NovelToon NovelToon

Sugar Dating!

1. Jadilah Sugar Baby-ku

"Melihat penampilanmu," pria itu mengitariku, memperhatikan diriku dengan cermat, tidak sejengkal-pun dari penampilanku terlewatkan olehnya.

"Kamu hanya cocok jadi sugar baby-ku, tidak lebih," imbuhnya menatapku, lalu mendaratkan bokongnya ditepi meja kerjanya.

"Saya kesini bukan mau menjual diri, tapi melamar pekerjaan tuan," sarkasku mengepalkan tangan disamping tubuhku menahan emosi. Aku berusaha menahan diri karena ini kantornya.

Pria itu terkekeh pelan mendengar ucapanku. Ya, dia sedang menertawaiku.

"Jual mahal," gumamnya, tapi masih bisa kudengar dengan jelas.

"Kamu hanya perlu membuatku senang, aku akan membiayai semua kebutuhanmu, dan kamu tidak perlu bersusah payah berkerja. Kamu cukup mengatakan apa saja yang kamu inginkan," lanjutnya, memaparkan banyak penawaran, tidak memperdulikan raut wajahku yang sudah memerah menahan rasa jengkelku.

"Seorang mahasiswi sepertimu pasti sudah piawai menjadi seorang sugar baby bukan? Pekerjaannya hanya ngangkang saja, mudah bukan? Dan saat ini, hanya itu yang bisa aku tawarkan padamu. Kalau tidak mau, kamu boleh pergi," usirnya dengan gerakan tangannya yang melambai.

Aku gegas bangkit dengan perasaan terhina. Tanganku merebut map merah milikku dari tangannya.

"Dasar tuan mesum! Otak dan mulut sama-sama kotor!" umpatku.

Aku berbalik, sengaja mengibaskan rambut panjangku untuk mencambuk wajah durjananya, sengajaku menyentak-sentakan langkah sepatuku saking jengkelnya, lalu membanting pintu dengan sekuat tenaga.

BAAMMM!!!

BOOMMM!!! KRAAAAAAAK!!!

Dentuman keras itu bersahut-sahutan hingga menciptakan debu berkabut naik keudara.

"Oh! Astaga! Bagaimana ini?" aku panik, membekap mulutku saking kaget dan takutnya.

"Nona, anda telah merusak pintunya," ucap sekretaris Tania, mendekatiku dengan raut tak kalah panik dan kagetnya seperti diriku.

Aku memandangi daun pintu yang berbahan kayu besi itu dengan tatapan nanar, ubin keramik yang mahal itu pecah berkeping-keping tertimpa olehnya, tidak terkecuali barang-barang yang ada disekitarnya.

Didalam ruangan sana, pria mesum bermulut kotor itu masih menyandarkan bokongnya ditepi meja, menatap kearahku dengan raut datarnya.

"Apa yang terjadi?" dua security yang baru keluar dari lift gegas mendekati kami, tentu mereka mendengar dentuman keras tadi jadi langsung datang, batinku.

"Bagaimana ini bisa terjadi?" ucap keduanya lagi, kaget melihat pintu sang presdir mereka ambruk dan merusak lantai juga beberapa barang yang ada disekitarnya.

"Pergilah, panggil tukang untuk segera memperbaikinya, kamu juga Tania," perintah pria itu pada dua security dan sekretarisnya.

"Baik tuan," gegas ketiganya meninggalkan tempat itu.

Merasa sesuatu yang buruk bakal terjadi, aku buru-buru berlari mengejar ketiganya menuju lift.

"Hei kamu! Siapa yang menyuruhmu pergi juga?!" pekiknya dibelakangku.

Aku terlambat, lift sudah tertutup rapat. Jariku menekan rusuh tombol-tombol lift agar pintu besi itu bisa terbuka, tapi nihil. Lututku gemetar dahsyat, mendengar langkah sepatu pantofel kian mendekat dibelakangku.

"Setelah apa yang kamu rusak? Jangan harap kamu pergi dengan selamat!"

Aku berbalik, dan spontan memundurkan tubuhku hingga mentok pada pintu lift dibelakangku.

"Mau lari dari tanggung jawab? Tidak semudah itu!" pria itu mengunci tubuhku, seketika napasku terasa sesak karenanya.

"T-tolong... Maafkan saya tuan. S-saya tidak sengaja membuat pintu tuan roboh. Saya akan menggantinya," aku terbata, suaraku gemetar menahan rasa takut campur rasa bersalah.

"Tidak sengaja? Kamu membanting pintu ruanganku sampai roboh, merusak lantai dan barang-barang dalam ruang kerjaku, apa itu yang kamu katakan tidak sengaja?"

Aku menahan napasku, saat pria jangkung itu menurunkan wajahnya, mendekat kewajahku.

"Dan seperti katamu, kamu memang harus membayarnya," ucapnya setengah berbisik, napasnya yang panas menyapu wajahku.

"Brengsek! Aku akan melaporkan tuan pada polisi atas tindakan pelecehan!" ancamku marah, menangkap tangan nakalnya yang mencoba menelusup dicelah-celah kancing kemejaku.

"Coba saja," pria itu menyeringai.

"Kita lihat saja, perkataan siapa yang akan didengar. Aku akan melaporkanmu balik. Daun pintuku yang roboh ini adalah bukti kalau kamu melakukan kejahatan dikantorku," pria itu balik mengancamku.

Ting!

Aku tersentak, tubuhku limbung kebelakang, spontan tanganku menarik dasi dan kemeja pria didepanku agar tidak terjatuh kebelakang.

Diluar dugaanku, pria tegap itu malah jatuh bersamaku kedalam lift yang pintunya sudah terbuka lebar.

"Akh!" aku mengerang kaget, tapi tubuhku tidak terasa sakit, ternyata tangan pria itu sudah menahan kepala dan tubuhku agar tidak terbentur lantai.

Pandangan kami saling mengunci.

Sorot mata legam itu menatapku tajam. Rahang tegasnya terlihat bersih, sepertinya baru habis dicukur. Bulu-bulu halus seakan malu-malu, bersembunyi didalam lubang hidungnya dengan puncaknya yang mencuat tinggi. Alis tebal itu selaras dengan bulu matanya yang tebal dan panjang.

Bibir itu... terlihat segar, dan lumayan tebal, seakan terbelah pada bagian belahan bibir bawahnya. Wajahnya tidak buruk, bahkan bisa dikategorikan pria yang nyaris sempurna dalam penilaianku.

"Aku suka dada besarmu, sesuai size yang aku inginkan."

Aku terbelalak.

"Oh my God! Enyahlah pria brengsek!" Aku menepis kasar tapak tangan besar itu yang sudah namplok disalah satu gunung kembarku yang menjulang.

"Hahahaaa," seringai pria itu puas, lalu menjilat bibirnya sendiri.

"Tepisan tanganmu, dan bagaimana kamu bisa merobohkan pintu ruang kerjaku, membuatku semakin penasaran dengan permainan ranjangmu, kamulah sugar baby yang aku cari."

Aku meronta dari kungkungan pria berumur itu, memberi perlawanan. Walau aku tahu tenagaku tidak mampu melumpuhkannya.

Bersambung...✍️

✍️Pesan moral :

Harus sabar dan tetap tenang dalam menghadapi masalah, jangan main banting pintu yaaaa 🤭🤭🤭

✍️Hai...

Ketemu lagi dengan author Dewi Payang. Senang bisa meluncurkan satu novel lagi untuk para readers sebagai bacaan hiburan.

Tanpa dukungan para readers, author bukanlah siapa-siapa. Jadi, mohon dukungan like dan komentarnya pada setiap bab yang telah dibaca, sebagai penyemangat author untuk rajin up setiap hari.

Salam sehat, semangat menjalani hari. CHAYOOOOOOOOO💪💪💪💪💪💪

2. Tunggakan

"Vina Rijayani!"

Aku yang duduk paling belakang dan sibuk membaca diktat buru-buru mendongak, begitu mendengar namaku dipanggil oleh bu Suryani, dosen mata kuliah Manajemen Perpajakan.

"Iya, saya bu," sahutku menatap kearahnya.

"Pak dekan memanggilmu, buruan!" perintahnya.

"Baik bu," Aku bangkit dari duduk.

"Napa lo dicari sama pak dekan ganteng?" tanya Mirna, temanku sejak SMU.

"Entahlah, gue juga belum tau. Paling juga urusan duit, kan gue belom bayar SPP," jawabku tersenyum hambar.

Mirna tertegun, tidak bisa berkata-kata bila urusan duit. Ingin menolong, dirinya pun sebelas dua belas denganku, sama-sama ekonomi sulit, bisa kuliah saja adalah anugerah bagi kami yang berasal dari keluarga pas-pasan.

"Tunggu apalagi Vina!" nyaring bu Suryani mengagetkanku dan Mirna, mengundang atensi seisi kelas tertuju pada kami berdua.

"I-iya bu, saya kesana sekarang," aku tergagap saking kagetnya.

"Elu sih!" omelku pada Mirna sambil berlalu, tapi temanku hanya terkikik. Begitulah kami, selalu berusaha saling memahami satu sama lain, tidak mudah mengambil hati.

...***...

"Kapan kamu bisa melunasi SPP-mu Vina?" pak Murdiono, sang dekan fakultas akuntansi menatapku datar.

"Bapak terpaksa mengambil alih tugas bu bendahara yang sudah angkat tangan menagih keterlambatan uang SPP-mu."

"Mohon beri saya waktu lagi pak, saya akan berusaha mencari uang dan membayarnya."

"Kapan pastinya?" kejar pak Murdiono.

"Saya tidak bisa memastikannya pak, tapi saya tetap berusaha," ucapku tertunduk.

Untuk saat ini, aku sangat bingung harus menjawab apa, aku benar-benar pusing memikirkan bagaimana caranya membayar tunggakan SPP-ku itu, sementara aku tidak memegang uang sepeserpun.

Samar kudengar dekanku itu mendesah berat.

"Tadi pagi, saya dipanggil oleh rektor karena masalahmu ini Vina. Selama tiga tahun kamu kuliah dikampus ini, kamu sudah menunggak lima semester, dan pak rektor hanya memberimu kesempatan sampai akhir bulan ini saja. Kalau tidak, kamu terpaksa harus DO (drop out) dari kampus ini. Jika tidak demikian, mahasiswa lainnya pasti akan berlaku sama sepertimu."

"Tapi pak, waktu hingga akhir bulan tinggal empat hari lagi. Bagaimana caranya saya bisa mencari uang dua puluh juta dalam waktu singkat?" aku menatap frustrasi pada dekan yang tidak kalah frustrasinya denganku.

"Kamu cukup membayar dua belas juta saja Vina, karena yang dua semesternya sudah saya bantu," ungkap pak Murdiono yang nampak terpaksa mengatakan yang sebenarnya.

"Pak Murdiono membantu saya?" aku langsung berkaca-kaca.

"Terima kasih pak, saya akan berusaha menggantinya juga," aku menghapus genangan airmata diujung kelopak mataku.

"Kamu tidak perlu memikirkannya, saya ikhlas membantu. Fikirkan saja bagaimana caranya kamu membayar tunggakan yang tiga semester itu. Jika tidak, pihak universitas terpaksa mengambil tindakan tegas, mengeluarkanmu dari kampus," tegas dekanku itu.

Aku terenyuh, merasakan kebaikan hati sang dekanku itu.

Akhirnya aku tahu, alasan kenapa dua hari lalu seorang ibu yang mengaku isteri dari pak Murdiono datang mendampratku didepan rumah kontrakanku.

Ternyata dekanku itu membantuku dengan diam-diam tanpa aku ketahui.

"Dasar perempuan murahan! Hanya berbekal kecantikan, menggoda suamiku untuk membayar uang kuliah. Kerja oi, kerja!" teriaknya waktu itu, tentu saja aku yang baru pulang kerja serabutan merasa malu, para tetangga ikut nimbrung dan menjadi penonton.

"Jangan harap kamu bisa menikmati uang suamiku lagi! Aku sudah menjatah jajan dan uang bahan bakar mobilnya hanya seimprit, tidak ada yang bisa ia bagi buatmu lagi!" lanjutnya masih berteriak.

"Maafkan saya pak, bila sudah menyusahkan bapak," ucapku merasa sedih. Tidak aku lupakan kebaikan dekanku itu, suatu hari nanti aku harus membalas budinya, walau aku tahu hutang budi tidak akan pernah bisa dibayar.

VINA RIJAYANI.

...***...

"Kak Vina, kami laper..." Vaniza, adik perempuanku yang berusia enam tahun menghampiriku yang baru saja selesai mengganti pakaian.

VANIZA WIJAYANI

"Sebentar ya sayang, kakak akan masak mie instan dulu untuk kita makan sore ini," ucapku lembut, mengingat semua persediaan sudah habis, hanya bersisa dua bungkus mie instan yang kusimpan dalam wadah penyimpanan beras.

'Mie instannya sudah habis dimakan aku dan kak Vino siang tadi kak," sahut adik perempuanku itu.

Vino yang berdiri disebelahku mengangguk membenarkan ucapan Vaniza.

VINO NUNO SEBASTIAN

"Sebentar ya adik-adik kakak yang pintar, tunggu disini dulu. Kakak akan ke warung bibi Anggi sebentar. Vino, ajak Vaniza kekamar, segera ganti seragam kalian ya, jangan sampai kotor, karena besok masih harus digunakan untuk kesekolah."

Kedua adikku itu menurut.

Aku bergegas pergi, begitu melihat keduanya sudah masuk kedalam kamar mereka.

"Bibi--"

"Apa! ngutang lagi?" ketus bibi Anggi, kakak dari ayahku, memotong ucapanku.

ANGGI

"Iya bi, satu papan tempe, seliter beras, dan seikat kangkung, besok Vina bayar ya bi," pintaku memberanikan diri.

"Tidak bisa! Enak saja ngutang terus, yang dulu aja belum kamu bayar. Yang ada bibi bakal bangkrut kalau kamu ngutang terus!" sambil menunjuk-nunjuk wajahku.

"Kamu memiliki wajah yang cantik, kenapa tidak ngangkang saja cari om-om kaya supaya tidak ngutang terus setiap hari?! Ekonomi sulit saja belagu! Sok-sok'an kuliah, dasar pemalas kamu! Kamu dan adik-adikmu jadi beban saja!"

Aku tertunduk pilu, ucapan bibi Anggi mengingatkanku pada pria jahat yang mengucapkan kata-kata yang serupa seperti bibi.

"Ya Tuhan jeng... jeng... ingat, itu keponakanmu jeng, mereka anak yatim piatu, wajib dibantu jeng," ucap satu ibu merasa prihatin, menyaksikan bagaiman bibi berucap kasar dan tak pantas padaku.

"Tidak usah sok baik! Bude Romlah bisa bilang begitu, karena tidak mengalami nasib seperti saya! Coba kalau diposisi seperti saya, yang terus-terusan digerogoti oleh mereka, apa bude Romlah masih bisa bilang begitu?!" bibi kian kesal, ucapan sesama penjual sayuran dan sembako itu sontak membuat darah tingginya kumat.

Wanita yang dipanggil bude Romlah itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Seisi pasar memang sudah mengenal pembawaan bibi Anggi yang kasar dan mudah marah itu.

"Nduk, kesini aja sama bude," panggilnya lembut padaku.

Aku yang sedari tadi diam karena malu menjadi pusat perhatian sebagian besar orang dipasar tetap mendekat, mengesampingkan rasa maluku mengingat wajah-wajah lapar kedua adikku yang menunggu dirumah.

"Ini seliter beras, satu papan tempe, sekantong tahu, sekilo telur, dua ikat kangkung."

"Banyak sekali bude," aku terpana tak percaya, melihat barang-barang yang disebutkan bude Romlah ditumpuk didepanku.

"Besok aku bayar ya bude," ucapku terharu menatap bude Romlah, mataku berkaca saking bahagianya, bisa meredakan lapar adik-adiku dirumah.

"Sudah, nggak usah dibayar nduk, bude ikhlas. Bawa sana, adik-adikmu pasti sudah menunggu," ucapnya lembut, menyodorkan semua pemberiannya yang sudah ia masukan ke kantong plastik.

"Terima kasih banyak bude," ucapku hampir menangis, lalu bergegas pergi, melewati beberapa orang yang menatapku dengan berbagai ekspresi.

...***...

Bimo menatap lengannya yang masih meninggalkan lebam membiru, hasil upayanya melindungi gadis pencari kerja yang jatuh kedalam lift yang sengaja ia tekan tombol pembuka pintunya agar bisa jatuh bersama gadis itu.

Kenyalnya buah dada masih terasa hangat sampai sekarang, tidak bisa ia lupakan.

BIMO HARDI DINATA

❤️(Monggo-monggo mas'e atau mba'e yang tadi mau getok si Bimo, dipersilahkan🤭🤭)❤️

📞"Tania, siapa nama gadis yang merusak pintu ruanganku beberapa hari lalu?" tanya Bimo.

📞"Vina Rijayani, tuan."

📞"Cari, dan bawa dia menghadapku. Dia harus mengganti daun pintu kesayanganku!"

📞"Baik tuan."

"Jangan harap kamu bisa lari dariku, sugar baby..." desisnya.

Bersambung...✍️

✍️Pesan moral : Bantulah anak yatim piatu😎

3. Diculik

"Apa isinya ini dek?" Vino terkekeh melihat perut buncit adik perempuannya yang membulat dan kencang saat disentuh.

"Dua piring nasi, telur dadar dua, semangkuk tempe orek, dan tumis kangkung," polos Vaniza sambil mengusap perut buncitnya dengan pergerakan jemarinya yang memutar dipermukaan perutnya.

Keduanya lalu tergelak bersama. Menertawai kerakusan mereka yang ugal-ugalan saat di meja makan beberapa menit yang lalu.

Aku tersenyum sendiri memperhatikan interaksi kedua adikku itu dari meja belajarku sambil mengerjakan tugas Managemen Perpajakan yang diberikan oleh bu Suryani siang tadi.

Celoteh, kelakar, dan suka berantem satu sama lain, itulah yang menjadi hiburan bagiku dipenghujung lelahku seperti malam ini.

"Emak, Vina mau punya adik perempuan," ucapku 15 tahun silam, saat membantu ibuku memandikan Vino yang genap berusia 1 tahun.

Ibuku tersenyum memandangi ayahku, dan aku bahagia karena 1 tahun kemudian setelah permintaanku itu, ibu benar-benar memberikan aku seorang adik perempuan yang diberi nama Vaniza.

Sayangnya, kebahagianku itu tidak berlangsung lama, ibu meninggal sebelum selesai 40 hari masa nifasnya, kehabisan banyak darah.

Rupanya ada tumor ganas dirahim ibuku, kami baru mengetahuinya saat dibawa kerumah sakit besar, karena pada saat hamil hingga melahirkan ibu tidak pernah kerumah sakit ataupun puskesmas, terkendala dana, karena ayahku hanya seorang kuli bangunan parit.

Aku meraung menumpahkan segala lara hatiku, hidup tanpa ibu bagai kiamat bagiku.

Dari situlah kami mulai sering berhutang pada bibi Anggi, kakak kandung ayahku, karena Vaniza harus minum susu formula.

Hingga akhirnya, diusiaku yang ke 16 tahun, ayahku juga menyusul ibuku karena penyakit paru-paru basah yang dideritanya. Kata dokter, penyebabnya karena sering tidur di hutan yang dingin saat berkerja.

Rumah peninggalan ayah, diserahkan pada bibi Anggi untuk melunasi hutang kami padanya yang katanya menggunung. Aku terpaksa mencari rumah kontrakan kecil, dimana kamar tidur, kamar tamu, menjadi satu dengan dapur. Kecuali WC, memang terpisah, tapi jadi satu dengan kamar mandi.

Serasa dunia berhenti berputar saat itu. Tapi aku menguatkan diriku sendiri demi kedua adiku, apapun pekerjaan serabutan tetap kulakoni, yang penting halal. Nasihat ayah tetap selalu kuingat dan kulakukan, rajin beribadah, rajin sekolah, dan rajin berkerja, bila ingin merubah nasib.

...***...

Di parkiran kampus.

"Vina, elu nggak boleh kabur lagi, HiMa (Himpunan Mahasiswa) mau ngadain rapat 'ntar sore, nggak boleh absen-absen lagi ya," peringat Heru, ketua HiMa Fakultas Akuntansi kami.

"Duh, maaf ya kak, aku lagi ada kerjaan, ini lagi buru-buru, sudah ditunggu soalnya," sahutku.

Kemaren sore aku memang sudah berjanji pada salah satu pemilik rumah makan padang untuk mengambil kerja paruh waktu mencuci piring hingga malam hari. Kalau tidak kerja, bagaimana aku bisa bayar hutangku pada bude Romlah batinku, upah membantu mengangkat sayuran ke pasar subuh tadi hanya cukup ongkos angkot ke kampus.

"Emang elu kerjanya apaan sih? Gue anter gimana?" tawarnya, terlihat penasaran.

"J-jangan kak, a-aku bisa sendiri kok," aku menolak cemas.

Bukannya malu karena status pekerjaanku, dan mereka akan tahu kalau aku miskin akut. Tapi lebih pada tidak mau dikasihani, contohnya pak dekan, dia bermasalah dengan isterinya gara-gara mengasihani aku.

"Udah, gue nggak terima penolakan, buruan naik!" paksanya.

"Heru! Rupanya kamu sama cewe gatel ini di sini! Dasar, ayam kampus murahan!"

Plak!

"Akh!" aku mengerang sakit, mengusap pipi kananku yang terasa panas dan perih. Kedatangan kak Riska yang tiba-tiba tidak sempat membuatku menghindar.

"Keterlaluan!" Kulihat kak Heru menarik kasar tangan kak Riska yang digunakan untuk menamparku tadi.

"Kita putus! Gue... nggak sudi punya cewe kasar modelan elu!"

"Oh, ini pasti gara-gara kamu juga suka ayam kampus nakal itu kan?! Iya kan?!" tuduh Riska mengamuk.

Tak ingin berada disana lebih lama lagi, aku gegas melarikan diri, tapi seseorang menarik tanganku dari balik rimbunan pohon bonsai dan membekap mulutku dengan sapu tangan. Aku meronta sesaat, lambat laun pergerakanku melemah saat kurasa di sekelilingku berubah gelap, lalu aku tidak ingat apa-apa lagi.

...***...

"Ngapain disini?! Keluyuran aja kerjaannya!" bentak Bibi Anggi, melihat dua keponakannya meringkuk diteras rumahnya.

"Bibi, k-kami takut sendirian dirumah, k-kak Vina belum pulang," cicit Vaniza. Bocah perempuan itu selalu takut menghadapi bibinya itu, selain tubuhnya yang super besar, suaranya juga menggelegar bagaikan petir.

"Alesan! Paling minta makan kan?! Makanya kalian kerja walau masih kecil, biar dirumah ada makanan!"

"Pergi sana! Jangan ngerepotin bibi! Bibi lelah seharian jualan dipasar!"

"Kami takut Bibi, dirumah gelap, listriknya padam," Vino ikut memelas. Ia dan adiknya benar-benar takut gelap.

"Makanya kerja! Supaya bisa beli voucer listrik! Dasar, mental gratisan! Bisanya numpang aja!"

"Vaniza, Vino, sini... kerumah bude saja," panggil Romlah lembut, berdiri dibelakang pagar tembok rumahnya.

"Sana pergi! Datang'in tuh orang yang mau nampung kalian yang tidak berguna itu!"

Romlah yang bertetangga dengan Anggi hanya bisa prihatin melihat tetangganya itu yang seakan tidak punya hati pada keponakannya sendiri.

"Cah ayu, cah bagus ayo dimakan dulu, kalian pasti lapar," Romlah membuka tudung saji di meja makan, dibalas gelengan kepala kedua bocah itu secara bersamaan.

"Kenapa? Tak perlu sungkan, anggap rumah sendiri ya, bude seneng kalau kalian mau memakan masakan bude," Romlah membujuk dengan lembut.

"Vaniza sama kak Vino sudah makan bude," cicit bocah perempuan itu pelan, hampir tidak terdengar.

"Memang cah ayu makan apa tadi dirumah?" Romlah tersenyum lembut, bertanya hati-hati, ia yakin kedua bocah itu berbohong karena malu.

"Makan bubur nasi sama orek tempe bude," jawabnya dengan suara masih mencicit.

Romlah tersenyum lembut, pasti tempe yang sore kemaren diambil dari warungnya, fikirnya.

"Kok bubur nasi, 'kan kenyangnya nggak lama itu..." Romlah bertanya heran.

"Semalam kami sudah makan nasi yang banyak bude. Supaya cukup untuk seharian ini sampai malem, kak Vina jadikan beras yang sisa 2 cup itu bubur nasi aja bude," polos Vaniza dengan suaranya yang sudah tidak mencicit lagi.

Tanpa terasa, bulir bening disudut mata Romlah bergulir mendengarnya, ia mengusap lembut kepala Vaniza, juga Vino yang sangat pendiam itu.

...***...

"Ughhh! Kepalaku pusing... ughh... ughh..."

Bimo menatap ke atas ranjang tidurnya, mengawasi tubuh seorang gadis yang tengah menggeliat-geliat dibawah selimut tebal miliknya.

Sudah tidak ada pergerakan lagi, sepi, sunyi, senyap, dikamar itu.

Pria itu mengalihkan pandangannya, kembali merunduk, memperhatikan benda jadul di atas meja kacanya.

"Menjijikan," Bimo bergidik ngeri.

"Bisa-bisanya dia betah menggunakan barang rongsokan ini," ponsel senter jadul berwarna hitam, yang diikat 2 karet gelang sayur berwarna merah dan hijau ia angkat dengan dua jarinya.

Praaak!

"Ups, jatuh..." Bimo meringis kaget, tidak sengaja menjatuhkan ponsel itu ke lantai.

"Malang sekali nasibmu hitam..." memandangi ponsel senter jadul yang berserakan, terpisah-pisah di lantai keramik kamarnya.

Ia berjongkok, memungut kepingan kartu lalu memasukannya ke ponsel yang baru ia beli.

Detik berikutnya, ia mulai mengutak atik ponsel baru ditangannya, memasukan identitas dengan melihat kartu tanda penduduk milik sang gadis yang ia ambil dari tas kuliahnya.

Setelah berhasil mengaktifkannya, Bimo berinisiatif membalas pesan sesorang dengan nama nomor kontak Bude Romlah.

Rasa penasarannya kembali memaksa jarinya merazia kantong-kantong dompet yang ia temukan didalam tas.

Bimo tertegun sekian lamanya setelah menemukan 3 lembar uang kertas pecahan dua ribuan dan 4 keping logam pecahan dua ratus rupiah.

Bersambung...✍️

✍️Kata-kata untuk hari ini : Kebaikan mungkin hal yang merepotkan bagi kita. Tapi, kebaikan yang kita kerjakan di hari ini untuk sesama, akan berbuah manis dikemudian hari. Mungkin sang penerima kebaikan tidak akan mampu membalas, tapi ada Sang Pencipta yang akan melimpahkan segala kebaikan dalam hidup kita, asal ikhlas.

✍️Pesan moral : Tetaplah waspada, jangan sampai keculik 😎

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!