Transgenik adalah proses pemindahan gen dari suatu organisme ke organisme lain sehingga organisme tersebut memiliki sifat dan ciri-ciri baru yang dapat diteruskan secara turun temurun.
Transgenik biasanya dilakukan hanya pada tumbuhan, pada awalnya. Tapi kemudian mulai berkembang pada hewan dan akhirnya dilakukan pada manusia dengan cara memasukkan DNA rekombinan yang telah dikendalikan dalam genom.
Dan praktek percobaan terselubung ini dinamai TMP—Time Machine Progress.
Tak ada yang tahu kenapa mereka menamainya seperti itu. Tapi sebagian besar percobaan mereka gagal dan menyebabkan banyak organisme mengalami cacat mutasi.
Aku harus keluar dari sini! pikir Valentin. Harus!
Masuk internat—sekolah berasrama—bukanlah ide Valentine untuk bersenang-senang. Itu sama sekali bukan idenya, malah!
Jadi, ide siapa dong?
Tentu saja ide ibunya!
Ia tahu ketika brosur Sekolah Super itu tiba di kotak posnya, ia sudah terkena kutuk. Slogan di sampulnya berbunyi: Sekolah Super Menanamkan Potensi Super!
Super adalah kata favorit ibunya. Sayangnya, anaknya hanya satu-satunya: Valentine Morgenstein.
Dan dia jauh dari potensi super.
Well—yeah! Dia membereskan tempat tidurnya sih, tapi itu kadang-kadang. Dia juga mandi, itu juga kadang-kadang. Mengerjakan PR-nya... kadang-kadang.
Membuat senang ibunya—tidak pernah.
Dan sebelum Valentine menyadari apa yang terjadi, ibunya sudah mendaftarkannya untuk tinggal di sana selama dua minggu.
Ia mencoba meyakinkan ibunya saat dalam perjalanan menuju stasiun kereta api. Dia berjanji mengurangi nonton TV dan bermain video game. Ia berjanji tak akan mengganggu anjing mereka lagi, bahkan bersumpah tak akan memakan tiga cokelat Snikers lagi untuk makan siang.
Tapi tidak berguna!
Ibunya tetap saja mendorongnya naik ke kereta dan berpesan agar ia mencari mobil van sekolah saat turun di Stasiun Last Morgan.
Valentine menemukan tempat duduk di sisi lorong, di depan seorang gadis berusia kira-kira delapan belas atau sembilan belas tahun—dua atau tiga tahun lebih muda dari dirinya—yang tampangnya sama tak bahagianya seperti Valentine. Gadis itu membaca sesuatu yang tampak familier di mata Valentin.
Hmmm, rupanya brosur Sekolah Super!
“Bagaimana menurutmu tempat itu?” tanya Valentine sambil menunjuk brosur di tangan gadis itu dengan dagunya.
“Menurutku tempat itu aneh,” gerutu gadis itu. Diremasnya brosur itu hingga membentuk gumpalan, kemudian mencampakkannya ke lantai kereta. “Sekolah Super! Hah!” Dengusnya. “Bagaimana kalau sekolah yang khusus mendidik orang tua super?”
“Kalau begitu akan kukirim ibuku ke sana!” timpal Valentine setuju. Kemudian memperkenalkan dirinya. “Namaku Morgenstein. Valentine Morgenstein. Ibuku mengirimku ke Sekolah Super juga!”
“Aku Imo Glass,” gadis itu balas memperkenalkan dirinya. Seulas senyuman samar tersungging di sudut bibirnya. “Coba katakan, kenapa ibumu mengirimmu ke sana? Apa yang telah kau lakukan?”
“Kurasa… lebih karena apa yang tidak kulakukan,” jawab Valentine setengah mengerang.
Lalu keduanya tertawa.
Selanjutnya mereka terus berbincang-bincang, berkeluh-kesah tentang orang tua mereka sampai petugas mengumumkan, “Stasiun Last Morgan!”
Imo mengangkat ranselnya dan mengikuti Valentine ke pintu. “Pasrah sajalah,” katanya sambil mendesah.
Tak sampai lima menit, mereka sudah menemukan mobil van sekolah.
Sekitar setengah jam kemudian, van itu memasuki gerbang besi tinggi sekolah dan diparkir di dekat antrean remaja yang berdiri di belakang tulisan berbunyi: LULUSAN SUPER.
Anak-anak ini aneh, pikir Valentine.
Antrean mereka selurus penggaris. Setiap anak mengenakan seragam taktis berwarna hitam seperti pasukan militer khusus dengan bet nama: PARAVISI.
Semuanya berdiri tegap dengan pandangan lurus ke depan. Semuanya berdiri diam tanpa ekspresi, menantikan orang tua masing-masing menjemput mereka.
Anak seperti mereka itukah yang diinginkan ibuku? Valentine membatin getir.
Driver mobil sekolah membuka pintu van. Seorang pria lain sudah berdiri di dekatnya. “Aku Direktur Sekolah Super,” pria itu memberitahu. “Berbarislah menurut tinggi badan!” Ia menginstruksikan. “Yang paling tinggi di belakang. Paling pendek di depan. Tinggalkan tas kalian di van. Kalian takkan membutuhkannya di sini.”
Valentine bertukar pandang dengan Imo Glass.
Direktur sekolah itu menunjuk anak paling depan. “Kau Nomor 13,” katanya. Kemudian menomori semua anak satu per satu. Tapi urutannya tak beraturan.
Valentine mendapat nomor 777.
Imo Glass nomor 888.
Aneh sekali! pikir Valentine. Berdasarkan apa mereka memberi nomor?
“Ingatlah nomor kalian masing-masing. Instruktur kalian akan memanggil kalian dengan nomor-nomor tadi,” direktur sekolah itu menerangkan. “Begitu juga dengan kalian, akan saling memanggil dengan nomor. Dan kalian akan memanggilku dan guru-guru kalian dengan sebutan Guardian.”
Imo Glass benar! Valentine membatin getir. Tempat ini aneh. Bagaimana aku bisa tahan berada di sini selama dua minggu? Mereka semua sinting!
Valentine kembali melirik barisan LULUSAN SUPER itu melalui ekor matanya.
Apakah salah satu dari Paravisi itu seperti aku waktu pertama kali tiba di sini?
Apa yang telah dilakukan para guardian pada mereka?
Apa yang akan mereka lakukan padaku?
Valentine bertanya-tanya dalam hatinya. Dan seketika punggungnya terasa menggigil.
Empat guardian menunggu mereka—para calon pelajar super—di balik pintu. Salah satu dari mereka menepuk bahu Valentine. “You! Follow me!” instruksinya dengan suara dingin tanpa ekspresi, kemudian membimbingnya melewati koridor dan naik ke lantai atas.
Valentine menangkap bayangan Imo Glass memasuki sebuah ruangan di lantai satu.
“See you!” Valentine meneriakinya.
“Tak boleh bicara!” Guardian itu menghardik Valentine. Di puncak tangga ia berbelok ke kiri. Sebuah pintu yang tengah terbuka langsung ditutup dan dikunci ketika para calon pelajar itu berjalan melewatinya.
Begitu rahasia? Pikir Valentine. Kenapa mereka bersembunyi? Kenapa semua pintu tertutup? Kenapa mereka tidak memperbolehkan kami bicara satu sama lain?
Guardian itu mengantar Valentine ke kamar terakhir di ujung koridor. “Kenakan pakaian di lemari, makan hidangan di nampan, dan tunggu di sini sampai kau dipanggil,” tuturnya menginstruksikan. Kemudian menutup pintu.
Valentine memeriksanya… terkunci, tentu saja.
Keesokan paginya, semua anak digiring keluar dari kamarnya masing-masing, lengkap dengan seragam taktis yang sama berwarna hitam. Seperti security, pikir Valentine.
Apakah ini sekolah khusus pengawal?
Pada sesi pelatihan pertama, Valentine bertemu lagi dengan Imo Glass.
“Hai!” Sapanya dengan berbisik.
“Dilarang bicara!” Guardian yang memimpin kelas mereka memperingatkan. “Kalian harus menjawab setiap pertanyaan di buku tugas di atas meja masing-masing,” instruksinya kemudian.
Yang benar saja? Erang Valentine dalam hatinya. Buku itu tebalnya lebih dari seratus halaman. Mereka tidak berharap kami menjawab semua pertanyaan ini, kan?
Valentine membuka buku tugas itu dan terperangah.
Pertanyaan-pertanyaannya aneh: “Bagaimana kau memanggil orang tuamu?”
“Apa makanan kesukaanmu?”
“Kostum apa yang kau kenakan pada Halloween lima tahun terakhir?”
Untuk apa para guardian itu ingin tahu semua ini? Pikir Valentine, merasa sedikit jengkel. Mereka sudah tahu terlalu banyak!
Mungkin aku bisa membuat mereka sedikit bingung!
Sebuah gagasan tiba-tiba melintas begitu saja di benak Valentine. “Aku memanggil ayahku Mendiang dan memanggil ibuku Ketua,” tulisnya, kemudian menepuk bahu Imo Glass dan mengangkat buku tugasnya supaya gadis itu bisa membaca jawabannya.
Imo Glass mendesis tertawa.
Lalu sebuah tangan yang kuat mencengkram pundak Valentine. Keras sekali. “Nomor Triple Tujuh, kau mengganggu yang lain. Mulai sekarang kau akan ditempatkan di Kelas Pelatihan Khusus!”
Guardian itu kemudian menyeret Valentine keluar dari ruangan itu dan menggiringnya ke ruangan lain.
Tidak ada meja tulis di ruangan barunya, hanya ada deretan kapsul—sejenis inkubator seukuran peti mati.
Seketika mulut Valentine terasa kering. Ia mencoba menelan ludah, tapi tak bisa.
Guardian itu memaksa Valentine masuk ke dalam salah satu kapsul, dibantu guardian lain yang sudah menunggu di dalam ruangan itu. Kemudian mereka mengikat kedua tangan dan kaki Valentine, memasang selang infus dan peralatan aneh lainnya di sana-sini. Lalu menutup pintu inkubator itu.
“Tidak—” Valentine mencoba berteriak dan memberontak. Tapi kapsul itu mulai dipenuhi uap dingin yang membuatnya menggigil dan membeku, lalu tak ingat apa-apa lagi.
Valentine tak tahu berapa lama ia tidak sadarkan diri, tapi ketika ia terbangun…
Ia berada di tempat yang salah, di ruang dan waktu yang keliru.
Di mana ini?
Valentine terbangun kebingungan dan memeriksa dirinya. Ia masih mengenakan seragam taktis Sekolah Super, lengkap dengan sepatu tentara berwarna hitam. Tapi ia sudah tak lagi berada di dalam inkubator. Tidak berada di ruangan pelatihan khusus.
Tidak berada dalam ruangan!
Di sekelilingnya terdapat rumpun tanaman seperti bunga liar yang tumbuh berkelompok-kelompok di atas padang rumput.
Sebuah ransel tergolek tak jauh di sampingnya di atas rerumputan bersama jaket denim kulit warna hitam jenis long coat sepangkal paha. Jaketnya!
Valentine mengenakan jaket itu dan memeriksa ranselnya. Ranselku! Katanya dalam hati.
Apa yang terjadi?
Kenapa aku bisa berada di sini?
Di mana ini?
Valentine menarik bangkit tubuhnya sembari menyampirkan ransel itu di bahunya, kemudian mengedar pandang.
Rumpun tanaman yang sama membentang seluas mata memandang, berpetak-petak seperti perkebunan. Sebagian masih berbunga, sebagian telah berbuah. Bentuk buahnya mirip buah delima namun beruas seperti labuh dalam ukuran kecil berwarna hijau yang hanya tumbuh satu di tiap tangkai dengan mahkota menghadap ke atas. Dimulai dari seukuran kelereng sampai sebesar apel.
Valentine memetik sekuntum bunga di dekatnya dan memeriksanya.
Opium! Valentine menyadari. Kemudian melayangkan pandang sekali lagi dengan tercengang. Aku berada di tengah ladang opium!
Untuk apa mereka mengirimku ke sini?
Apakah ini termasuk ke dalam program pelatihan khusus?
Valentine menguak rumpun tanaman itu dan melangkah keluar, menyusur jalan setapak.
Beberapa meter dari situ, ia menemukan sekelompok pekerja sedang menyadap getah tanaman itu. Semuanya mengenakan jubah longgar lengan panjang berwarna hitam semata kaki yang dilengkapi ikat pinggang kain sewarna. Semuanya mengenakan kain selubung—kain panjang hitam yang sama seperti selendang yang meliliti bahu hingga wajah dan kepala mereka.
Tak ada yang mengenakan seragam seperti Valentine.
Tak ada pelajar lain dari Sekolah Super. Tak ada guardian.
Hanya dirinya!
“What the…” Valentine menggumam dan tergagap.
Para pekerja itu menoleh serempak dan membeku menatap Valentine.
“Boleh tahu aku di mana?” Tanya Valentine terbata-bata.
Salah satu dari mereka mendengus dan menyeringai di balik selubung wajahnya. “Di ambang kematianmu,” katanya sembari mengusapkan mata pisaunya ke lengan bajunya.
Beberapa pria lainnya mendekat dan mengepung Valentine.
Valentine menelan ludah dan beringsut selangkah ke belakang.
Dua pria lainnya menghadang di belakang.
Valentine membeku di tempatnya dengan waspada. Mereka mau apa? Pikirnya.
Sedetik kemudian, para pria itu merangsek ke arahnya dan Valentine secara refleks melejit sembari menyapukan tendangan memutar di udara.
Bug, bug, bug!
Dua pria tersentak ke belakang dengan rahang mendongak.
Dari mana datangnya kemapuan itu? Pekik Valentine dalam hatinya. Terkejut dengan reaksinya sendiri.
Ia tak pernah belajar bela diri seumur hidupnya. Refleksnya juga tergolong payah selama ini. Tapi apa yang dilakukannya barusan bahkan membuat dirinya sendiri terkejut.
Apa yang telah dilakukan para guardian itu pada tubuhku? Valentine bertanya-tanya dalam hatinya. Tubuhnya terasa ringan seperti bukan sedang berada dalam kenyataan.
Apakah aku sedang berada di bawah pengaruh anestesi?
SLASH!
BUG!
Salah satu dari pria berjubah itu berhasil mendaratkan pukulan telak di tengkuk Valentine.
Valentine tersungkur dan jatuh berlutut. Tapi tak merasakan sakit sama sekali.
Benar, pikir Valentine. Ini pasti karena pengaruh anestesi dan pembekuan. Tubuhku terasa kebas!
Lalu dengan cepat ia menarik bangkit tubuhnya lagi dan dengan gesit menangkis serangan di sana-sini hanya dengan mengandalkan tangan kosong. Setiap gerakannya spontan dan luwes seperti hanya sedang menari mengikuti irama musik. Tidak terasa seperti dirinya!
Seolah-olah seorang petarung handal telah mengambil alih tubuhnya.
Inikah keunggulan Sekolah Super? Pikir Valentine takjub. Sehebat ini?
Sekolah Super Menanamkan Potensi Super!
Valentine mengulang-ulang slogan Sekolah Super dalam benaknya.
Sebenarnya apa maksudnya?
Apakah itu berarti setiap pelajar Sekolah Super diberikan kekuatan super?
Mungkinkah inkubator di ruangan rahasia yang disebut-sebut sebagai Kelas Pelatihan Khusus itu sejenis alat injeksi untuk memasukkan kekuatan super?
Bagaimana mereka melakukannya?
Valentine tak habis pikir.
Apakah ini ada kaitannya dengan narkotik?
Pikirannya yang aktif tak segan-segan menawarkan gagasan, sementara sejumlah pria di sana-sini masih mengepung dan mempersulitnya.
Aku harus menyingkir dari sini! Valentine memutuskan, kemudian menunggu kesempatan sambil terus berjuang mempertahankan nyawanya sampai saat para lawanya lengah dan ia berhasil melarikan diri.
"Tangkap penyusup itu!” Teriak seorang pria. “Jangan biarkan dia berhasil kabur!”
Valentine berlari tersaruk-saruk di antara semak-semak opium yang seolah tidak berujung.
Kelompok pria berjubah hitam yang mengejarnya semakin bertambah banyak. Beberapa dari mereka membawa senjata api rakitan berlaras panjang.
Mereka bukan pekerja biasa! Kata Valentine dalam hati. Mereka jelas para pengawal yang sudah terlatih!
Sepertinya ladang opium ini tidak memiliki izin resmi, pikirnya. Beberapa lahan pertanian opium memang dilegalkan untuk kepentingan medis, tapi yang ini tidak termasuk. Jelas sekali mereka merahasiakannya!
Setelah pelarian panjangnya yang menyiksa, Valentine akhirnya sampai di sebuah lereng di pinggir jalan aspal yang membentang di tengah-tengah padang rumput.
Jalanan terlihat sepi.
Sebuah sedan tua berwarna perak meluncur dalam kecepatan tinggi dan berhenti mendadak ketika Valentine menerjang ke tengah jalan.
“Cari mati!” Pengemudi mobil itu meneriakinya.
Valentine menghambur ke pintu penumpang depan dan mengetuk kacanya dengan gusar. “Please, help! Berilah aku tumpangan, ke mana saja. Terserah!”
Pengendara mobil itu menurunkan kacanya dan terperangah. “Morgenstein?!” pekiknya. “Kenapa kau di sini?”
“Imo Glass!” Valentine balas terperangah. “Kau—”
Dor, dor, dor!
Para pria yang mengejar Valentine sudah menyeruak keluar dari semak-semak tanaman perdu di lereng bukit sembari melontarkan tembakan ke arah mereka.
“Apa yang terjadi?” Imo Glass berteriak panik sembari membekap kedua telinganya. “Kenapa mereka menembakimu?”
“Buka pintunya!” Valentine balas berteriak tak kalah panik. “Akan kujelaskan setelah pergi dari sini!”
“Masuklah!” Imo membuka pintu mobilnya cepat-cepat.
Dua pria sudah menghambur ke tengah jalan.
Bersamaan dengan itu, Valentine sudah menyelinap masuk ke bangku penumpang depan.
Sejurus kemudian, mobil itu sudah melesat dalam kecepatan yang lebih tinggi.
Dor, dor, dor!
Suara tembakan membahana di belakang mereka.
Imo Glass mempercepat laju mobilnya lebih tinggi lagi.
Jalan di depan mereka masih membentang tanpa ujung, melewati padang rumput nan luas di kiri-kanan, dan berakhir di hutan pinus.
Kini jalanan menurun dan menukik tajam.
Imo Glass membelokkan mobilnya tanpa mengurangi kecepatan.
“Pelankan mobilnya!” Pekik Valentine dengan ngeri. “Mereka sudah tertinggal jauh di belakang!”
“Hanya mereka yang mengejarmu,” sahut Imo Glass tanpa mengalihkan perhatiannya dari jalan. “Bagaimana dengan mereka yang mengejarku?”
“Kau juga sedang dikejar orang?” Valentine menoleh pada Imo Glass dengan mata dan mulut membulat.
“Lebih buruk darimu!” Jawab Imo Glass setengah berteriak. Jalan di depan mereka kembali meliuk ke arah sebaliknya. Imo Glass memutar setirnya dengan cengkeraman mengetat hingga buku-buku jarinya memutih. “Mereka tak hanya membawa senjata api, tapi juga membawa kendaraan!”
“#$!@~”
Hutan pinus itu membentang sejauh beberapa kilometer, kemudian berganti ladang ilalang dan padang pasir.
“Sebenarnya kita ada di mana?” tanya Valentine setelah lama terdiam.
Sudah lebih dari tiga jam mereka berkendara, dan selama itu mereka tidak bicara karena Imo Glass tak kunjung mengurangi kecepatan. Kengerian mencekam Valentine selama perjalanan hingga mulutnya kelu.
“Aku juga tak tahu,” jawab Imo acuh tak acuh. Perhatiannya tetap terfokus pada jalan yang berkelok-kelok di depan mereka.
“Lalu ke mana tujuanmu?” tanya Valentine lagi.
“Tidak tahu,” jawab Imo Glass tak peduli.
Valentine melengak menatap Imo.
Sebenarnya apa yang terjadi?
Apakah dia juga mengalami hal yang sama sepertiku?
Dipaksa masuk ke dalam kapsul hingga tidak sadarkan diri, kemudian terbangun di tempat yang salah dan dengan tak tahu apa-apa tiba-tiba diburu untuk dibunuh?
Valentine menoleh ke belakang untuk kesekian kalinya dalam tiga jam terakhir, tapi tidak terlihat tanda-tanda kendaraan lain akan segera muncul.
Tak ada para pengejar seperti yang dikatakan Imo!
“Dari mana sebenarnya kau mendapatkan mobil?” Valentine bertanya lagi.
“Please, don’t ask!” erang Imo Glass sembari memutar bola matanya.
“Kau tidak mencurinya, kan?” Valentine memicingkan matanya.
Imo Glass hanya mengedikkan bahu.
Valentine mendesah pendek.
“Sekarang katakan! Kenapa mereka ingin membunuhmu?” tanya Imo Glass.
“Karena aku melihat yang tidak seharusnya,” jawab Valentine dengan muram.
“Apa maksudnya melihat yang tidak seharusnya?” tanya Imo Glass.
“Entah bagaimana aku terbangun di tengah ladang opium dan mereka mengira aku penyusup,” jelas Valentine. “Bagaimana denganmu? Kenapa kau juga ada di sini? Apakah mereka juga memasukkanmu ke dalam kapsul hingga tidak sadarkan diri, kemudian terbangun di tempat yang salah dan diburu dengan tak tahu apa-apa?”
“Well—yeah! Mereka memang memasukkanku dan semua anak ke dalam kapsul tapi tak sampai pingsan, apalagi tiba-tiba terbangun di tempat yang salah,” cerita Imo. “Mereka membuangku ke tempat ini karena aku cacat mutasi. Dan aku dikejar bukan tanpa alasan. Tapi karena mencuri mobil!”
“Apa maksudnya cacat mutasi?” tanya Valentine.
“Sama sepertimu,” jawab Imo Glass acuh tak acuh.
“Sepertiku?” Valentine tidak mengerti.
“Mereka sedang melakukan percobaan transgenik yang semula hanya dilakukan pada tumbuhan kemudian berkembang pada hewan dan akhirnya dilakukan pada manusia,” jelas Imo Glass. “Dan kita adalah kelinci percobaan mereka!”
“Jadi semua anak tetap dimasukkan ke dalam kapsul meskipun tak melakukan kesalahan?” gumam Valentine.
“Benar,” Imo Glass menjawab datar. “Hanya saja mereka yang melakukan kesalahan prosesnya dipercepat untuk mencegah kebocoran. Mereka yang mengikuti prosedur menandatangani perjanjian tak boleh membocorkan informasi apa pun keluar. Jika mereka melanggar, mereka akan dianggap cacat mutasi dan disingkirkan dari negara kita.”
“Disingkirkan dari negara?” Valentine memekik tertahan. “Jadi sekarang kita tidak sedang berada di negara kita?”
“Kau pernah dengar Athena Minor?” tanya Imo Glass.
Athena Minor adalah nama benua kecil yang terpencil dan tersembunyi di antara dua benua---Asia dan Eropa.
Ukurannya tak lebih besar dari benua Australia. Dan letaknya tersembunyi di laut Kaspia.
Sebagian orang menyakininya sebagai Surga Yang Hilang. Beberapa orang menyebutnya benua yang hilang.
Keberadaannya tidak terdata dalam atlas dunia, karena benua Athena Minor hanya lokasi fiktif ciptaan Penulis Keparat.
“Jangan bilang kita sedang berada di Athena Minor!” seloroh Valentine sembari tersenyum pahit. “Itu terdengar seperti ancaman ibuku saat aku masih duduk di bangku TK,” dengusnya. Kemudian menirukan gaya bicara ibunya. “Lakukan dengan baik atau aku akan mengirimmu ke Black Hole!”
Imo Glass terkekeh. “Sayangnya itulah yang tertulis di dalam kontrak!” katanya kemudian.
“Jadi kalian yang mengikuti prosedur dan menandatangani kontrak, mengetahui dengan jelas bahwa ini adalah malpraktik?” tanya Valentine.
“Sure,” jawab Imo Glass. “Tapi itu tidak membantu kami terbebas.”
“Lalu, menurutmu… bagaimana dengan Lulusan Super bergelar Paravisi itu?” Valentine bergumam sembari tercenung.
Imo Glass akhirnya menurunkan kecepatan dan turut tercenung. “Mungkin akhirnya mereka benar-benar berhasil,” gumamnya bernada muram.
“Aku hanya penasaran seperti apa kehidupan mereka setelah dijemput pulang oleh orang tua mereka masing-masing?” Valentine terkekeh sinis.
Imo Glass tidak menjawab.
“Maksudku… ada yang aneh pada tubuhku," kata Valentine. "Dan aku merasa itu adalah hal yang bagus. Aku tiba-tiba memiliki kemampuan bertarung dan kebal terhadap rasa sakit. Jika seperti aku dianggap cacat mutasi, bagaimana dengan mereka yang lolos uji coba?”
“Kau tidak penasaran seperti apa kehidupan kita setelah ini?” Imo Glass menanggapi dengan balas bertanya. “Kita tak punya kartu identitas sekarang, tak punya uang, tak punya tujuan pasti, tak punya apa-apa!”
Valentine langsung terdiam.
“Kita hanyalah mutan!” Imo Glass menambahkan. “Dan aku tidak merasakan ada hal bagus seperti yang kau katakan. Tidak ada yang aneh pada tubuhku!”
Valentine menoleh dan menatap Imo dengan mata terpicing.
Tiba-tiba Imo Glass mengerem mobilnya secara mendadak.
Valentine terlontar ke depan hingga dahinya membentur kaca.
KRAAAK!
Kaca itu pun retak seketika, dan Imo Glass terpekik sembari membekap mulutnya dengan telapak tangan, terperangah menatap kaca depan mobilnya.
Valentine menarik kepalanya menjauh dari kaca dan menghempaskan punggungnya ke sandaran jok. “Kenapa kau berhenti tiba-tiba?” erangnya sembari mengusap darah yang merembes keluar dari dahinya.
“So—sorry…” Imo Glass tergagap-gagap, kemudian merenggut tisu yang terselip di antara jok kemudi dan jok penumpang dengan kalang kabut. “Aku tidak mengira kau bakal menghancurkan kaca!” katanya sembari menekankan tisu itu cepat-cepat ke luka Valentine.
Valentine mengambil alih tisu itu dan menyeka sendiri darahnya. Ia memutar kaca spion depan di atas kepala mereka dan berdiri membungkuk untuk memeriksa barangkali ada pecahan kaca tertinggal pada lukanya.
Tak bisa merasakan sakit membuat Valentine sedikit kesulitan untuk menemukan apakah ada serpihan kaca tertancap di sana.
Lukanya tidak terlalu dalam! Pikir Valentine. Kemudian kembali ke tempat duduknya setelah memastikan tak ada serpihan kaca yang bisa ditemukan.
Tapi Imo Glass malah mematikan mesin mobilnya.
Valentine spontan menoleh dan menghujamkan tatapan heran.
“Lihat itu!” Imo Glass menunjuk ke arah gapura tinggi menjulang di depan mereka di ujung jembatan.
Mata Valentine serentak bergulir mengikuti arah telunjuknya dan terkesiap.
Tulisan besar yang tertera di atas gapura itu berbunyi: SELAMAT DATANG DI KOTA GHOSTROSES!
Ghostroses adalah sebuah kota misterius paling mematikan nomor satu di dunia. Satu-satunya kota paling bermasalah yang tak pernah tersentuh oleh tangan hukum mana pun.
Ghostroses semacam kota kematian yang menyajikan banyak mimpi buruk sepanjang sejarah.
Setengah dari penduduknya berprofesi sebagai pembunuh bayaran dengan beragam formalitas dan penyamaran. Selebihnya, hanya segelintir aparat lemah dan sejumlah sindikat mafia kelas dunia berkedok personil ilmiah dan pengusaha.
Seorang penulis artikel majalah budaya berkebangsaan Asia pernah hilang di kota ini setelah mengirimkan data liputannya.
Dalam data liputan terakhirnya, terselip sebuah pesan: "Tidak seorang pun dibiarkan keluar hidup-hidup..."
Catatan terakhirnya meninggalkan teka-teki yang mengundang banyak perhatian para analis di seluruh dunia. Lalu, satu per satu para ahli dari berbagai belahan dunia berdatangan ke Kota Ghostroses untuk mengusut kasus hilangnya penulis artikel majalah budaya itu. Tapi mereka semua tak pernah kembali.
Valentine bertukar pandang dengan Imo Glass, saling mempertanyakan keputusan satu sama lain.
Di depan mereka adalah kota paling mematikan nomor satu di dunia. Di belakang adalah padang belantara dengan sejuta kemungkinan yang tak kalah buruk dari sekadar pembunuh bayaran.
Mana yang akan mereka pilih?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!