Prolog..
Sambil membawa sebuah kotak sepatu bekas yang didalamnya sangat menganggu pikirannya saat ini, Rainer Prayogo telah sampai di kost berwarna biru muda yang memang sudah hafal akan keadaan dan situasi di kost ini. Setelah memarkirkan mobilnya yang memang agak jauh dari gerbang masuk kost ini, Rainer menuju lantai atas dimana salah satu kamar yang pernah ia masuki dan menjadi tempat penenangnya selama ini. Dengan perasaan yang masih terpengaruh kalimat kalimat negative yang ia terima selama ini, ia membulatkan hati sambil mengayunkan kakinya menaiki satu persatu anak tangga tersebut.
Sampai akhirnya, ia telah berdiri di depan pintu yang bertuliskan nama pemilik kamar tersebut. Bahkan, ia sangat mengetahui papan nama yang terbuat dari papan yang dihiasi oleh kerang kerang cantik. Kerang yang ia kumpul sendiri sesaat ia ditugasi ke Pulau Belitung saat itu. Namun, semua perasaan indah saat mengumpul kerang-kerang itu seakan sirna dengan telinganya mendengar sendiri apa yang telah terjadi di dalam sana.
“AAAAAAHHHHHH…. Terus.. Tekan yang daaaaa laaaammmm….. “
“Punya lo makin enak ya, Na.”
Sambil memegang kotak tersebut, Rainer sempat menitikkan air mata yang sudah tak terbendung lagi. Selama ini apapun berita tentang Bellona Carla, kekasihnya tersebut selalu ia tanggapi dengan penjelasan bahwa ia masih percaya akan Lona yang telah ia jadikan kekasih selama 3 tahun ini. Bahkan, sempat ia hampir mengayunkan tangannya yang terbiasa dengan beladiri tersebut kepada temannya yang sudah menurutnya keterlaluan dalam menilai Lona.
Tapi kini, ia hanya bisa menyesali apapun yang telah terjadi. Prinsip hidup yang telah ia buat seakan hancur dikikis oleh perilaku yang sebenarnya ia sendiri menghindarinya. Prinsip teguh yang ditanam semenjak ia masih duduk di bangku SD itupun hanya termakan waktu malam ini. Prinsip hidup bersama Lona sebagai teman hidup sehidup semati pun, sirna di dirinya saat ini.
Tak mau lagi mendengar hal yang menjijikkan baginya lebih lama, Rainer bergeser ke arah sudut kamar Lona yang memang terletak paling tepi tersebut. Sambil bersandar di tempat yang memang kurang pencahayaan tersebut, ia masih mendengar samar samar pergumulan yang terjadi di dalam. Pergumulan kekasihnya dengan orang yang juga ia kenal.
KRRRIIIIEEEKKK…
Sampai akhirnya, pintu kamar tersebut terbuka. Pintu yang memang dibuka keluar tersebut, makin menyembunyikan Rainer dibelakang kedua orang yang bergumul tadi. Dengan ditambah dengan tidak adanya penerangan di sekelilingnya, Rainer bisa merasakan pelaku pergumulan tadi masih berbicara di depan pintu.
“Gue pulang ya.”
“Yaaaaa… gue sebenarnya iri sih sama Ika, bisa digarap sama Rizal sama Adit. Apalagi elo juga kesana. Pasti lo ambil bagian juga.”
“Hmmm.. tapi keknya hanya sekali deh. Soalnya tadi gue udah nyembur dua kali. Nikmat banget.”
“Hihihihi.. iya, lo ganas banget malam ini. Beda dari biasanya. Biasanya, lo kalah sama Rizal dan Adit.”
“Kalau lagi berdua gini, nafsu gue maksimal ke elo Na. Sayang lo masih sama Rainer.”
“Kan kamu gak seberuntung dia?”
“Iya. Apalagi, Lo yang makin hot Na. gue beruntung bisa nyicipin tubuh lo yang sempurna ini.”
“Hmmm.. gue tunggu video Ika digarap kalian ya.”
“Okeee.. gue duluan ya. Takut cowok lu keburu datang.”
“Cium dulu dong.”
Rainer masih mencoba untuk tenang mendengarkan semua ini. Mendengar jika Lona tidak seperti yang ia bayangkan. Lona yang begitu liar di belakangnya. Bahkan bukan hanya Yongki yang menikmati tubuh kekasihnya itu, ada nama Rizal dan Adit juga yang telah mencicipi tubuh indah Lona. Benar benar ia tak menyangka akan hal itu terjadi.
Apalagi disaat ia mendengar kecupan dua bibir bertemu sampai akhirnya ia melihat Yongki diantar oleh Lona yang memang memakai selimut pink pemberian Rainer sedikit ke arah tangga. Selimut tersebut hanya menutupi dada sampai paha itu semakin membuat Rainer kecewa. Selimut itu hadiah pertama sebagai hadiah ulang tahun diawal mereka satu tahun mereka berpacaran, sengaja ia belikan untuk Lona agar Lona selalu mengingat dirinya bahwa kehangatan kasih sayang kepadanya kan selalu ada di setiap waktu saat Rainer tak ada disampingnya. Tapi kini, selimut itu melilit di tubuh Lona yang telah berbuat tidak semestinya bersama pria lain.
Dan, saat Lona membalikkan tubuhnya hendak kembali masuk ke kamarnya, Rainer berjalan mendekati pintu tersebut dengan masih memegang kotak sepatu tersebut sambil berusaha untuk tetap tenang. Lona yang begitu terkejut dengan keberadaan Rainer tersebut seakan tidak percaya akan penglihatannya. Bahkan ia menatap dalam dalam wajah Rainer yang berusaha menutupi kekecewaannya sambil keluar air mata penyesalannya. Tanpa rasa malu dengan tubuh yang masih berbalut selimut tersebut, Lona langsung bersujud di bawah kaki Rainer.
“Sayaaangg.. maaf.. ini ga seperti kamu bayangkan. Tadiii.. Tadiii hanyaaaa…”
Hanya itu kata kata Lona yang terlontar dari mulutnya dan terputus akibat tangisannya yang menjadi jadi. Bahkan ia tak mempedulikan lagi kondisi selimut yang telah lepas dari tubuhnya. Ia tetap bersujud di kaki kekasihnya tersebut.
“Akuuu … Akuuu hanya dipaksa oleh Yongki untuk melayaninya… hikkssss..”
Lona pun kembali berkata setelah melihat sejenak ke arah wajah Rainer yang tidak bergeming sedikit pun dengan apa yang telah ia lakukan. Bahkan bagi Rainer, dibawahnya sekarang bukanlah kekasih yang ia banggakan saat ini. Melainkan seorang wanita rendah, yang bisa dikendalikan nafsunya sampai melupakan janji janjinya. Walaupun tubuh Lona yang polos tersebut terlihat, tapi perasaan jijiknya menutupi birahinya. Bahkan ia masih bisa mengeluarkan senyuman dinginnya ke Lona.
"Kehormatan dan harga diri seorang suami dan keluarga itu terletak pada seorang wanita yg mampu menjaga kehormatannya, yah mungkin aku bukan lelaki yang baik untuk menjaga kehormatan dan kesucian seorang wanita calon istrinya,.. "
“Hiikkkksss…”
“...maaf aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini, karena aku tak layak untuk jadi suami dan menjadi pendamping seumur hidupmu"
Seusai mendengar hal tersebut, Lona langsung berdiri sambil memeluk tubuh Rainer yang masih bersikap dingin terhadap kekasihnya ini. Bahkan ia pun tak membalas pelukan kekasihnya tersebut.
“Gaaakk.. ini bukan salah kamu, ini kesalahanku. Maafkan aku. aku gak bisa menjaga kepercayaanmu, tolong jangan tinggalkan aku, aku akan berubah, aku akan memperbaiki ini semua.. Tolong jangan tinggalkan aku.. Aku rela melakukan apapun asal kamu jangan tinggalkan aku, aku mohon.. Kamu adalah masa depan ku Rainer"
Sebisa mungkin Lona memohon maaf ke Rainer. Bahkan ia mencoba untuk menciumi tangan Rainer yang sedang menggenggam kotak sepatu. Tetapi, Rainer telah merasa hal ini harus diselesaikan dengan cepat. Ia menarik tangannya yang sudah berair akibat air mata di pipi Lona. Bahkan, ia melepas paksa pelukan tersebut.
" ..tiga tahun kita bersama mencoba merajut dan meraih mimpi kita untuk dapat hidup bahagia bersama, tapi tak terbersit pun aku untuk mengambil kesucian mu karena aku tau kehormatan mu hanya dapat aku ambil disaat kau telah sah jadi istriku karena disaat itulah kehormatan ku mulai kau pikul. "
“Maaf Ner. Aku menyesali semuanya. Tapi aku mohon kamu dengar dulu. Ini semua paksaan dari Yongki, aku diperkosanya.”
Lona masih gigih dengan pembelaannya yang sebenarnya membuat ia makin tersudut di diri Rainer. Bahkan ia kembali berusaha untuk memeluk tubuh Rainer sambil meraih selimut dan membaluti sebisa mungkin tubuh polosnya.
“Sudahlah, jangan kamu berkilah, jangan berbohong, sampai kapan terus berbohong demi menutupi kebohongan, aku tau kamu menikmatinya.. Sekali lagi maaf mungkin yg terakhir kita bertemu.. Kalau kita berjodoh mungkin kita bertemu kembali,”
Seusai mengucapkan kata klimaks yang direncanakan kepalanya, Rainer langsung meletakkan kotak sepatu yang selalu di genggamannya tadi di sebuah meja teras depan kamar Lona tersebut. Lona yang kembali mencoba untuk meraih tubuh Rainer kembali menunduk mengambil selimut akibat tepisan tangan Rainer yang menyebabkan selimut itu jatuh dari tubuhnya. Dan sampai akhirnya, Lona hanya bisa melihat kepergian Rainer yang membuatnya berteriak memohon untuk kembali. Dan, harapannya kembali saat Rainer melihat ke arahnya persis berada di depan anak tangga. Namun, itu hanya sekejap sampai akhirnya Lona hanya melihat Rainer sambil berteriak dari atas.
Tahu usahanya sia sia, ia hanya menunduk sambil memasuki kamarnya setelah membawa kotak itu bersamanya. Bahkan saat ini, ia masih seperti mimpi buruk yang tak ingin terjadi. Dengan masih menatap ke arah kotak sepatu tadi, ia mencoba untuk menenangkan diri sambil memikirkan apa yang ia akan lakukan ke depan. Jelas, dalam benaknya ia harus mempertahankan hubungan ini walau ia memang tahu susah untuk dilakukan.
Setelah berpakaian seadanya, ia mulai membuka kotak tersebut dengan jantung berdegup kencang. Di dalam kotak tersebut berisikan sebuah map kecil, sebilah kertas yang dilipat kecil, dan sebuah kotak berwarna merah yang diketahui wanita itu adalah cincin. Map yang berwarna coklat tersebut ia buka terlebih dahulu. Ia terkejut dengan isi di dalam map tersebut. Foto foto dirinya bersama Yongki, Rizal, Adit baik itu berdua, atau bahkan bersama sama. Tampak dari foto tersebut diambil secara diam diam. Ia masih ingat dimana kejadian tertera di foto ini. Kafe, Kampus, bahkan di depan kosnya sekarang ini.
Air mata itu kembali turun menetes mengingat kebodohannya disaat awal pertama kali ia melakukan perselingkuhan itu. Ia lalu melirik ke arah sebilah kertas yang dilipat kecil tersebut yang tertempel di kotak cincin tersebut. Dibuka dan dibacanya surat ini.
"Jika kamu mampu menjaga kehormatanmu sebagai wanita, akan ku lamar dan ku sematkan cincin ini dihadapan kedua orang tuamu bulan depan.. "
Kembali air mata itu menetes dengan sendirinya saat membaca surat itu, bahkan setelah sebuah cincin yang sangat indah itu melingkar di jari manisnya dengan begitu pas, air matanya tak berhenti keluar. Beribu penyesalan kini datang di benaknya. Ia masih berandai andai ini semua tidak nyata. Dan ia masih membayangkan bulan depan saat Rainer melamarnya. Tangisnya semakin memecah sampai akhirnya ia tak sadarkan diri.
Saat tersadar kembali Lona meratapi dirinya
"Ner, maafkan aku yg telah menyia-nyiakan kepercayaan kamu hanya untuk nafsu sesaat, mulai saat ini aku berjanji aku akan berubah menjadi lebih baik.. Meskipun aku sekarang tidak memiliki kesucian lagi tapi aku akan menjaga kehormatan ku sebagai wanita.. Aku ingin menjadi wanita yg layak menjadi pendamping suamiku kelak siapapun itu meskipun aku berharap dengan mu .. Aku janji Ner.. Ini bukti janjiku sambil mencium cincin pemberian Rainer yang bersemat dijari manis ini... Hikkksss”
POV Rainer
“Aaaarrrggghhh… Brengseeekkk.. kenapa ini harus terjadi. apa kurangnya aku sih An?”
Sudah puluhan kali aku mengeluh sambil berteriak di mobil ini. Untung saja pikiran sehatku masih melekat di otak ini. Sudah berminggu minggu ini aku selalu mendengar apapun yang negatif dari Lona. Tetapi dengan masih rasa percaya, aku menepis akan hal itu. Bahkan pernah satu kali, salah seorang temanku memberitahukan kalau Lona membawa teman lelakinya masuk ke kamar kostannya dan hampir saja temanku itu menjadi pelampiasanku. Untung saja dia meminta maaf akan omongannya itu.
Dengan berbekal beladiri yang aku kuasai, aku memang disegani di kota ini. Bahkan dengan garis keturunan papah yang juga dikenal para preman kota ini, menambah aku makin dikenal oleh beberapa preman kota ini. Dan semua itu bisa saja aku lampiaskan tadi ke Lona dan Yongki. Bahkan bisa saja aku menghabisi mereka tanpa mengotori tanganku sendiri.
Namun, kembali aku teringat kata kata ayah yang menepis semua prilaku yang keji itu.
“Ner, kita boleh berangasan, tapi satu pesan ayah jangan pernah kamu memukuli pasangan mu, meskipun terbukti bersalah. Redam emosi mu berkaca lah mungkin itu akibat kamu belum menjadi pemimpin baginya. Jadikan itu pelajaran untuk kita sebagai lelaki yang akan menjadi pemimpin yang baik bagi pasanganmu dikemudian hari.”
Namun, semua ini terlalu menyakitkan bagiku. Selama ini aku berusaha untuk tidak merusaknya agar di kemudian hari, aku bisa menikmati kesabaranku. Tapi kini, apa yang aku dapatkan. Malah sebuah pengkhianatan janji sampah yang pernah terucap. Aku juga tak menyangka dengan apa yang diperbuat oleh Lona. Aku tak mengira seorang Lona bisa melakukan hal yang menjijikkan itu. Sampai sampai bayangan pertemuan pertama kami teringat lagi bagiku. Mungkin hal ini dikarenakan rasa sayang yang total yang selama ini aku rasa.
...----------------...
“Hayyyoooo…. Lelet banget sih…. Kalian ini udah jadi mahasiswa yaaa. Bukan siswa SMA lagi…”
“Emang dulu di sekolah kalian gak pernah diajarin baris berbaris ya?”
“Heeeiiii.. lo gak bisa buat barisan yang lurus ya? apa otak lo berbelok seperti barisan lo itu?”
Teriakan Guntur dan Bima menggelegar disaat hari pertama OSPEK di Fakultasku. Ya, aku bersama Guntur dan Bima masuk dalam kepanitian OSPEK. Apalagi dengan dikenalnya kami dengan mahasiswa yang ditakuti, baik itu bagi teman seangkatan maupun beberapa senior, kami langsung mendapatkan kartu identitas panitia tanpa seleksi seperti panitia lain. Dan langsung, kami ditempatkan di bidang yang sesuai dengan karakter kami, yaitu Komisi Disiplin.
Biasa disingkat dengan KOMDIS, bidang ini memang ditakutkan bagi mahasiswa baru. Terbukti dengan dua sahabatku itu telah terkenal akan killernya bagi mahasiswa baru. Aku yang mengoordinir mereka hanya melihat dari jauh kelancaran acara sesuai dengan yang telah direncanakan.
“Naaahhh.. ni anak. Teman lo udah berbaris semua, lo masih aja jalan dengan santainya. Cepat dikit…”
“Maaf kak. Kaki saya keseleo.”
“Pada alasan lagiii.. gak mau tau, hayo cepat. Lariiiiii…”
Terikan Bima dari belakang barisan mahasiswa terdengar sampai ke telingaku. Aku pun penasaran dengan apa yang menyebabkan sahabatku tersebut berteriak seperti orang yang marah. Sampai akhirnya, aku melihat Bima sedang memarahi seorang mahasiswi cantik yang masih berpakaian SMA. Aku mengernyitkan keningku disaat melihat gadis tersebut terpincang pincang mencoba untuk berlari sampai akhirnya, ia sendiri berhenti.
“Woooiii.. kenapa berenti lo neng?”
“Uhhh.. sakit kaaakkk…”
“Lo berani bantah perintah senior lo ha? Masuk barisan eksekusi. Biar gue hukum lo.”
“Hiikkksss.. jangan kak. Kaki saya beneran sakit.”
“Alasan aja lo. Emang gue percaya sama acting lo ha?”
“Ampun kak. Bukannya aku melawan atau acting, tapi memang kakiku sakit. Dan susah untuk berlari kak.”
“AAhhhh.. banyak alasan lo.. ayo sini gue bantu lo biar cepat sampai di barisan eksekusi.”
Terlihat Bima menarik paksa tangan gadis tersebut tanpa memperdulikan alasan gadis tersebut. Terlihat gadis tersebut menitikkan air mata akibat ketakutan dengan bentakan dari seniornya tersebut. Aku yang memang tidak bisa melihat adanya air mata dari wanita tersebut langsung memberhentikan tarikan paksaan Bima ke gadis cantik tersebut.
“Udah Bim. Biar gue yang urus. Lo bantu aja tuh Guntur. Udah kek tukang ngangon bebek dia. Tampak kali keteterannya.”
“Oke Ner. Tapi hati hati sama ni cewek. Jangan sampai ketipu lo. Baru hari pertama udah mau nipu senior.”
“Udaahhh.. lo percayain aja ke gue.”
Dengan menepuk bahunya dengan pelan, aku memastikan ke Bima untuk melepaskan gadis tersebut. Bukannya aku tertarik dengan gadis ini, tapi memang aku gak bisa melihat air mata yang keluar dari mata wanita. Siapapun wanita itu. termasuk gadis ini yang akhirnya sedikit berhenti terisak saat tangan Bima sudah lepas di tangannya. Tampak, ada sedikir bekas paksaan tangan Bima di tangannya yang putih tersebut. Dan saat aku melihatnya, ia langsung menutupi bekas tersebut dari pandanganku.
“Beneran sakit?”
“Hiikkksss.. iya kak.”
“Ya udah.. aku bantu kamu ke tenpat medis ya.”
Aku langsung membantunya berjalan menuju pojokan lapangan ini. Disana terdapat tempat medis yang memang terletak persis di bawah pohon yang rindang. Dengan memegang kedua lengannya, aku bisa merasakan halusnya kulit gadis ini.
“Haduuuh.. tim medis pada kemana ya.?” aku yang heran dengan keberadaan tim medis yang belum ada ditempat. Mungkin ini terlalu pagi buat mereka datang. Soalnya dalam 1 jam ke depan, kami para KOMDIS lah yang banyak berperan.
“Udaaahh.. kamu selonjoran dulu gih.”
Gadis itu menuruti perkataanku untuk duduk di bangku yang memang tersedia di bawah pohon tersebut. Aku berinisiatif untuk memberikan pertolongan pertama baginya. Akupun membuka sepatunya, walau dia merasa keberatan aku yang membukakan sepatunya tersebut. Sampai akhirnya ia mengikut saja apa yang aku kerjakan di kakinya tersebut. Aku yang seperti orang bersimpuh tersebut mulai memegang kaki kirinya yang memang ia sebut tadi.
“Yang ini sakitnya?”
Pertanyaanku hanya dijawab anggukan oleh gadis ini. Gadis yang aku ketahui bernama Bellona Carla dari name tag nya. Aku tahu dimana pusat sakitnya tersebut dari caranya berjalan dan sesekali ia memegang pergelangan kaki kirinya tersebut. Aku mencoba mengurut sebisaku untuk mengurangi rasa sakit yang diderita gadis cantik tersebut.
“Maaf kak. Saya ngerepotin kakak.”
“Gak kok. Aku coba urut dulu ya.. kalau bisa ditahan ya. memang sedikit sakit sih.”
“Aaawwww… sakit kaaaakkk…”
Baru saja aku mengingatkan dia, langsung saja aku mendengar teriakan kesakitannya. Bahkan ia sempat menutup matanya karena mungkin kesakitan yang berlebih. Apalagi tanpa sadar, ia mengangkangkan kakinya di depanku. Sebagai pria normal, mataku langsung menuju ke roknya yang tersingkap tersebut. CD hitam yang dipakainya langsung terlihat dengan tambahan paha putih dan mulus membuatku sedikit bergeming.
“Duch.. Gilaaa.. mulusnyaa.. mimpi apa aku semalam.”
Dalam benakku masih berkeliaran fantasi yang memang selalu aku tahan selama ini. Karena, dalam prinsip hidupku memang tidak mau menyakiti perempuan. Dan memang akal sehatku kembali dan memalingkan pandanganku dari pahanya tersebut. Dan kini pandanganku naik ke wajahnya yang masih menahan sakit tersebut.
“Udaaahhh.. ntar bakalan gak sakit lagi kok.”
“Hiiikkksss….”
“Jangan nangis dong. ntar dipikir aku ngapa ngapain kamu.”
“Sakit kaaakkk..”
Dengan menghentakkan kaki kanannya, gadis tersebut masih mengeram kesakitan saat aku menguruti pergelangan kakinya tersebut. Memang aku dikenal pandai dalam memberi pertolongan pertama dalam hal keseleo bagi teman temanku. Bahkan aku menjadi andalan medis bagi mereka saat futsal.
“Daaahh beresss.. coba kamu berdiri…”
Gadis tersebut membuka matanya dan mencoba untuk berdiri walau menopang beratkan ke kaki kanannya. Dengan mengoyang goyangkan pergelangan kakinya yang sakit tadi, ia tersenyum sambil menghapus buliran air mata yang masih menempel di pipinya tersebut.
“Udah gak sakit lagi kak. Ngilu ngilu aja.”
“Ya udah.. masih kuat untuk kembali ke barisan?”
“Makasih ya kak. Tapiiiii…”
“Jika kamu dimarahi kakak yang tadi lagi, bilang aja udah aku hukum.”
“Makasih lagi ya kak. Namaku Lona, Bellona Carla.”
“Udah tahu kok. Kan ada di name tag kamu.”
“Hehehehe…”
TIIIIIINNNNNN….
Aku tersentak dari lamunanku saat kulihat ada sebuah motor yang di atasnya ada dua orang lelaki sambil menggedor pintu mobilku yang masih berjalan. Antara setengah sadar, aku mendengar kalau pengendara motor itu menyuruhku untuk berhenti. Dan, akhirnya aku berhenti. Aku gak mau kalau mobilku rusak atau memang ada hal lain yang membuat aku dalam masalah besar. Masalah dengan Lona saja sudah membuatku panik
“Maaf, Ada apa ya mas?” tanyaku saat aku sudah turun dan sudah didepan mereka yang memberhentikan motor mereka sedikit jauh dari mobilku.
“Aaahhh.. jangan banyak bacot lo. Hajar Bang.” Ucap penumpang motor yang masih duduk di motor tersebut.
“Lo udah mepet gue tadi. Untung aja gue gak jatuh.” Tambah si pengemudi yang sudah turun dari motornya dan mendekatiku dengan meregangkan ototnya.
“Maaf mas. Saya gak sengaja.”
“Aaaahhhhh.. Bacot Lo.. rasain nih.”
Pengemudi motor yang berbadan besar itu langsung berlari seakan memukulku. Tapi, aku berhasil menahan pukulannya sampai di wajahku. Dengan masih menggenggam kepalan tangannya, aku langsung memukul perutnya dengan lututku. Sampai akhirnya ia terduduk dan memegang perutnya.
“Saya kan sudah bilang kalau tidak sengaja….”
BRAAAAKKKKK….
Aku terkejut saat kepalaku terasa terhantam sebuah balok yang patahan baloknya terlihat di depan mataku. Memang saat itu aku merasa kesakitan. Tapi, emosiku menutup kesakitan itu. aku paling benci yang namanya pengkhianatan. Dan kali ini, kembali aku menerima pukulan dari belakang. Membuat emosiku kembali naik seakan akan ingin melampiaskan emosiku semuanya kepada dua orang ini.
“Sini lo..” aku langsung menarik paksa orang yang memukulku dari belakang ke hadapanku. Terlihat orang itu adalah penumpang yang memegang sebuah patahan balok dengan tampang ketakutan. Mungkin dia ketakutan dengan apa yang ia lihat. Kembali aku melihat dia melihat kepalaku dan patahan balok yang berada di tangannya berulang kali.
“Lo kalo jantan. Jangan main belakang. Ayo, pukul gue dari depan.” Pintaku ke penumpang motor tadi yang memang lebih kecil daripada temannya si pengendara motor tersebut. Tampak ia kembali melayangkan patahan balok tadi ke kepalaku lagi. Tapi aku kali ini menangkisnya. Sampai akhirnya, balok tersebut terlepas dari genggamannya. Dengan hal itu, langsung saja aku tarik tangannya, dan kupiting tangannya sampai berbunyi seperti tangan yang patah. Tanpa sadar emosiku mengalahkan akal sehatku. Aku memang dikuasai oleh emosi kala ini.
“AAAAWwWWWw… Addduuuhhhhh…. Ampuunn baaanggg…” Teriak si penumpang motor tadi setelah lengannya aku patahkan. Aku pun langsung mendekati di pengemudi yang masih terduduk sambil ketakutan melihat temannya yang meringis kesakitan akibat patah tangannya tersebut.
“Lo mau ngelawan lagi? Ayo sini gue layanii..” tanpa sadar aku langsung menarik pengemudi motor tersebut untuk berdiri. Berulang kali ia meminta ampun dan maaf ketika aku menariknya untuk berdiri.
“Cukuuupppp.. berhentiiii… jangan buat keributan di wilayah gue.”
Aku mendengar teriakan dari belakangku. Akupun melepaskan si pengendara motor tadi dan langsung menoleh ke belakang. Aku melihat gerombolan preman yang datang menghampiriku. Mereka terlihat mulai menggerak gerakkan tangannya dan kakinya seakan pemanasan sebelum melakukan perkelahian. Dan aku melihat seorang pria berbadan tegap berdiri ditengahnya. Dengan tato di lengannya, tanpa memperhatikan wajahnya aku bisa menilai kalau ia adalah kepala dari gerombolan preman tersebut.
“Sepuluhh.. Sebelas.. Dua Belas…Ayoo.. lo mau gue layani…” aku langsung mendekati mereka tanpa takut untuk kalah. Setelah menghitung gerombolan itu berjumlah dua belas, aku langsung mendekati mereka dengan kepalan tangan yang masih sama. Ingin aku lampiaskan semua emosiku tentang Lona ke mereka kali ini.
“Stoppp… Ner.. gue badaiii..”
Akupun langsung berhenti dan mengingat nama yang disebut oleh pria bertato tersebut. Ya, aku ingat. Dia adalah Badai. Teman sekolahku yang seumuran denganku. Memang ia lebih memilih untuk berkecimpung dengan dunia hitam dibanding kuliah dahulu. Entah kenapa aku lupa akan Badai. Mungkin aku terlalu emosi. Sampai akhirnya, emosi menutup semua akal sehatku.
“Lo kenapa sih Ner.” Hanya itu yang diucapkan Badai kepadaku sambil melewati ku. Tak lupa ia memukul pelan pundakku untuk menjinakkan emosiku.
Ia langsung menemui si pengendara motor dan langsung jongkok sambil menghisap rokok yang memang aku ingat Badai yang susah lepas dari rokoknya.
“Heiii.. Lo cari gara gara men.” Kata Badai ke pengemudi motor tersebut sambil menepuk pelan lengannya.
“Lo tau siapa gue? Gue Badai. Mungkin lo pasti dengar nama itu, kalau lo sering lewat sini. Dan yang lo serang itu Rainer . Teman gue. Lo cari gara gara sama teman gue, berarti lo cari gara gara sama gue. Ngerti kan lo?”
“Ehhh.. ngerti bang. Ngertiii… maaf ya bang. Maaf bang.” Ujar si pengemudi tersebut ketakutan sambil meminta maaf kepadaku.
“Dah, sekarang lo lebih baik cabut. Bawa teman lo ke rumah sakit. Ini sedikit ada tambahan untuk berobat tangannya yang patah. Dan kalau lo masih penasaran sama teman gue. Cari aja gue. Gue yang bakalan nambah korbannya. Ngerti lo?”
“Ehhh… iya bang… maaf sekali lagi bang.”
Aku hanya bisa melihat saja, saat Badai bicara sama pengemudi motor itu. Sampai akhirnya, Badai memberi setumpuk uang sepuluh ribu, dua puluh ribu dan lima puluh ribu kepada si pengemudi tadi. Dan si pengemudi motor tadi langsung berlari kecil menghampiri temannya yang kesakitan itu sambil sesekali kembali meminta maaf kepadaku. Sampai akhirnya, mereka pun pergi dengan mengendarai motornya lagi dengan rona ketakutan.
“Udaahhh. Teman teman.. sekarang pada bubar gih. Keburu ntar polisi datang.” Ucap Badai kepada teman temannya tersebut.
Dengan arahan dari Badai, mereka satu satu pun berjalan sambil menyalamiku. Dengan senyuman dan sedikit tegukan kepala tanda hormat, mereka meninggalkan aku dan Badai berdua. Tak terasa aku mengingat 11 orang preman tadi menyalamiku sambil mengucapkan kata kata yang masih terngiang di benakku.
“Maaf bang. Gue gak tahu kalau itu bang Rainer .”
“Sorry bang. Kalau gue tahu, gue yang habisin mereka.”
“Lain kali, kalau ada cecunguk kek mereka, kasih aja sama gue bang. Tangan abang terlalu berharga buat menghabisi mereka.”
Aku yang hanya mengangguk angguk itu melihat ke sebelas preman itu kembali ke posnya yang tak jauh dari mobilku terparkir. Sampai akhirnya, aku benar benar berdua dengan Badai, sahabat semasa sekolah.
“Yok ke sana.” Ujar Badai mengajakku ke bawah pohon tak jauh dari mobilku yang terparkir tersebut.
“Maaf ya Dai. Gue udah buat keributan di wilayah lo ini. Dan makasih.”
“Ahhh.. santai Cing. Kek lo siapa aja. Tapi kok lo bisa se emosi itu sih. Jadi keingat dulu. Ada apa sih?”
Badai bertanya kepadaku dengan panggilan kecilku. Cing. Ya, itu berasal dari kata Cacing. Karena, aku seperti cacing yang bisa menggeliat jika disentuh. Seperti diriku yang emosian jika di sentuh atau diusik. Dan kembali aku teringat waktu itu karena perkataan Badai. Waktu itu, Badai yang dihabisi oleh preman kampung sebelah, dan tanpa ampun, mereka langsung ku habisi hanya dalam satu jam dimalam itu. kata teman temanku yang lain, pukulan ku membabi buta, tanpa mereka kenal akan diriku.
“Ada apa? Sampai sampai lo gak bisa nahan emosi lo? Bilang sama Badai Prakoso.”
Ya, Badai Prakoso salah satu sahabat kecilku semenjak aku pindah ke kota ini. Bersama Guntur Jayakarsa, Bima Candrakusuma dan Sakti Mugiawan, dikenal sebagai lima pemuda ditakuti dan disegani di komplek kami. Sampai akhirnya, perjalanan kami yang selalu bersama harus terhenti saat aku, Guntur dan Bima harus melanjutkan pendidikan kuliah tanpa diikuti oleh Badai dan Sakti. Tentu saja, mereka berempat tahu siapa aku dan karakterku.
“Huuuffftttt.. gue gak tahu Dai.. mumet otak gue..” kataku sambil memegang kepalaku mengingat masalah yang ku hadapi saat ini.
“Hmmm…” Badai malah memicingkan matanya menatap ke arahku.
“Cing gini deh, gue tahu lo siapa. Dan gimana elo gue tahu. Kalau lo se emosi gini, lo pasti ada masalah nih. Ayo cerita ke gue.”
“Ga tau ah… gue aja pusing.”
Aku pun kembali menundukkan kepalaku menghadap ke bawah. Sambil memegang kepalaku yang memang sudah penuh dengan penyesalan apa yang telah dilakukan Lona. Kembali tentang Lona muncul di benakku. Perkenalanku dengannya yang menyebabkan aku memilikinya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!