Seorang wanita berjalan dengan anggun. Wajahnya yang cantik serta memiliki tatapan mata yang syahdu. Rambutnya hitam legam seperti terawat dengan baik. Ia menggunakan blazer dan tas totebag pink yang sudah menjadi ciri khasnya.
“Ternyata susah sekali mencari pekerjaan. Aku harus bekerja supaya bisa mendapatkan apa yang aku mau. Lagipula aku juga harus membayar hutang-hutang ibuku.” Wanita itu menyikap rambut indahnya dan memijat keningnya secara perlahan. Namun, perempuan yang ada di depannya hanya menatap iba. “Sheren, aku kan sudah bilang, terima saja tawaran Pak Ginanjar soal bekerja menjadi pramugari. Lagian Pak Ginanjar nggak minta apa-apa kan dari kamu?” Tanya perempuan tersebut terhadap Shereny. Gadis cantik yang memiliki hidung mancung serta tatapan mata yang tajam, Kayyisa Olivia. Sahabat dekat Shereny. Mereka sudah bersahabat selama 10 tahun. Kayyisa selalu memahami apa yang dihadapi oleh sahabatnya itu.
“Kay, Pak Ginanjar itu sering banget ngeliatin aku dengan tatapan seramnya itu. Ya, aku jadi mikir yang nggak-nggak dong.” Jelas Shereny. Kayyisa pun menggelengkan kepala dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Lalu mau kamu kayak gimana Sher? Kamu mau kayak gini terus? Lagian Pak Ginanjar itu nggak bakal apa-apain kamu. Percaya deh sama aku.” Kayyisa berusaha untuk meyakinkan Shereny untuk menerima tawaran Pak Ginanjar, seorang direktur dari maskapai ternama. Pak Ginanjar merupakan teman dekat almarhum ayahnya. Shereny pun berpikir lebih keras untuk meyakinkan dirinya, menurutnya Kayyisa benar. Jika ia menolak pekerjaan tersebut, bisa saja ia kehilangan kesempatan.
“Kita nggak tahu kan kalau kamu bisa saja ketemu jodohmu?” Tanya Kayyisa sambil tersenyum kecil seperti meledek Shereny. Shereny hanya tersenyum kecil seperti meremehkan perkataan Kayyisa. Kayyisa menghela nafas sambil berdecak pinggang “Lagipula kamu nggak kepikiran buat nikah? Siapa tau kan ada cowok kaya raya yang mau nikahin lu? Hahaha.” Ujar Kayyisa. Shereny pun hanya berpaling wajah dan meminim kopinya. “Mimpi jangan ketinggian lah, Kay. Kalau jatuh, sakitnya itu loh.” Ucap Shereny. Kayyisa pun hanya menaikkan bahunya sambil tersenyum “Ya kan omongan adalah doa Sher.” Lalu mereka tertawa bersama.
Waktu sudah menjelang maghrib. Shereny pun hanya berdiri menatap langit yang mulai membiru dari jendela kamarnya. Shereny pun menoleh ke belakang ketika ibunya masuk ke kamarnya dan langsung memeluk tangan Shereny.
“Sher, maafin ibu ya kalau buat shereny pusing.” Ucap sang ibu dengan ekspresi rasa bersalahnya. Shereny hanya menghela nafas berat dan memeluk ibunya dengan erat. “Nggak apa-apa bu, Shereny akan melakukan apapun asal ibu bahagia dan nggak sakit-sakit lagi. Ibu tenang aja ya, Shereny janji akan memperbaiki ekonomi kita.” Sang ibu pun merasa terharu dengan perkataan Shereny yang begitu menyentuh.
Sang Ibu pun mengusap lembut pipi Shereny dan menanyakan kabar Reynold. "Ren, bagaimana kabar Reynold? Ibu sudah jarang melihat Reynold main kerumah. Kamu dan dia baik-baik saja kan?" Shereny hanya tersenyum kecut dan mengangguk dengan terpaksa. Ia tidak mampu menjawab pertanyaan ibunya.
...****************...
Suasana sore di sebuah kafe kecil di sudut kota. Shereny Claudine duduk di salah satu meja, memandangi secangkir kopi yang sudah mendingin. Di depannya, Reynold duduk sambil sibuk dengan ponselnya. Mata Shereny sesekali melirik ke arahnya dengan rasa kecewa. Shereny menatap tajam ke arah Reynold "Rey, kamu denger aku nggak? Dari tadi aku ngomong, tapi kayaknya kamu lebih peduli sama layar itu." Reynold pun menjawan tanpa mengalihkan pandangan dari ponsel "Iya, iya, aku denger, kok. Kamu bilang kerjaan di kantor makin berat, kan? Udah, jangan terlalu dipikirin." Shereny pun menghela nafas "Nggak cuma itu, Rey. Aku bilang aku butuh dukungan. Aku ngerasa capek, tapi kamu malah begini. Bisa nggak kita ngobrol tanpa ada "orang ketiga" bernama ponsel itu?" Reynold mendengus kecil, akhirnya menaruh ponsel di meja "Oke, oke. Aku denger sekarang. Jadi, kamu mau ngomong apa?" Tatapan mata Shereny terhadap kekasihnya itu pun mulai lelah "Rey, aku nggak minta banyak. Aku cuma butuh kamu ada buat aku, meskipun cuma sebentar. Kita udah jarang banget ngobrol. Kamu selalu sibuk, nggak cuma sama kerjaan, tapi juga sama... "teman-teman" kamu." Reynold pun mengangkat alisnya "Maksud kamu apa? Teman-temanku? Serius, Reny? Kamu mulai suuzan lagi, ya?" Shereny pun meninggikan suaranya terhadap kekasihnya itu "Suuzan? Aku lihat sendiri, Rey. Kemarin aku lihat kamu sama cewek itu di mall. Tangan kalian... (menahan suara, mencoba menenangkan diri) ...aku ngeliatnya jelas, Rey. Reynold pun terkejut, tapi mencoba tetap tenang "Oh, itu... Itu cuma temen kantor, Reny. Kita cuma makan siang, nggak lebih. Kamu serius marah cuma gara-gara itu?"
Shereny pun hanya tertawa pahit "Cuma makan siang" tapi tangannya nggak bisa jauh dari kamu, ya? Aku tahu, Rey. Aku udah cukup sabar selama ini. Setiap ada tanda-tanda, aku selalu berusaha tutup mata. Tapi kali ini, aku nggak bisa."
Reynold menyandarkan punggung ke kursi, terlihat kesal "Jadi kamu lebih percaya pikiran negatif kamu daripada aku, pacar kamu sendiri? Keren, Shereny. Nggak nyangka kamu bisa seposesif ini." Shereny menghela nafasnya dan menatap Reynold dengan mata berkaca-kaca "Ini bukan soal posesif, Rey. Ini soal kepercayaan. Kepercayaan yang udah kamu hancurin. Aku capek selalu berusaha paham sama kamu, tapi kamu malah ngelakuin ini di belakangku."
Reynold pun menyilangkan tangan di dada "Terus, sekarang apa? Kamu mau putus gara-gara asumsi yang bahkan belum terbukti?" Shereny mengangguk pelan "Bukan asumsi, Rey. Hati aku udah terlalu sering merasa ada yang salah, tapi kali ini aku nggak mau buta lagi."
Reynold membelalakkan mata. "Serius, Reny? Cuma gini doang, kita putus? Kita udah lama bareng, dan kamu mau ngehancurin semuanya?" Shereny berdiri dari kursi, menatapnya dengan tatapan tegas "Aku nggak ngehancurin apa-apa, Rey. Kamu yang ngelakuin itu sendiri. Aku cuma memilih buat nggak tinggal di reruntuhan." Shereny mengambil tasnya dan berjalan keluar dari kafe tanpa menoleh ke belakang. Reynold hanya duduk diam, menatap punggungnya dengan ekspresi tak percaya.
...****************...
Shereny duduk di tepi tempat tidurnya sambil memandangi ponselnya. Ada beberapa pesan dari Reynold yang masuk.
Pesan dari Reynold:
“Reny, kita bisa ngomong baik-baik, kan? Aku nggak mau kita selesai kayak gini.”
Pesan dari Reynold:
“Kalau kamu masih sayang aku, kita bisa perbaiki ini.”
Shereny menatap pesan itu lama, jari-jarinya melayang di atas layar. Tapi akhirnya, ia menghela napas panjang dan meletakkan ponselnya di samping bantal. Shereny (berbicara pada dirinya sendiri) "Kalau dia benar-benar peduli, dia nggak akan butuh kesempatan kedua." Shereny menutup matanya sejenak, membiarkan air mata jatuh. Tapi kali ini, bukan air mata penyesalan. Ini air mata kebebasan dari luka yang terlalu lama ia simpan. Masa-masa Shereny dengan Reynold memperlihatkan bagaimana Shereny bertahan di dalam hubungan yang tak lagi sehat. Momen ini juga menjadi titik balik bagi Shereny untuk lebih menghargai dirinya sendiri dan melepaskan seseorang yang tidak lagi menghargainya. Keberanian ini menjadi pondasi bagi perjalanan Shereny selanjutnya.
Shereny duduk di ruang tamu sambil menatap jendela. Cahaya matahari sore menerobos masuk, menciptakan siluet lembut di wajahnya. Pikirannya penuh dengan keraguan dan kekecewaan. Sejak ia memutuskan hubungan dengan Reynold, mantan kekasihnya yang berselingkuh. Meski ia merasa lega, rasa hampa tetap menyelimuti hatinya.
Tok! Tok! Tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Dengan cepat, Shereny berjalan ke pintu dan membukanya.
"Kayyisa!" seru Shereny dengan senyum kecil.
Kayyisa, sahabatnya sejak SMA, berdiri di depan pintu dengan wajah cerah. Perempuan ceria itu membawa sekotak roti di tangan kanannya.
"Hei, aku bawain roti kesukaanmu. Aku tahu kamu pasti butuh ini," ucap Kayyisa sambil melangkah masuk tanpa menunggu undangan.
"Terima kasih, Kay. Kamu selalu tahu caranya bikin aku merasa lebih baik," kata Shereny, menutup pintu dan mengikuti sahabatnya ke dapur.
Mereka duduk di meja makan, berbagi roti sambil berbincang. Kayyisa memperhatikan Shereny dengan tatapan serius.
"Reny, jujur aja deh, kamu mau sampai kapan begini? Di rumah terus, merenung nggak jelas. Kamu harus mulai bergerak. Aku tahu kamu udah putus dari Reynold, dan itu keputusan terbaik. Tapi, kamu juga butuh kegiatan baru, coba deh pikirin mama juga." kata Kayyisa sambil mengunyah rotinya.
"Aku tahu, Kay, tapi aku belum tahu mau mulai dari mana. Aku nggak mau sembarang ambil kerjaan," jawab Shereny sambil mengaduk kopi di depannya.
Kayyisa tersenyum penuh arti. "Kebetulan banget, aku punya info pekerjaan buat kamu."
Shereny mengangkat alis. "Kerjaan apa?"
"Jadi baby sitter," jawab Kayyisa dengan nada santai, seolah-olah pekerjaan itu adalah hal biasa.
"Baby sitter?" Shereny mengerutkan dahi. "Serius, Kay? Aku nggak punya pengalaman jaga anak kecil."
"Tenang aja, anaknya nggak nakal kok. Umurnya baru lima tahun, namanya Arga. Anaknya teman pamanku. Ia butuh pengasuh karena pengasuh sebelumnya keluar mendadak. Dan gajinya... lumayan besar, Reny," kata Kayyisa sambil melirik ke arah Shereny.
"Seberapa besar?" tanya Shereny dengan nada setengah penasaran.
Kayyisa mencondongkan tubuhnya dan berbisik, "Gajinya dua kali lipat dari gaji kantoran biasa, dan kamu juga dapet fasilitas makan plus tempat tinggal. Rumahnya di daerah elit, Reny. Nggak main-main."
Mata Shereny membesar. "Serius, dua kali lipat? Rumah di daerah elit pula? Kok rasanya terlalu bagus buat jadi kenyataan."
"Ini nyata, kok. Lagipula, pamanku kenal baik sama keluarga itu. Pemilik rumahnya namanya Elvano Kayden. Dia pengusaha besar, tapi ya... dia agak galak dan dingin, sih," jelas Kayyisa sambil memutar bola matanya.
"Tunggu, galak dan dingin?" Shereny melipat tangannya di dada. "Aku udah cukup dengan pria-pria nyebelin, Kay."
"Tapi ini bukan soal dia, Reny. Ini soal Arga, anak kecil yang butuh perhatian dan kasih sayang. Kamu kan sayang sama anak-anak, aku tahu itu. Lagipula, kamu bisa pindah dari rumah sewa ini dan tinggal di rumah besar. Siapa tahu ada cerita baru di sana," kata Kayyisa, menyelipkan senyum licik.
Shereny terdiam sejenak, mempertimbangkan tawaran itu. Ia memang butuh pekerjaan dan lingkungan baru. Setelah berpikir cukup lama, ia menghela napas panjang.
"Baiklah, aku terima tawaran ini. Tapi kalau bosnya mulai bikin masalah, aku nggak bakal ragu keluar dari sana," kata Shereny sambil menunjuk Kayyisa.
"Itu semangat yang aku suka! Tenang aja, aku bakal bantu kamu ngurus semuanya," jawab Kayyisa sambil merangkul sahabatnya dengan semangat.
"Tapi gimana sama mama ya? Apa mama tinggal disini aja?" Shereny mulai meragu lagi.
"Gini aja, mama kamu tinggal di apartemen aja yang dekat perumahan itu. Nanti aku bantu cari, lagi pula aku yakin kamu bisa membayarnya perbulan." Jawab Kayyisa dengan penuh keyakinan.
...****************...
Beberapa hari kemudian, Shereny tiba di depan rumah besar yang berdiri megah di kawasan elit kota. Rumah bergaya modern dengan kaca-kaca besar dan halaman luas. Shereny menelan ludah, merasa kecil di depan rumah sebesar ini.
"Oke, Shereny. Nggak usah gugup. Ini cuma kerjaan, bukan audisi jadi artis," gumamnya pada diri sendiri sebelum menekan bel.
Tak lama, pintu besar itu terbuka. Seorang wanita paruh baya, mungkin pengurus rumah tangga, menyambutnya.
"Selamat datang. Anda pasti Shereny. Silakan masuk, Tuan Elvano sudah menunggu," kata wanita itu dengan ramah.
Shereny mengangguk dan masuk ke dalam. Interior rumahnya bahkan lebih mewah dari yang ia bayangkan—marmer mengilap, lampu gantung kristal, dan dekorasi modern di setiap sudut.
Di ruang tamu, seorang pria duduk di sofa, membaca dokumen. Dia mengenakan kemeja hitam yang digulung hingga siku. Dahi berkerut dan sorot matanya tajam. Saat Shereny mendekat, pria itu menutup dokumen dan menatap lurus ke arahnya.
"Kamu Shereny Claudine?" tanya pria itu dengan nada rendah, tetapi tegas.
"Iya, saya Shereny," jawabnya sambil berusaha menjaga ekspresi tenang.
"Dengar, aku nggak butuh pengasuh yang manja atau gampang mengeluh. Tugasku cukup berat, dan aku nggak mau dengar keluhan dari kamu soal jam kerja atau tingkah Arga. Kalau kamu nggak sanggup, pintu keluarnya ada di sana," ucap pria itu, menunjuk pintu di belakang Shereny.
Shereny mengerutkan dahi, tapi tetap tersenyum. "Saya bukan tipe orang yang suka mengeluh, Pak. Kalau Anda mencari pengasuh yang bisa diandalkan, mungkin saya adalah pilihan terbaik."
Pria itu menatap Shereny dengan tatapan penuh penilaian. Ia mengangguk kecil, seolah menghargai keberanian Shereny.
"Bagus. Namaku Elvano Kayden, dan aku pemilik rumah ini. Kalau kamu bisa bikin Arga nyaman, aku nggak akan ganggu kamu. Tapi kalau sebaliknya, aku nggak akan ragu mengganti kamu," katanya tegas.
"Kalau saya bisa bikin Arga nyaman, mungkin Tuan juga harus siap menerima kenyataan bahwa saya akan bertahan lebih lama dari yang Anda kira," balas Shereny dengan senyum kecil.
Elvano terdiam sejenak, lalu sudut bibirnya terangkat sedikit. Bukan senyum lebar, tapi cukup untuk menunjukkan bahwa ia terkesan.
"Kita lihat saja, Nona Claudine," katanya sambil berdiri dan pergi meninggalkan Shereny. "Wanita yang tangguh dan menarik." Gumam Elvano sambil membenarkan jas nya.
Shereny menghela napas panjang. "Orang kaya dan sombong. Kayyisa benar," gumamnya.
Tapi saat ia berjalan menuju kamar Arga, perasaan cemas itu perlahan menghilang. Melihat anak kecil yang tersenyum lebar saat melihatnya, ia tahu satu hal: meskipun Tuan Elvano dingin dan galak, setidaknya Arga adalah alasan yang cukup kuat baginya untuk bertahan.
"Hai, Kakak Shereny!" sapa Arga dengan ceria.
Shereny tersenyum tulus. "Hai, Arga. Mulai hari ini, aku di sini buat kamu."
Siapa sangka, keputusan ini akan mengubah hidupnya selamanya? Bukan hanya Arga yang akan mengisi hari-harinya, tapi juga Elvano Kayden, pria yang secara tak terduga akan menguji kesabaran dan... hatinya.
Elvano adalah seorang pria yang memiliki aura yang kuat dan karismatik. Sebagai CEO dari perusahaan besar Elvano, ia dikenal sebagai sosok yang dingin dan tegas dalam menghadapi tantangan bisnis. Setiap keputusan yang diambilnya selalu didasarkan pada analisis yang mendalam dan pertimbangan matang. Ia jarang menunjukkan emosinya di depan orang lain, sering kali terlihat serius dan fokus pada pekerjaan.
Elvano memiliki penampilan yang menarik dengan wajah yang tampan dan gaya berpakaian yang selalu rapi. Meskipun ia tampak tidak terlalu ramah, sebenarnya di balik sikap dinginnya, Elvano memiliki perhatian yang besar terhadap orang-orang terdekatnya, terutama kepada anaknya, Arga.
Ia tidak pernah ragu untuk memberikan yang terbaik bagi Arga, meskipun sering kali ia lebih memilih untuk mengekspresikan cinta dan perhatian melalui tindakan ketimbang kata-kata. Misalnya, ia selalu memastikan bahwa Arga mendapatkan pendidikan terbaik dan pengalaman yang bermanfaat, meskipun ia sering kali tidak bisa meluangkan banyak waktu untuk bermain bersama anaknya.
Elvano sangat memperhatikan perkembangan Arga. Ia memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayangnya, seperti membelikan mainan yang edukatif atau mengatur jadwal kegiatan yang bermanfaat bagi anaknya. Meskipun ia tidak banyak berbicara tentang perasaannya, Arga tahu bahwa Papanya mencintainya dengan cara yang berbeda.
Ketika Arga mengalami kesulitan atau merasa sedih, Elvano akan berusaha mencari tahu apa yang terjadi, meskipun ia tidak selalu tahu bagaimana cara menghibur anaknya. Ia seringkali hanya duduk di samping Arga, memberikan kehadirannya sebagai bentuk dukungan.
Ketika Shereny datang ke dalam hidup mereka, Elvano awalnya bersikap hati-hati dan menjaga jarak. Ia mengamati bagaimana Shereny berinteraksi dengan Arga dan mulai terpesona oleh ketulusan dan perhatian yang ditunjukkan Shereny. Meskipun ia tidak langsung mengungkapkan kekagumannya, Elvano merasa terbantu oleh kehadiran Shereny yang membawa keceriaan dalam hidup Arga.
Elvano menghargai profesionalisme Shereny dalam menjaga anaknya dan sering kali memberikan arahan tegas namun penuh perhatian. Ia mungkin terlihat kaku, tetapi di dalam hatinya, ia sangat menghargai apa yang dilakukan Shereny untuk Arga. Dalam setiap kesempatan, ia akan memastikan bahwa Shereny memiliki semua yang dibutuhkan untuk merawat anaknya dengan baik.
Di ruang tamu, Shereny sedang membantu Arga mengerjakan PR sambil sesekali bermain-main.
Arga melihat lembar PR dengan wajah yang kesal. "Kak Shereny, kenapa aku harus belajar tentang angka? Kenapa tidak bisa langsung belajar tentang pizza?". Shereny tertawa kecil dan mengusap rambut Arga "Karena pizza tidak bisa membantu kamu menghitung berapa banyak potongan yang kamu dapatkan!" Arga menggaruk kepalanya yang tidak gatal "Hmm, jadi kalau aku bisa menghitung pizza, aku bisa mendapatkan lebih banyak pizza?"
Shereny pun merangkul Arga "Tepat sekali! Tapi ingat, kamu juga harus belajar menghitung berapa banyak sayuran yang harus kamu makan, supaya pizza kamu sehat!"
Arga pun membuat wajah cemberut "Sayuran? Kenapa tidak bisa ada pizza sayuran?"
"Tentu saja ada! Pizza sayuran adalah pizza yang berusaha terlihat sehat, tetapi dalam hati, tetap ingin jadi pizza keju!" Jawab Shereny.
Arga tertawa "Jadi, pizza keju itu seperti superhero yang menyamar?"
"Persis! Dan kita adalah tim superhero yang harus menghentikannya dari menyebar ke perut kita!" Jawab Shereny lagi dengan nada yang mengikuti duara Arga.
Arga pun berpura-pura beraksi "Ayo kita selamatkan dunia dari pizza keju! Kita bisa menggunakan sayuran sebagai senjata!
Shereny pun tertawa karena melihat tingkah Arga "Bagus! Kita bisa menyebut diri kita “Tim Sayuran Super”!"
Tiba-tiba raut wajah Arga berubah menjadi serius. "Tapi, Kak, apakah kita bisa mengizinkan satu potong pizza keju untuk perayaan?"
Shereny menopang dagunya dan berpikir sejenak "Hmm, satu potong pizza keju untuk perayaan heroik kita menyelamatkan dunia dari sayuran... Itu bisa diterima!"
Arga pun mengangkat tangan dengan gembira. "Hooray! Kita adalah tim pemenang!" Shereny pun ikut mengangkat tangannya dengan senang bersama Arga. "Bersama-sama kita akan menjadi pahlawan pizza!"
Di ruang kerja Elvano yang berada tidak jauh dari ruang tamu, Elvano sedang mengerjakan beberapa dokumen penting. Suara tawa Arga dan Shereny yang riang terdengar dari ruang tamu. Ia pun mendengarkan percakapan mereka dengan perhatian. Elvano kembali ke ruang kerja setelah mendengar tawa mereka. Ia duduk di meja kerjanya, tetapi matanya sesekali mengamati Shereny dan Arga dari kejauhan. Ia tidak mau menunjukkan terlalu banyak emosi, tetapi dalam hati, ia merasa senang melihat Arga begitu bahagia.
Suatu ketika, ketika Shereny sedang menyiapkan makanan untuk Arga, Elvano memasuki dapur. Ia mengamati Shereny yang sedang memasak dengan cekatan.
"Apa yang kamu masak?" Tanya Elvano dengan nada tegas.
"Saya sedang membuat pasta sayuran, Tuan Elvano. Arga sangat menyukainya!" Jawab Shereny dengan bahagia.
Elvano menatap Shereny tanpa ekspresi "Pasta sayuran. Bagus. Pastikan itu cukup bergizi ya!"
Shereny pun tersenyum "Tentu saja, saya selalu memastikan makanan sehat untuk Arga."
Elvano mengangguk, tetapi tidak mengatakan lebih banyak. Meskipun demikian, Shereny merasakan sedikit kehangatan dalam cara Elvano memperhatikan makanan yang disajikan untuk Arga.
...****************...
Di meja makan yang mewah namun nyaman, Arga dan Shereny sedang menikmati makan siang. Arga terlihat ceria, sedangkan Shereny tersenyum sambil memperhatikan anak itu menikmati makanannya.
Arga pun berucap sambil mengunyah pasta sayuran "Kak Shereny, kamu tahu tidak? Papa aku itu sangat pintar!"
"Oh, iya? Apa yang membuatmu berpikir begitu, Arga?" Tanya Shereny dengan senyuman hangat.
"Dia bisa menghitung angka besar dalam hitungan detik! Suatu kali, aku melihat dia menghitung berapa banyak stok yang harus dibeli untuk restoran." Jawab Arga penuh dengan semangat.
Shereny mengangguk "Wah, itu luar biasa! Papamu pasti sangat sibuk dengan pekerjaannya."
Arga pun juga mengangguk dengan cepat "Iya, dia memang sangat sibuk. Tapi kadang-kadang, aku merasa dia terlalu serius."
"Kenapa kamu bilang begitu?" Tanya Shereny dengan rasa penasaran.
"Karena dia jarang tertawa. Terkadang, aku ingin dia bisa lebih santai dan bermain bersamaku, seperti kamu." Jawab Arga.
Shereny pun menjawab dengan lembut dan senyuman hangat "Mungkin Papamu hanya membutuhkan waktu untuk beradaptasi. Dia mungkin tidak tahu betapa menyenangkannya bermain dan bersenang-senang"
Arga pun mendengus "Tapi aku sudah mengajak dia bermain bola! Dia cuma bilang, "Aku sedang bekerja, Arga." Aku ingin dia tahu bahwa kita bisa bersenang-senang sambil belajar juga!"
"Kamu bisa berusaha untuk mengajaknya! Kadang-kadang, kita hanya perlu menunjukkan kepada mereka betapa menyenangkannya hal-hal kecil." Ucap Shereny.
Arga pun berpikir "Hmm, mungkin aku bisa membuat rencana! Misalnya, mengajak Papa untuk piknik di taman!"
Shereny pun menjawab dengan antusias "Itu ide yang bagus! Kamu bisa membawakan makanan favoritnya dan kita semua bisa bersenang-senang."
"Ya! Kita bisa membawa pizza sayuran dan main bola!" Seru Arga.
"Itu terdengar sangat menyenangkan, Arga. Aku yakin Papamu akan suka."
"Aku akan mengajak Papa dan memberitahunya betapa serunya bermain di luar!"
Shereny pun tersenyum dan mengusap kepala Arga "Dan siapa tahu, mungkin dia akan mulai lebih sering tertawa setelah melihat betapa bahagianya kamu."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!