NovelToon NovelToon

Pewaris Terhebat

Bab 1 Sampah Keluarga

Xander menaiki motor listrik tuanya yang terparkir di dekat tempat sampah, jauh dari mobil mewah anggota keluarga Voss yang lain. Beberapa kali ia melihat ke arah pintu, berharap Evelyn akan kembali datang dan memanggil namanya. Namun, semua itu tampak sia-sia.

Xander memacu motor listriknya dengan perlahan, melewati halaman dan taman yang cukup luas untuk sampai ke pintu gerbang. Pikirannya dipenuhi oleh sosok Evelyn, wanita yang begitu dirinya cintai bahkan sampai detik ini. Namun, di saat yang sama, harga dirinya hancur, begitupun dengan kepercayaan dirinya.

"Apa ini adalah takdir yang harus aku hadapi?" Ucap Xander sambil menoleh kembali ke arah kediaman keluarga Voss yang mulai mengecil.

"Aku selalu ditakdirkan menjadi pecundang." Ucap Xander kembali.

Xander menghembus napas panjang dan dalam, melewati pintu gerbang sekaligus cibiran para penjaga.

Sebelum bertemu dengan Ethan, ia tinggal di apartemen kecil dan bekerja sebagai pelayan restoran di kota tetangga dengan gaji pas-pasan.

Hampir setengah hidupnya dihabiskan di salah satu panti asuhan di sana. Mungkin ke tempat itulah ia akan kembali.

Namun, haruskah ia meninggalkan Evelyn begitu saja tanpa berjuang lebih dahulu?

Xander merasa pilihan kedua adalah pilihan yang tepat. Ia sangat mencintai Evelyn dan tidak ingin wanitanya menjadi milik pria lain.

Mungkin saat ini dirinya hanya sampah tak berguna, tetapi ia berjanji tidak akan menyerah.

Ia harus kembali ke kantor perusahaan tempatnya bekerja. Namun, belum lama Xander menjalankan mobil, di tengah jalan ia melihat siaran televisi dari salah satu toko elektronik yang cukup terkenal di kawasan itu.

Wajah Avery yang baru saja menghinanya, muncul dalam siaran televisi. Tidak hanya wanita itu, tetapi juga Evelyn dan seorang pemuda yang semakin dibencinya sejak beberapa saat lalu.

Xander sengaja memelankan kendaraan nya agar bisa menangkap dengan jelas siaran tersebut.

"Saya dengan bangga mengumumkan bahwa Evelyn dan Mason sedang merencanakan tanggal pernikahan mereka." Ujar Avery dengan bangga di siaran televisi tersebut.

Evelyn tampak tersenyum malu mendengar ucapan ibunya. Itu membuat Xander semakin geram.

"Tega sekali!" pikirnya.

"Setelah semua pengorbananku, waktu yang kami habiskan bersama, dan dia masih bisa tersenyum seolah semuanya tidak berarti. Seolah dia yang meminta dijodohkan. Seolah aku bukan suami nya lagi!"

Pemuda itu kehilangan kendali. Dia ingin berteriak, tapi jalanan terlalu ramai.

Hampir saja ia keluar badan jalan jika tidak segera mengerem motor listrik nya itu. Beruntung tindakannya tidak membuat kecelakan beruntun.

Semua ini gara-gara berita pernikahan yang baru saja ia saksikan.

"Sial!" Xander mengumpat sambil memukul stang motor.

Siaran televisi yang baru saja ditonton Xander, membuat pikiran pemuda itu kacau. Wajah mereka terus muncul bergantian hingga membuat Xander muak.

"Brengsek!" Amarah Xander tak juga reda. "Mason sialan!"

Terlepas merasa kacau, ia tetap melanjutkan perjalanan. Namun, sepanjang jalan menuju tempatnya bekerja, pemuda itu sama sekali tidak fokus dan terus terpikirkan dengan siaran televisi yang baru saja ditonton.

Ketika hendak memarkirkan kendaraannya, terdengar suara tabrakan yang membuat semua kaget.

"Brakk!!!"

Xander tanpa sengaja menabrak mobil milik sang atasan hingga menimbulkan kegaduhan.

Alarm mobil mewah yang masih tampak mengkilap itu menjerit dan membuat pemiliknya keluar dari dalam gedung.

"Setan! Kamu nggak tahu ada mobil parkir di sini?" Maki David, sang atasan.

Tindakan David mengundang perhatian banyak orang. Terutama mereka yang sedang berjalan di sekitar restoran tempat Xander bekerja paruh waktu. Tidak jarang dari mereka yang memutuskan berhenti demi ingin tahu apa yang sedang terjadi?

"Maaf, saya benar-benar nggak sengaja, Pak." Ucapnya menyesal.

"Dasar mental miskin. Kebiasaan kamu, ya. Sehabis bertindak bisanya cuma minta maaf. Pantas kamu masih miskin saja.

"Kalau maaf bisa bikin menyelesaikan masalah, nggak akan ada penjara di dunia ini. Mulai saat ini, kamu nggak perlu datang lagi. Kamu dipecat!"

Xander yang mendengar itu merasa sangat tertampar tertampar. Bagaimana tidak, setelah dia diceraikan oleh istrinya kini ia dipecat juga dari pekerjaan satu satunya.

"Eh, apa? Tolong jangan pecat saya, Pak. Saya benar-benar nggak sengaja dan akan mengganti semua biaya kerusakan," pinta Xander memelas.

Namun, wajah bengis sang atasan lebih mengerikan daripada wujud raksasa dalam tokoh pewayangan.

"Kamu pikir berapa biaya perbaikan yang dibutuhkan? Mau kerja seumur hidup juga nggak akan bisa membayar harga perbaikan mobil itu!" Maki David membuat orang-orang di sekitar mereka berkumpul dan menimbulkan kerumunan. Mereka kini menjadi pusat perhatian.

"Saya pasti akan menggantinya, tapi tolong jangan pecat saya, Pak!" Xander masih memohon belas kasihan.

"Heh, sampah!" David mempermalukan pemuda itu di depan banyak orang.

"Kamu tetap dipecat. Jangan lupa bayar biaya perbaikan mobil yang kamu tabrak! Aku akan membuatkan tagihan."

"Memang berapa harga perbaikan yang harus saya bayar, Pak?" Suara Xander mencicit. Seperti tikus yang baru saja berhadapan dengan kucing di ujung jalanan kumuh ibu kota.

Xander tahu bahwa mobil dia tabrak merupakan mobil mewah keluaran terbaru. Membayangkan berapa ganti rugi yang harus dibayar pun, ia tak mampu.

Apalagi jika dirinya sampai kehilangan pekerjaan. Bagaimana ia akan hidup ke depan?

"Dari mana kamu akan mendapatkan uang sebanyak itu? Nggak akan sanggup kan? Makanya otak dipakai kalau kerja!"

Penghinaan yang diterima Xander membuat pemuda itu tersulut amarah. Dia tak lagi peduli urusan pekerjaan dengan David.

Tak masalah jika ia dipecat. Asalkan dia tidak lagi mendengar hinaan dari laki-laki itu.

"Aku pasti akan menggantinya. Tunggu saja!" tegas Xander.

"Kamu kira duit tinggal petik dari pohon? Dari mana kamu bisa mendapatkan uang sebanyak itu? Jangan mimpi! Ini bukan negeri dongeng."

Xander tak lagi memedulikan ucapan David. Xander mendongak ke langit sesaat, melihat bagaimana rintik hujan turun. Seseorang pernah mengatakan bahwa hujan adalah saat yang tepat untuk berdoa. Tak ada salahnya dia mencoba, pikirnya.

Dengan pikiran kalut, dia kembali menaiki motor listrik nya dan memacu kendaraannya.

FLASHBACK

Malam itu, langit di atas Skyline City dipenuhi bintang. Di dalam acara keluarga Voss yang megah, suasana riuh oleh suara tawa dan obrolan. Lampu kristal menggantung di langit-langit ballroom, memancarkan cahaya keemasan yang memantul dari dinding kaca dan marmer putih.

Di tengah ruangan, sebuah meja panjang penuh makanan mewah menarik perhatian. Lobster yang disusun indah, steak daging premium yang mengilap oleh lelehan mentega, dan berbagai hidangan eksotis dari seluruh dunia memenuhi meja. Anggur terbaik dituangkan tanpa henti ke dalam gelas kristal oleh pelayan yang mengenakan seragam hitam putih yang elegan.

Para anggota keluarga besar Voss, mengenakan pakaian formal terbaik mereka, berkumpul di sekitar meja.

"Keluarga, rekan-rekan, dan teman-teman," suaranya menggema di ruangan, menghentikan percakapan.

"Malam ini kita merayakan sebuah pencapaian luar biasa. Perusahaan kita tidak hanya tumbuh, tetapi melampaui semua ekspektasi. Keuntungan tahun ini meningkat lima kali lipat dari tahun sebelumnya!"

Suara tepuk tangan menggema, diikuti dengan sorak-sorai. Para tamu mengangkat gelas mereka, bersulang untuk kesuksesan yang mereka raih. Musik orkestra yang dimainkan di sudut ruangan kembali mengalun lembut, menambah suasana mewah yang terasa hampir sempurna.

Namun, kesempurnaan itu mulai goyah saat pintu besar ballroom berderit terbuka. Semua mata tertuju ke arah pintu.

Seorang pria melangkah masuk. Penampilannya sangat kontras dengan tamu lainnya. Dia mengenakan pakaian biasa.

"Xander, apa yang kau lakukan di tempat ini?"

Semua kepala menoleh ke arah sumber suara. Evelyn Voss, wanita yang selalu menjadi pusat perhatian di setiap acara, berdiri dengan anggun di tengah ballroom. Gaun merah panjangnya memeluk tubuhnya dengan sempurna, sementara belahan atas yang terbuka memancarkan aura kecantikan yang tak tertandingi. Kulitnya bersinar di bawah cahaya lampu kristal, membuat para tamu, baik pria maupun wanita, tak bisa mengalihkan pandangan.

Namun, keindahan Evelyn tampak diliputi kemarahan. Tatapannya tajam menusuk ke arah seorang pria yang baru saja memasuki ruangan. Xander, pria tinggi berdiri diam beberapa langkah dari pintu. Ekspresi wajahnya tenang, bahkan sedikit tersenyum, meskipun perhatian seluruh ruangan kini tertuju kepadanya.

Evelyn adalah lambang kesempurnaan yang membuat setiap pria terpana—dan Xander tahu, ia beruntung memiliki wanita ini sebagai istrinya.

Namun, keberuntungan itu terasa seperti ironi. Pertemuan mereka dua tahun lalu adalah sebuah kebetulan yang mengubah hidup Xander. Malam itu, ia menyelamatkan Evelyn dari dua pria berbahaya di sebuah gang gelap. Tanpa disadari, aksi nekatnya menarik perhatian ketua keluarga Voss, yang perlahan mulai membuka hati untuk menjodohkan cucunya dengan seorang pria yang bahkan tidak memiliki nama besar di belakangnya.

Sejak kematian Ethan setahun lalu, tekanan terhadap Xander semakin besar. Evelyn sering menerima desakan dari keluarganya untuk mengakhiri hubungan mereka. Banyak yang percaya bahwa keputusan Ethan adalah kesalahan besar yang perlu diperbaiki.

Namun, Evelyn bertahan. Meski hatinya mulai lelah, ia tetap memberi Xander kesempatan untuk berubah. Evelyn menginginkan seorang pria yang bisa berdiri sejajar dengannya, seseorang yang bisa membuat keluarganya berhenti memandang rendah. Namun, sejauh ini, Xander tidak menunjukkan perubahan apa pun.

"Kau sangat cantik malam ini, Evelyn," puji Xander dengan tulus.

Evelyn, berbalik perlahan. Namun, bukannya senyuman yang diberikan, wanita itu hanya menyilangkan kedua tangan di depan dada, tatapan sinis menghujam tajam.

"Untuk apa kau datang?" suaranya terdengar dingin.

Xander menghentikan langkahnya, masih dengan senyuman kecil.

"Bukankah aku sudah mengatakan agar kau tetap berada di rumah?" lanjut Evelyn, nadanya semakin meninggi.

Xander menghela napas pelan, mencoba menahan emosi. "Apa kau lupa jika aku juga bagian dari keluarga ini? Lagipula, aku ini suamimu. Aku harus ada di tempat kau berada," jawabnya dengan suara tenang.

Sambil tersenyum kecil, Xander mengulurkan tangannya, bermaksud merapikan helaian rambut Evelyn yang terjatuh di pundaknya. Namun, Evelyn menepis kasar tangannya.

"Jangan berani menyentuhku, terlebih di depan keluargaku!" seru Evelyn, membuat beberapa kepala di ruangan menoleh ke arah mereka.

"Kita hanya suami istri di atas kertas, bukan di kehidupan nyata," lanjut Evelyn tanpa ragu.

"Bagiku kau tetap malapetaka yang sengaja dibawa kakek tua itu padaku. Enyahlah!"

Xander menatap Evelyn, senyum di wajahnya sepenuhnya hilang. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Ia melirik ke sekeliling, menyadari bahwa semua mata keluarga Voss kini tertuju pada mereka.

"Luna! Bagaimana penampilanku malam ini? Aku membeli pakaian ini khusus untuk acara malam ini. Cukup mahal menurutku, tapi aku rasa ini sangat pantas untuk acara seperti ini. Apa aku terlihat tampan?"

Kata-kata itu, yang semula dimaksudkan untuk mencairkan ketegangan, justru memicu gelak tawa dari para tamu. Tawa mereka terdengar keras, dan penuh ejekan.

Kenyataannya Xander adalah pria paling tampan di antara pria di ruangan ini. Namun, hal itu sama sekali tidak berguna jika tidak ditunjang oleh kekayaan dan kedudukan.

Di dalam masyarakat yang menuhankan uang, ketampanan bagi seorang pria haruslah ditunjang dengan kekayaan dan kedudukan.

Evelyn memutar mata dengan kesal, melirik Xander sekilas. Jujur saja, Xander memang sedikit lebih tampan dan berbeda malam ini, tetapi itu tidak berarti apa pun untuknya. Pria menyedihkan di dekatnya tetaplah sumber malapetaka dalam hidupnya selama dua tahun terakhir.

"Diamlah!" bentaknya dengan suara tertahan.

Xander terkejut, namun segera menahan diri. Ia hanya menatap Evelyn dengan senyum tipis.

"Kau membuatku menjadi bahan tertawaan keluargaku!" lanjut Evelyn, nadanya semakin tinggi. "Tidak bisakah kau berhenti menjadi sumber masalah dalam hidupku?"

"Baiklah, aku mengerti," jawabnya, suaranya tetap rendah, berusaha menunjukkan pemahaman meski ia merasakan ketegangan dalam dada.

Dengan langkah cepat dan terburu-buru, Evelyn berbalik dan kembali duduk di kursi yang terletak di dekat meja. Tubuhnya terlihat kaku, wajahnya tertunduk sejenak, sebelum ia menyilangkan kedua tangan di depan dada dengan jelas menunjukkan ketidakpeduliannya.

Ia menoleh ke sisi lain, berusaha menghindari tatapan sinis dari anggota keluarga Voss yang sudah sejak tadi memandang mereka. Rasa malu dan frustrasi merasuki setiap inci tubuhnya.

Wanita itu sudah bosan. Sudah bosan dengan cibiran karena ia terjebak dalam pernikahan dengan laki laki sampah itu.

Revan, sepupu Evelyn, tiba-tiba berdiri dari kursinya. Dengan jari telunjuknya yang teracung tajam ke arah Xander.

"Apa kau benar-benar tidak bisa berpikir dengan baik?!" serunya dengan nada penuh amarah.

"Saat ini kau memakai pakaian sampah itu ke acara istimewa keluarga Voss. Jika saja aku jadi kau, aku lebih baik bertelanjang semalam di luar sana daripada mempermalukan diriku seperti ini!"

Namun, belum sempat Xander membuka mulut, suara lain kembali terdengar, jauh lebih tajam. Victor, cucu tertua keluarga Voss, berdiri dari kursinya dengan senyuman sinis yang menghiasi wajahnya.

"Bagaimana mungkin sampah itu bisa berpikir jika dia tidak memiliki otak!" ejek Victor dengan tawa.

"Entahlah!" Selene, kakak sepupu Evelyn, tiba-tiba berdiri dan menatap Xander dengan pandangan jijik. "Kau benar-benar membuat suasana hatiku menjadi buruk! Aku tidak akan mengizinkanmu untuk mengacaukan acara malam ini. Pergi dari sini sebelum aku benar-benar kehilangan kesabaran!"

Avery, ibu Evelyn, menggebrak meja dengan keras. Wajahnya yang masih cantik meski usianya mendekati setengah abad tampak merah karena amarah.

"Apa yang sebenarnya ada di kepala ayahku saat ingin menikahkan cucu kesayangannya dengan seorang pria sampah sepertimu! Sejak awal aku tahu kau hanya akan menjadi aib bagi keluarga ini!" Bentak Avery sambil menatap Xander dengan pandangan penuh permusuhan.

"Kau bahkan tidak pantas menginjakkan kaki di tempat rumah kami, apalagi berada di acara istimewa ini!" Tambahnya, suaranya bergetar karena emosi.

Xander menatap sekeliling dengan senyum tipis di wajahnya, seolah cibiran-cibiran yang dilontarkan anggota keluarga Voss tidak memiliki dampak apa pun padanya. Dengan langkah santai, ia berjalan mendekati Evelyn yang duduk di meja utama, lalu menarik kursi kosong di sebelah istrinya.

Victor, cucu tertua keluarga Voss, berdiri. Jari telunjuknya terarah langsung ke Xander, suaranya menggema penuh kemarahan. "Apa yang kau lakukan, hah? Apa kau tidak dengar aku baru saja mengusirmu? Tidak ada siapa pun yang menginginkanmu di sini!"

Xander menghentikan gerakannya sejenak, menatap Victor dengan tenang tanpa menunjukkan tanda-tanda terganggu. "Aku berhak berada di sini karena aku bagian dari keluarga Voss," jawabnya ringan, lalu kembali bersiap duduk.

Victor menggeram marah, langkahnya maju satu langkah. "Aku juga berhak mengusirmu karena aku adalah keluarga asli Voss. Orang asing sepertimu tidak memiliki hak apa pun di sini!"

Namun, Xander tetap duduk di kursi, mengabaikan seluruh ucapan Victor. Alih-alih bereaksi, pria itu hanya mencari posisi duduk ternyaman dan menatap makanan yang tersaji di meja dengan senyum lebar, seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kebodohanmu pasti sudah sampai di tahapan paling gila!" Victor mendesis, lalu menjatuhkan tubuhnya kembali ke kursi dengan wajah penuh amarah. "Pergilah sebelum aku mengusirmu dengan kekerasan!"

Xander memutar wajahnya, menatap Victor dengan tenang. "Jika kalian tidak mengundangku datang, anggap saja aku sedang menemani Evelyn selama acara ini berlangsung," ujarnya ringan, mengangkat bahu. "Aku janji tidak akan membuat kekacauan."

Sikap santai Xander membuat suasana semakin panas. Selene, kakak sepupu Evelyn, berdiri dengan wajah penuh ketus. Tatapan matanya penuh rasa jijik yang bahkan tidak berusaha ia sembunyikan.

"Evelyn, segera usir suami tidak bergunamu dari sini sekarang juga!" perintah Selene, suaranya lantang.

Evelyn memalingkan wajah, berusaha menghindari kontak mata dengan siapa pun. Ia tahu situasi ini akan menjadi lebih buruk, dan ia merasa terperangkap di antara dua kubu—keluarganya yang penuh tekanan dan Xander yang selalu tidak peduli pada omongan orang lain.

Selene melipat tangan di depan dada, mendesak lebih jauh. "Kau tahu, sejak awal aku sudah bilang pria ini hanya akan menjadi aib bagi keluarga kita! Atau apa kau takut mengusirnya karena ini mungkin satu-satunya cara dia bisa mendekat padamu? Apa kau tidak sadar, Evelyn?" katanya dengan nada tajam.

Selene tersenyum sinis, mengingat bagaimana selama ini ia selalu merasa Evelyn mendapat perhatian lebih dari Ethan, kakek mereka. Kehadiran Xander yang penuh masalah menjadi kesempatan sempurna baginya untuk merendahkan sepupunya itu di depan keluarga besar.

"Jika kau hanya diam, kau sama saja tidak bergunanya dengan pria sampah itu!" serunya tajam. "Evelyn, jangan membuat kami menunggu! Cepat perintahkan sampah itu pergi dari tempat ini sekarang juga!"

Desakan Selene memicu anggota keluarga lainnya untuk ikut bersuara. Satu per satu mulai bergabung, menyuarakan ketidaksenangan mereka terhadap keberadaan Xander.

"Jika kau tidak mengusirnya, maka kau dan ibumu juga akan kami usir," Declan, pemimpin keluarga Voss, berkata dengan nada tegas. Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran yang jelas.

"Kau benar-benar membuat malu keluarga Voss, Evelyn!" marah Declan.

Selene melipat tangan di depan dada, berdiri dengan angkuh. "Apa kau sangat mencintai sampah itu sampai kau tidak ingin dia jauh-jauh darimu?" katanya dengan nada penuh ejekan.

Evelyn menatap jengkel ke arah Xander yang duduk dengan tenang, seolah tidak peduli dengan kekacauan yang ia sebabkan. Melalui sorot matanya, Evelyn seakan berteriak tanpa kata, "Lihatlah! Apa yang sudah kau lakukan padaku?"

Avery, ibu Evelyn, yang sejak tadi menahan amarah, akhirnya meledak. Ia berdiri dengan cepat, mendekati Xander. Dengan gerakan cepat dan penuh emosi, ia mendaratkan tamparan keras di wajah pria itu.

Plak!

"Kau benar-benar sampah tidak berguna!" Avery berteriak, suaranya menggema di seluruh ruangan.

"Kau sudah membuat hidup putriku menjadi sangat menderita. Hanya karena kedatanganmu ke tempat ini, aku dan putriku hampir diusir dari acara keluarga kami sendiri. Apa kau tidak pernah berpikir sejauh itu?"

Xander perlahan berdiri dari kursinya. Ia menunduk sedikit untuk menatap Avery yang hanya setinggi dadanya.

Dengan suara pelan dan penuh penyesalan, ia berkata, "Maafkan aku, Bu."

Avery langsung menunjuk pintu keluar dengan penuh kemarahan. "Aku bukan ibumu! Enyahlah!" serunya.

Kemudian ia berpaling ke arah Evelyn. "Evelyn, cepat usir dia! Jangan mengotori kejutan yang sudah kita persiapkan pada keluarga Voss dengan kehadiran sampah ini!"

Desakan itu membuat Evelyn tidak punya pilihan lain. Ia menatap Xander dengan ekspresi dingin yang nyaris tanpa emosi.

"Pergilah, Xander. Aku tidak membutuhkanmu berada di acara ini, begitu pun juga di hidupku lagi," katanya dengan nada jengkel.

Xander terdiam sejenak, memandang Evelyn dengan senyuman kecil yang penuh kepahitan. "Baiklah! Aku akan menunggumu di rumah. Bersenang-senanglah."

Ruangan dipenuhi dengan suara tawa dan bisikan-bisikan yang jelas ditujukan kepada Xander.

Keluarga Voss mencibirnya terang-terangan tanpa mencoba menyembunyikan ejekan mereka. Bahkan para pelayan pun tak segan-segan tersenyum meremehkan saat melihatnya.

Xander melirik pantulan dirinya di kaca besar yang menghiasi dinding aula.

"Tidak ada yang salah dengan penampilanku malam ini," pikirnya.

Setelan yang ia kenakan, meski tidak sekelas dengan keluarga Voss. Ia bahkan meluangkan waktu untuk memastikan rambutnya tertata rapi. Namun, semua usahanya tampak sia-sia.

"Sepenting itukah kedudukan dan uang bagi mereka?" Gumam Xander dalam hati. Pandangannya kembali tertuju pada refleksinya di kaca.

"Jika aku memiliki banyak uang, apa mereka akan tetap menghinaku seperti sekarang?"

Berandai-andai tidak mengubah apa pun, tapi pertanyaan itu terus menghantuinya.

Ketika ia akhirnya mencapai pintu keluar, langkahnya terhenti oleh kehadiran seorang pria yang berjalan masuk dari arah berlawanan. Pria itu mengenakan setelan mahal yang menandakan statusnya. Di belakangnya, beberapa penjaga berperawakan besar mengikuti dengan langkah mantap.

Xander menatap pria itu dengan bingung. Wajah itu tampak familier, meski ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihatnya.

Pria itu berhenti beberapa langkah di depan Xander, memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki dengan tatapan penuh kebencian.

Lalu, dengan nada merendahkan, ia berkata, "Menyingkirlah dan jangan menghalangi jalanku, makhluk bodoh!"

Bab 2 Perceraian

“Aku minta maaf jika kedatanganku membuat hari bahagia kalian terganggu,” ujar pria itu dengan senyum ramah, namun penuh percaya diri. Ia melangkah mendekat ke arah meja utama, dengan sikap santai yang kontras dengan auranya yang begitu dominan.

Tatapan semua orang di ruangan itu langsung terpusat padanya.

Namanya Mason Dagger bukanlah nama asing—putra dari keluarga nomor satu di kota ini, keluarga Dagger. Keluarga Voss, meskipun cukup terpandang, jelas berada di bawah bayang-bayang kekuasaan dan pengaruh keluarga Dagger.

Declan, pemimpin keluarga Voss, terkejut mendapati sosok Mason hadir tanpa pemberitahuan sebelumnya. Ia bergegas berdiri dari kursinya, mengulurkan tangan.

“Tuan Mason Dagger, aku merasa sangat terhormat bisa bertemu dengan anda di acara keluarga kami malam ini,” ucap Declan penuh rasa hormat, suaranya bergetar sedikit oleh rasa gugup.

Sebagai pemimpin keluarga, ia tahu betul pentingnya menjaga hubungan baik dengan keluarga seperti keluarga Dagger.

Keluarga Voss lainnya serempak bangkit dari kursi, menatap Mason dengan campuran rasa hormat dan kekaguman. Beberapa wanita di ruangan itu buru-buru memperbaiki penampilan mereka—membenarkan rambut, melirik pakaian mereka untuk memastikan tidak ada yang kusut.

Sementara itu, Selene memanfaatkan momen tersebut. Ia melangkah maju dengan senyum yang dibuat semanis mungkin. “Kau terlihat sangat tampan malam ini, Tuan,” pujinya dalam hati.

Declan kembali angkat bicara, mencoba menggiring percakapan ke arah yang lebih formal. “Apa yang membawa Anda ke acara kami, Tuan? Sebelumnya saya tidak mendengar kabar bahwa keluarga Dagger menerima undangan dari pihak kami.”

Mason tertawa kecil, santai tetapi tetap terdengar anggun. “Oh, aku tidak menerima undangan resmi Namun, aku diundang secara pribadi oleh dua wanita hebat dari keluarga Voss.” jawabnya ringan.

Ruangan itu mendadak hening. Tatapan penuh rasa penasaran mengarah ke Mason, lalu beralih ke Avery dan Evelyn, mencoba menebak siapa yang ia maksud.

“Aku datang atas undangan Nona Avery dan Nona Evelyn,” ucap Mason dengan suara rendah. Pandangannya kemudian beralih pada Evelyn, dan untuk beberapa saat ia memandangi wanita bergaun merah itu dengan sorot mata kagum.

“Kau tampak lebih sempurna dibanding biasanya, Nona Evelyn,” tambahnya, suaranya terdengar hangat.

Evelyn, yang tadinya merasa tidak nyaman dengan tatapan semua orang, kini merasakan pipinya memerah mendengar pujian itu. Ia mencoba tersenyum tipis sebagai tanggapan, meskipun hatinya bergejolak antara rasa bangga dan perasaan aneh yang sulit dijelaskan.

Selene, yang berdiri tidak jauh dari mereka, langsung memasang wajah cemberut. Tatapannya tajam, penuh kebencian pada Evelyn.

"Lagi-lagi Evelyn yang mendapatkan perhatian. Apakah aku harus kalah darinya lagi?" pikirnya dengan kesal.

Declan, yang tadi menyambut Mason dengan ramah, kini melirik Avery dan Evelyn bergantian dengan tatapan tajam. “Undangan Avery dan Evelyn?”

“Kenapa aku sama sekali tidak diberitahu tentang ini?”

Avery, dengan senyum penuh kemenangan, melangkah mendekat ke arah Declan. Ia menyalami Mason terlebih dahulu dengan sopan, lalu berbalik menatap kakaknya.

“Declan, inilah yang kumaksud dengan kejutan malam ini,” ujarnya santai.

Setelah itu, Avery menoleh ke Evelyn dan menyikut pelan lengan putrinya. “Evelyn, giliranmu,” katanya pelan.

Evelyn melangkah maju, membungkuk singkat dengan setengah mengangkat gaunnya agar terlihat anggun.

“Selamat malam, Tuan Mason! Suatu kehormatan bisa bertemu denganmu malam ini.” sapanya dengan nada formal.

Mason tersenyum tipis, lalu dengan gerakan pelan namun penuh arti, ia menyelipkan beberapa helai rambut Evelyn yang terurai ke belakang telinganya. Gerakan itu begitu lembut, namun cukup untuk membuat semua orang di ruangan terdiam karena terkejut.

Declan, Avery, Selene, bahkan pelayan-pelayan yang berdiri di sudut ruangan memandangi adegan itu dengan mata melebar. Tak ada satu pun dari mereka yang mengira Mason akan bersikap seakrab itu dengan Evelyn.

Namun, yang paling terkejut adalah Xander. Berdiri di dekat pintu, ia mematung dengan rahang mengeras.

“Terima kasih, Tuan,” Evelyn akhirnya berkata, mencoba menjaga senyumnya agar tetap netral meskipun wajahnya sedikit memerah. Di saat yang sama, ia tidak bisa mengabaikan rasa tidak nyaman yang tiba-tiba muncul, terutama ketika matanya bertemu dengan tatapan Xander yang dingin.

Mason, yang tampaknya tidak menyadari suasana canggung itu, hanya tertawa kecil. “Ah, jangan terlalu formal, Evelyn. Aku lebih senang jika kita saling berbicara dengan santai.”

Kata-kata itu semakin membuat suasana di ruangan menjadi tegang, terutama bagi Selene, yang kini merasa seperti seorang penonton dalam panggung yang bukan miliknya. "Bagaimana mungkin Evelyn selalu mendapatkan segalanya?" Selene menggenggam tangannya erat, berusaha menahan emosinya.

Xander masih berdiri di ambang pintu, matanya terbakar oleh rasa cemburu dan kemarahan yang mendalam. Ia menatap Mason yang dengan santai menyentuh rambut Evelyn, menyingkirkan helaian rambut yang tergerai.

"Bagaimana bisa pria itu, yang bahkan bukan siapa-siapa, bertindak seenaknya begitu?" pikir Xander.

Sebagai suami Evelyn, Xander merasa seharusnya dia yang mendapatkan perhatian itu, yang mendapatkan kehangatan sentuhan lembut dari istrinya. Namun, pria asing itu—yang baru saja datang dan belum tentu memiliki kedekatan—dengan kurang ajar menyentuh Evelyn di depan matanya.

Xander menggertakkan gigi, mengepalkan tangan hingga otot-otot di tangannya terasa mengencang. Rahangnya pun mengeras, menahan diri dari meledakkan amarahnya. Meskipun ia sudah terbiasa menghadapi hinaan dan cacian dari keluarga besar Voss, ada satu hal yang tidak bisa diterimanya—melihat orang lain memperlakukan istrinya dengan cara yang tidak pantas. Itu adalah titik di mana kesabarannya teruji.

Matanya tidak lepas dari Evelyn, yang masih terdiam, seolah tidak bisa berbuat apa-apa dengan sentuhan Mason.

"Dia hanya menghormati kedudukan pria itu, itulah mengapa dia membiarkannya," pikir Xander, meskipun ia tahu itu bukan salah Evelyn.

Ia mulai melangkah maju, bertekad untuk menarik Evelyn dari situasi yang tidak nyaman ini. Namun, langkahnya terhenti ketika tiga pria besar yang mengiringi Mason memblokade jalannya dengan tubuh mereka yang kekar. Salah satu dari mereka, yang paling besar, mendorong Xander dengan kasar.

Tapi, dorongan itu tidak membuat Xander mundur sedikit pun. Tubuhnya tetap tegak, tidak bergerak. Dari ukuran tubuh, ia dan ketiga penjaga itu tampak seimbang—mungkin bahkan lebih besar.

Xander memilih untuk tetap diam di tempat. Ia tahu, jika terjadi sesuatu, ia akan langsung maju tanpa rasa takut. "Aku sudah berjanji pada kakek Ethan untuk melindungi Evelyn."

Keheningan di ruangan makan pecah begitu Declan membuka mulut. "Silakan duduk, Tuan."

Mason, dengan senyuman, duduk di samping Evelyn. Sekilas, dia melirik wanita itu dengan pandangan yang penuh ketertarikan.

Tangan Xander mengepal lagi, dan langkahnya maju ketika melihat Mason duduk di kursi yang sebelumnya ia tempati. Ada rasa risih yang mendera, seolah-olah seluruh situasi itu mendesak dirinya untuk bertindak. Tapi begitu ia melangkah lebih dekat, tiga penjaga yang mengiringi Mason kembali menghalangi jalannya, mendorongnya dengan kasar. Tubuh Xander terhenti di tempat, matanya menyala penuh amarah, namun ia memilih untuk tetap diam, menunggu waktu yang tepat.

Sementara itu, suasana berlangsung dengan hangat, meskipun ada ketegangan yang semakin terasa di udara. Declan berniat untuk memulai percakapan mengenai kerjasama antara perusahaan keluarga Voss dan beberapa perusahaan keluarga Dagger. Sebuah pembicaraan yang dapat membuka pintu bagi lebih banyak peluang keuntungan, tetapi ia merasa risih dengan kehadiran Xander yang sepertinya tidak tahu tempat.

Declan mengepalkan tangan di atas meja, wajahnya mengeras. "Sampah itu," ucapnya pelan dengan geram.

Mason yang mendengar ucapan itu menoleh ke arah Declan, matanya menilai.

"Ada apa, Tuan Declan?" tanyanya sambil melihat kearah pintu masuk

"Bukankah itu menantu tidak berguna keluarga Voss? Apa yang sedang dilakukannya di tempat ini? Apa dia salah satu yang diundang dalam acara ini?"

"Tidak, Tuan! Pria itu sama sekali bukan bagian dari keluarga Voss meski dia menikah dengan salah seorang dari kami. Dia pasti menyelinap ke acara ini hanya untuk sekadar mengisi perutnya yang kosong."

Avery, yang duduk di sebelah Mason, ikut berbicara dengan nada tinggi. "Kita abaikan saja sampah tidak berguna itu," katanya, melirik Xander dengan tatapan penuh kebencian sebelum akhirnya menoleh ke arah Mason, tersenyum lembut.

"Aku memiliki kabar bahagia untuk disampaikan pada kalian semua malam ini. Aku menganggap hal ini sebagai hadiah atas keberhasilan dan kerja keras keluarga kita."

Semua anggota keluarga Voss yang ada di meja langsung saling bertukar pandang, senyum penuh tanda tanya muncul di wajah mereka. Mereka tampaknya menunggu penjelasan lebih lanjut dari Avery. Namun, di sisi lain, Selene yang hanya menundukkan kepala, menghindari tatapan orang-orang di sekelilingnya. Jelas, dia masih kesal, terutama karena perasaan cemburu yang semakin membesar dalam dirinya saat melihat perhatian Mason tertuju pada saudarinya, Evelyn.

"Kabar bahagia?" tanya Declan, suaranya penuh rasa ingin tahu, namun juga tidak sabar. Semua orang pun ikut menunggu dengan antusias.

Avery berdiri dengan senyuman lebar di wajahnya, penuh kebahagiaan yang terpancar. Ia meraih tangan Evelyn di satu sisi dan tangan Mason di sisi lainnya, lalu menarik keduanya ke atas meja.

"Aku pikir Tuan Mason lebih berhak memberi tahu kalian kabar bahagia ini," ucap Avery.

Semua perhatian kini terarah pada Mason. Pria itu tersenyum lebar, matanya melirik Xander melalui sudut matanya.

Ada sesuatu dalam tatapan itu—kelegaan, kepuasan, bahkan penghinaan halus—saat melihat Xander yang masih terhalang oleh ketiga pengawal Mason.

Namun, Mason tahu bahwa momen ini bisa menjadi lebih menarik.

"Permainan ini harus dimainkan dengan sempurna." Batinnya

“Biarkan pria itu mendekat! Aku ingin dia juga mendengar kabar bahagia ini." ujar Mason dengan tenang, menginstruksikan ketiga pengawalnya untuk memberi jalan kepada Xander.

"Tuan Mason, apa maksud Anda?" Avery tampak terkejut dengan keputusan itu, suaranya mencerminkan kebingungannya. Ia hendak melanjutkan protes, tetapi berhenti seketika saat Mason memberinya sebuah kedipan. Isyarat itu cukup untuk membuat Avery diam.

Di sudut ruangan, Xander yang sejak tadi berdiri terdiam, langsung melangkah maju dengan langkah terburu-buru. Ia melewati ketiga pengawal Mason tanpa mengucapkan sepatah kata pun, pandangannya terpaku pada Evelyn dan Mason.

Namun, ketika ia melihat tangan Avery yang masih menggenggam tangan Evelyn dan Mason bersamaan, dadanya mendadak terasa sesak.

Mason berdiri, pandangannya menyapu seluruh ruangan. Setelah memastikan perhatian semua orang tertuju padanya, ia akhirnya berbicara.

“Aku dan Nona Evelyn sudah sepakat untuk memberi tahu kabar bahagia ini pada kalian semua malam ini,” katanya dengan nada yang tenang.

"Aku dan Nona Evelyn berencana untuk menikah dalam waktu dekat."

Ruangan itu mendadak sunyi. Semua anggota keluarga Voss terlihat terkejut, saling melempar pandangan satu sama lain.

Selene, yang sebelumnya berharap bisa mendekatkan diri dengan Mason, merasa seperti ditampar dengan keras oleh kenyataan. Matanya melebar, ekspresi wajahnya berubah drastis, dari penuh antisipasi menjadi penuh kemarahan dan kekecewaan.

Selama ini ia tidak pernah tahu mereka memiliki hubungan seperti ini.

"Menikah dengan Evelyn? Apa maksudmu?"

Suara keras itu menarik perhatian semua orang, membuat mereka memutar kepala ke arah Xander yang kini melangkah maju. Tatapan tajamnya terarah langsung pada Mason. Namun, sebelum ia bisa mendekat lebih jauh, ketiga pengawal Mason kembali menghadang langkahnya.

"Evelyn adalah istriku, dan aku adalah suaminya!Bagaimana mungkin kau akan menikahi wanita yang masih memiliki ikatan pernikahan dengan seorang pria?" lanjut Xander.

Namun, Mason tampak tak terganggu. Dengan santai, ia mengangkat bahunya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi.

“Aku dan Nona Evelyn sering bertemu dalam berbagai kesempatan akhir-akhir ini, dan aku benar-benar dibuat jatuh cinta padanya,” ucap Mason, suaranya terdengar santai.

Ia melirik Evelyn, senyum lembut muncul di wajahnya sebelum ia mengangkat tangan dan mengelus pipi wanita itu perlahan. “Dia begitu sempurna untukku. Kami berencana untuk menikah setelah Evelyn bercerai dengan... sampah itu.”

“Aku pikir orang sesempurna Nona Evelyn pantas mendapatkan pria yang juga sempurna sepertinya. Benar begitu, Nona Evelyn?” Sambung nya lagi.

Semua mata kini tertuju pada Evelyn, yang tampak terdiam di tempatnya. Mata wanita itu tertunduk, tak berani menatap siapapun. Avery, yang duduk di sampingnya, melirik tajam ke arah putrinya. Dengan cepat, ia menendang kaki Evelyn di bawah meja, memaksa wanita itu untuk segera memberikan jawaban.

Evelyn perlahan mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan Xander yang penuh kemarahan.

Namun, ada sesuatu yang mengganggu hatinya. Kata-kata Xander tadi terus terngiang di benaknya. Pernikahan itu memang tidak pernah ia inginkan, tetapi selama dua tahun terakhir, ia tidak bisa menyangkal bahwa kehadiran Xander telah menjadi bagian dari hidupnya.

Di satu sisi, Evelyn merasa kesempatan ini adalah jalan keluar dari pernikahan yang tidak pernah ia cintai. Tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang samar, sesuatu yang enggan ia sebut sebagai rasa kehilangan.

Namun, ia tahu tidak ada pilihan lain. Di bawah tatapan tajam ibunya dan Mason yang menunggu jawaban, Evelyn menarik napas panjang, lalu berbicara dengan nada lembut namun dingin.

"Ya, aku juga berpikir demikian. Selama ini aku begitu tersiksa dengan pernikahan yang aku jalani. Banyak kesempatan yang ada di depanku pergi begitu saja," katanya sambil mengalihkan pandangannya dari Xander.

"Aku juga sama sekali tidak merasakan kebahagiaan apa pun selama menikah. Tapi saat bersama Tuan Mason, aku merasa jika hidupku sempurna. Untuk itulah aku bersedia menikah dengannya."

Kata-kata itu terasa seperti petir yang menyambar Xander. Napasnya memburu, dan wajahnya memerah. Ia mengepalkan tangannya dengan kuat.

"Aku tidak setuju!" teriaknya, suaranya menggema di ruangan itu. "Aku yakin ini pasti sebuah kesalahan!"

Namun, sebelum Xander bisa melanjutkan, Avery berdiri dari kursinya lalu ia menunjuk langsung ke arah Xander.

"Kesalahan yang kau maksud adalah kau sendiri, menantu tidak berguna!" Bentaknya.

"Kau sudah menghancurkan hidup putriku selama dua tahun. Selama itu pula kau sama sekali tidak memberikan apa pun pada putriku, kecuali penderitaan. Tuan Mason adalah pria yang paling tepat untuk mendampingi Evelyn. Kau sama sekali tidak pantas dibandingkan dengannya dalam hal apa pun. Bahkan, bayanganmu sekalipun."

Xander hanya berdiri terpaku di tempatnya, tubuhnya tegang. Setiap kata yang keluar dari mulut Avery seperti duri yang menusuknya dalam-dalam.

Declan dengan senyum sinis, ikut menambahkan. "Lagipula, setuju atau tidak itu bukan urusanmu."

"Evelyn sudah membuat keputusannya, dan kita semua tahu ini adalah yang terbaik untuknya."

Declan melirik Mason sekilas, membayangkan keuntungan besar yang akan datang jika pernikahan ini benar-benar terjadi. Kerja sama dengan Phoenix Vanguard melalui keluarga Dagger akan menjadi kunci emas bagi keluarga Voss.

"Enyahlah sekarang juga! Kehadiranmu di sini hanya akan merusak suasana malam yang seharusnya bahagia ini." Usir Declan sembari menunjuk pintu keluar.

Satu per satu dari mereka melontarkan kata-kata yang menyakitkan, seolah ingin merendahkan pria itu hingga tidak berdaya.

"Evelyn, katakan padaku bahwa semua ini adalah kebohongan,"ucapnya, melangkah maju dengan ekspresi memohon.

Namun, langkah Xander terhenti saat ketiga pengawal Mason dan beberapa penjaga mulai bergerak mendekat, menghalanginya dengan tubuh besar mereka. Avery, yang sudah kehilangan kesabaran, berteriak histeris.

"Diam dan pergilah sekarang juga! Kemasi barang-barangmu dan enyah dari kehidupan putriku malam ini juga!"

Xander mengabaikan teriakan Avery. Tatapannya tetap terarah kepada Evelyn, yang masih duduk memunggunginya. "Evelyn," katanya lagi, kali ini lebih lembut, tetapi dengan keteguhan yang jelas.

Avery, yang semakin naik pitam melihat Xander tidak menggubrisnya, melangkah cepat keluar dari kursinya. Dengan tangan terangkat tinggi, ia melayangkan tamparan keras ke pipi Xander tanpa ragu.

Plakk!

Suara tamparan itu menggema di ruangan, membuat semua orang terdiam sesaat.

"Selain kemiskinan dan kebodohan, apa kau juga memiliki pendengaran yang buruk?" bentak Avery dengan napas tersengal karena emosi.

Xander tidak melawan. Ia hanya mengusap pipinya yang mulai memanas akibat tamparan itu, lalu menatap Evelyn yang masih tidak berbalik.

"Aku akan pergi jika memang Evelyn yang memintaku pergi, Bu,"

Avery mengentak kakinya dengan kesal. "Kau benar-benar sudah gila!"

Akhirnya, Evelyn berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Xander.

Jujur saja, selama menjalani pernikahan dengan Xander, ia belum pernah melihat pria itu semarah ini. Selama dua tahun pernikahan mereka, Xander selalu sabar menghadapi dirinya dan keluarganya, bahkan ketika mereka memperlakukannya seperti orang luar yang tidak diinginkan.

Namun, Evelyn tahu bahwa keputusannya sudah bulat. Ia telah memikirkannya berulang kali. Meski ada keraguan kecil yang menyelinap di hatinya, ia menepisnya dengan cepat. Dengan napas panjang, Evelyn akhirnya berbicara.

"Xander, aku ingin mengakhiri pernikahan denganmu mulai malam ini juga."

Bab 3 Terkejut

Xander berdiri mematung, tubuhnya terasa berat seperti tertahan oleh beban yang tak terlihat. Ia menatap Evelyn dengan mata yang penuh ketidakpercayaan. Kata-kata Evelyn tadi masih terngiang di telinganya. Namun, perlahan-lahan kepalan tangannya melemah, dan amarah yang tadi membakar dadanya mendadak surut saat ia melihat wajah wanita yang telah ia cintai selama dua tahun terakhir.

Bagaimana mungkin ia bisa membenci wanita itu? Meski tidak pernah diberi kesempatan untuk menyentuhnya dan sering kali menerima perlakuan dingin atau menyakitkan, rasa cinta Xander tidak pernah goyah. Ia selalu percaya bahwa suatu hari Evelyn akan melihat ketulusan hatinya, menerima semua kekurangannya, dan memberi mereka kesempatan untuk membangun sesuatu yang lebih baik.

Senyum kecil muncul di wajah Xander, meski matanya masih memancarkan kekecewaan yang mendalam. Ia mencoba menguatkan dirinya, meyakinkan hati bahwa ucapan Evelyn tadi hanyalah luapan emosi sesaat.

"Aku sudah berjanji pada kakekmu untuk menjagamu, Evelyn. Aku tidak akan mundur begitu saja." katanya dengan nada lembut namun tegas.

Mason, yang berdiri di sisi Evelyn, tersenyum penuh kemenangan. Ia meraih tangan Evelyn, menggenggamnya erat.

"Mulai detik ini, akulah yang akan menjaga Evelyn," ucapnya dengan lantang.

Mata Xander berubah tajam. Amarah yang tadi surut kembali membara. Ia melangkah maju, suaranya menggema di ruangan. "Lepaskan tanganmu dari tangan istriku sekarang juga! Kau tidak bisa melakukannya di depanku!"

Ketiga pengawal Mason segera bergerak untuk menghalangi langkah Xander. Namun, dengan satu dorongan kuat, Xander berhasil mendorong mereka mundur. Tubuh mereka yang besar tak mampu menandingi kekuatan dan tekad pria itu.

Mason masih tersenyum lebar, seolah menikmati frustrasi yang terpancar dari wajah Xander. Dengan sengaja, ia menarik Evelyn lebih dekat ke tubuhnya. Tangannya mengelus rambut Evelyn dengan gerakan perlahan, sementara bibirnya mendekat untuk mencium aroma lembut dari wanita itu.

Evelyn tidak bisa menyembunyikan rasa tidak nyamannya. Selama ini, ia menjaga dirinya dengan sangat hati-hati, jauh dari tangan-tangan pria yang berniat buruk. Namun, dalam situasi ini, ia merasa tidak berdaya. Perlawanan hanya akan memperkeruh keadaan, dan ia memilih untuk tetap diam meski hatinya bergejolak.

Xander, yang melihat perlakuan Mason terhadap Evelyn, semakin tidak bisa menahan dirinya.

"Jangan sentuh dia lagi!" teriaknya, Ia kembali melangkah maju, meski tahu bahwa Mason akan terus memprovokasi dirinya.

Mason menatap Xander dengan pandangan meremehkan. "Cobalah menghentikanku, Xander!"

Mason tersenyum penuh arogansi, dengan nada angkuh, ia berkata, "Nona Evelyn adalah milikku, begitupun dengan aku. Jadi, menyingkirlah sebelum kau mendapat hukuman."

Xander yang masih berdiri kokoh di tempatnya mengabaikan ancaman itu. Matanya tetap menatap Evelyn, tetapi ketika Mason melangkah lebih dekat, ia bergerak maju dengan cepat.

"Menjauhlah dari Evelyn! Dia masih menjadi istriku karena kami belum bercerai!" serunya lantang sambil menarik tangan Mason dengan kasar.

Tubuh Mason terdorong ke samping dan hampir terjatuh. Ia menatap Xander dengan penuh murka. "Berani sekali kau melakukan hal ini padaku, sampah!"

Ia melirik pergelangan tangannya yang kini memerah akibat tarikan kasar Xander.

"Kekuatanmu ternyata tidak bisa diremehkan," pikirnya sejenak, menahan rasa sakit yang menjalar.

Declan, yang sejak tadi mengamati, segera melangkah maju.

"Apa kau sudah benar-benar gila? Kau baru saja mencelakai Tuan Mason!" teriaknya keras, suaranya menggema di ruangan itu.

"Kau tahu siapa keluarga Mason? Apa kau juga tahu apa yang bisa mereka lakukan jika merasa terhina? Keluarga Voss akan membayar mahal karena ulahmu!"

Suasana semakin memanas. Keluarga Voss yang ada di ruangan itu mulai melontarkan cibiran satu per satu.

"Enyahlah dari tempat ini sekarang juga!"

"Kau benar-benar sampah yang tidak berguna!"

"Kehadiranmu membuat perayaan ini menjadi kacau balau!"

"Kau tidak tahu malu!"

"Kehadiranmu terus mencemarkan nama keluarga Voss!"

Cibiran-cibiran itu terus berdatangan, seperti badai yang menghantam Xander dari segala arah. Tatapan penuh kebencian tampak jelas di wajah setiap anggota keluarga Voss. Mereka tampak geram karena tindakan Xander yang dianggap mencelakai Mason, pria yang menurut mereka jauh lebih berharga daripada Xander.

Perayaan yang seharusnya penuh kebahagiaan kini berubah menjadi medan konflik yang penuh ketegangan. Xander menjadi sasaran kemarahan dan penghinaan tanpa henti.

Di tengah persaingan ketat bisnis keluarga dan juga di tengah ketatnya pertarungan untuk mendapatkan penghargaan dan puncak kesuksesan di Kota itu, sosok Xander justru datang tanpa bisa memberikan keuntungan apa pun pada mereka.

Bagi mereka Xander tak ubahnya benalu yang mencoreng nama besar keluarga mereka.

Xander berdiri tegak di tengah ruangan, menahan setiap tatapan penuh kebencian dan cibiran yang terus mengarah padanya. Namun, pria itu tidak peduli. Amarah yang membara di dalam dadanya tidak mengaburkan tujuannya—melindungi Evelyn, seperti yang pernah ia janjikan pada Ethan.

Dengan nada yang tenang, ia berkata, "Evelyn, jangan mudah percaya dengan ucapan pria bernama Mason. Aku yakin dia memiliki rencana yang buruk untukmu."

Ia melangkah maju perlahan, mencoba mendekati Evelyn. Tetapi Evelyn, yang berdiri diam dengan wajah tanpa ekspresi, hanya menghela napas panjang. Dengan gerakan pelan, ia menepis tangan Xander yang mencoba menyentuhnya.

Cibiran dari keluarga Voss semakin menjadi-jadi, seperti api yang disiram bensin. Tetapi Xander tetap tidak bergeming. Fokusnya hanya pada Evelyn, wanita yang selama dua tahun ia cintai meski tidak pernah mendapatkan balasan yang diharapkannya.

Di sisi lain, Mason memekik keras dengan amarah yang menyala-nyala.

"Apa kau menganggap dirimu lebih segalanya dariku?" serunya sambil menunjuk Xander dengan penuh penghinaan.

"Kau pikir siapa dirimu, sampah! Kau bahkan tidak memiliki apa pun dan siapa pun saat ini! Apa urat malumu sudah benar-benar hilang, atau otakmu yang sudah tidak berfungsi dengan normal?" Mason melanjutkan.

Mason mendekat satu langkah, tetapi berhenti begitu menyadari bahwa mendekati Xander adalah keputusan yang bisa berujung fatal. Ia mengingat betapa kuatnya pria itu, dan melihat apa yang terjadi sebelumnya pada pengawalnya, ia tahu ketiga pria itu tidak akan cukup untuk menghentikan Xander jika situasi memanas.

Xander menatap Evelyn dengan mata yang mulai basah. "Aku tahu aku bukan suami yang sempurna. Tapi aku berjanji pada kakekmu untuk menjagamu. Dan aku tidak akan mundur sampai aku yakin kau benar-benar aman." ucapnya dengan nada yang lebih rendah.

Mason tertawa sinis, dan kembali berkata. "Aman? Evelyn akan jauh lebih aman bersamaku daripada bersamamu. Apa yang bisa kau berikan padanya, Xander? Kesengsaraan? Kemiskinan? Kau tidak lebih dari beban bagi Evelyn selama ini."

"Berhentilah membuat malu keluarga ini!" seru Avery dengan amarah. "Kau tidak pantas mengatakan hal buruk pada Tuan Mason! Dia lebih dari pantas untuk mendampingi Evelyn dibanding kau yang hanya sekadar menantu tidak berguna! Rajinlah bercermin agar kau tahu siapa dan apa posisimu!"

Mason mendekati Evelyn dengan senyum penuh kemenangan. "Nona Evelyn, tenanglah. Aku bisa menghadapi dan menyingkirkan sampah ini selamanya dari hidupmu. Itu akan sangat mudah bagiku."

Sambil berkata demikian, Mason merangkul Evelyn, menarik wanita itu ke pelukannya. Evelyn tampak kaku, tidak nyaman dengan kedekatan itu, tetapi ia tidak menunjukkan perlawanan. Mason memanfaatkan momen itu untuk menyudutkan Xander lebih jauh.

"Bukankah kau seringkali mengatakan ingin segera berpisah dari sampah yang menjadi suamimu itu? Kau sudah menjatuhkan pilihan yang tepat dengan menjadikan aku sebagai pasangan. Sejujurnya, banyak gadis dari keluarga kelas atas yang menginginkanku sebagai pasangan mereka. Hanya saja, tidak ada satu pun dari mereka yang mampu mencuri hatiku. Hal itu berbeda sekali denganmu. Kau mampu mencuri hatiku hanya dalam pandangan pertama." ucap Mason panjang lebar.

Avery, yang sejak tadi hanya mengamati, tiba-tiba melangkah maju dan memeluk Evelyn dari samping.

"Tentu saja putriku ini sangat istimewa," ucap Avery sambil menepuk bahu Evelyn. "Selain cantik dan memiliki kepribadian yang baik, dia juga memiliki segudang kemampuan. Keberhasilan keluarga Voss tidak bisa dipisahkan dari kecerdikan dan keahlian Evelyn dalam berbisnis. Kau sangat pantas mendapatkan putriku, Tuan Mason."

Mason dengan angkuh menggenggam tangan Evelyn, kemudian menunduk dan mengecup punggung tangan wanita itu. Tatapan matanya terfokus pada mata Evelyn, yang kini membelalak terkejut. Evelyn berusaha menarik tangannya kembali, tetapi Mason justru menariknya lebih dekat.

"Kau luar biasa, Evelyn! Kau adalah wanita yang pantas berdampingan denganku." ucap Mason dengan nada memikat.

Sontak, keluarga Voss mulai memberikan pujian yang berlebihan.

"Mereka benar-benar pasangan yang serasi!" seru salah satu anggota keluarga.

"Tuan Mason sangat tampan dan berkelas, cocok sekali dengan Evelyn!" tambah yang lain.

Evelyn tampak canggung, tetapi Mason tersenyum puas, menikmati setiap pujian yang diterimanya.

"Apa yang kau baru saja lakukan pada istriku?" suara Xander memecah suasana, penuh kemarahan yang menggelegar.

"Singkirkan sampah ini dari hadapanku sekarang juga!" perintahnya pada ketiga pengawalnya sambil menunjuk Xander.

Ketiga pengawal Mason langsung bergerak maju, tetapi Xander tetap berdiri tegap.

Melihat Xander yang tidak bergerak, Mason semakin percaya diri. Ia menggenggam tangan Evelyn lebih erat, menarik tubuh wanita itu mendekat, lalu dengan cepat mengecup kening Evelyn di depan semua orang.

Ruangan seketika terdiam. Evelyn tertegun, matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Ia segera menarik tangannya dari genggaman Mason, melangkah mundur sambil mengusap bekas ciuman itu dengan punggung tangannya.

"Kau!" teriak Xander tiba-tiba saja menggema seperti ledakan.

Semua orang di ruangan itu membeku. Tatapan mereka tertuju pada Xander, yang sekarang tampak seperti orang yang berbeda. Aura gelap menyelimuti sosoknya, dan ekspresinya berubah menjadi sangat menakutkan.

Evelyn menatap Xander dengan raut wajah bingung. Ia tidak pernah melihat Xander semarah ini sebelumnya.

"Apakah Xander marah karena melihat Mason menciumku? Atau ada alasan lain?" Evelyn bertanya dalam hati.

"Menjauhlah dari istriku!" teriak Xander dengan suara yang menggema di seluruh ruangan.

Tanpa berpikir panjang, Xander melangkah maju dengan gerakan cepat, membuat semua orang terkejut.

Ketiga pengawal Mason yang mencoba menghalangi jalannya langsung menyerangnya serentak. Namun, Xander menghindari setiap serangan mereka dengan gerakan yang lincah dan terukur.

Dalam hitungan detik, satu per satu pengawal itu roboh ke lantai. Pukulan Xander yang penuh tenaga melumpuhkan mereka tanpa ampun.

Ruangan yang tadinya dipenuhi dengan cibiran mendadak sunyi. Anggota keluarga Voss menatap pemandangan itu dengan wajah penuh kengerian.

Ketiga pengawal itu terkapar tanpa mampu bangkit lagi. Satu di antaranya menggeliat lemah, tetapi segera kehilangan kesadaran. Harus diakui, Xander memiliki kemampuan bela diri yang luar biasa.

"Dia... dia monster," bisik salah satu anggota keluarga Voss dengan suara gemetar.

Namun, Xander tidak peduli. Pandangannya yang dipenuhi amarah terkunci pada Mason, yang kini melangkah mundur dengan wajah memucat. Meskipun ia mencoba menyembunyikan rasa takutnya di balik senyuman angkuh, kegelisahannya tidak dapat disembunyikan sepenuhnya.

"Berani sekali kau!" Mason mencoba berkata dengan nada tegas, tetapi suaranya bergetar.

Tanpa memberi Mason kesempatan untuk melarikan diri, Xander bergerak maju. Ia meraih kerah jas Mason, menariknya dengan kasar hingga pria itu tersentak.

"Kau...! Lepaskan aku!" Mason meronta, tetapi genggaman Xander begitu kuat, membuat napasnya tersendat. Wajahnya memerah, dan ia berusaha melepaskan cengkeraman itu, tetapi sia-sia.

"Apa yang kau lakukan, Xander? Lepaskan Tuan Mason sekarang juga!" Declan mencoba menarik tangan Xander, tetapi tangan itu terasa seperti batu, tidak bergerak sedikit pun.

"Kau benar-benar sampah tidak tahu diri!" Declan berteriak, tetapi itu tidak mempengaruhi Xander sedikit pun.

Mason berusaha berbicara, tetapi cengkeraman Xander pada kerah jasnya terlalu erat. Ia hanya mampu mengeluarkan suara serak.

"Le-lepaskan tanganmu dari Tuan Mason!" seru Raven dengan nada bergetar. Meskipun ia tampak ingin membantu, langkah kakinya tetap terpaku, takut mendekat setelah menyaksikan bagaimana Xander melumpuhkan tiga pengawal Mason dengan mudah.

"Apa kau tidak tahu apa akibat dari perbuatanmu barusan!" Ucap Victor menambahkan, berdiri dari kursinya. Namun, seperti Raven, ia juga enggan mendekat. Wajahnya memucat saat melihat ketiga pengawal Mason masih tergeletak di lantai, mengaduh lemah.

"Aku sudah mengatakan padamu untuk menjauh dari istriku, tapi kau seperti sengaja menguji kesabaranku," ujar Xander dengan nada dingin.

Dengan satu dorongan kuat, Xander melepaskan genggamannya. Mason terhempas ke lantai dengan keras, punggungnya membentur ubin hingga terdengar suara berdebam. Ia terbatuk-batuk beberapa kali, wajahnya yang merah kini semakin memerah karena malu dan marah.

"Kau boleh menghinaku sepuas hatimu, tapi aku tidak akan membiarkanmu berbuat kurang ajar pada istriku," lanjut Xander dengan nada tegas.

Declan buru-buru melangkah ke arah Mason, berusaha membantunya berdiri. Namun, saat Declan mengulurkan tangannya, Mason dengan kasar menepisnya.

"Diamlah!" bentak Mason dengan tatapan murka. Ia mencoba berdiri meski tubuhnya tampak kesakitan, sesekali meringis saat bergerak.

Declan, yang merasa tersinggung dan takut sekaligus, hanya bisa menunduk tanpa berani membalas.

“T-Tuan Mason, aku bisa menjelaskan," ujarnya dengan suara kecil.

"Aku tidak menerima perlakuan sampah ini padaku! Kalian keluarga Voss harus bertanggung jawab atas apa yang terjadi hari ini! Aku akan menuntut kalian sebanyak dua puluh juta dolar!" serunya, suaranya meninggi hingga memecah keheningan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!