Aku duduk di sofa, menyesap kopi dingin sambil memandang kakakku, Bayu, yang tampak lelah setelah pulang kerja. Dia duduk di depan televisi, memijat pelipisnya seolah dunia ini terlalu berat untuk ditanggung. Aku tersenyum tipis. Ini momen yang tepat.
Aku tahu Bayu selalu mendengarkan aku. Dia mungkin keras kepala di depan orang lain, tapi kalau aku yang ngomong, pasti masuk ke otaknya.
Aku adiknya satu-satunya, dan aku tahu bagaimana cara membujuknya. Apalagi sekarang, setelah istrinya, Dina, mulai mengatur segalanya. Terlalu banyak aturan sampai-sampai uang buat gaya aku pun dihentikan. Gila, kan? Mana bisa aku diam saja?
“Mas,” panggilku pelan, memecah keheningan.
Mas Bayu menoleh, matanya lelah tapi penuh perhatian. “Apa, Ca?”
Aku menghela napas, memasang ekspresi sedikit sedih. “Aku cuma mau ngomong, tapi kamu jangan marah, ya.”
Dia mendengus pelan. “Kamu ini, ngomong aja kayak takut dimarahi. Ada apa?”
Aku berpindah duduk lebih dekat, menyentuh lengannya seolah memastikan dia benar-benar mendengarkan. “Mas capek, ya? Aku lihat Mas akhir-akhir ini kelihatan nggak bahagia. Mbak Dina... bukannya bikin Mas senang, malah kayak bikin beban tambah berat.”
Dia menatapku dengan kening berkerut. “Maksud kamu apa?”
Aku pura-pura ragu sejenak, lalu berkata pelan, “Mas tahu nggak, istri yang baik itu harusnya mendukung suaminya, termasuk... mendukung keluarga suaminya juga. Mbak Dina itu... aku nggak bilang dia nggak baik, tapi kayaknya dia nggak ngerti cara bikin Mas bahagia. Kadang aku mikir, mungkin Mas lebih cocok sama orang lain.”
Wajah Bayu berubah, tapi aku nggak berhenti. Aku tahu aku harus menanamkan ide ini perlahan. “Aku nggak bilang Mas harus apa-apa sekarang. Cuma... coba pikirin, Mas. Mas Bayu layak dapat yang lebih baik. Yang bisa bikin Mas bahagia.”
Dia terdiam, memikirkan ucapanku. Aku tahu ini nggak akan langsung berhasil, tapi aku yakin bibit idenya sudah tertanam. Kalau mbak Dina nggak mau berubah, mungkin sudah waktunya dia diberi pelajaran. Aku cuma ingin yang terbaik untuk, Mas Bayu—dan untuk aku juga, tentunya.
Aku menatap kembali Mas Bayu yang masih duduk di sofa, matanya menatap layar televisi, tapi aku tahu pikirannya pasti melayang entah ke mana.
"Mas," panggilku pelan, memastikan suaraku cukup lembut tapi menusuk.
Dia menoleh lagi, alisnya sedikit terangkat. "Kenapa, Ca?"
"Mas Bayu dengar aku kan, soal Mbak Dina. Maksudku, dia baik sih, tapi… apa Mas nggak pengen punya istri yang lebih... cantik? Lebih serasi sama Mas?"
Reaksinya nggak langsung keluar, tapi aku bisa lihat dia terdiam sejenak. Itu pertanda baik.
"Dina itu istri aku, Ca," akhirnya dia menjawab, suaranya terdengar tegas tapi nggak terlalu yakin.
Aku mendekat sedikit, mencoba menatap matanya. "Aku tahu, Mas. Tapi coba pikir deh. Mas itu sukses, mapan, ganteng lagi. Mas bisa dapat istri yang lebih dari Mbak Dina. Nggak salah kan kalau aku cuma pengen Mas punya pasangan yang sepadan?"
Dia menghela napas, mengalihkan pandangannya. "Aku nggak pernah mikir kayak gitu."
Aku tersenyum kecil, pura-pura lembut. "Ya, karena Mas terlalu baik. Tapi coba deh Mas lihat, bandingin Mbak Dina sama istri-istri temen Mas. Mbak Dina tuh biasa aja, Mas. Aku cuma nggak mau Mas... ya, nyesel nantinya."
Aku tahu, kata-kataku mulai mengena. Dia nggak langsung membantah, malah diam lebih lama dari sebelumnya. Aku nggak perlu desakan berlebihan. Cukup tanam benih ini, sisanya biar waktu yang bekerja.
...****************...
Aku duduk di kamar sambil menggulir layar ponsel, mencari sesuatu yang bisa meyakinkan rencana ini berhasil. Perempuan. Cantik, menarik, dan yang penting, jauh lebih memukau daripada Mbak Dina. Aku nggak peduli lagi. Sejak Mbak Dina mulai ikut campur urusan keluarga, aku merasa hidupku jadi terkekang.
Dulu, aku bebas minta apa saja dari Mas Bayu. Tapi sekarang? Mbak Dina selalu pasang muka sok bijak setiap kali aku minta uang. “Caca, nggak semua hal bisa diselesaikan dengan uang,” katanya, dengan senyum manis yang selalu bikin aku ingin muntah.
Hari ini cukup. Kalau Mbak Dina bisa masuk ke dalam keluarga ini, maka dia juga bisa digantikan. Dan aku tahu Mas Bayu sebenarnya pantas dapat yang lebih baik.
Sambil membuka media sosial, aku menemukan profil perempuan yang sempurna. Namanya Laras, seorang model freelance dengan wajah seperti bidadari. Foto-fotonya memamerkan senyum manis, tubuh semampai, dan aura yang jauh lebih memikat daripada Mbak Dina. Aku segera mengirim pesan singkat, menawarkan perkenalan.
“Mas Bayu pasti bakal suka sama dia,” pikirku sambil tersenyum puas.
Aku mulai menyusun langkah berikutnya. Laras harus bertemu Mas Bayu. Aku mengatur semuanya dengan hati-hati, memastikan seolah-olah pertemuan itu kebetulan.
Hari berikutnya aku datang lagi ke rumah kakakku, terlihat mbak Dina sedang menyiram tanaman. Tapi aku tidak peduli kepadanya dan masuk begitu saja untuk bertemu kakakku.
“Mas, ada teman aku yang baru balik dari luar kota, dia bilang pengen ketemu orang sukses kayak Mas,” kataku pada Mas Bayu, menanamkan ide itu dengan nada ringan.
Mas Bayu menatapku sekilas, sepertinya sedikit curiga. “Teman? Maksud kamu apa, Ca?”
Aku tersenyum, memasang wajah polos. “Cuma pertemanan, Mas. Siapa tahu dia bisa kasih inspirasi buat bisnis Mas. Lagian, nggak salah kan punya kenalan baru?”
Dia akhirnya mengangguk, meskipun kelihatannya ragu. Bagiku, itu sudah cukup.
Di belakang layar, aku menunggu semuanya berjalan seperti yang aku rencanakan. Kalau Laras bisa merebut perhatian Mas Bayu, Mbak Dina nggak akan punya ruang lagi di keluarga ini. Dan aku? Aku akan kembali mendapatkan apa yang seharusnya jadi milikku.
Walaupun aku sudah punya segalanya—suami yang mapan, pekerjaan di perusahaan besar, rumah megah di kawasan elit. Orang lain mungkin berpikir hidupku sempurna.
Tapi aku tahu, itu belum cukup. Di lingkaran sosialku, status bukan hanya tentang apa yang kau miliki, tapi juga seberapa besar kau bisa menunjukkan kekuasaanmu, seberapa bebas kau hidup tanpa batasan.
Dan di situlah masalahku. Suamiku memang kaya, tapi uangnya bukan sepenuhnya milikku. Aku tetap harus “minta izin” kalau ingin membeli sesuatu yang lebih mahal. Itu menjengkelkan. Apalagi sejak Mbak Dina masuk ke keluarga kami, aku kehilangan satu-satunya kebebasan yang tersisa—Mas Bayu.
Dulu, Mas Bayu selalu ada untukku. Apapun yang aku minta, dia pasti berikan tanpa banyak tanya. Tapi sejak menikah dengan Mbak Dina, segalanya berubah.
Mbak Dina selalu mengontrol uangnya, membuat alasan soal pengeluaran keluarga. Dan itu membuatku merasa kecil di depan teman-temanku yang selalu pamer belanja barang-barang mahal tanpa perlu mikir dua kali.
Aku benci itu. Aku nggak mau jadi yang nomor dua. Aku harus merebut kembali posisi teratasku.
Maka aku putuskan, Mbak Dina harus disingkirkan. Dia adalah penghalang terbesar dalam hidupku sekarang. Kalau aku bisa menemukan perempuan yang lebih cantik dan menarik untuk Mas Bayu, dia pasti akan mulai melihat Mbak Dina sebagai beban, bukan pasangan.
Aku tidak peduli apa kata orang nanti. Yang penting, aku mendapatkan kendali atas Mas Bayu lagi. Aku bisa meminta apapun yang aku mau, kapanpun aku mau. Karena pada akhirnya, aku lah yang seharusnya menjadi pusat perhatian, bukan Mbak Dina, bukan siapa pun.
Aku mungkin terlihat seperti perempuan yang hidupnya sempurna—punya suami kaya raya dengan jabatan tinggi di perusahaan besar, rumah mewah, dan akses ke segala hal yang aku inginkan.
Tapi apa artinya semua itu kalau hidupku di dalam rumah tangga terasa seperti perang dingin setiap hari?
Mertuaku, sejak awal, memang tidak pernah benar-benar menyukaiku. Mereka selalu memandangku sebelah mata, seolah aku hanya perempuan manja yang nggak pantas menikah dengan anak mereka.
Aku tahu mereka menganggapku boros. Ya, aku memang suka memanjakan diri. Tapi salahkah aku ingin menikmati hidupku sendiri? Bukankah uang suamiku juga untuk kebahagiaan keluarganya?
Masalah ini terus memburuk. Suamiku, yang dulu selalu mendukungku, kini mulai terpengaruh omongan orang tuanya. Dia mulai membatasi pengeluaranku, mulai memintaku untuk lebih “bijaksana” dalam membelanjakan uang. Itu membuatku merasa seperti anak kecil yang harus meminta izin setiap kali ingin membeli sesuatu.
Aku tahu, di mata mertuaku, aku tidak pernah cukup baik. Apa pun yang aku lakukan selalu salah di mata mereka.
Dan itu membuatku merasa terjebak. Aku punya semua yang aku inginkan, tapi kenapa rasanya seperti aku tidak memiliki apa-apa?
Di saat seperti ini, aku hanya bisa berpikir bahwa hidupku seharusnya lebih dari ini. Aku ingin bebas. Aku ingin hidup tanpa merasa terus-menerus dinilai atau diawasi.
Tapi bagaimana caranya? Mungkin, aku harus mulai memikirkan caraku sendiri untuk mengambil kendali atas hidupku, tanpa harus terus-menerus tunduk pada aturan mereka.
Malam itu, aku duduk di ruang tamu, menunggu Danu suamiku pulang dari kantor. Aku sudah mempersiapkan kata-kata yang akan aku sampaikan dengan hati-hati. Rasanya ini adalah satu-satunya cara untuk mengembalikan kendali atas hidupku.
Saat Mas Danu masuk ke kamar, terlihat wajah tampanya lelah dengan dasi yang sudah dilonggarkan, aku langsung bangkit. “Mas, kita perlu bicara,” kataku dengan suara yang aku buat seserius mungkin.
Mas Danu menatapku sekilas sambil melepaskan jasnya. “Ada apa, Ca? Bisa nanti aja? Aku capek.”
Aku menggeleng. “Ini penting, Mas. Nggak akan lama.”
Dia menghela napas, lalu duduk di sofa. “Oke, apa?”
Aku duduk di sampingnya, mencoba menatap matanya dengan penuh keyakinan. “Aku mau minta, mulai sekarang, biar aku aja yang atur keuangan rumah tangga kita.”
Mas Danu langsung mengerutkan kening. “Apa maksud kamu, Ca? Keuangan kita selama ini baik-baik aja.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba tetap tenang. “Mas, aku tahu aku selama ini boros, tapi aku bisa belajar, kok. Aku cuma mau punya kendali lebih besar atas pengeluaran kita. Aku tahu kebutuhan kita apa aja, aku yang lebih sering di rumah. Jadi, wajar kalau aku yang atur semuanya, kan?”
Mas Danu menatapku dengan tajam, sorot matanya dingin. “Caca, kamu tahu aku nggak bisa setuju. Kamu sering menghabiskan uang untuk hal-hal yang nggak penting. Kalau aku kasih kamu kendali penuh, apa jaminan kamu nggak akan lebih boros lagi?”
“Mas!” Aku merasa panas di dada, tapi aku menahan nada suaraku. “Aku nggak suka dibilang boros terus. Aku istri kamu, aku tahu apa yang terbaik buat kita. Lagian, aku cuma mau kita hidup nyaman tanpa perlu ribet soal ini.”
Dia menggeleng tegas. “Aku nggak akan berubah pikiran, Caca. Selama ini aku atur semuanya untuk memastikan kita nggak ada masalah keuangan di masa depan. Kalau kamu mau sesuatu, bilang aja. Tapi aku yang tetap pegang kendali.”
Aku terdiam, merasa seperti dipukul telak. Wajahku panas karena malu dan marah bercampur jadi satu. Dia tidak percaya padaku. Lagi-lagi aku merasa seperti anak kecil yang dianggap tidak mampu.
Danu bangkit dari sofa, mengambil jasnya kembali. “Aku nggak mau bertengkar soal ini, Ca. Kamu istirahat aja, aku masih ada pekerjaan.”
Dia meninggalkanku di sana, duduk dengan rasa kecewa yang menghantam keras. Aku tahu, aku tidak bisa menyerah begitu saja. Tapi malam itu, aku sadar kalau jalan untuk mendapatkan apa yang aku mau tidak akan semudah yang aku bayangkan.
Pagi itu, aku datang ke rumah Mas Bayu dengan niat sederhana—meminta sedikit uang. Aku sudah lelah berdebat dengan suamiku soal pengeluaran. Kalau suamiku nggak mau bantu, aku tahu Mas Bayu pasti bisa.
Ketika sampai, aku melihat pintu depan terbuka. Aku langsung masuk tanpa ragu. "Mas Bayu di mana?" tanyaku pada Mbak Dina yang sedang menyapu ruang tamu.
Mbak Dina menoleh, memasang senyum tipis yang terasa menusuk. "Mas Bayu lagi di kamar mandi. Ada perlu apa, Ca?"
Aku menghela napas, mencoba bersikap ramah meskipun aku sudah tahu ini akan sulit. "Aku cuma mau ketemu Mas Bayu sebentar."
Dia menaruh sapunya dan berjalan mendekat. "Kalau ada apa-apa, bisa bilang ke aku dulu, kan?"
Aku memutar mata, merasa kesal. "Nggak perlu, Mbak. Aku cuma mau minta uang sedikit buat kebutuhan pribadi. Mas Bayu nggak akan keberatan kok."
Senyum Mbak Dina menghilang. Dia menatapku dengan sorot mata tajam. "Caca, kamu kan udah punya suami yang mapan. Kenapa masih minta uang ke Mas Bayu?"
Aku mendengus, merasa darahku mulai mendidih. "Mbak, ini urusan aku sama Mas Bayu. Aku adiknya, dan dia selalu bantu aku. Lagian, uang segitu nggak akan bikin dia rugi."
Mbak Dina menyilangkan tangan di dada, wajahnya tegas. "Masalahnya bukan soal uang, Ca. Kamu udah dewasa, udah punya keluarga sendiri. Kamu nggak bisa terus-terusan meminta Mas Bayu. Apalagi cuma buat hal-hal yang nggak penting."
Aku melangkah maju, menahan diri untuk tidak berteriak. "Mbak nggak usah ikut campur, deh. Mas Bayu itu kakak aku, bukan suami Mbak doang. Aku bebas minta tolong ke dia kapanpun aku mau."
Mbak Dina tetap tenang, tapi nadanya mulai mengeras. "Aku nggak ikut campur, Caca. Aku cuma nggak mau Mas Bayu terus-terusan dimanfaatkan. Dia punya keluarga yang harus diprioritaskan sekarang."
Aku tertawa sinis, merasa benar-benar dipermalukan. "Keluarga? Maksud Mbak, Mbak Dina sendiri? Jangan sok penting, deh. Aku ini keluarganya dari dulu, sebelum Mbak ada di hidupnya!"
Suasana semakin panas. Aku mendengar langkah kaki Mas Bayu yang datang dari belakang. Dia terlihat bingung, menatap kami berdua. "Ada apa ini? Kok ribut-ribut pagi-pagi?"
Aku langsung menoleh padanya, berharap dia membelaku. "Mas, aku cuma mau minta uang sedikit. Tapi Mbak Dina malah marah-marah dan ngelarang aku!"
Mas Bayu menghela napas panjang, jelas terlihat lelah dengan situasi ini. "Caca, kamu tahu aku selalu bantu kamu. Tapi Dina benar. Kamu sekarang udah punya suami. Harusnya kamu bisa urus kebutuhan kamu sendiri."
Aku terdiam, tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar. "Mas, serius? Mas lebih dengerin dia daripada adik sendiri?"
Mas Bayu menatapku dengan penuh penyesalan. "Ini bukan soal dengerin siapa, Ca. Aku cuma nggak mau kamu terlalu bergantung sama aku. Kamu harus belajar mandiri."
Aku merasa hancur. Tapi aku tidak ingin memperlihatkannya. Tanpa berkata apa-apa lagi, aku berbalik dan keluar dari rumah mereka. Di dalam hati, aku bersumpah, ini tidak akan berakhir di sini.
Setelah kejadian itu, aku merasakan amarah yang semakin membara. Rasanya seperti dikhianati oleh keluarga sendiri—kakak yang seharusnya selalu ada untukku, sekarang malah membela istrinya.
Mas Danu juga tidak jauh berbeda. Dia lebih memilih mendukung Mbak Dina daripada aku, yang sudah jadi istrinya.
Aku semakin membenci Mbak Dina, dan perasaanku terhadap suamiku pun mulai berubah. Dia tidak lagi memihakku, dan itu membuatku merasa seperti kehilangan semua yang pernah aku miliki. Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi.
Aku mulai merencanakan sesuatu yang lebih besar—sesuatu yang bisa membalaskan dendamku. Aku tidak bisa hanya diam dan membiarkan mereka semua bahagia sementara aku merana.
Aku harus menemukan cara untuk membalaskan kekesalan yang aku rasakan. Aku akan memberikan kakakku seorang perempuan baru, yang lebih baik dari Mbak Dina, agar dia bisa merasakan kesengsaraan yang aku rasakan.
Aku tahu itu mungkin kejam, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin mereka merasakan apa yang aku rasakan—dikhianati, tidak dihargai, dan ditinggalkan.
Aku sudah cukup sabar, dan sekarang adalah waktunya untuk mengambil kendali. Aku tidak akan membiarkan diriku terus-menerus berada di bawah bayang-bayang keluarga yang tidak mengerti aku.
Karena rasa benci ini terus menguap di dalam hatiku terhadap Mbak Dina kakak iparku.
akhirnya aku mengatur pertemuan dengan Laras di sebuah mall besar yang ramai. Sudah lama aku mendengar tentangnya, dan sekarang saatnya aku bertemu langsung dengan perempuan yang bisa jadi kunci untuk menjalankan rencanaku.
Laras adalah seorang model terkenal, dengan kekayaan yang melimpah—semua orang di sekitarnya pasti tahu siapa dia. Bahkan di dunia sosialita, namanya sudah jadi pembicaraan. Aku sudah tahu dia punya apa yang aku butuhkan untuk memanipulasi situasi ini.
Saat aku tiba, Laras sudah duduk di sebuah kafe dengan segelas minuman di depannya. Dia memakai pakaian branded yang terlihat mahal dan sempurna—semua tentang dirinya mencerminkan status yang ingin aku raih. Aku mendekat, dan dia tersenyum begitu melihatku.
"Caca, akhirnya kita bertemu juga!" katanya, menyambutku dengan senyum ramah. "Aku dengar banyak tentang kamu dari teman-teman. Senang banget bisa ketemu langsung."
Aku duduk di seberangnya, merasa nyaman meskipun di dalam hatiku ada ketegangan. "Laras, aku juga senang akhirnya bisa ketemu kamu. Aku tahu kamu pasti sibuk, tapi aku butuh bantuan kamu untuk sesuatu yang... agak rumit."
Laras mengangkat alisnya, penasaran. "Apa itu, Caca? Kamu tahu aku nggak suka urusan rumit, tapi kalau itu membantu, aku pasti bisa pertimbangkan."
Aku menatapnya dengan penuh keyakinan, mulai menjelaskan rencanaku. "Aku butuh kamu untuk bertemu dengan seseorang—kakakku, Mas Bayu. Aku tahu kamu tipe perempuan yang... sempurna. Aku butuh kamu menjadi, ya, semacam perhatian baru bagi dia. Cuma untuk sementara waktu, aku yakin ini bisa memberi pelajaran untuk keluargaku."
Laras tertawa ringan, tampaknya tidak terlalu terkejut. "Jadi, kamu ingin aku membuat Mas Bayu tertarik padaku? Hmm, itu bisa jadi menyenangkan. Tapi kamu harus pastikan kalau ini nggak akan berakhir merugikan aku, ya."
Aku mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut. "Aku nggak minta lebih dari itu, Laras. Cuma pertemuan biasa—kamu tarik perhatian, buat dia merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari hubungan dia dengan Mbak Dina. Dengan begitu, dia bisa merasakan kekosongan dan akhirnya sadar kalau dia pantas mendapat yang lebih baik."
Laras tersenyum, seolah mengerti rencanaku. "Kedengarannya seru, dan sepertinya nggak akan merugikan aku. Aku siap bantu."
Aku merasa lega. Semuanya sudah berjalan sesuai rencana. Laras bukan hanya seorang model terkenal, dia juga perempuan yang tahu cara memanfaatkan statusnya, dan itulah yang aku butuhkan—sesuatu yang bisa membuat kakakku melihat bahwa dia bisa mendapatkan lebih dari apa yang ada sekarang.
Setelah itu, aku dan Laras mengatur jadwal untuk pertemuan dengan Mas Bayu. Tidak ada lagi jalan mundur. Aku yakin rencanaku akan membuat semuanya berubah.
Kebetulan Minggu depan, ada acara besar di rumah kakak kedua aku, Kak Rahma. Dia akan merayakan ulang tahun pertama anaknya, dan ini pastinya akan menjadi pesta yang ramai.
Aku tahu ini adalah kesempatan emas untuk mengatur segalanya. Kak Rahma, yang selalu mengagumi Laras, pasti akan senang kalau aku mengundang Laras ke acara itu.
Aku langsung mengirim pesan ke Laras, memberitahunya tentang pesta tersebut dan mengundangnya untuk datang. "Laras, aku ada acara keluarga minggu depan, ulang tahun anak kakakku. Rahma, kakak kedua aku, itu penggemar berat kamu. Aku tahu dia bakal senang banget kalau kamu datang."
Laras dengan cepat merespons, "Tentu, aku bisa datang. Sepertinya seru juga kalau aku bisa ketemu langsung dengan fans beratku."
Ini akan menjadi langkah strategis. Dengan Laras hadir di pesta keluarga, Mas Bayu pasti akan tertarik untuk bertemu. Rahma akan merasa bangga, dan Laras bisa memikat perhatian Mas Bayu dengan caranya sendiri, tanpa aku harus mengatur segalanya secara langsung.
Aku merasa semakin yakin kalau ini adalah jalan untuk mencapai tujuanku. Aku hanya perlu memastikan semuanya berjalan lancar—dan mungkin, setelah pesta itu, Mas Bayu bisa mulai membuka matanya dan menyadari bahwa dia pantas mendapatkan lebih dari yang ada sekarang.
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Pesta ulang tahun anak Kak Rahma yang pertama berlangsung meriah, dengan tenda besar, dekorasi ceria, dan keramaian dari keluarga serta teman-teman. Semua orang terlihat antusias, namun kali ini, perhatian banyak orang tertuju pada satu sosok—Laras.
Aku membawa Laras masuk ke area pesta, dan begitu dia melangkah masuk, suasana seketika berubah. Mata semua orang langsung tertuju padanya. Wajah cantik dan penampilannya yang sempurna membuat orang-orang langsung terkagum-kagum. Rahma, yang menjadi tuan rumah, langsung terkejut dan senang begitu melihat Laras.
"Ya ampun, itu benar-benar Laras?" Rahma berseru, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. "Caca, kamu serius bawa dia ke sini? Aku nggak percaya!"
Aku tersenyum puas. "Tentu saja. Laras adalah teman aku, dan aku pikir kamu akan senang banget bisa ketemu langsung."
Rahma langsung menghampiri Laras dengan penuh semangat, memuji penampilannya dan berbicara tentang kecintaannya pada dunia modeling.
Semua orang di sekitar mereka mulai membicarakan betapa beruntungnya Rahma bisa bertemu dengan model terkenal seperti Laras. Bahkan, beberapa tamu lain ikut meramaikan, meminta foto bersama dan berusaha untuk berkenalan lebih dekat.
Aku bisa melihat ekspresi Mas Bayu dari jauh, yang tampaknya juga tertarik dengan sosok Laras. Dia pasti belum tahu apa yang sedang aku rencanakan, tetapi jelas dia mulai terpesona. Laras yang anggun dan penuh pesona membuat suasana semakin menggairahkan, dan aku bisa melihat perhatian Mas Bayu semakin tertuju padanya.
Aku duduk di meja, memandangi semuanya dengan rasa puas. Ini adalah langkah pertama yang sempurna. Rahma tentu senang, dan aku tahu Mas Bayu mulai merasakan ketertarikan terhadap Laras.
Sekarang tinggal menunggu waktu sampai semuanya berjalan sesuai dengan rencana.
Sebelum acara ulang tahun dimulai, aku memutuskan untuk memperkenalkan Laras kepada seluruh keluarga, baik keluarga inti maupun keluarga mertuaku yang juga diundang.
Aku tahu ini adalah momen yang sangat penting—semakin banyak orang yang melihat dan mengenal Laras, semakin besar peluangku untuk mewujudkan rencanaku.
Aku mulai dengan memperkenalkan Laras kepada orang tua dan saudara-saudaraku. "Ini Laras, teman aku yang juga model terkenal. Laras, ini Mama, Papa, dan keluarga besar aku," kataku dengan senyum lebar, meskipun dalam hati aku merasa cemas dengan reaksi mereka.
Mereka terlihat kagum, terutama Mama dan Papa yang sudah mendengar banyak tentang Laras. "Wah, senang sekali bisa bertemu dengan kamu, Laras! Caca selalu bercerita tentang kamu," kata Mama dengan ramah. "Kamu pasti sibuk banget ya, jadi sangat menghargai waktu kamu datang ke sini."
Laras tersenyum penuh pesona. "Terima kasih, Bu, Pak. Senang bisa bertemu dengan keluarga Caca."
Setelah itu, aku membawa Laras untuk bertemu dengan keluarga mertuaku. Ini adalah bagian yang lebih sulit, karena aku tahu mereka tidak terlalu suka dengan aku. Tapi, aku merasa ini adalah langkah penting untuk mengubah pandangan mereka. Mereka pasti akan terkesan dengan Laras—perempuan yang jauh lebih mengesankan daripada Mbak Dina di mata mereka.
Aku mendekati meja tempat keluarga mertuaku duduk. "Ini Laras, teman aku. Laras, ini keluarga Mas Danu suamiku," kataku sambil menunjuk pada mereka satu per satu.
Mertuaku terkejut sejenak, melihat Laras dengan penampilan sempurna dan karismanya yang memikat. Mbak Dina, yang biasanya tidak menunjukkan ekspresi yang terlalu terbuka, kali ini tampak sedikit tersinggung, meskipun ia mencoba untuk tetap tersenyum.
"Selamat datang, Laras," kata Bapak mertuaku dengan nada formal, tapi aku bisa melihat bahwa dia jelas terkesan. "Terima kasih sudah datang ke acara ini."
Laras dengan elegan membalas, "Terima kasih, Pak, Bu. Senang sekali bisa hadir."
Tanggapan positif dari keluarga mertuaku mulai terlihat, meskipun aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka. Mereka pasti terkejut melihat perempuan lain yang jauh lebih menarik dan terkenal, dan aku tahu ini akan mengusik Mbak Dina, yang biasanya merasa selalu menjadi pusat perhatian di keluarga itu.
Aku merasa puas dengan perkenalan itu. Semua orang sudah melihat Laras, dan sekarang saatnya untuk menikmati pesta ulang tahun. Aku bisa melihat Mas Bayu, yang mulai menatap Laras dengan cara yang berbeda—dan itu sudah cukup untuk membuat aku merasa bahwa langkah pertama dalam rencanaku berjalan dengan sangat baik.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!