“Ibu, aku lapar!” cicitan disertai rengekan itu keluar dari seorang gadis yang usianya sekitar delapan tahun. Ia menatap sang ibu yang tengah berjongkok dan sesekali meringis di bawah terik matahari sembari mencabuti rumput-rumput liar disekitar pekarangan.
“Sebentar yah nak, sabar! Lexa jalan kepinggir saja minta minum sama mba pelayan di dalam!”
Gadis bertubuh mungil itu mengangguk, dari pekarangan luas ini Alexandria yang akrab dipanggil Shada itu bisa melihat anak-anak seusia dengannya tengah bermain, tiga anak laki-laki dan satu anak gadis. Rumah ini memang bukan rumahnya, melainkan rumah saudagar kaya raya dari keluarga Brawijaya yang menjadi orang kaya sekaligus terpandang di kota bahkan negeri ini.
Shada mengikuti instruksi sang ibu, ia berjalan kepinggir pekarangan dan berakhir pada pintu belakang yang menjadi akses dapur.
“Mba aku boleh minta minum?” kata Shada terlewat polos, ia meminta pada gadis dengan pakaian pelayan.
“Kamu mau minum? Sebentar yah, kaka ambilin!”
"Terima kasih!" Shada membungkuk penuh syukur.
“NGGAK!” teriakan itu memenuhi seisi dapur, teriakan dari anak laki-laki yang berlarian menghindari para pelayan yang di tugaskan untuk merawatnya.
“Lengkara gak mau makan, Lengkara mau bibi!” teriaknya masih menggelegar, sampai seorang wanita cantik menyergah, dengan begitu anggun ia meminta para pelayan menepi.
“Lengka sayang ini bibi, Lengkara makan dulu yah! Bibi janji nanti kita bakal ketemu Bibi Cecil, Cuma buat beberapa hari ini Lengkara nginep dulu disini!” Wanita cantik bernama Liliana itu tersenyum, dengan begitu hati-hati ia mendudukan sang keponakan pada meja dimana sebuah roti isian daging dan makanan mewah sudah begitu tersaji untuk Lengkara.
Sementara Shada mendapatkan minumnya, ia meneguk air minum dalam sekali tarikan nafas seraya menatap meja yang penuh dengan makanan.
“Loh, kamu haus yah?” kata pelayan yang menyerahkan air, membuat Liliana menoleh dan tersenyum menatap Shada. “biar kaka ambilkan lagi yah!”
Shada menunduk dan membungkuk kecil pada Liliana. Menunjukan hormat pada pemilik rumah karena ternyata Liliana tidak keberatan dapurnya dipijaki orang asing bahkan anak dari pelayan serabutan.
“Dimakan yah nak!” kata Liliana pada Lengkara, ia menyodorkan roti berisi daging atas permintaan Lengkara.
“Enggak!”
PRRAAANKKKK….
Gelagar itu bergema manakala Lengkara menyingkirkan makanan dimeja, membuat itu berantakan sampai berserakan mengenai Shada.
Para pelayan begitu sigap untuk membereskan kekacauan atas ulah Lengkara, Liliana memejam sementara Lengkara melempar irisnya pada posisi pintu dimana Shada menggeser tubuhnya untuk menutupi roti yang tergeletak dilantai, lalu Shada berjongkok memungutnya.
Shada tersenyum, gerakan gadis itu begitu cepat ditengah kemelut yang dilakukan Lengkara. Sudah dipastikan jika ia begitu cekatan. Sampai Shada menatap Lengkara gadis itu bukannya menunduk setelah ketahuan mengambil dan menyembunyikan roti, melainkan mendongak seakan menantang Lengkara atas apa yang sudah ia lakukan.
Shada bahkan mengepalkan tangannya aksen memberikan tinjuan pada Lengkara.
“Ada apa ini?” Suara itu mengudara, seorang wanita diatas setengah baya berjalan memasuki dapur, Ia adalah Merian Barawijaya. Liliana dan para pelayan menunduk, tapi Lengkara masih menatap Shada dengan tatapan tak suka.
“Maaf ibu” jawab Liliana, “Lengkara masih merajuk dan ingin bertemu Cecil!”
Liliana menjelaskan kronologis, sementara Shada mulai mundur setelah mendapatkan botol air yang diberikan pelayan atas kode Liliana tadi.
“Iya juga belum mau makan sedari kemarin!”
“Lengkara bukan gak mau makan!” Sela Lengkara benar-benar berani, ia menatap presensi Shada yang sudah berjalan beberapa langkah memunggungi. “tapi makanan Lengka diambil pencuri!”
“Pencuri? Mana ada pencuri sayang?” Para pelayan bahkan Liliana tak mengerti akan ucapan Lengkara.
“Ituh, anak itu curi roti Lengkara!”
Deg!
Langkah Shada seketika berhenti, tak membuang waktu ia berbalik pada Lengkara dan menatap semua orang yang kini menatapinya heran.
“Nggak Tuan Muda, anak itu cuma minta minum tadi, maaf nyonya dan Nyona besar, saya yang memberi akses masuk kesini karena anak itu minta minum dan kehausan. Ibunya sedang bekerja di taman depan!” sang pelayan nampak takut-takut, yang ia hadapi adalah Merian Brawijaya pemilik perusahaan Wijaya dan semua kekayaan ini.
“Lengka sayang, gak ada yang curi makanan Lengka, bibi buatin lagi saja yah nak!”
“Nggak, Lengka gak mau, anak itu memang curi makanan Lengka, Lengka maunya makanan itu!” tunjuk Lengkara pada Shada “coba cek saja dia memang curi makanan Lengkara”
Sang pelayan hendak melangkah, tapi Shada malah lebih dulu berjalan dan menyibakan baju lusuhnya, benar jika Shada menyembunyikan roti itu disebalik bajunya. Shada menunduk setelah menatap Merian dan Liliana tanpa takut sedikit pun.
“Maaf, rotinya saya bawa karena tadi sempat dilempar ke teras! Saya fikir rotinya gak akan lagi dimakan, tapi ini saya kembalikan untuk dimakan Tuan muda!”
Shada tersenyum pada Lengkara yang semakin menatapnya kesal, sementara Merian menaikan satu alisnya pun para pelayan yang saling berbisik untuk aksi frontal Shada. Gadis itu begitu berani membuat Lengkara diam dengan tatapan tak suka.
Maksudnya mana mungkin juga Lengkara mau memakan roti yang sudah disilipkan diperut seseorang.
“ALEXANDRIA!!” Pekikan ini keluar dari ibu Shada, wanita itu tergopoh-gopoh dan menangis meminta penghampunan, tentu setelah apa yang dilakukan Shada. Ia memang mendengar berita sekilas dari pelayan lain jika terjadi keributan di dapur tanpa mengetahui jelas kronologi Shada sebenarnya.
“Bukannya ibu bilang nanti nak!” Shada menatap sang ibu yang sudah menangis pilu, pasalanya kini ia benar-benar di kelilingi seolah dihakimi, bahkan anak-anak yang main di pekarangan tadi pun sontak mendekat menjadi penonton.
“Maaf ibu” cicit Shada begitu lirih, wajahnya memerah dengan sudut matanya yang berair, “tapi Alexandria lapar ibu!” Shada menjatuhkan air matanya, sampai ibu Shada berhenti menangis, ia mematung beberapa saat lalu menjatuhkan tubuhnya tak sadarkan diri.
*******
“Ibu kamu sudah ditangani Dokter!” Kata Merian sembari menyeruput teh nya di meja. Pada akhirnya ia menarik Shada ke ruangan miliknya dan ibu Shada sudah ditangani Dokter pribadi keluarga Brawijaya.
Ibu Shada memang memiliki penyakit cukup serius, dan faktor kelelahan serta kurang asupan makanan membuat tubuhnya drop.
“Terima kasih Nyonya besar!” Shada mengangguk dan menunduk hormat, ia cukup beruntung karena orang yang memanggil sang ibu untuk bekerja ternyata orang baik.
“Saya tidak akan berlama-lama, tapi bisa kamu jelaskan kronologis kenapa cucuk saya seperti itu sama kamu?”
Seketika Shada mendongak menatap Merian dihadapannya.
“Iya.. terkait kejadian di dapur tadi siang!”
Shada menarik nafas, kendati di tatap seorang nyonya besar dengan penampilan dan pembawaan Merian yang kuat tapi Shada bahkan tidak geming dan takut menatap wanita tua itu. Membuat satu sudut bibir Merian tertarik akan keberanian yang di tujukan Alexandria padanya.
“Saya kesal karena dia membuang-buang makanan tadi, padahal diluar masih banyak orang kelaparan!”
Merian terkekeh “Jadi kamu menantang cucuk saya?” Shada menunduk, kini jari-jemarinya mulai meremati ujung baju miliknya.
“Dia memang terlihat keras dan sedikit berbeda dari anak-anak pada umumnya, tapi dia baik, dia hanya butuh dirangkul dan dimenangkan hatinya!” Merian menghela nafasnya dalam-dalam, ada cekat getir saat wanita tua itu mengatakan demikian.
Untuk apa yang sudah terjadi pula pada keluarganya terlebih kedua orang tua Lengkara yang sudah tiada. Sekedar informasi jika kiranya yang membuat Lengkara berbeda adalah kepergian kedua orang tuanya yang meninggal dihadapan dirinya sendiri.
Tepatnya karena sebuah kecelakaan yang disinyalir kecelakaan tunggal hingga mobil yang dikendarai Lieus meledak dan merenggut ia bersama sang istri, meninggalkan anak satu-satunya mereka yakni Lengkara Kafka Barawijaya.
Dari sana Lengkara memiliki trauma akibat guncangan yang menimpanya. Lengkara memiliki penyakit mental Post Traumatic Syndrom Disorder, [PTSD] sehingga Lengkara lebih mengasingkan diri dan menutup dirinya, ia jadi anak pemurung dan tidak mudah terpengaruh, Lengkara bahkan sanggup tidak berbicara seharian atau kadang ia tantrum saat traumanya muncul.
Itu membuat Merian bingung karena bagaimana pun Lengkara adalah cucuknya yang akan mewarisi sebagaian kepemilikan harta Merian.
“Sebenarnya saya berterima kasih sama kamu!” lanjut Merian yang seketika membuat Shada mendongak lagi. “iya, saya berterima kasih karena kamu bisa memenangkan atensi Lengkara semudah itu!”
Maksud Merian ia berterima kasih karena berkat Shada Lengkara mampu bereaksi sefrontal dan selincah tadi. Biasanya Lengkara begitu diam dan pemurung.
“Alexandria Shada Jazlyn!” panggil Merian lagi “kamu dan ibu kamu sedang butuh bantuan atas hutang-hutang peninggalan mendiang ayahmu, bukan?”
Shada mengangguk, ia menatap Merian penasaran, kenapa bisa wanita tua itu mengetahui apa yang terjadi padanya? Tapi ini cukup menunjukan juga seberapa power dan adikuasanya Merian serta keluarga Brawijaya lewat orang-orang Merian.
“Saya bisa membantu kamu dan Ibu kamu, tapi dengan satu syarat!”
“Apa Nyonya Besar?”
Merian tersenyum, wanita itu menatap Shada dengan tatapan sulit difahami, kendati demikian Shada cukup menyimpulkan jika wanita tua dihadapannya nampak serius.
Nahas terjadi dilalui Shada, Ibunya yang sakit-sakitan pada akhirnya tidak bisa bertahan lebih lama untuk membersamai sang anak. Kabar itu cukup berembus dan menyeret nama besar Brawijaya yang kerap menjadi pusat atensi untuk pengaruhnya di negeri ini sebagai salah satu konglomerat Negeri.
“Kami sudah memutuskan untuk mengangkat anak itu menjadi bagian dari Brawijaya!”
Statement itu keluar dari pengacara Merian, Laksana Calain yang menjadi kuasa hukum keluarga Brawijaya, kasus Shada memang sampai mencuat ke permukaan hingga akhirnya Merian memutuskan untuk bertanggung jawab pada Shada.
Setidaknya ini kabar yang beredar di luaran!
Tidak semata-mata itu terjadi melainkan karena ibu Shada yang kedapatan tak sadarkan diri saat bekerja di kediaman Brawijaya lah yang menjadi awal kontroversi. Sebenarnya itu bukan sebuah kecelakaan kerja pula, Merian bahkan tidak tau jika Ibu Shada yang memiliki penyakit nekat bekerja di kediaman Brawijaya sebagai pekerja paruh waktu. Hingga mau tak mau itu menyeret keluarga Brawijaya dan takdir yang mempertemukan Shada bersama keluarga Konglomerat tersebut.
“Ayo kesebelah sini!”
Shada mengikuti sang pelayan yang menyambut dirinya dari saat ia menuruni kendaraan, gadis itu datang dengan hanya membawa ransel usang dipunggungnya. Disela langkah kaki Shada berjalan menuju belakang rumah ia melihat Lengkara tengah duduk memeluk lututnya disekitar kolam air mancur.
Lengkara sendiri tentu melihat Shada, mereka saling beradu iris sampai Lengkara yang lebih dulu melempar irisnya dari Shada. Di detik yang sama Lengkara bangkit meninggalkan pekarangan rumah.
“Ayo, kenapa diam disana?” ucap sang pelayan menarik tangan Shada, “Nyonya besar udah nungguin kamu!”
Shada mengangguk dan kembali mengikuti langkah sang pelayan, tanpa mereka ketahui jika dari jendela lantai dua rumah Merian tengah memperhatikan keadaan pekarangan.
Termasuk Lengkara yang seketika beranjak kedalam rumah kala melihat kehadiran Shada.
“Anak itu?”
Merian menaikan sebilah alisnya, menarik Shada kedalam rumah Brawijaya rasanya hal yang tepat berhubungan dengan sang cucuk yang untuk kedua kalinya bergeming karena kehadiran Alexandria Shada Jazlyn.
“Saya turut berduka cita atas kepergian ibumu!” Merian memulai, ia dan Shada berada di ruangannya seperti biasa.
“Seperti yang sudah kamu dengar dari kuasa hukum saya jika mulai sekarang kamu adalah tanggung jawab Brawijaya”
“Terima kasih, Nyonya besar!”
‘”Saya akan menjamin semua kehidupanmu hingga kamu dewasa dan mandiri! Tapi kamu masih ingat bukan apa hal yang sempat kita bicarakan kemarin?”
Shada menatap Merian di hadapannya. Ia tentu mengingat pembicaraan dirinya dan Merian kemarin, tentang Shada yang Merian pintai untuk menemani Lengkara dengan alih-alih apapun yang Shada bisa untuk membantu Lengkara bangkit.
Untuk menimbulkan progress pada diri Lengkara.
“Maaf Nyonya besar!” Shada menyergah, ia selalu berani menatap mata Merian begitu frontal. “apa saya ditarik kesini dan dijamin kedepannya untuk membantu masalah cucuk anda semata?”
Merian menarik satu sudut bibirnya, Dari sini ia benar-benar bisa melihat bagaimana keberanian dan kepintaran gadis kecil di hadapannya.
“Harus diakui jika itu memang alasanku membawamu kesini!”
Shada mengerutkan kening dan menatap Merian seksama. Padahal di berita dan yang tersebar diluar sana adalah sisi kebaikan Merian yang mau membantu anak malang yang ditinggal ibunya. Tapi kenyataannya Merian membawa Shada untuk menjadikan Shada alat menyembuhkan cucuknya.
Maksudnya ada beban tersendiri yang harus Shada tanggung jika dirinya tinggal disini.
“Kamu pasti kepengaruh sama berita-berita itu bukan? Tapi soal berita di luar sana itu bukan kendali saya, dan kepergian ibumu juga tentu gak ada sangkutan apapun dengan saya!”
Shada mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat, apa yang di ucapkan Merian memang benar, tapi hatinya seolah tercabik atas ucapan Merian barusan.
Melihat perubahan ekspresi Shada Merian menarik nafasnya dalam-dalam.
“Maaf jika ucapanku terlalu keras padamu. Tapi itulah hidup! Give and Take yang terkadang kita harus memberi untuk menerima, gak ayal berkorban untuk mendapatkan! Jadi anggap apa yang terjadi sama kamu ini adalah rumus Give yang harus kamu berikan dan sebagai gantinya kamu akan mendapatkan Take dari jaminan hidup layak bersama Brawijaya, bagaimana?!”
Hening untuk sejenak…
Merian diam memperhatikan Shada di hadapannya, ia memang cukup keras dan terlalu rasional untuk ukuran seorang pebisnis sukses, jadi Merian cenderung melakukan sesuatu dan tertarik jika adanya sebuah keuntungan yang akan ia peroleh.
Apa yang dilakukan Merian tidak salah juga, bagaimana pun ia akan memasukan orang asing kedalam rumahnya memang tindakan berani yang dilakukan Merian. Ia adalah seorang terpandang dengan kekayaan berlimpah ruah, jadi Merian tentu memiliki aturan keras dalam dirinya sendiri.
Untuk menjaga hirearki dirinya kedepan dan sebagai antisipasi diri pula terhadap orang lain!
“Bagaimana? Alexan__”
“Shada!” Sela Shada semakin berani, Merian sampai terkekeh karena selaan Shada padanya.
Bagaimana tidak ketika semua orang bahkan tidak ada yang berani berbicara selantang Shada, tapi gadis itu malah sudah berani menyela Merian.
“Baiklah, Shada? Jadi apa kamu bersedia?”
Diam, Shada belum berkata apapun di titik ini, terlihat jika ia tengah menimbang.
“Kamu gak usah khawatir, saya tidak bermaksud membebankan kesembuhan Lengkara sama kamu karena itu diluar ranah kamu!” Merian kembali melanjutkan katanya, seolah mengoreksi juga “kamu cukup temani Lengkara dan bersabar buat semua sikapnya yang berbeda dari anak-anak pada umumnya. Kamu bersedia?”
********
“Ini kamar kamu. Semua peralatan dan kebutuhan kamu akan menyusul dikirim Nyonya besar!”
Pada akhirnnya Shada memutuskan untuk menyetujui tinggal disini sekaligus menyetujui semua persyaratan Merian padanya. Shada menatap kamar basar yang disediakan Merian, ia tersenyum tapi melenguh juga setelahnya.
Shada mendudukan tubuhnya di ranjang.
“Anak ibu itu cantik dan kuat! Alexandria gak boleh nangis dan jalani saja semuanya, ikutin kata hati kamu dan terus berjalan dalam koridor kebenaran. karena siapa tau Tuhan memberikan kejutan dipenghujung sana! Kuatlah nak! Gadis kecil ibu yang cantik”
“Iya ibu… aku anak ibu yang cantik dan kuat, bukan?”
Shada merapal setiap mengingat petuah dari ibunya, kiranya kata-kata ibunya yang membuat Shada menjadi anak yang terbilang berani seperti ini.
Tok Tok Tok….
Suara pintu kamar Shada diketuk, Liliana masuk dengan senyuman cantik di wajahnya.
“Saya bawain pakaian buat kamu!”
“Terima kasih Nyonya!”
“Sama-Sama, jangan sungkan dan selamat bergabung di Brawijaya! Maaf saya gak bisa dateng waktu pemakaman ibu kamu”
Shada mendongak, ia menatap Liliana dan tersenyum, wanita cantik dengan pembawaan tenang dan penuh senyum itu membuat Shada merasa hangat. Kebaikan Liliana bahkan sudah menyentuh Shada sedari saat kasus di dapur tempo kemarin, saat Liliana begitu welcome padanya.
Melihat Shada diam Liliana sontak mendekat, ia duduk dan menggenggam tangan kecil Shada, Liliana menatapinya seksama, entah apa yang sudah terjadi pada Shada hingga di usianya yang terbilang belia Shada sudah begitu dewasa.
“Terima kasih!” Lirih Liliana dengan senyumnya, lalu ia melanjutkan “dan maaf buat apa yang terjadi!”
********
“Lengkara…” Liliana membuka kamar Lengkara, keponakannya itu seperti biasa hanya duduk termenung sendirian.
“Bibi bawain Lengka makan!”
Seperti biasa Lengkara bahkan tidak menghiraukan Liliana sama sekali, sampai Liliana menoleh lagi pada pintu kamar yang terbuka, Shada tengah mengintip dengan memiringkan kepalanya. Shada tersenyum, ia pun masuk kedalam kamar Lengkara setelah menerima kode dari Liliana.
“Lengka udah tau kan kalo mulai hari ini Shada tinggal di rumah kita!” Liliana kembali bersuara, tapi Lengkara tetap pada pendiriannya.
“Lengka sekarang jadi punya teman! Ini bibi bawain makanan double buat kalian berdua!”
Lengkara masih saja diam, Liliana sontak menatap Shada, gadis itu hanya menggeleng menatap Lengkara tak mengerti.
“Ahh.. Nyonya kayaknya dia emang gak suka kalo makanannya cuma di gituin! Sini biar Shada aja yang atasin!”
Shada menarik satu sudut bibirnya, ia mendekat ke hadapan Lengkara dan mengambil roti isian daging yang menjadi menu permintaan Lengkara.
“Kalo dilihat waktu itu dia maunya roti rasa perut nyonya!” Liliana mengerutkan kening, termasuk Lengkara yang mulai menatap Shada di hadapannya.
Lengkara menatap Shada tak mengerti.
“Kenapa? suka-kan kamu sama roti perut? Bentar yah aku masukin dulu ke perut aku kayak waktu itu!” Shada berbalik, kemudian ia hendak menyibakan bajunya.
“Yakk!!” Lengkara meloncati ranjang dan membalikan Shada seketika “cewek aneh! Jijik tau!”
“Jijik? Iya gitu? tapi waktu dulu kamu mau roti dari perut aku!”
“Gilak!” umpat Lengkara terlihat begitu kesal.
Sementara Shada dengan tampang tanpa dosanya langsung memakan roti yang tengah ia pegang di tangannya.
"Makanya kalo dikasih makanan yah dimakan! Ini enak, apalagi gratis, Hahaha.. berkali-kali lipat enaknya!”
Shada tersenyum pada Liliana yang ikut tersenyum. Ini sudah lebih dari menunjukan jika Shada benar-benar berhasil meraih atensi Lengkara.
Mungkin, apa yang terjadi pada Shada cukup mustahil apabila ditelaah dengan logika, namun ini menunjukan jika sesusah itu Merian mencari cara untuk bisa mengobati Lengkara.
Dan kehadiran Shada dengan interaksi yang bisa dibilang sangat singkat itu menimbulkan progres dan secercah harapan untuk Lengkara bisa menjadi anak normal pada umumnya. Saat Merian sendiri sudah kalang kabut mencari pengobatan dengan mendatangkan beberapa psikolog terkenal yang mumpuni di bidangnya, tapi Lengkara tidak menunjukan banyak perubahan.
Sembilan tahun kemudian…..
“Makanannya mau dimakan apa tidak?” Shada menyodorkan piring berisi makanan pada Lengkara. Pemuda itu tengah membaca buku ditangannya. Tidak terasa waktu berlalu dan mereka sudah menggunakan pakaian seragam Menengah Atas. Merian memang menyekolahkan Lengkara dan Shada disekolahan swasta milik salah satu kolega Merian.
“Itu punya gue, lo rakus amat jadi cewek!”
Shada tersenyum begitu lebar, “Yasudah simpan bukunya, kamu tuh yah baca bukuuu… terus, aku sampe dikacangin, huh.. mending sekalian aja aku jualan kacang!”
Lengkara menatap Shada di sisinya, gadis itu kembali menarik kedua sudut bibirnya. “Kenapa? Mau kacang juga?” tanya Shada dengan tatapan menggoda, ia menaik turunkan alisnya, Shada memang terbilang gadis yang ekspresiv.
Lengkara mendecih, ia menggeleng dan menatap Shada dengan tatapan memperingatkan.
“Uhh,, galak amat! Yaudah aku ke toilet dulu bentar, dimakan! Kalo enggak nanti aku marah sama kamu, gak akan aku ajak main lagi!”
Shada benar-bener berceloteh disela keluar dari meja kantin, ia melewati meja anak laki-laki yang sontak menatapnya sampai berlalu keluar kantin. Sementara Lengkara masih dengan buku yang ia pegang di tangannya.
Kini Lengkara cukup berubah, apalagi ia bersekolah di sekolahan biasa dan mengharuskan dirinya berinteraksi dengan khalayak, tapi Lengkara masih menjadi Lengkara yang sangat membentengi dirinya disisi PTSD Lengkara yang kerap kambuh juga apabila ada faktor pemicu.
“Sstt, Sst.. Tuh cewek cantik juga yah kalo di lihat-lihat!” kata satu pemuda berbisik, “Tapi sayang banget galaknya minta ampun, mau ngedeketinnya susah!”
“Yah susah lah, dia kan sama cucuknya Brawijaya, yah pasti milih konglomerat kemana-mana! Gak akan dilepas sampe kendor!”
“Kendor apanya?”
“hahaha.. kayak yang gak tau!” kekehan menggema dikantin sekolah, orang-orang sudah tau bagaimana kedekatan Lengkara dan Shada di tempat ini.
Lebih tepatnya sisi Lengkara yang sulit berinteraksi selain hanya dengan Shada.
“Tapi Gue denger-denger dia babunya keluarga Brawijaya!”
“Seriusan lo?”
“Dua rius, Keluarga Brawijaya kan cuma punya dua cucuk, yang satu sekolah di Lazuardi dan udah nikah, dan yang satunya_” Ia menjeda katanya dan melirik kearah Lengkara.
Kekehan kembali terdengar, para anak laki-laki itu berbicara seolah merendahkan sisi Shada dan kedekatan Lengkara yang anti bersosialisasi kecuali dengan Shada.
*******
“Shada ada surat buat kamu!” kata satu gadis yang menyerahkan surat berwarna merah muda dimeja Shada.
“Dari siapa?” tanya Shada heran, ia sempat melirik Lengkara yang duduk disampingnya di sisi jendela. Pemuda itu diam terlihat tak terpengaruh.
“Gamma! Itu yang satu genk bareng Jordi!” ucap sang gadis, “Dah yah, gue cuma disuruh buat kasihin itu ke elo!”
Shada kembali melirik Lengkara, pemuda itu begitu tenang dengan buku bacaan ditangannya, tapi Shada cukup yakin jika Lengkara mendengar percakapan ia dan sang gadis.
“Lengkara..” Panggil Shada dengan intonasi mengajak bermain. “Aku dikasih surat loh!”
Diam, Lengkara bahkan tidak menoleh sedikit pun pada Shada. Gadis itu sampai mengibas-ngibaskan kertas di samping Lengkara.
“kalo dilihat dari kertas sama harumnya, kayaknya ada yang nyatain perasaan sama aku!” Shada menghirup kertas yang ia pegang “Uhh,,, manis banget gak sih?” Ia menatap Lengkara yang masih diam di posisinya, pemuda itu bergerak hanya untuk membalik buku ditangannya.
Shada mendesis,”Tuh kan bener kalo isinya ungkapan cinta! Huh… aku terima gak yah? Mana si Gamma cowok populer lagi!” Shada terus berceloteh di sisi Lengkara, sampai Shada menemukan sesuatu disebalik amplop surat.
Hening seketika…
Lengkara yang mendengar keheningan seketika menoleh pada Shada. Gadis itu tengah menunduk seraya meremat kertas surat yang ia pegang di tanganya. Shada yang notabene peka diperhatikan pun menoleh pada Lengkara lagi.
Terlihat wajah Shada memerah entah karena apa. Lengkara menaikan sebilah alisnya. “Kenapa?”
“E-Enggak, enggak kenapa-kenapa!”
‘Terus kenapa suratnya lo rusak?”
“Ah.. ini, ini tandanya aku tolak!” Shada tersenyum begitu lebar “Lebih tampan kamu kemana-mana soalnya!”
Lengkara diam, sementara Shada bangkit guna menuju tempat sampah. Ia menghela nafasnya ketika di dalam surat itu tidak hanya surat yang dikirim Gamma untuknya.
“Sialan si Gamma!” lirih Shada disela menetralkan dirinya, wajah Shada masih memerah panas “kirim foto cacing Alaska ke gue dikira gue bernafsu kali? Mana letoy lagi, iuuhh..!” Shada merutuk berkali-kali di depan tong sampah, kebetulan di koridor dekat kelasnya tak jauh dari itu.
Shada tidak tau saja jika dari sebalik kaca, Lengkara tengah memperhatikan gerak gerik dirinya.
*******
Hari berganti hari, Shada sudah tidak sering ke kantin seperti biasanya, padahal ia cukup jago dalam urusan makan. Akhir-Akhir ini Shada lebih sering mengikuti sikap batu Lengkara yang kerap menghabiskan waktu di perpustakaan atau di Rooftop sekolah yang mana itu adalah dua tempat ternyamannya.
Lengkara menatap Shada disampingnya, gadis itu tengah memegang buku sembari lunglai mengantuk. Sontak Lengkara bangkit, membuat Shada terjengkat dan mengusap bibirnya.
“Kamu mau kemana?” tanya Shada ikut bangkit
“Udah lo duduk aja”
“Tapi kamu mau kemana?”
“Toilet!” Lengkara berbalik, sontak membuat Shada berhenti melangkah untuk mengikutinya.
“Tapi jangan lama yah!”
Tidak ada jawaban apapun dari Lengkara, pemuda itu memang begitu batu mengasingkan dirinya dan cenderung tidak terpengaruh. Lengkara benar-benar penjabaran membuat dunianya sendiri dibalik diam dirinya.
Kendati demikian, Lengkara yang berasal dari keluarga Brawijaya dan terpandang di negeri ini menutup semua stigma jelek, jadi orang-orang memilih untuk menarik dirinya sendiri dari Lengkara. Dalam artian tidak ada yang berani mengganggu Lengkara.
Seberpengaruh itu memang keluarga Brawijaya!
Lengkara melangkahkan kakinya di koridor, sontak tatapan orang-orang terlebih gadis seketika menatapnya, Lengkara memang sulit di dekati, tapi pahatan wajahnya yang tampan dan sisi tak tersentuh dirinya malah membuat ia di gilai beberapa gadis.
Itu tak terbantahkan!
Lengkara sudah berada di toilet, ia masuk ke dalam bilik toilet dan secara bersamaan Lengkara mendengar derap langkah kaki berjalan.
“Jadi si Shada gak hubungin elo sampe sekarang?”
Lengkara menaikan sebilah alisnya, dari sebalik toilet ia mendengar suara Gamma dan Jordi yakni ketua genk di sekolahan mereka ini.
“Berati lo ditolak! Gue lihat akhir-akhir ini dia gak keluyuran kesana kemari kayak biasanya! Lo seriusan Cuma kirim surat cinta aja?”
Gamma berdehem kecil lalu membuka ritsletingnya “sebenarnya gue sambil kirim pusaka gue!”
“Seriusan?” Jordi mengeleng dan terkekeh
“yah elo sih bodoh! Kenapa musti langsung di ulti kirim foto tongkat lo!”
“Haha… gue fikir si Shada cewek gitu!”
“Sesat lo!”
“Yey.. gimana gak sesat kalo tuh cewek seaktraktif itu, apalagi sama si batu sok misterius!”
“Lengkara?”
……….
********
Shada berlarian dari Rooftop menuju ruang guru setelah mendengar kabar jika Lengkara terlibat adu jotos dengan Gamma dan Jordi. Dengan nafas terengah-engah Shada masuk keruangan guru. Benar jika kini ketiga pemuda itu tengah di dudukan di ruang guru.
Gamma dan Jordi babak belur, begitu pun Lengkara yang terluka dibagian wajah.
“Lengka…” cicit Shada dengan tatapan rumit, ia berdiri diambang pintu.
“Ayo Lengkara kamu minta maaf sama Gamma dan Jordi!” ucap pria yang menjadi penengah antara mereka.
Diam, dalam keadaan ini Lengkara masih saja diam. Ia tidak berbicara apapun ketika Gamma dan Jordi secara membabi buta menyalahkan dirinya atas perkelahian ini, dengan mengatakan jika perkelahian ini dimulai karena Lengkara yang lebih dulu memulai.
“Lengkara?” Masih diam Lengkara malah bangkit saat melihat kehadiran Shada diambang pintu.
“Lengkara kamu mau kemana? Ini belum selesai!?” tanya sang pria lagi tapi Lengkara seakan tak mengindahkan ucapannya, pemuda itu terus berjalan hingga tubuhnya berhadapan dengan Shada.
Tak ada ucapan apapun Lengkara menarik tangan Shada keluar ruangan, membuat orang-orang mengeleng atas ulah Lengkara.
Kiranya Lengkara sebatu itu dan penjabaran ia hanya akan terbuka dengan Shada seorang.
Pada akhirnnya Lengkara memilih rooftop untuk menepi, Shada sudah mengaduh pilu karena keadaan Lengkara yang babak belur ini, maksudnya ia pasti akan dimintai keterangan oleh Merian.
Shada mendekat kearah Lengkara dengan kotak obat yang ia pinjam dari UKS. Lengkara memang kekeuh tidak mau dibawa kesana dan memilih tempat ini ketika di UKS di isi Gamma dan Jordi juga.
Dengan nafas memburu Shada mendudukan tubuhnya dihadapan Lengkara “Kamu tuh apa-apan kayak gini? Kamu fikir kamu jagoan, huh? Mana lawan dua orang lagi, kenapa gak panggil aku dulu?”
Shada terus berceloteh disela bergerak membuka kotak P3K. Lengkara sendiri tidak menyahuti celoteh Shada. Pemuda itu masih diam membatu seperti biasanya, membuat Shada kerap menggeleng dan menghembuskan nafasnya. Kendati khawatir tapi rasanya Shada gemas juga karena pada akhirnya Shada yang akan diintrogasi Merian.
“Sekarang jelasin sama aku, kenapa kamu sampe mukul Gamma dan Jordi duluan?” Shada mengusap lebam biru dipelipis Lengkara cukup hati-hati “masih diem juga? Lengkara jangan childes! jelasin sama aku biar aku bisa belain kamu nanti!”
“Lengka__”
“Terus lo sendiri kenapa diem waktu lo dilecehin si Gamma?”
Deg!!
Shada diam mendengar itu, padahal ia tidak mengatakan apapun mengenai surat yang sempat Gamma kirimkan untuknya. Keduanya saling menatap di posisi berhadapan.
“Lengkara kamu tau?” cicit Shada, jujur ia jadi semakin penasaran akan apa yang sebenarnya terjadi pada Lengkara hingga ia bisa frontal dan berkelahi seperti tadi.
“Lengka apa kamu kelahi sama mereka buat belain aku?”
Diam, Lengkara tidak berkata apapun membuat Shada beranjak “Tuh cowok dua emang gak bisa dibiarin, liat aja mereka mau aku kasih pelajaran!”
“Alexandria!” Lengkara bersuara kembali, Shada yang sudah berjalan seketika menghentikan langkahnya, ia menoleh pada Lengkara saat pemuda itu memanggil nama depannya.
Satu-Satunya nama panggilan yang selalu di ucapkan oleh ibunya yang sudah tiada,
“Kejadian ini gak ada sangkutan apapun sama lo! Gue hajar mereka karena gue mau! Lebih baik lo diem karena kalo pun lo samperin mereka lo yang bakal kena akhirnya!”
“Terus kenapa? Kamu bilang hajar mereka Cuma karena pengen aja apa itu masuk akal? Lengka kamu bisa dapat masalah kalo kamu gak mau cerita apapun, apa yang mereka lakuin ke kamu?"
“Gue gak perduli!” Tekan Lengkara lagi, lalu ia melanjutkan. “sebaliknya lo, jangan tanggung semuanya sendiri! Makasih udah tetep disisi gue sampe saat ini!”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!