Pagi itu adalah pagi yang mendung. Langit di penuhi oleh gulungan awan ke abu-abuan hampir terlalu gelap. Angin yang berhembus begitu dingin. Cuaca yang terasa begitu berbeda dengan cuaca mendung biasanya. Sebab, kelihatannya langit tak menunjukkan tanda- tanda akan segera hujan meski sudah begitu terlihat gelap.
Violetta yang sudah duduk di dalam mobil menuju ke sekolahnya termenung di sepanjang jalan. Matanya memandangi jalanan kota yang di penuhi aktivitas pagi. Ekspresi nya menampilkan kesedihan yang tidak bisa di tutup-tutupi. Bahkan kedua mata nya masih terlihat sembab karena menangis semalaman.
Sementara itu, Pak Rahman, supir pribadi keluarga nya yang memang rutin bertugas mengantar Violetta ke sekolah setiap pagi terlihat memutar kenop volume radio mobil demi bisa mendengar lebih jelas suara penyiar berita dan topik-topik terkini yang sedang d bawakan.
"Berita pagi ini, " Suara penyiar radio terdengar, Violetta yang sedang bertumpu dagu melirik ke depan, sementara mobil mulai berbelok ke persimpangan sebelah kanan, " Sebuah virus misterius yang dilaporkan telah menjangkit sejumlah warga ibu kota sejak bulan april, kini mendapati kenaikan jumlah besar orang yang terjangkit. Maka dari itu pemerintah sangat menghimbau masyarakat untuk tetap tenang dan mengikuti protokol kesehatan yang telah di anjurkan, sementara para peneliti masih terus mencoba mempelajari dan mencoba mencari solusi cara pencegahanya. Namun masyarakat juga di harapkan untuk segera melaporkan jika ada yang menunjukan tanda-tanda sakit yang tidak biasa."
"Ya ampun, virus macam apa lagi ini ya?" Pak Rahman bergumam sendiri, sementara tangannya memutar setir untuk berbelok memasuki kawasan sekolah elite dimana Violetta akan belajar sebelum akhirnya berhenti di halaman depan sekolah tersebut.
"Non, sudah sampai." Pak Rahman menoleh, menyadarkan Violetta dari lamunannya.
Violetta mengerjabkan pelan, kemudian menyeka sudut mata nya yang berair dengan cepat, berusaha menyembunyikan tanda-tanda emosinya. Tanpa sepata kata, Violetta bergegas membuka pintu mobil dan segera keluar.
Setelah itu mobil yang mengantarnya kembali bergerak, melaju meninggalkan area depan sekolah sekaligus Violetta yang masih bergeming di tempatnya berpijak, mengatur napasnya dan mencoba menampilkan ekspresi sebiasa mungkin.
Setelah menarik napas dan membuangnya perlahan, menahan gejolak perasaan yang berhimpitan di dada nya, Violetta menggerakkan kaki nya untuk melangkah memasuki koridor utama sekolah seperti murid-murid lainya.
Namun, baru beberapa kali kakinya mengambil langkah, Violetta mendapati seseorang yang tak asing berdiri di ujung tangga teras koridor utama. Seseorang yang menjadi salah satu penyebab suasana hati buruk Violetta pagi ini. Flora.
Flora berdiri canggung, menunggu Violetta mendekat. Wajahnya menunjukan ekspresi bersalah, terlihat jelas dari sorot matanya dan sikap gelisahnya.
Sementara itu, Violetta terdengar mendesah panjang, merasa ada gelombang emosi yang mendidih kembali. Ia segera membuang muka, berpura-pura tidak melihat dan mempercepat langkah kaki nya begitu melihat Flora mendekati seraya memanggilnya.
Violetta tidak ingin lagi berurusan dengan Flora untuk saat ini atau mungkin selamanya.
"Vio.... Tunggu, dengerin penjelasan gue dulu. Please." Tapi kelihatannya Flora memang keras kepala. Ia mengikuti Violetta dengan langkah tergesa-gesa bahkan mencoba meraih tangan Violetta untuk menghentikan langkahnya, "Lo cuman salah paham."
"Salah paham gimana maksud lo?!" Violeta berhenti, menyentakan tangan Flora dengan keras. Wajahnya merah padam dengan mata yang menyala penuh emosi. Ia berdiri dengan tubuh bergetar di depan Flora yang mencoba kembali meraih tangannya, "Semua yang gue lihat udah jelas, Flora! Lo selingkuh sama pacar gue! Pacar temen lo sendiri!!" Violetta mendorong-dorong bahu Flora dengan jari telunjuknya, suaranya bergetar antara marah dan terluka.
Mendengar semua yang dikatakan Violetta membuat Flora membeku, bibirnya bergetar mencari kata-kata untuk menyangkal, namun tidak ada yang berhasil lolos dari mulutnya. Flora tahu Violetta benar. Apapun yang ia katakan tidak akan mengubah kenyataan dan rasa bersalah itu menghantamnya lebih keras.
"Vio, gue.... Gue gak pernah bermaksud buat nyakitin lo, " Flora berbisik, suara nya terdengar penuh penyesalan. Alih-alih membuat keadaan lebih baik, perkataannya itu justru membuat Violetta semakin tersulut emosi.
"Apa lo bilang? Gak bermaksud?" Violetta berdecih sinis, merasa perkataan Flora adalah sebuah lelucon lucu hingga membuatnya merasa tak habis pikir," Lo sadar gak sih? Yang lo lakuin ke gue itu lebih dari nyakitin, Flora! Gue anggap lo sahabat, tapi ternyata lo penghianat!" Violetta berkata dengan nada tinggi, meluapkan segala perasaan kecewa dan sakit hati nya.
Perdebatan yang terjadi di antara Violetta dan Flora di koridor saat ini tentu saja menarik perhatian murid-murid lainnya yang sedang berlalu-lalang . Beberapa terlihat sengaja melambatkan langkah mereka, beberapa terang- terangan berhenti untuk menonton. Ekspresi-ekspresi penasaran tercetak jelas dan tatapan ingin tahu mereka tunjukkan kepada Violetta dan Flora.
"Vio, gue tau gue salah, " Flora mencoba lagi, suaranya sedikit lebih keras untuk melawan gemuruh emosi di sekitarnya, " Gue minta maaf. Please, kita bisa omongin ini baik-baik, kan?”
"Udah gak ada yang perlu di omongi!" Sela Violetta, suara nya penuh dengan kemarahan yang menggema, "Gue udah gak mau denger apapun alasan lo dan lo bukan lagi temen gue, Flora!"
Flora sontak terdiam, matanya berkaca-kaca, ia merasa begitu sakit hati mendengar bagaimana Violetta memutuskan hubungan persahabatan mereka yang sudah terjalin sejak mereka Sd.
Sementara itu Violetta sudah melengos pergi membawa semua perasaan kecewa, sakit hati dan amarah nya meninggalkan Flora. Ia juga tidak peduli dengan tatapan-tatapan yang di tunjukan kepada nya.
Violetta menghela napas panjang begitu ia akhirnya tiba di dalam kelas. Suasana yang biasanya terasa biasa saja kini terasa semakin berat baginya. Ia meletakan tasnya dengan kasar, mendudukan dirinya. Punggungnya baru saja ingin disandarkan ke kursi mencoba untuk menenangkan diri sejenak. Namun, sebelum Violetta bisa benar-benar melepaskan lelah, Amara yang merupakan teman dekatnya di kelas datang menghampiri, menyodorkannya kertas ulangan miliknya yang sudah di periksa.
Violetta memandang kertas ulangan yang baru saja di terimanya, matanya terfokus pada nilai merah yang terpampang jelas di bagian atas, membuatnya mendesah gusar. Nilai itu seolah sedang mengejeknya.
Amara yang masih berdiri di depan meja Violetta menatap gadis itu dengan gelengan kepala. Ia tahu mengenai pertengkaran yang terjadi antara Violetta dan Flora pagi ini, sebab tak butuh waktu lama untuk membuatnya menjadi gosip pagi seantero sekolah. Apalagi selama ini hubungan Violetta dan pacarnya, ralat, mantan pacarnya, Zean, cukup terkenal di sekolah. Keduanya sempat dijuluki sebagai couple goals. Amara juga tadinya berencana untuk bertanya bagaimana bisa temannya ini bertengkar dengan Flora. Ya, ia sudah tahu sih mengenai Flora yang diam-diam berpacaran dengan Zean di belakang Violetta, tapi bukannya sudah beberapa hari sejak Violetta mengetahuinya, ia berusaha keras untuk menghindari kedua nya. Tapi, melihat bagaimana ekspresi yang di tunjukan oleh Violetta saa ini membuat Amara menjadi urung untuk bertanya.
"Gue gak ngerti lagi deh, Ra" Violetta mengeluh, suaranya penuh keputusasaan. Ia menyandarkan punggungnya lebih dalam ke kursi yang ia duduki, seolah ingin melarikan diri dari hari yang penuh dengan tekanan ini, "Kenapa hari ini rasanya nyebelin banget, sih! Udah Flora bikin gue badmood pagi-pagi, ditambah lagi ini," ia mengangkat kertas ulangannya di udara kemudian mendengus sebal.
Amara menarik kursi di depan meja Violetta lalu mendudukinya, " Lo belum berhasil juga membujuk Arshanan untuk ngajarin lo fisika?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Amara menambah sakit kepala Violetta saja. Kepalanya terasa semakin berdenyut-denyut. Pasalnya, Arshanan itu sombong sekaligus ketus tiap kali Violetta berusaha mengajaknya mengobrol, " Susah banget, Asli! Gak ada orang lain aja apa? Siapa kek asal jangan dia," Keluhnya dengan nada kesal. Violetta benar-benar merasa frustasi tiap kali mengingat bagaimana dirinya begitu berusaha untuk mengajak cowok kulkas itu berbicara.
Amara mengerti betul situasi yang ada. Ia juga tahu betul bagaimana watak Arshanan yang cenderung tertutup, bahkan terkesan sombong dan sulit di dekati. Ia juga tidak menyalakan bagaimana Arshanan yang selalu mengabaikan Violetta. Sebab selama ini, Violetta tidak pernah sedikitpun berinteraksi dengan Arshanan dan kemudian tiba-tiba saja Violetta mendekati nya karena ada maunya. Kesannya malah seperti ingin di manfaat kan.
Amara menatap Violetta yang kini semakin cemberut, "Gue ngerti," Kata Amara, " Tapi kita semua tau orang yang paling cocok untuk ngajarin lo ya cuman Arshanan. lagian Buk Meta juga menyarankan supaya belajar bareng dia, kan."
"Iya," Violetta menghela napas, merasa semakin tertekan, " Tapi gimana caranya, coba? Dia aja kayak ngindarin gue mulu. Keliatan banget gak suka gue deketin."
Amara jadi ikut menghela napas. Ia juga tidak tau harus bagaimana. Sementara itu, diluar mendung semakin menjadi-jadi, namun hujan tak juga kunjung turun.
" Arsahanan...."
Seruan itu terdengar dari luar yang mana membuat Violetta maupun Amara langsung menoleh, melihat siluet Arshanan di balik jendela kelas sedang berhenti dan menoleh ke seseorang yang memanggilnya.
"Ini, makasih ya udah Pinjemin."
"Oh, iya. Sama-sama."
Violetta melirik Amara seolah bertanya pada Amara dari tatapan matanya siapa gerangan gadis yang baru aja mengembalikan buku pada Arshanan, namun temannya itu mengedikan bahunya seraya menggeleng ringan. Mengatakan bahwa iia juga tidak tau.
Kemudian tanpa aba-aba, Violetta beranjak berdiri, melangkah lebar keluar kelas. Ia ingin mengejar langkah Arshanan.
"Arshanan!"
Si empunya nama menoleh lagi. Namun kali ini setelah tahu siapa yang memanggilnya, ia mendengus malas dan langsung mengalihkan pandangannya, melanjutkan langkah nya tanpa sepatah katapun.
Violetta berdecak kesal. Lagi- lagi ia di abaikan. "Arshanan, tungguin!" kemudian Violetta mencoba mempercepat langkahnya, berusaha menyusul Arshanan yang terlihat sama sekali tidak peduli.
"Tadi itu siapa?" Violetta melontarkan tanya begitu ia berhasil menyesuaikan langkah kaki Arshanan dan berjalan di samping cowok itu.
Arsahanan bergeming. Seolah pertanyaan yang dilontarkan Violetta barusan bukan ditunjukkan kepadanya.
Violetta menghembuskan napasnya dengan kasar, menekan perasaan dongkolnya lebih dalam, "Em... Bye the way, Lo kapan punya waktu? Gue janji bakal bayar berapapun yang lo mau. Jadi please bantuin gue belajar."
Arshanan mendengus, seperti ia benar-benar terganggu dengan perkataan gadis disampingnya ini, "Gue gak punya waktu," katanya, " dan gue gak butuh duit lo!"
Violetta bedecak, benar-benar merasa dongkol. Ia kemudian melangkah kan kakinya lebih cepat, demi menghalangi langkah Arsahanan, " Kenapa sih lo sombong banget?!" Sungutnya setelah berdiri di depan Arshanan.
Arshanan baru saja ingin menyahuti Violetta, namun suara riuh dari lapangan sekolah lebih dulu menarik perhatiannya.
"Apaan tuh?" Violetta ikut menoleh. Kemudian ia segera ikut berlari mengikuti Arsahanan menuju ke lapangan.
Dibawah langit mendung dan angin yang bertiup dingin, lapangan sekolah ramai oleh guru-guru serta murid-murid yang hampir semua nya berkumpul dan entah mengapa hal itu membawa suasana yang mencengkam. Wajah-wajah penasaran serta bisikan-bisikan terdengar di sekitar ketika Violetta berusaha keras mengekor in Arsahanan yang membelah kerumunan, namun tangannya sudah lebih dulu di tarik oleh Amara yang terlihat pucat pasih.
"Lo kenapa deh? Terus ini ada apa sih?" Tanya Violetta keheranan. Ia belum bisa mencerna situasi yang sedang terjadi saat ini. Sementara Amara terlihat bergetar.
"Sumpah, serem banget!" nada suara Amara terdengar bergetar. dan perkataannya sama sekali tidak menjawab kebingungan dan rasa penasaran Violetta, " Vi, kita harus pulang sekarang! Gue mau pulang!" Amara terlihat hampir menangis. Sementara Violetta mengeryitkan dahinya sebab ia masih tidak tahu apa-apa.
"Memangnya kenapa?"
"Virus itu udah menyebar di kota, orang-orang yang terjangkit jadi gila!"
Violetta masih tidak bisa mencerna perkataan Amara. Otaknya mendadak tidak bisa di gunakan untuk berpikir.
"Pegangi-pegangi"
Violetta menoleh ketika suara riuh itu terdengar lebih jelas. Ia menjenjangkan lehernya, melihat seorang murid laki-laki sedang berusaha keras di pegangi beberapa murid lainnya dan di sisi lain anggota PMR terlihat sedang membopong seorang guru yang berdarah-darah di bagian lehernya.
Violetta menelan ludahnya tanpa sadar, melihat mulut murid laki-laki itu belepotan darah membuatnya bergidik ngeri, "Reno kenapa?"
Amara mengigit bibirnya, matanya melirik ke tengah lapangan, "Kemungkinan Reno gak sadar kalau dia terjangkit virus itu. Katanya tadi sewaktu pelajaran olahraga dia pingsan, tapi... gak lama dia bangun, Vi. Bangun dengan cara yang gak normal."
Violetta masih merasa tidak mengerti, "Maksud nya gimana? Pingsan terus bangun? Bukannya itu wajar?"
Amara menggelengkan kepalanya, memotong kata-kata Violetta dengan cepat, " Enggak, Vi. Enggak wajar sama sekali! setelah dia bangun, dia langsung nyerang Pak Sebastian dan Andrew yang nyoba buat nolongin dia! Reno kayak-kayak orang kesurupan!"
Violetta merasa bulu kuduknya meremang mendengar penjelasan Amara, ditambah pula suasana dilapangan yang semakin ricuh. Kepala sekolah serta guru-guru berteriak mendikte para murid-muridnya untuk kembali ke dalam kelas dan tidak panik. Pihak sekolah juga sudah menghubungi ambulan dan pihak berwajib, Amara dan Violetta serta murid-murid lainnya bergegas ingin kembali ke kelas masing-masing, namun suara teriakan dari ruang kesehatan menghentikan langkah semua orang.
Terlihat dari ruang kesehatan, beberapa petugas berlari berhamburan. Dua orang memegangi tangannya yang terluka dan berdarah. Kemudian dari tengah lapangan, mungkin karena lengah, Reno menyerang seorang murid lainnya, menggigit pipinya hingga murid tersebut menjerit kesakitan.
Keadaan berubah menjadi benar-benar tidak kondusif. Orang-orang yang terkena gigitan terjatuh dan kejang-kejang sebelum akhirnya kembali bangkit dengan begitu agresif untuk menyerang yang lainnya.
Amara sudah melarikan diri entah kemana, sementara Violetta mematung di tempatnya setelah tidak sengaja melihat Zean menarik lengan Flora untuk melindunginya dari murid yang sudah berubah menjadi agresif.
Perasaan sakit hatinya kembali bergemuruh, Violetta tetap bergeming di tengah-tengah yang lainnya mencoba menyelamatkan diri mereka.
"Lo bego apa gimana sih?!"
Syukurnya Arsahanan berinisiatif menariknya menjauh dari lapangan dan membawa nya untuk bersembunyi.
Arshanan semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Violetta , menarik cewek itu dengan langkah cepat atau malah larian kecil tanpa mengatakan apapun. Sementara Violetta di belakang Arshanan berusaha mengikuti ritme langkah cowok itu meski tubuhnya terasa lelah dan cemas. Di sekeliling mereka, murid-murid lainnya terlihat juga berlarian tanpa arah. Wajah-wajah mereka dipenuhi kepanikan dan suara teriakan bercampur dengan langkah kaki tergesa-gesa memenuhi udara sekitar.
"Arshanan, lo mau bawa gue kemana?"
Arshanan hampir tidak habis pikir begitu ia merasa Violetta mencoba melepaskan genggaman tangannya dan bertanya dengan nada penuh curiga di sela-sela napasnya yang memburu. Apa yang di pikirkan cewek ini? Tidakkah ia bisa melihat situasi di sekitar mereka saat ini? Pertanyaan nya barusan dilontarkan seolah Arshanan akan membawanya kawin lari saja.
"Tutup mulut lo dan terus lari!" Arshanan menyahuti dengan ketus dan tetap menggenggam tangan Violetta dengan erat.
Matanya melirik dengan cermat ke sekitar, mencoba mencari jalan keluar.
Violetta mendengus. Namun raut sebalnya segera berubah menjadi kepanikan total ketika suara jeritan dan tangisan terdengar nyaring. Bola matanya membulat sempurna ketika ia melihat kepala sekolah kini sudah berubah menjadi agresif dan menyerang seorang murid lainnya tepat di depan mereka yang mana Arshanan segera membawanya berbelok ke arah lain.
"Mereka jadi Zombi?" Violetta segera membungkam mulutnya sendiri begitu ia memahami situasi yang tengah terjadi. Sementara Arshanan belum mengatakan apapun dan terus menatap ke sekitar mereka dengan penuh kewaspadaan. Mereka masih melangkah menyusuri koridor sekolah mencari tempat perlindungan yang sekira nya aman.
Ketika Arsanan dan Violetta baru menginjakkan kaki mereka di koridor teras kelas 2, Suara Amara yang menyerukan nama Violetta tiba-tiba saja terdengar di belakang mereka, membuat keduanya lantas berhenti dan membalikan badan.
Disana terlihat Amara yang berjalan dengan lambat dan terseok-seok ke arah mereka. Seragam sekolahnya di penuhi bercak darah, wajahnya terlihat pucat hampir membiru dan dipenuhi oleh air mata. Amara terlihat begitu acak-acakan.
" Vio... Gue takut...." suara Amara terdengar bergetar dan terbata-bata. Napasnya terlihat berat. Sorot matanya penuh ketakutan dan keputusasaan.
Violetta yang melihatnya tanpa pikir panjang hampir belari untuk mendekati Amara namun untungnya Arshanan dengan sigap langsung menahannya. Pegangan tangan Arsahanan masih begitu erat, dan sorot mata nya menatap penuh kewaspadaan kepada Amara.
"Sha, lepasin tangan gue! Gue mau nyelamatin Amara!" seru Violetta, mencoba melepaskan diri dari pegangan Arshanan.
Arsahanan tidak memperdulikan permintaan Violetta. Matanya tetap mengarah pada Amara yang semakin terlihat aneh.
"Sha, lepasin tangan gue. Amara temen gue!"
Violetta masih saja berusaha melepaskan genggaman tangan Arshanan di tangannya.
" Kita harus pergi sekarang!"
Arsahanan dengan sigap menarik kembali Violetta untuk segera pergi dari sama. Sementara Amara yang kini hanya beberapa meter dari mereka tiba-tiba saja begeming, kepala nya merunduk, napasnya semakin berat dan tak beraturan. Ketika ia kembali mengangkatkan pandangannya, mata Amara terlihat kosong, bibirnya berlumuran darah, dan terdengar suara gerangan rendah yang membuat bulu kuduk mereka meremang.
Violetta yang masih saja memberontak agar terlepas dari Arshanan mendadak berhenti, tubuhnya membeku di tempat."Amara?" Violetta tercekat. Suaranya bahkan hampir tidak keluar.
"Ayo!!" Arshanan menarik tangan Violetta dengan lebih kuat.
Mereka berdua segera berlari secepat yang mereka bisa. Langkah kaki keduanya menggema di sepanjang koridor yang sunyi. Namun, di belakang mereka, Amara mulai berlari seraya mengeluarkan geraman mengerikan yang membuat jantung Arshanan maupun Violetta terpacu lebih cepat.
"Sha! Amara... Amara ngejar kita!!" Violetta berseru panik. Sesekali menoleh ke belakang dan melihat Amara yang bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar seolah bukan manusia lagi.
"Jangan liat ke belakang! Fokus aja ke depan!" kata Arshanan tegas meskipun napasnya mulai memburu.
Keduanya terus berlari sejauh mungkin dari sosok mengerikan yang masih terus mengejar mereka. Napas mereka terengah-engah, namun Arshanan tetap fokus memimpin langkah.
Saat tiba ditikungan koridor, Arshanan yang masih menggegam tangan Violetta segera menarik cewek itu ke arah toilet dan mendorongnya ke salah satu bilik di dalam toilet dan kemudian ia segera menyusul masuk, menutup dan mengunci pintu bilik dengan cepat. Tubuh mereka berdiri saling berhadapan dalam ruangan yang sempit, napas mereka memburu, saling beradu dalam kesunyian yang tegang.
Atmosfir di dalam bilik itu begitu canggung. Violetta mendongak, menatap wajah Arshanan yang hanya beberapa sentimeter darinya. Keringat bercucuran di dahi mereka, namun tatapan Arshanan tetap tajam dan penuh kewaspadaan.
Sementara itu suara geraman semakin jelas terdengar, membuat Violetta menjadi gelisah karena rasa takutnya. Melihat itu Arshanan meletakan jari telunjuknya di depan mulut, mengisyaratkan pada Violetta agar cewek itu tetap tenang. Violetta menatapnya sejenak, kemudian mengangguk kecil, berusaha menenangkan diinya meski tubuhnya masih bergetar.
Dari luar bilik, suara geraman Amara terdengar begitu dekat, kemudian suara cakaran terdengar di pintu bilik di belakang Arshanan.
Violetta menahan napasnya. Memegang erat ujung kemeja seragam Arshanan, seolah tengah mencari rasa aman ditengah keadaan yang begitu mencekam. Tubuh Violetta begitu gemetar, ia begitu ketakutan hingga keringat dingin membanjiri dahinya. Arshanan yang sedari tadi berusaha bersikap tenang, segera menarik Violetta ke dalam pelukannya, mencoba menyalurkan rasa aman dan berharap apa yang ia lakukan bisa membuat cewek itu sedikit lebih tenang.
Di dalam keheningan yang mencekam dan atmosfir canggung yang memenuhi udara di sekitar mereka, kedua nya terdiam.
sementara itu tiba-tiba terdengar suara teriakan bernada terkejut yan terdengar familiar sekali di telinga Violetta.
"Flora, Ayo!"
Kemudian suara lainnya dengan nada panik terdengar.
Violetta tentu saja mengenal siapa suara dua orang barusan. Perasaannya bergemuruh, ia merasakan perasaan sakit dan kecewa nya muncul lagi. Sementara itu Arshanan merenggangkan pelukan mereka, kepalanya di tempelkan ke pintu, suara geraman tidak terdengar lagi.
Arshanan bergeming beberapa saat, kemudian ketika merasa di luar aman, ia perlahan melepaskan pelukannya pada Violeta. Arshanan berbalik, gerakannya begitu perlahan dan penuh kehati-hatian ketika ia membuka sedikit pintu bilik itu, membuat sedikit cela untuk mengintip keluar. Matanya bergerak dengan teliti, memeriksa sekitar dengan seksama, memastikan tidak ada tanda-tanda keberadaan Amara atau Zombie lainnya.
Arshanan menghembuskan napas dalam setelahnya, " Aman, " katanya. Arsahanan lalu membuka pintu bilik lebih lebar. Ia melangkah keluar terlebih dahulu, memastikan sekali lagi bahwa situasi benar-benar aman sebelum memberi isyarat kepada Violetta untuk keluar juga dari bilik toilet.
Violetta dengan tubuh yang masih gemetar takut menggerakan kakinya penuh keraguan untuk keluar. Wajahnya terlihat begitu pucat. Arshanan yang melihat nya lantas mengulurkan tangannya, dan ketika Violetta menyambut uluran tangannya, Arshanan langsung menggegamnya dengan erat. Namun kali ini, jari jemarinya menyusup di antara jemari Violetta, mengisi ruas-ruasnya degan penuh keyakinan, seolah Arsahanan ingin memastikan bahwa ia akan melindungi cewek itu dan memastikannya tetap aman.
"Ayo kita pergi dari sini," Arshanan menatap Violetta, tatapan yang ia berikan seakan ingin meyakinkan Violetta bahwa dirinya tidak akan membiarkan Violetta menghadapi semuanya sendirian, "Gue bkal jaga lo," kalimat itu terdengar seperti sebuah janji yang tak akan ia ingkari.
Violetta menatap balik ke arah Arshanan. Di tengah situasi yang mencengkam ini, genggaman tangan Arsahanan terasa seperti satu-satu nya hal yang membuat Violetta merasa aman. Violetta mengangguk, ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dengan cara Violetta membalas genggaman Arshanan membuktikan bahwa ia memberikan kepercayaannya pada cowok itu.
Mereka berjalan menyusuri koridor dengan langkah cepat namun hati-hati, menyelinap melewati setiap sudut yang terasa seperti jebakan. Geraman samar dan teriakan jauh di belakang mereka mengingatkan bahwa bahaya bisa datang kapan saja.
Namun, di antara semua kekacauan itu, genggaman tangan kedua nya tetap erat, seolah menjadi sebuah pengingat bahwa mereka harus saling menjaga untuk bertahan hidup.
Di tengah langkah kaki yang terburu-buru itu, Arshanan tiba-tiba saja berhenti. Violetta baru saja ingin bertanya namun ketika ia mengarahkan matanya ke satu arah yang sama dimana Arshanan menatap, Violetta sontak menahan napas persis seperti yang dilakukan Arshanan. Cowok itu segera mengisyaratkan Violetta untuk tetap tenang sementara kepala Arshanan kini menatap ke sekeliling demi mencari jalan lain sebab kini di ujung koridor di depan mereka, terlihat sekelompok teman mereka yang sudah berubah menjadi zombie, berjalan dengan langkah terseret-seret tanpa arah. Seragam sekolah mereka sudah dipenuhi oleh bercak darah, suara napas yang berat terdengar bersama dengan suara geraman.
Arshanan dan Violetta perlahan bergerak mengambil langkah mundur selagi zombie-zombie itu belum menyadari keberadaan mereka.
"Kita harus cari jalan lain untuk keluar dari sekolah ini," gumam Arshanan dengan nada berbisik.
Kedua nya hampir berhasil melarikan diri dengan aman. Namun, saat Arshanan menoleh lagi untuk memastikan jalan keluar yang aman, ia malah bersitatap dengan salah satu zombie di ujung kerumunan.
Tatapan penuh nafsu primal seperti predator yang baru saja menemukan mangsa nya, zombie itu dengan suara geraman serak yang menyeramkan seolah memberi sinyal pada gerombolan zombie lainnya yang sontak membuat seluruh zombie yang berada disana mengetahui keberadaan Arshanan dan Violetta.
"Lari!" Arshanan berseru seraya menggenggam tangan Violetta lebih erat.
Zombie-zombie itu berlari ke arah mereka dengan gerakan liar dan tak terkendali, seolah dipacu oleh naluri berburu yang tak terpuaskan. Suara langkah kaki berat mereka menggema di sepanjang koridor, berpadu dengan suara geraman yang terdengar mengerikan.
Arshanan membawa Violetta berlari dengan seluru kekuatannya, melarikan diri secepat mungkin melewatin lorong-lorong sekolah yang kini terasa seperti labirin tanpa akhir. Violetta sendiri berusaha mengikutin langkah Arshanan, tapi tubuhnya bergetar dan napasnya mulai tersenggal-senggal.
"Arshanan... Gue gak kuat!" Violetta mengeluh di tengah kepanikannya.
"Jangan berhenti! Gue gak akan ninggalin lo!" Arshanan menyahut tanpa menoleh, suaranya terdengar tegas namun penuh tekanan.
Zombie-zombie itu semakin dekat. Ketika Arshanan melihat pintu ruang peralatan olahraga di sisi kanan koridor, ia membuat keputusan cepat, "Ayo kita ke sana!" Arshanan membuka pintu dan mendorong Violetta masuk.
Arshanan segera mengunci pintu dengan tangan yang gemetar, kemudian ia menyandarkan tubuhnya ke daun pintu untuk menenangkan napasnya yang memburu. Suasana di dalam ruangan itu terasa tegang dan mencengkam.
Sementara itu, Violetta yang berdiri di dekat dinding tampak terpaku di tempatnya. Matanya terlihat nanar, kedua tangannya disisi tubuh mengepal erat setelah melihat Zean dan Flora di sisi ruangan yang sama sedang berpelukan.
Arshanan bergeming di posisinya, napasnya masih tersenggal-senggal. Ia memperhatikan tiga orang yang berada di ruangan yang sama dengannya secara bergantian tanpa berkomentar apapun, Arshanan tidak ingin ikut campur.
Sementara Zean yang sedang mencoba menenangkan Flora yang sedang menangis ketakutan di dalam pelukannya terlihat terkejut setelah menyadari keberadaan Violetta. Pelukan mereka segera di akhir.
"Vio... Kamu gak papa?"
Zean baru saja mengambil satu langkah untuk mendekati gadis itu namun langkah berikutnya segera di tahan oleh kalimat bernada bergetar dan penuh amarah dari Violetta, "Stop! Jangan deketin gue!" Violetta membuang wajahnya, segera mengusap air matanya yang menetes dan menggigit bibir nya agar tidak mengeluarkan isakan. Sumpah demi apapun, Violetta sungguh sangat sakit hati melihat bagaimana Zean begitu perhatian dan menjaga Flora, selingkuhannya.
Sementara itu, Flora yang masih berdiri di sudut ruangan, mengusap air matanya, menatap kearah Violetta dengan sorot mata penuh penyesalan namun ia memilih untuk tidak mengatakan apapun.
Arshanan mendengus pelan, merasa di situasi yang sedang terjadi saat ini sungguh tidak tepat bagi mereka untuk membicarakan persoalan percintaan, "Kalau kalian mau drama, simpan dulu. Kita punya masalah yang lebih besar di luar sana," kata Arshanan terdengar sarkastik, menyela Zean yang baru saja membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu.
Violetta sontak mengusap air matanya yang baru saja mengalir, ia tidak menyahuti perkataan Arshanan. Sementara itu Zean tidak jadi mendekati Violetta. Ia hanya menghela napas, bergeming di tempatnya berpijak sekarang.
Kemudian, suara dentuman dari pintu di belakang Arshanan mengangetkan mereka semua. Meski pintu itu tidak sampai terbuka, namun suara keras yang terdengar seolah ingin mendrobrak pintu dari luar.
Arshanan sontak berbalik, kedua tangannya mencoba menahan pintu agar tetap tertutup, "Sial,"bisiknya sambil terus mencoba menahan dorongan dari luar.
Atmosfir di ruangan olahraga itu tiba-tiba diliputi ketegangan. Mata Violeta membulat, terbelalak, tubuhnya menjadi kak di tempatnya berdiri. Sementara itu Flora terlihat mencengkram tangan Zean dengan gemetaran. Namun Zean segera melepaskan cengkraman Flora untuk segera membantu Arshanan menahan pintu.
Zean mendorong tubuhnya ke pintu yang kembali bergerak dan suara geraman terdengar mengerikan dari baliknya. Flora menutup mulutnya dengan tangan, berusaha menahan isak, ia sangat takut sekarang. Sementara itu Violetta masih berdiri kaku di tempatnya, masih terlalu terguncang untuk bergerak.
"lebih kuat lagi menahannya, Nan!" Zean dengan keringat dingin yang sudah membanjir dahinya sama seperti Arshanan berseru.
Sementara suara derak pintu yang menggema seakan berhasil menyentakkan Violetta, mengembalikan kesadarannya. Matanya bergerak cepat menatap ke sekeliling dengan panik, berusaha menemukan sesuatu yang mungkin bisa membantu Arshanan dan Zean yang masih bersusah payah dan berjuang menahan pintu.
Ketika ia menemukan sebuah meja berat di sudut ruangan, Violetta segera melangkah ke arahnya dan mulai menarik meja itu dengan sekuat tenaga. Tubuhnya masih gemetar, tapi ia terus memaksa dirinya untuk tidak berhenti.
Flora yang awalnya hanya berdiri terpaku seraya menangis, segera tersadar dan mencoba membantu Violetta, "Biar gue bantu...."
"Enggak usah!" Violetta segera menolaknya dengan tajam, suaranya penuh dengan amarah terpendam. Ia menatap Flora dengan tatapan dingin, " Gue gak butuh bantuan lo dan lo mending pergi jauh dari gue."
Mendengar penolakan Violetta tentu saja membuat Flora tertegun. Flora rasanya seperti tertampar oleh semua kalimat yang Violetta lontarkan.
Seolah tidak peduli dengan ekspresi sedih yang ditunjukan Flora, Violetta akhirnya berhasil menarik meja itu dengan susah payah ke arah pintu, "Ayo kita ganjal pintunya dengan meja ini!" Kata Violetta kepada Arshanan dan Zean.
Arshanan dan Zean lantas bergerak cepat. Memposisikan meja itu di depan pintu untuk menahan tekanan dari luar.
Napas Violetta memburu, keringat dingin membasahi wajahnya. Namun ia merasa lega melihat meja itu sudah menahan pintu untuk sementara waktu.
"Meja itu nggak bakal bertahan lama" Zean mengusap wajahnya dengan gusar.
"Kalau begitu kita harus mencari cara untuk segera keluar dari sini secepatnya," sahut Arshanan, " Kita juga butuh senjata," Arshanan menatap kesekitar dengan cepat, kemudian ia melangkah menuju lemari pelaratan olahraga di sudut ruangan, berharap akan menemukan sesuatu yang berguna.
Arshanan membuka lemari itu, membongkar sisinya dengan serius. Di dalam lemari, Arsahanan menemukan berbagai alat olahraga seperti tongkat baseball, raket tenis, bola basket dan beberapa barang lainnya.
"Kita bisa menggunakan ini" Arshanan melemparkan tongkat baseball pada Zean dan cowok itu menangkapnya dengan mudah. Kemudian ia juga mmberikan tongkat baseball lainnya pada Flora dan Violetta sehingga kini masing-masing dari mereka memegang tongkat baseball sebagai senjata untuk melindungi diri.
"Sekarang kita tinggal cari cara untuk keluar dari sini" kata Zean.
Dengan suara bergetar dan agak ragu, Flora bersuara, "Bagaimana kalau kita keluar dari jendela?"
Arshanan tidak mengatakan apapun atas usulan yang di berikan Flora, namun langkahnya terayun mendekati jendela kaca yang mengarah ke belakang sekolah itu. Menatap keluar sejenak untuk memastikan tidak ada ancaman di sekitar sebelum akhirnya ia memukulkan tongkat baseball ditangannya ke jendela kaca dengan keras.
Zean, Violetta dan Flora terkejut mendengar suara pecahan kaca tersebut. Sementara Arshanan segera menoleh pada yang lain dengan wajah serius, "Ayo, satu per satu. Kita harus bergerak cepat."
Zean menjadi orang pertama yang maju lebih dulu, memeriksa bagian bawah jendela untuk memastikan tidak ada pecahan kaca yang bisa melukai mereka, "Hati-hati saat keluar, jangan sampai nginjek pecahan kaca'"
Flora jadi yang kedua. Dengan bantuan Zean yang sudah berada di luar, ia melangkah dengan hati hati melewati pecahan kaca dan berhasil kelar juga.
Violetta yang melihat bagaimana sikap Zean saat membantu Flora tadi menjadi lebih kesal dan sakit hati.
"Violetta, giliran lo!" Namun suara Arshanan segera mengalihkan perhatiannya. Dengan raut sebal ia segera bergegas melewati jendela untuk menyusul Zean dan Flora. Arshanan menjadi orang terakhir yang keluar dengan mudah.
"Sekarang kita kemana?"
Pertanyaan yang di ajukan Violetta belum sempat di jawab sebab mereka berempat sudah lebih dulu dikejutkan dengan beberapa Zombie berseragam yang sama dengan yang mereka kenakan sedang melangkah mendekat.
"Ayo, kita harus segera pergi dari sini!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!