Kriiinggg...
Suara alarm memecah keheningan pagi. Tangan kurus itu meraba ke arah jam, mematikan suara bisingnya.
“Ah... pagi yang baru,” gumamku pelan.
Aku duduk di pinggir tempat tidur, menatap jendela yang perlahan diterangi cahaya mentari. Hari ini... hari pertama masuk sekolah. Tidak ada yang terasa berbeda, tapi entah kenapa, selalu ada sedikit kegelisahan yang menghantui tiap kali aku harus memulai sesuatu yang baru.
“Vio?” Sebuah suara lembut memanggil dari ruang tamu. Aku menoleh.
“Ah, ya. Ada apa, Kak?” jawabku sambil berjalan menghampiri.
Hilda, kakakku, sedang memasukkan sesuatu ke dalam kulkas. “Hari ini aku pulang terlambat, jadi aku sudah siapkan makan malam. Tinggal kau hangatkan saja nanti.” Dia menunjuk wadah tertutup di meja makan.
“Bukannya hari ini Kakak nggak ada kelas?”
“Benar, tapi aku harus bantu temanku belajar. Jadi, hati-hati saat berangkat, ya.”
Aku mengangguk pelan. “Um... hati-hati juga, Kak.” Kuangkat tangan dan melambaikan salam.
Hilda tersenyum sebelum mengambil tas dan menuju pintu. “Ah, iya. Di mana kunci milik ku?”
“Di atas meja depan TV,” jawabku cepat sambil menunjuk.
“Thanks. Aku berangkat!”
Dia melambai, lalu menutup pintu di belakangnya. Begitulah Hilda—ceroboh, tapi selalu perhatian. Meskipun orangtua kami sibuk bekerja di luar kota, dia tak pernah membuatku merasa sendirian. Hilda juga punya pekerjaan sampingan, bukan karena kami kekurangan uang, tapi karena dia bilang, "Menabung untuk berjaga-jaga"
Aku berdiri di depan cermin, merapikan rambut. “Baiklah, aku juga berangkat.”
Namaku Vio Eklesia. Dan kakakku—Hilda Eklesia. Kami hanya tinggal berdua. Karena orang tua kami selalu sibuk dengan pekerjaan mereka di luar negeri, meskipun begitu kami tidak pernah merasa buruk akan hal itu
---
Aku melangkah keluar rumah, dan karena datang terlalu pagi, aku memutuskan mampir sebentar ke minimarket. Tapi setelah beberapa menit, aku merasa itu tidak terlalu penting. Jadi aku langsung menuju sekolah. Pembagian kelas sudah ditempel di depan pintu masuk, jadi tidak ada masalah.
Setelah satu jam, suasana kelas mulai ramai. Aku duduk diam di tempat yang ditentukan, menatap meja kosong di sebelahku.
“Baiklah semuanya, silakan duduk. Kita mulai dengan absen dulu.”
Satu per satu nama dipanggil. Suara-suara baru saling menanggapi dengan tawa atau jawab singkat. Ketika akhirnya namaku disebut—
“Vio Eklesia?”
Aku mengangkat tangan. “Saya.”
Singkat. Gugup. Hanya memperkenalkan diri dengan singkat
“Baik. Setelah ini kalian bisa saling mengenal. Saya wali kelas kalian mulai hari ini, jadi saya harap kita bisa saling akrab.”
Aku hanya diam, menunduk.
'Siapa juga yang mau mengenal orang seperti aku?' pikirku.
Bel pulang berbunyi.
Aku berkemas cepat. Tapi sebelum sempat berdiri, seseorang menyapa dari samping.
“Um! Permisi, kamu Vio, kan?” Suaranya ceria. Seorang gadis mengulurkan tangan. “Namaku Reina. Aku duduk di sebelahmu.”
Aku menatap tangannya sejenak. “Ah... ya. Salam kenal. Tapi... maaf, aku masih ada urusan.” Segera kubungkukkan badan sebentar lalu berlalu pergi.
“Eh... oh, baiklah,” jawabnya terdengar sedikit kecewa. “Kupikir kamu mau ikut... ada acara bareng teman-teman.”
Aku tidak menoleh ke belakang.
‘Kenapa juga dia mengajakku? Gadis seceria itu pasti cepat bosan dengan orang seperti aku...’
---
Aku tiba di rumah lebih awal. Kak Hilda belum pulang.
Aku duduk di depan komputer, menyalakan kameraku. Lampu sorot kecil menyala.
Kugenggam gitarku dan memulai siaran
Setelah beberapa saat siaran
“Baiklah... terima kasih untuk hari ini. Aku Violetta, sampai jumpa lagi,” ucapku sambil tersenyum ke arah layar.
Setelah menutup siaran, aku diam sejenak.
‘Akan luar biasa kalau aku bisa seperti ini di dunia nyata.’
Kupandangi gitar di pangkuanku. Kata-kata kakek tiba-tiba terngiang.
"Musik adalah obat kesepian, Vio. Tapi akan lebih berarti kalau kau bagikan pada orang lain."
Kupetik senarnya pelan.
“Benar juga... tapi mungkin, aku yang terlalu takut untuk menghadapi dunia.”
---
Malam berlalu perlahan. Aku berbaring sambil memutar siaran yang tadi kurekam.
Komentar dari penonton mengalir deras.
“Violetta keren banget hari ini!”
“Zeo adalah MVP untuk siaran kali ini dengan donasinya yang selalu teratas”
Aku tersenyum kecil. Dunia di balik layar terasa lebih hangat dari dunia nyata. Tapi setelah siaran selesai... kembali hampa.
‘Besok hari kedua sekolah. Mungkin... akan lebih canggung dari ini.’
Kupeluk bantal dan menatap langit-langit. Perlahan, mataku terpejam.
Kriiinggg...
Alarm pagi berbunyi lagi. Kali ini, aku mengangkat kepala dengan berat.
“Umm...” Aku mematikan alarm, lalu duduk perlahan.
Biasanya Kak Hilda yang membangunkanku. Tapi kali ini... sepi.
“Dia belum bangun?” gumamku.
Aku turun ke dapur dan melihat meja makan yang masih kosong belum ada sarapan, tidak ada suara langkah kaki. Aneh.
Kupandangi tangga, lalu memutuskan naik ke lantai atas dan mengetuk pintu kamarnya.
“Kak?” Aku mengetuk lagi, lebih keras.
Tak ada jawaban. Perasaanku mulai tak enak. Dengan sedikit panik, aku menendang pintu.
Brakk!
Tepat saat pintu terbuka, suara pintu depan juga terdengar. Kak Hilda muncul sambil membawa dua kantong belanjaan.
“Eh?! Vio, apa yang kamu lakukan?!” serunya kaget.
Aku terdiam, merasa bersalah. “Aku pikir... Kakak kenapa-kenapa. Tadi waktu aku bangun, Kakak nggak bangunin aku dan nggak ada di dapur...”
Hilda menatapku sejenak, lalu mendesah sambil meletakkan belanjaannya.
“Kamu ini... bikin kaget saja.” Wajahnya setengah kesal, setengah lega.
Aku hanya tertawa kecil, canggung. “Maaf...”
Dan ya, seperti biasa... aku dimarahi beberapa menit
---
Aku berangkat sekolah lebih siang dari biasanya. Nyaris ketinggalan bus.
“Uh~ lain kali aku harus pakai alarm dua kali,” gumamku sambil berlari kecil ke halte.
Hari ini adalah hari kedua. Suasana sekolah mulai terasa lebih ramai dan bising. Aku masih belum terbiasa.
“Vio! Selamat pagi!” suara itu lagi. Reina.
“Ah... e—ya, selamat pagi,” jawabku sambil memaksakan senyum.
Dia menatapku tajam. “Wah! Kamu nggak ingat nama aku, ya?! Padahal duduk sebelahmu, loh!”
Aku menggaruk kepala, malu. “Maaf...”
Dia mendekat dengan wajah serius. “Namaku Reina. Tolong ingat sekarang. Mengerti?”
Aku mengangguk cepat. “Ya... Reina.”
“Bagus.” Ia tersenyum puas.
Tak lama kemudian, guru masuk dan pelajaran dimulai. Tapi kepalaku sedikit berat. Semalam aku tidur terlalu larut.
“Vio, kamu ngantuk, ya?” Guru memukul pelan mejaku dengan buku.
“Eh? Maaf, Bu! Tapi saya dengar kok...”
“Sebaiknya begitu. Kalau tidak, aku akan suruh kamu berdiri di luar.”
“Maaf Bu... Saya izin ke kamar kecil sebentar, Bu”
“Baiklah, cepat dan cuci mukamu.”
Aku berjalan cepat ke kamar kecil, membasuh muka sambil menatap cermin.
‘Sepertinya aku harus atur ulang jadwal siaran. Kalau begini terus, aku bisa tumbang.’
---
Saat aku kembali ke kelas, pelajaran berlanjut. Tapi suasana sedikit aneh. Pandangan teman-teman tertuju padaku karena insiden barusan.
‘Ah... aku benci jadi pusat perhatian.’
Tiba-tiba, selembar kertas mendarat di mejaku. Aku membukanya.
"Apa kamu mau aku bangunkan kalau kamu ngantuk?"
Aku menoleh ke samping. Reina tersenyum dan melambaikan tangan kecil dengan gaya lucu.
Aku balas dengan tulisan: “Tidak perlu.”
Karena, jujur saja... Reina terlalu populer. Cantik, ramah, ceria dia seperti bintang kelas. Sedangkan aku...
Kami terlalu berbeda.
Bel istirahat berbunyi. Aku bangkit cepat sebelum Reina sempat bicara.
“Vio, soal tadi—”
“Tidak apa. Lain kali aku akan hati-hati.” Aku segera keluar kelas.
Kupilih tempat paling sepi di sekolah. Di bawah tangga darurat, aku membuka bekal dan mulai makan sendiri.
‘Sepertinya aku terdengar terlalu dingin tadi...’ pikirku.
Tapi aku terlalu takut untuk dekat dengan orang lain. Semua selalu berakhir sama ditinggalkan dan dilupakan.
Aku mengeluarkan buku kecil dari tas, mencatat beberapa ide lagu dan lirik. Musik selalu menenangkan.
Bel masuk berbunyi. Aku kembali ke kelas.
Sepanjang pelajaran, aku ingin meminta maaf pada Reina. Tapi setiap kali aku ingin bicara, kata-kataku menghilang. Dia terlalu cerah untuk dunia abu-abuku.
Akhirnya, aku hanya menatapnya dari jauh.
Sore hari.
“Aku pulang.”
“Eh? Ada tamu?” Aku menatap ke arah ruang tamu dan ya, seperti biasa itu adalah Kak Mei.
“Kak Mei kesini lagi?”
“Yap. Kakakmu ke minimarket. Sini cerita, Vio! Gimana hari pertamamu sekolah?”
Aku menggeleng cepat. “Aku capek. Mau istirahat.”
“Hei, adik kecil ini pemalu banget ya,” kata Kak Mei menggoda. “Tenang aja, nanti malam kita ngobrol, terutama soal cewek!”
“tidak perlu!” seruku kesal sebelum kabur ke kamar.
Kak Mei selalu seperti itu—menggoda, usil, tapi juga perhatian. Tapi entah kenapa, hari ini... aku merasa lebih lelah dari biasanya.
Aku berbaring, menatap langit-langit.
‘Besok... aku harus bicara dengan Reina. Aku harus minta maaf.’
Aku pejamkan mata.
Keesokan harinya pun aku masih tak berani untuk berbicara dengan nya, hingga kehilangan kesempatan bahkan setelah bel berakhirnya sekolah berbunyi
Sesampainya dirumah aku pergi ke kamar
Setelah menutup pintu kamar dan berganti pakaian, Vio menyalakan komputer serta memasang kamera di posisi seperti biasa.
Rambutnya diikat sederhana, dan gitar akustik diletakkan di pangkuannya.
Siaran pun dimulai.
“Em… Selamat malam. Ya, sepertinya malam ini kalian akan ditemani olehku lagi, hahaha.”
Beberapa komentar langsung bermunculan di layar. Vio tersenyum kecil, menyesuaikan posisi duduknya.
“Ah! Ya aku sudah makan malam ini, terima kasih untuk donasinya dan kulihat nickname yang kamu pakai cukup menarik… Zeo, ya? Mudah diingat.”
Beberapa permintaan lagu masuk. Setelah memilih satu, Vio mengecek nada, lalu mulai memetik gitarnya. Tangannya yang sedikit bergetar, tapi saat suara pertama keluar, suasana menjadi tenang.
Like stars in the night sky 🎶
Tōku hanaretemo 🎶
Even if we're far apart 🎶
You’ll always be my light 🎶
Toki ga tomattemo 🎶
I’ll find you in the sky 🎶
Like stars… in the night sky 🎶
Nada terakhir mengalun lembut, membuat ruang kecil di kamarnya terasa jauh lebih luas. Beberapa komentar memuji lagu tersebut, bahkan ada yang menanyakan apakah itu lagu ciptaan sendiri.
Vio hanya tersenyum tipis. "Hmm... Mungkin saja."
Setelah beberapa obrolan ringan dan lagu-lagu lainnya, Vio pun menutup siaran malam itu. Namun, rasa hangat dari lagu tadi masih tersisa, menggantung di hatinya lebih lama dari biasanya.
Setelah menutup siaran, Vio bersandar di kursinya. Lampu kamar masih redup, hanya cahaya monitor yang menyinari sebagian wajahnya.
Dia menatap gitar di pangkuannya dengan tatapan kosong.
‘Kalau aku bisa seperti ini juga di dunia nyata… mungkin semuanya akan berbeda.’
Tangannya masih menggenggam leher gitar, tapi tidak bergerak lagi. Lagu tadi—lagu yang selama ini hanya dia nyanyikan dalam hati—akhirnya terdengar oleh orang lain. Dan entah kenapa, ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya.
Vio menoleh ke arah jendela, menatap langit malam tampak cerah. Beberapa bintang terlihat—redup, tapi nyata.
‘Like stars in the night sky…’
Dia mengulang dalam hati.
Tiba-tiba perasaan kosong itu muncul kembali, rasa yang selalu datang setiap kali siaran berakhir. Saat komentar berhenti, saat suara dirinya menghilang dari speaker orang lain. Saat ia kembali hanya menjadi Vio dan bukan Violetta yang bernyanyi untuk ratusan pendengar.
Dia menaruh gitar di tempatnya, lalu berdiri perlahan. Setelah mencuci muka dan mematikan lampu, Vio berbaring di tempat tidur. Tapi kali ini, tidak langsung memejamkan mata. Dia membuka ponselnya, membuka rekaman siaran tadi, lalu membaca komentar-komentar yang tertinggal.
Salah satu komentar menarik perhatiannya.
> “Lagu tadi… terasa sangat jujur. Apakah itu kisahmu, Violetta?” <
– Zeo
Vio diam. Komentar itu tidak dia balas, hanya ditatap lama.
‘Aku tidak yakin... Tapi mungkin saja.’
Dia mematikan layar ponsel, menarik selimut hingga ke dagu, dan berbisik pelan pada dirinya sendiri.
“Selamat malam, Violetta…”
Keesokan paginya, suara langkah pelan terdengar di lorong. Hilda membuka pintu kamar Vio dengan hati-hati, menatap adiknya yang masih terlelap, ponsel tergenggam di tangan, dan selimut sedikit terjatuh ke lantai.
Ia tersenyum kecil, lalu berjalan mendekat dan menarik kembali selimut ke atas bahu Vio.
“Dasar anak ini… kalau udah siaran, selalu lupa waktu,” gumamnya.
Hilda duduk sebentar di pinggir ranjang, memperhatikan wajah adiknya yang damai dalam tidur. Meski Vio jarang bercerita, Hilda tahu bahwa ada sisi yang selalu Vio sembunyikan di balik suara lembut dan senyuman kecilnya. Lagu semalam yang tak sengaja ia dengar saat melewati kamar Vio, masih terngiang dalam benaknya.
Perlahan, ia berdiri dan menuju pintu.
Sebelum keluar, ia berkata pelan, hampir tak terdengar:
“…Kalau kamu merasa sendiri, kamu selalu bisa bicara padaku, Vio.”
Pintu tertutup dengan pelan. Mata Vio sedikit bergerak, dan sudut bibirnya terangkat samar—seolah mendengar, meski belum sepenuhnya bangun.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!