendudukan dirinya dan memandang bocah itu lagi.

"Siapa kau? Dan kenapa berada di ruangan ku?"

Naraya tersenyum begitu manis. "Kak Galang. Perkenalkan, nama ku Naraya Aletha. Aku, adalah adikmu Kakak ."

Galang mengerutkan dahinya meIya ngar penuturan bocah itu. "Naraya? Adikku?"

Naraya, Bocah 7 tahun itu nampak menganggukkan kepalanya antusias. Galang tertegun melihat senyum serta bola mata polos yang begitu indah itu. Untuk pertama kalinya Galang merasa tenang hanya dengan melihat bocah kecil yang mengaku sebagai adiknya. Galang  tersenyum melihat wajah polos tanpa beban itu, lalu dengan cepat memeluk tubuh kecil Naraya. Adiknya. Menurut nya tidak pernah ada yang mengerti dirinya. Ibunya hampir membunuh nya namun mereka malah menambah ketakutan nya dengan mengisolasi nya di tempat ini sendirian. Jujur saja, Galang takut sendirian.

"Wanita itu menakutkan... Aku benci, aku benci wanita itu!"

Naraya  nampak tidak mengerti. Namun saat ini yang dia lakukan hanya mencoba menghibur Kakak nya yang sedang sakit. Dan kedatangan bocah kecil yang mengaku adiknya ini membuat nya merasa lebih nyaman.

"Jangan sakit terus Kakak. Jika Kakak takut, Kakak  punya Raya... Jangan takut." ucap Naraya  sambil menepuk lengan Galang .

Mendengar ucapan itu. Galang semakin merasa nyaman. Ucapan gadis kecil itu benar-benar membuat nya tenang.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!