NovelToon NovelToon

Hamil Dengan Tunangan Orang

Malapetaka

"Jangan pernah melakukan perbuatan bodoh yang akan membuatmu menyesal selamanya hanya karena kesal sementara." -unknow-

"Gue butuh minum," ujar Della. Namun sesaat kemudian dia harus menelan ludah kasar saat bertemu pandang dengan tubuh-tubuh yang menari bebas sambil berdempetan diiringan musik upbeat keras yang menerpa gendang telinganya. Keringat, dan parfum bercampur padu dengan aroma minuman keras yang kuat. Merebak memenuhi indra penciumannya, membuat perutnya bergejolak seketika. Kepalanya sudah berputar dia bahkan belum memulai untuk memulai meminum minuman pertamanya dan perasaan ragu tiba-tiba menyerang. Dia takut membuat kesalahan.

Dress merah ketat yang digunakannya kali ini terasa seperti vakum. Menyedot oksigen dari tubuhnya. Membuatnya cepat mengeluarkan keringat, bahkan heels enam inci yang dikenakannya sudah membuatnya sakit punggung. Tetapi dia tetap berusaha menjaga posturnya tetap lurus. Perempuan itu mengerang saat seseorang lewat dan dengan sengaja menampar pantatnya, membuatnya melongo tidak percaya.

Dia tidak menikmati ini sama sekali!

Mungkin, menghabiskan waktu di rumah dengan pacar menjadi pilihan terbaik daripada harus menerima pelecehan seperti yang dialaminya sekarang. Memang benar ini club dan cara berpakaiannya juga yang kelewat sexy memberi kesan 'mengundang' dan pastinya semua orang juga berpikiran sama karena komentar sinis dan pandangan tajam dari pengunjung lain disampingnya yang tampak meremehkannya, tidak ada kesan ramah. Padahal mereka semua juga berpakaian sexy dan tidak jauh beda dengannya. Dia memutuskan untuk menenangkan diri, dengan segera perempuan itu berajak meninggalkan area ramai dan berlari ke arah toilet. Beberapa pria yang dilewatinya menatapnya dengan pandangan yang dipenuhi nafsu, mata mereka memandang lekat tubuhnya secara terang-terangan. Menjijikan.

Sesampainya disana dia menemukan sekumpulan orang tampak berkumpul didepan pintu toilet, karena sudah tidak tahan dengan tatapan dari mereka Hana segera menerobos masuk, menghela nafas lega saat suara bising dari club berkurang, dan amat bersyukur mengetahui tidak ada seorang pun di kamar mandi.

Perempuan itu menatap penampilannya di cermin, rambut ash blue yang biasanya diikat ponytail kini terurai dengan curly dibagian ujungnya. Wajahnya dipoles dengan makeup, alisnya digambar dengan warna gelap yang sangat tidak cocok dengan kulitnya, eyeshadow smokey berhasil menyembunyikan warna abu-abu dimatanya. Makeup diwajahnya pun tampak sangat buruk, tidak sesuai dengannya. Dia bahkan tampak seperti pelacur yang rela menjajakan tubuh demi sepeser rupiah. Di saat semua orang berlomba untuk mempercantik diri Hana malah melakukan hal yang sebaliknya.

Menghela nafas perlahan kembali. Della kemudian melangkah menuju pintu, memutuskan bahwa dia akan pulang, moodnya sudah berantakan dan niat untuk menjadi wanita liar sudah tidak ada.

Langkah kakinya teramat cepat dia ingin segera meninggalkan club namun saat ingin menuruni tangga dia menabrak sosok besar. Dengan cepat Hana melangkah mundur menjaga posisi tubuhnya tidak jatuh dan hendak meminta maaf segera. Namun niatnya urung kala dia berhasil menatap sosok tersebut, pria tampan dengan perawakan tinggi yang membuatnya nampak kerdil, untung saja tangga yang dipijakinya cukup menyamarkan kemungilannya.

Sosok tersebut menjulang dihadapan Hana, mata hitam gelapnya tegas dan tajam. Rambutnya hitam legam dan sedikit di buat bervolume lembut, wajahnya yang menawan dengan rahang tegas bahkan dapat membuat pisau cukur tampak kusam jika disandingkan. Was a hottie man.

"Uhm- oh, ma ... maaf maaf." Della tergagap. Kemudian merutuki diri karena terdengar bodoh dihadapan pria tampan.

Pria itu balas tersenyum tipis, memperlihatkan lesung pipit di pipinya.

"Harusnya gue yang minta maaf," ujarnya. Nadanya lembut meski dengan deep voice.

Della ikutan tersenyum, perempuan itu terlalu grogi sampai tidak tahu harus melakukan apa.

"Can, I buy you a drink?"

Dia berkedip, memastikan jika pendengarannya masih berfungsi dengan baik. Dia tidak percaya jika pria tampan ini mengajaknya untuk minum bersama.

"Jadi?" Pria itu kembali bertanya seraya menaikkan salah satu alisnya.

Tubuh Della tersentak mendengar suaranya. Perempuan itu menggelengkan kepala mencoba mengembalikan akal sehatnya yang sempat tercecer. "Um.. ya. Okay."

Della menyetujui ajakan pria tersebut sembari menyunggingkan senyum kecil. Kesempatan langka yang mungkin tidak akan datang untung kedua kalinya.

Pria itu melangkah mendahuluinya, menuntunnya seraya menarikkan kursi di counter bar untuknya. Tipikal the real cassanova.

"Makasih," ujar Della seraya mendudukan pantatnya dikursi.

"Lo mau minum apa?" suara pria itu amat lembut. Bahkan senyumnya yang tersungging sedari tadi tidak luntur sama sekali.

Ardella cukup ragu menjawab. Dia bukan tipikal manusia yang tidak benar-benar minum, saat menghadiri acara formal yang memang menyediakan champagne kadang dia juga ikut mencicipi. Namun kadang kala perempuan itu lebih memilih untuk meminum jus karena kadar toleransinya terhadap alhokol amat buruk. Jadi jika ditanya tentang minuman tentu saja dia tidak tahu jenis mana yang sebaiknya dia pilih. Tapi untuk sekarang dia tidak ingin terlihat cupu. "Vodka," ujarnya pasti.

Itu adalah minuman pertama yang terlintas dibenaknya karena sahabatnya amat menyukai minuman tersebut. Dan bodohnya Della dia tahu jika kandungan alkohol dalam vodka cukup besar.

"Woah." Pria itu menunjukan ekspresi yang kelewat kaget pada pilihan Della. "Nice choice. Kayanya gue juga harus mesen minuman yang sama, " ucapnya sambil memesan minuman tersebut kepada bartander, dalam hitungan detik minuman mereka sudah disiapkan.

"Makasih," ujarnya sekali lagi. Ragu-ragu dia mengambil gelas tersebut dengan tangan yang bergetar. Merasa diperhatikan Della juga ikut menatap pria itu sejenak dan kembali fokus pada gelasnya. Dia meringis dan memejamkan mata erat saat rasa vodka menyentuh indra perasanya.

Dia meludahkan minuman yang menurutnya sangat aneh tersebut, terkejut karena rasanya tidak sesuai expetasi. Rasa panas menjalar di tenggorokan Della membuat dia mengernyit dan mengedipkan mata beberapa kali.

Pria disampingnya terkekeh. "Bentar lagi lo bakal terbiasa sama rasanya." Dia meyakinkan masih dengan senyum andalannya yang menurut Della memang senjata maut untuk memikat para wanita.

"Gue bakal coba sekali lagi. Tapi kayanya gue cocok sama rasanya," Ucapnya. Entah kenapa dihadapan pria ini dia teramat patuh.

Dia kembali memesan minuman yang sama, dan pria itu terkekeh kembali melihat reaksi Della yang masih tetap sama seperti sebelumnya.

***

Saat merasa Della sudah hampir kehilangan kewarasannya, pria itu mendekat berbisik ditelinga Della seraya menghembuskan nafasnya lembut yang membuat Della bergidik seketika. "Mau keluar dari sini? Hm?"

Della tersenyum mendengar tawaran dari pria asing tersebut. Dia masih cukup sadar dan tahu apa yang akan terjadi selanjutnya jika dirinya mengiyakan ajakan pria itu, sebagian dari dirinya melarang untuk mengiyakan ajakannya.

Della merasa harus tetap waras. Dirinya memiliki pacar jika dia berani having sex dengan orang lain sama saja dia berselingkuh meski beberapa minggu terakhir ini hubungan mereka tidak jelas dan merenggang. Dia sendiri bahkan tidak tahu kapan terakhir kali mereka berhubungan seks.

Tapi ternyata otak dan bibirnya tidak singkron, dengan berani dia malah mengalungkan tangannya dipundak pria asing tersebut yang tentu saja diartikan jika dia setuju pria itu membawanya keluar. Toh tujuannya datang ke sini memang untuk bersenang-senang.

Pria itu berdiri dan memegang tangannya, membawanya keluar dari club. Dalam waktu singkat Della merasa tubuhnya melayang. Dia dibaringkan di atas ranjang empuk yang besar. Kemudian ciuman panas mengalir di tubuhnya. Dia tidak munafik dia amat menikmati ciuman tersebut sampai berani menutup mata untuk bersiap menerima kenikmatan yang lain.

"Lo yakin nggak bakal nyesal?" Pria itu bertanya, meyakinkan sebelum kembali melanjutkan malam panas mereka karena bagaimana pun juga Della sedang tidak dalam kondisi sadar.

"Gue bakal langsung nolak kalo emang nggak mau," suara renyah Della yang sedang berbisik malah memancing fantasi liar pria tersebut. Tanpa ragu pria itu kembali melanjutkan aktivitas yang sebelumnya terhenti, mengecup beberapa titik sensitif Della sambil meninggalkan banyak kissmark. Della mengerang saat pria asing itu bermain-main disekitar lehernya. Dalam beberapa menit, mereka berdua sudah menanggalkan pakaian, ciuman pun semakin intens karena nafsu yang sudah tak terbendung. Malam itu merupakan pembuka kisah baru yang berliku.

Masalah Pertama

"Maafin saya Della. Saya udah nggak bisa lagi mempertahankan kamu di sini," kalimat yang diutarakan Pak Damar atasnya membuat Della menatap tidak percaya, bahkan sampai ternganga saking terkejutnya.

"A-pa!? Tapi kenapa?" tatapan matanya menuntut penjelasan dari pria yang sudah menjadi atasannya selama bertahun-tahun tentang keputusan sepihak yang diterimanya.

"Karena ini," ungkap pria tambun tersebut seraya mengeluarkan tablet dari laci mejanya dan menyodorkan sebuah laman yang memuat artikel. Dan sontak saja hal yang dilakukan pria itu mengundang tatapan bingung Della.

"Apa hubungannya artikel yang bapak tunjukin sama pemberitahuan tentang pemecatan saya yang secara sepihak ini?" Della bertanya kesal.

Pak Damar yang mulai jengah pun hanya bisa menaikan sebelah alisnya sambil menyenderkan punggunya dikursi. "Coba kamu perhatikan artikel ini baik-baik."

Della menatap tablet tersebut dan berfikir jika artikel tersebut tidak cukup penting. Dengan malas dia mencoba meneliti foto yang menjadi headline news dan terkejut saat menemukan foto dirinya yang tengah berciuman panas dengan pria yang ditemuinya di club minggu lalu. Kepala Dela terasa pening seketika. Dia terlihat mengerikan di sana. Dengan make up aneh yang malah membuatnya terlihat tua. Harusnya dengan penampilan yang seperti ini pihak kantornya tidak bisa mengenalinya tapi kenapa atasannya malah mengenalinya?

Della meruntuki kesialannya. Padahal dia yakin malam itu mereka singgah di hotel yang menjamin keamanan pengunjungnya. Dan rasa terkejutnya semakin bertambah kala dia membaca judul headline news. Pantas beritanya senter ternyata dia berhubungan seks dengan salah satu pengusaha paling berpengaruh di ibukota. Dan lebih parahnya lagi pria itu sudah bertunangan dengan Sindya Putri. Siapa yang tidak kenal Sindya. influencer dengan satu juta followers sekaligus putri tunggal pemilik RD ent. Salah satu rumah produksi film yang banyak mengeluarkan film-film bagus.

Della tiba-tiba merasa sesak. Air matanya mulai menggenang dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa ...

Lamunan Della terhenti saat Pak Damar membuka suara. "Saya nggak bisa ngebiarin perusahaan yang sudah susah payah saya bangun harus ikut tercoreng karena ulah kamu. Pekerjaan kamu memang bagus. Saya akui. Kamu juga menguasai banyak bidang. Tapi Dela, perusahaan saya cuma perusahaan berskala kecil yang nggak bakal bisa bertahan kalau terkena skandal. Vendor-vendor yang kita punya juga masih baru. Mereka belum sepenuhnya percaya sama kita. Sekali lagi maafin saya Dela. Kamu bisa mulai beres-beres barang kamu sekarang. Jangan lupa mampir ke HRD buat ambil pesangonmu."

Della tersentak mendengar keputusan akhir dari pak Damar. Air mata yang ditahannya sedari tadi tiba-tiba merembes keluar. Meski cukup kecewa dengan keputusan sepihak ini tapi dia tidak mencoba membela diri atau pun menentang. Yang dia pikirkan saat ini hanya menyesali kebodohannya. Jika saja dia tidak terlena dengan ketampanan pria itu pasti hal ini tidak akan terjadi.

Della kembali ke kubikelnya. Membereskan barang-barangnya ditemani tatapan penuh ingin tahu dan bisikan-bisikan yang penuh gosip dari rekan kerjanya. Padahal dia dapat mendengar semua apa yang mereka katakan apa susahnya bertanya secara langsung padanya dari pada berbicara di belakang. Pengecut.

***

Abid menatap tidak percaya artikel yang terpampang di hadapannya. Wajahnya memerah karena menahan emosi. Bahkan bola mata hitamnya tampak tajam saat membaca judul headline news tentang dirinya yang menjadi tranding topik.

"RINATA!!!" Abid memanggil sekretarisnya dengan nada tinggi melalui interkom.

"I- iya. Pak." Rinata tergagap. Suaranya bergetar. Terkejut mendapat panggilan tak terduga di jam-jam santainya.

"Masuk ke ruangan gue sekarang!" suara Abid menggeram. Pria itu terdengar amat kesal.

Dalam satu menit sekertarisnya itu sudah berdiri tepat di seberang mejanya. Menyaksikan sendiri bagaimana raut mengerikan dari wajahnya.

"Jelasin ke gue maksud dari artikel ini." Dia mencibir. Melemparkan tabletnya ke arah gadis itu yang dengan sigap gadis itu tangkap dan melirik isinya.

"M-a.. ma-af pak. Saya nggak tahu kalau ada berita tentang bapak hari ini. Terus apa yang harus saya lakukan untuk perusahaan ini?" suara Rinata terdengar serak, menandakan sekali jika dia takut terkena amukan dari Abid.

"Tugas lo cari tahu semua tentang perusahaan yang nerbitin artikel ini. Jangan ada yang kelewat sedikit pun. Kasih mereka pelajar," serunya dengan emosi yang meluap.

Gadis itu mengangguk paham dan segera berbalik meninggalkan ruangan Abid. Kalimat pria itu ultimatum yang sangat mengerikan, berani bermain-main dengannya dia akan membalas berkali-kali lipat lebih kejam.

Meski yang diberitakan diartikel tadi tidak sepenuhnya salah tapi jika dibiarkan akan berimbas pada nilai saham. Dan juga akan membuat hubungannya dengan Sintya merenggang. Meski hubungan mereka lebih seperti partner bisnis. Lagi pula wanita yang disebutkan didalam artikel itu bukan selingkuhannya hanya teman kencan satu malam. Dia akui wanita itu memang luar biasa di ranjang dan menurut Abid malam itu benar-benar malam dengan seks terbaik yang pernah dia dapatkan. Sayangnya wanita itu tidak cukup cantik dan menarik, wajahnya terlihat tua dengan make-up yang berlebihan dengan riasan mata smokey eyes. Dia tidak tahu apa yang membuatnya tertarik mungkin karena tubuh yang berisi ditempat yang semestinya.

***

Tiga bulan telah berlalu dan Della masih tetap berada di apartmennya. Dia masih kesulitan menemukan kantor yang mau menerimanya. Apa mungkin karena karma? Atau dia telah menjadi danger woman yang diblacklist disemua perusahaan? Memikirkannya saja membuat dia pening seketika. Dia benar-benar menyesali kebodohannya.

Pengangguran dan tidak memiliki kesibukan membuat Della terkurung dan tidak bisa melakukan apa-apa. Dia menjatuhkan diri di sofa dan masih meratapi nasib dan kenyataan tentang dia yang telah kehilangan pekerjaan karena tindakan bodoh paling memalukan yang pernah dia lakukan dalam hidupnya. Dia ingin menangis tapi deringan ponsel miliknya memaksanya untuk menunda kegiatan mellownya.

Dia mengernyit saat menemukan sebuah nomor yang tidak dikenal.

"Halo." Dia menjawab dengan malas.

"Iya, halo. Apa benar ini dengan Ardella? Saya Dr. Tya," ucap suara dari sebrang.

Della tiba-tiba merasa gugup dengan apa yang akan dr. Tya katakan. Beberapa waktu yang lalu dia merasa kurang enak badan dan sering sekali merasa mual. Karena takut magh yang dideritanya semakin parah dengan inisiatif yang tinggi dia memeriksakan diri ke dokter dan meminta agar hasil pemeriksaanya dikirim melalui e-mail atau telfon. Dia miskin dan tidak boleh sakit karena masih harus mencari pekerjaan untuk menghidupi dirinya.

"Iya Dokter, dengan saya sendiri." Della menanggapi dengan sigap.

"Jadi menurut hasil pemeriksaan dan tes darah kemarin. Kelihatannya anda hamil," kalimat Dokter Tya membuat napas Della tercekat seketika, tubuhnya tiba-tiba mendadak kaku dan otaknya masih berpacu memahami apa yang diucapkan oleh Dokter tersebut.

"Hamil? Nggak mungkin Dok. Apa hasil tes saya ketukar? Coba dokter periksa lagi nama pasiennya."

"Nggak salah Ardella. Ini benar hasil tes kamu. Buat lebih jelasnya kamu bisa tes mandiri di rumah menggunakan testpeck. Tapi hasil tes dari lab udah dipastikan akurat dan kamu positif hamil."

Dia masih terdiam, berdebat dengan pemikirannya. Bagaimana bisa dia melupakan fakta soal ini. Seharusnya dia cukup teliti soal siklus bulananya, tapi tidak aneh jika dia sampai tidak sadar karena akhir-akhir ini dia cukup stress dengan masalah hidupnya. Kehilangan pekerjaan dan juga perpisahannya dengan Rion yang tidak berakhir baik menjadi salah satu pemicunya.

Dia menutup mulutnya tidak percaya.

Abid Pranadipta, dia ayah dari bayi yang dikandungnya.

Setelah satu jam menangis dan meruntuki kesialannya karena terlibat dengan pria asing, Della berakhir dengan menelfon Risa sahabatnya. Dia butuh teman curhat dan solusi untuk masalahnya.

Reaksi Risa sesuai dugaan, wanita itu juga sama terkejutnya.

"Kok bisa? Lo beneran hamil?" Risa mencerca dengan pertanyaan dan mata yang melebar.

"Mhm," kata Della, dia terisak di bahu Risa.

"It's okay. Everything will be fine." Risa menghibur seraya mengusap pelan pundak Della.

"Gue nggak bisa tenang. Coba lo ada diposisi gue. Gue pengangguran, dan sekarang gue hamil," isaknya, "sialan! Padahal gue udah nahan diri biar nggak shoping online sembarangan supaya uang gue cukup sampai gue dapat kerjaan. Tapi apa ini? Shit. Mana bokapnya si bayi susah dijangkau lagi," serunya sambil meratap.

"Wait. Maksud loe gimana? Bukannya udah jelas siapa bokapnya. Ini anaknya Rico, kan?"

Hubungan yang terjalin antara Della dan Rico memang sudah berjalan lama. Jadi, bukan hal yang aneh jika mereka sampai melewati batas.

"Bukan si Rico bokapnya," katanya pelan.

"Maksud loe apa?" Mata Risa membelalak tidak percaya. Sahabatnya tidak mungkin bermain apa dengan pria asing, kan?

Della menatap Risa dengan mata yang berkaca-kaca. "Loe kan tahu gue sama Rico udah putus." Dia mendengus kesal.

"Tapi kalian kan sering having sex, udah pasti dia bokapnya."

Della diam sejenak. Memikirkan cara bagaimana menjelaskan pada Risa. Della memang sudah menceritakan tentang dia yang dipecat. Tapi soal dia yang tidur dengan Abid belum dia ceritakan.

"Woi Della. Dia anaknya Rico, kan?" ujar Risa sambil menepuk pundaknya.

"Kan udah gue bilang Rico bukan bokapnya." Della mendengus. Sepertinya dia memang harus bercerita. "Gue sama Rico udah renggang lama. Terus gue ke club buat nenangin diri karena Rico sering hilang. Soal skandalnya Abid Pranadipta lo tahu? Gue cewek itu makannya gue dipecat."

"Wah. Loe gila ya?"

Della segera mengambil ponsel dan menunjukkan sebuah artikel berisi skandal tentangnya dan Abid.

"Kenapa ceweknya norak? Ini di klub mahal itu, kan? Dia nggak malu sama penampilan anehnya, ya?" kalimat tajam Risa benar-benar melukai nurani Della. Dia kembali berujar. "bukannya dia tunangannya Sintya? Ini pengusaha yang punya mall banyak itu, kan? Kenapa seleranya jomplang?"

Della memutar matanya malas. "Coba perhatikan baik-baik siapa cewek itu."

"Memangnya dia siapa? Eh, sebentar, bukannya ini loe. Kenapa penampilan loe begini? Nggak malu?" teriakan histeris yang keluar dari bibir Risa malah membuat Della berdecak kesal.

"Fokus Risa. Gue tahu gue nggak pinter make up. Nggak usah diperjelas. Mending baca artikelnya."

"Kayaknya gue tahu apa yang terjadi tanpa baca artikel loe. Jadi yang dimaksud ini elo?" serunya sambil menutup mulut. Ekspresi terkejutnya sampai dibuat-buat.

"Muka loe ngeselin. Terus gue mesti gimana?"

"Loe mesti kasih tahu Abid soal anak yang loe kandung," katanya. Dia mengangkat bahunya acuh.

"Loe gila. Gue udah dicap selingkuhan. Dia juga punya tunangan."

"Terus loe nggak mau kasih tahu? Loe pengangguran dan anak yang loe kandung butuh biaya juga. Kecuali loe mau menggugurkan kandungan loe."

"Anak gue nggak salah kenapa harus digugurin? Gue bakal rawat anak gue sendiri. Gue bakal cari kerja," ujarnya dengan wajah yang berseri-seri.

Sedangkan Risa hanya mendengus kesal. Mungkin karena hamil jadi mood Della jadi ikut berubah-ubah. "Jangan ngomongin hal yang mustahil. Sampai sekarang aja loe masih pengangguran. Listen beb, Abid mesti tahu soal anak ini," sarannya.

"Loe harusnya mikirin keadaan gue. Sebenarnya loe teman siapa, sih?"

"Gue teman loe makannya gue ngomong kayak gini. Loe nggak boleh jatuh sendiri. Si Abid mesti tanggung jawab karena anak ini hasil dari kebodohan loe berdua."

"Tapi ... "

"Dengarin saran dari gue. Besok loe harus ketemu sama Abid. Loe harus ngomong semuanya."

Bertemu Lagi

Setelah mencoba berpikir berkali-kali. Menimbang keputusan apa yang harus diambilnya. Akhirnya Della memilih untuk memberitahu Abid Pranadipta soal kehamilannya. Peduli setan soal label pelakor yang tersemat pada dirinya karena yang dibutuhkannya saat ini adalah bantuan finansial dari papa calon anaknya sampai dia menemukan perusahaan yang mau menerimanya.

Dia menelan ludah kasar saat menatap bangunan besar yang menjulang di hadapannya. Gedung pencakar langit yang tingginya sulit untuk dihitung sejauh mata memandang yang membuatnya merasa tidak pantas untuk sekedar singgah. Gedung dihadapannya ini merupakan salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Indonesia yang tentu saja untuk sekedar berkunjung ke kantornya harus memiliki izin dari pihak keamanan.

Della mencoba menenangkan diri dari tamparan kenyataan. Menghela napas perlahan dan mulai melangkah ke dalam. Perutnya bergejolak efek gugup yang melanda. Tidak dipungkiri memang karyawan perusahaan besar terlihat sangat berbeda level kehidupannya. Mereka tampak borjuis dengan sepatu mengkilat merk ternama yang setiap kali diayunkan saat melangkah mengeluarkan bunyi yang konstan, pakaian mereka dijahit rapi, dan tatapan penuh percaya diri terpancar dari diri mereka.

Beberapa orang yang berlalu-lalang menoleh kearahnya membuat Della merasa risih. Dia berbalik menatap dinding kaca yang dapat menampilkan potret dirinya secara keseluruhan. Celana jins yang sudah kusam, dengan t-shirt putih ditutupi sweater donker yang digunakannya malah menambah kesan miskin untuknya. Tidak mau terlalu ambil pusing dia segera melangkah mendekat ke meja receptionis yang diisi wanita berambut gelap dengan potongan bob itu memincingkan matanya.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya tetap dengan ekspresi wajah menjengkelkan.

Della tahu tipe wanita seperti ini merupakan seorang penjilat. "Apa ada yang namanya Abid Pranadipta di sini?"

Wanita itu mengernyitkan alis tampak tidak suka.

"Iya ada. Beliau yang punya perusahaan sama gedung ini. Ada apa?"

"Saya ingin bertemu, bisa?"

"Udah buat janji belum? Pak Abid itu sibuk. Kalau belum buat janji mending pulang."

Della mencoba bersabar menghadapi wanita mengesalkan itu, dia tidak ingin mencari ribut dan berakhir terusir dari sini.

"Bisa kasih tahu nggak di mana ruangan pak Abid? Kalau nggak nomor lantainya aja."

"Udah buat janji belum?" desaknya tidak puas. Mungkin Della terlihat seperti penganggu di mata wanita itu.

Dia menggosok pelan tengkuknya, rasanya emosinya sudah tidak dapat ditahan.

"Dengar ya mbak. Saya kesini nggak mau cari ribut. Mbak tahu ruangannya apa nggak?" Giginya sampai bergemeletuk saking emosinya.

Wanita itu menatap marah padanya tapi tetap memberitahu letak lantai dimana Abid berada, "Lantai sepuluh," ucapnya sambil berteriak. Membuat pandangan orang-orang beralih menatap aneh pada mereka.

Della menyeringai puas saat wajah wanita itu memerah karena malu. Dia menatap intens wanita itu seraya berkata. "Gaya rambut lo bagus mbak."

Bibir wanita itu sedikit berkedut menahan senyum. Dengan perlahan dia merapikan rambutnya yang tidak berantakan sama sekali, "Makasih," suaranya tidak ramah tapi terselip rasa puas.

"Iya. Favorite nenek saya!" Dia menyeringai sambil berjalan pergi setelah mengucapkan kalimat tersebut. Della dapat mendengar umpatan yang dilontarkan wanita itu saat dia menjauhi receptionis.

***

Della terdiam menatap iri para karyawan yang berjalan dihadapannya. Dia masih meratapi kesialannya karena menjadi pengangguran dalam kurun waktu yang lama. Suara dentingan lift membuat kesadarannya kembali dia segera masuk dan menekan lantai 10. Lantai dimana Suttan Askara berada kata reseptionis tadi. Meski mall dan perusahaan berada disatu gedung tapi hal itu sering mengecoh karena mall ini juga berada satu gedung dengan hotel diatasnya.

Lift yang hanya berisi tiga orang termasuk dirinya itu sangat sunyi. Kesunyian yang makin membuatnya gugup dan memikirkan banyak kemungkinan buruk yang akan terjadi nanti padanya. Dia ikut tersentak saat dering ponsel berbunyi, semua orang yang berada dalam lift menatapnya tidak suka merasa terganggu dengan canggung dia mencari-cari ponsel miliknya didalam handbag.

Nama Risa muncul di layar saat dia berhasil menarik keluar ponselnya.

"Kenapa, Ris?" bisiknya.

"Lo udah sampai?" Celline bertanya. Suaranya terdengar kencang mengisi lift yang sepi.

Dengan gugup dia melirik orang-orang yang sudah acuh dengan kehadiranya seraya berbisik kembali. "Gue udah nyampai tinggal ketemu dia aja."

"Bagus-bagus. Jangan pulang sebelum loe berhasil ngomong tentang anak yang lo kandung ke dia," ujar Risa memperingati.

Semua mata kembali menatap ke Rachel kali ini pandangan mereka lebih intens karena meneliti dari ujung kepala sampai kaki. Dia ingin menghilang dari tempat ini.

"Iya!" bisiknya kasar. "Nanti gue telfon lagi," katanya sambil mematikan sambungan telfon sepihak. Entah kenapa perjalanan menggunakan lift terasa semakin lama.

Lift berhenti dilantai 6. Penghuni yang tadi menatapnya intens keluar berganti dengan seorang pria tua dan pria muda yang sepertinya seumuran dengan Rachel atau malah lebih muda. Dia tidak tahu.

"Hai." Seseorang menepuk pundaknya membuat Rachel berbalik dan mendapati pria yang sepantaran dengannya tengah tersenyum ramah.

"Iya, hai." Della tersenyum menghilangkan kegugupan.

"Gue baru pertama kali liat loe di sini," katanya dengan suara lembut.

Kenapa pria tampan yang dia temui selalu bersuara lembut?

Della berdehem pelan. "Gue cuma mau ketemu orang disini." Dia menjelaskan singkat.

"Kirain ... "

Della mengangguk, dan kembali fokus ke depan. Lift berhenti lagi dan pria tua itu keluar.

"Emang lo mau ketemu siapa?" Pria itu bertanya. "Mana tahu gue kenal?"

Della tersenyum sopan untuk membalas, "Nggak usah. Makasih," Katanya berusaha sopan agar tidak terdengar kasar karena menolak niat baik seseorang.

Dia menggaruk kepalanya kecil seraya tertawa, "Oke. Nggak masalah, mudah-mudahan cepat ketemu ya."

Della tersenyum dan berbisik mengucapkan terima kasih saat pintu lift berdenting dan terbuka.

"Makasih. Nice to meet you," ucap Della seraya melangkah pergi. Namun langkahnya terhenti saat pria itu memanggilnya.

"Gue boleh tau nama lo nggak?"

Della ragu untuk sesaat. "Della," ujarnya sambil berlalu.

"Nama lo bagus, " teriaknya. Yang membuat Della ikut terseyum.

***

"Saya ingin bertemu dengan Bapak Abid Pranadipta," kata Della pada seorang wanita berkacamata yang duduk di depan ruangan.

Wanita itu tersenyum hangat. "Maaf dengan siapa? Apakah sudah membuat janji sebelumnya?" Dia bertanya dengan suara lembut.

"Em- belum. Tapi saya cuma mau bicara sebentar."

"Maaf sebelumnya tapi untuk bertemu Bapak Abid harus membuat janji terlebih dahulu. Tapi tunggu sebentar, kalau cuma untuk beberapa menit bisa. Bagaimana?" Wanita itu melihat ke komputer dan Della secara bergantian untuk memastikan sesuatu.

"Iya mbak. Nggak pa-pa. Terimakasih, " seru Rachel. Lega.

Untung aja dia gak sombong. Batin Della.

Della menatap wanita itu yang sibuk beralih dari komputer ke interkom. Dia menekan tombol dan tersenyum padanya.

"Maaf pak ada yang ingin bertemu dengan bapak." Dia berhenti sejenak sambil melirik ke arah Della. "Belum buat janji pak tapi ... " Dia berhenti lagi dan menunggu kelanjutan pembicaraan di sebrang sambil melihat ke arah Rachel.

"Maaf mbak kata Pak Abid nggak bisa kalo nggak buat janji." Wanita itu memberi tahu raut wajahnya merasa bersalah karena tidak bisa membantu.

Della menghela nafas. "Bisa minta tolong mbak bilangin yang mau saya sampaikan penting banget." Dia memohon.

Wanita itu mengangguk. "Pak yang mau disampaikan sesuatu yang penting," serunya sekali lagi. "Baik pak akan saya antarkan masuk."

Della tersenyum saat wanita itu menuntunya keruangan Abid Pranadipta.

"Ini mbak ruangan Pak Abid, silahkan masuk."

"Terimakasih ya mbak. Maaf udah ngerepotin."

"Nggak repot sama sekali kok. Kalau begitu saya permisi."

Della terdiam menatap pintu di hadapannya. Dadanya berdegup kencang dia amat gugup.

Dia mengetuk pintu. Setelah mendapat jawaban dengan segera masuk. Aroma segar dari campuran parfum dan pengharum ruangan saat dia berhasil masuk berhasil menetralisir rasa gugupnya. Della memandang Abid yang tampak tidak terusik dengan kehadirannya, pria itu masih asyik bergelung dengan tumbukan berkas yang tercecer dimeja.

"Anda cuma punya waktu lima menit untuk jelasin maksud dan tujuan anda," katanya. Tapi tidak berpaling sedikit pun dari kesibukannya. "Siapa nama lo?"

Della sedikit tersentak kaget mendengar suara pria itu. Meski intonasi suaranya berbeda namun nadanya tetap sama tidak diragukan lagi Abid Pranadipta adalah pria itu. Bajingan yang membuat Della menganggur selama tiga bulan.

"Gue Ardella. Gue kesini cuma mau bilang, kalo gue hamil anak loe."

Kepalanya langsung terangkat, mata hitamnya menatap telak kearah Della yang langsung membuat perempuan itu gugup setengah mati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!