Sudah hampir dua bulan menjalani kehidupannya sebagai seorang istri, dan selama hampir dua bulan pula Thalia tidak pernah mendapatkan perlakuan selayaknya seorang istri dari sang suami, Rasya Putra Sanjaya. Jangankan memberikan kasih sayang, mengajaknya berkomunikasi pun sangat jarang sekali. namun begitu, Thalia tetap berusaha menjalankan tugasnya sebagai seorang istri, salah satunya menyiapkan makanan meski Rasya tidak pernah Sudi menyentuh masakannya.
Seperti sebelum-sebelumnya, malam ini Rasya baru kembali ke apartemen pukul dua belas malam. Thalia sadar betul jika Rasya memang sengaja menghindarinya.
Menyadari pergerakan suaminya hendak naik ke lantai atas, Thalia pun segera kembali ke kamarnya. Ya, selama menikah mereka tidak pernah tidur di kamar yang sama.
"Ceklek."
Baru saja naik ke tempat tidur, Thalia dikejutkan dengan suara pintu kamarnya yang dibuka dari arah luar.
"Mas Rasya...." Tidak heran jika Thalia nampak terkejut mengingat selama pernikahan mereka ini kali pertama suaminya itu memasuki kamarnya.
Tatapan elang yang menghunus tajam padanya, mampu menciutkan nyali Thalia.
"Ad- ada apa, mas???." suara Thalia terbata, takutnya ia telah melakukan kesalahan yang tidak disadarinya.
Bukannya menjawab, Rasya justru melanjutkan langkahnya mendekati tempat tidur.
"Apa yang telah kau katakan pada ibuku??? Kau pasti mengadu, iya kan???."
Thalia mengeryit bingung mendengar tudingan suaminya.
"Tidak perlu bersandiwara, Thalia....!! Aku tahu betul, wanita seperti apa kau ini." Rasya terus melontarkan tudingan pada Thalia.
"Siang tadi ibu memang mengajakku menemaninya berbelanja ke mall, tapi aku berani bersumpah mas, aku tidak mengatakan apapun pada ibu."
"Bohong..." bentakan Rasya membuat Thalia terperanjat, saking kagetnya. meskipun Rasya selalu bersikap dingin padanya, namun pria itu tidak pernah membentaknya seperti malam ini.
"Jika kau tidak mengadu pada ibu, lalu bagaimana ibu bisa tahu kalau aku tidak pernah menyentuhmu selama pernikahan kita, hah????."
"Aku juga tidak tahu, ibu tahu dari mana, mas." sebenarnya Thalia pun sama bingungnya dengan Rasya, bagaimana ibu mertua bisa tahu tentang semua itu.
Tentu saja Rasya tidak percaya dengan semua ucapan istrinya itu.
"Baiklah...jika itu yang kau inginkan, akan kulakukan. Tetapi ingat, semua ini kulakan tak lebih dari sekedar kewajibanku sebagai seorang suami, bukan karena aku menginginkanmu, apalagi sampai mencintaimu." menusuk hingga ke jantung, begitulah sekiranya ucapan Rasya barusan.
"Apa yang kamu lakukan, mas???." tubuh Thalia bergetar hebat tatkala Rasya mendorong tubuhnya hingga terjerembab ke atas tempat tidur.
Rasya menyeringai saat menyaksikan raut wajah Thalia berubah, seperti sedang ketakutan. "Bukankah sebelum menikah kita sudah pernah melakukannya, lalu kenapa kau masih bersandiwara seperti ini, Thalia." ketakutan di wajah Thalia dianggap Rasya sebagai bentuk sandiwara.
Thalia menelan ludahnya dengan susah payah. sepertinya apa yang dikhawatirkan nya akan terjadi, jika Rasya sampai benar-benar menyentuhnya malam ini. Rasya akan tahu jika sebenarnya malam itu tidak terjadi apapun di antara mereka berdua.
Tak ingin lagi mendengar apapun dari mulut Thalia, Rasya lantas membekap nya dengan ciu*man. Rasya yang awalnya hanya ingin memberikan pelajaran pada Thalia karena sudah berani mengadukan dirinya pada ibu, sepertinya kini mulai terbuai dengan keindahan tu*buh istrinya hingga tanpa sadar pria itu benar-benar melakukan penyatuan.
Air mata yang jatuh di sudut mata istrinya serta kesulitan yang dirasakannya kala mencoba menerobos pertahanan sang istri, membuat Rasya merasakan adanya kejanggalan. Tetapi keinginannya untuk menuntaskan has*rat sepertinya lebih besar ketimbang kejanggalan yang tengah dirasakannya, sehingga pria itu terus melanjutkan permainannya hingga berhasil mencapai puncak.
Bercak dar*ah yang menempel pada pusaka miliknya, pada akhirnya menjawab kejanggalan di hati Rasya.
"You're still a virgin????."
Deg.
Jantung Thalia seperti berhenti berdetak. Kini Rasya telah mengetahui kebenaran bahwa malam itu tidak terjadi apapun di antara mereka.
Rasya mengusap wajahnya frustrasi. pria itu tidak tahu harus bersikap seperti apa. di satu sisi ada perasaan yang tidak bisa di ungkapkan dengan kata-kata tatkala mendapatkan kesucian sang istri, namun di sisi lain Rasya merasa ternyata selama ini Thalia telah menipu dirinya.
"Maafkan aku, mas...!!!." Thalia tak berani mengangkat pandangannya.
"Kenapa kau tega, Thalia ??? Apa karena kau tidak berhasil mendapatkan mas Abi sehingga kau tega menipuku seperti ini, hah???." kini intonasi Rasya terdengar pelan namun menohok di hati Thalia.
Thalia menggelengkan kepala, seakan menepis tudingan suaminya itu.
"Pergi dari sini....aku tidak ingin melihat wajahmu lagi!!! Aku tidak sudi hidup bersama wanita penipu sepertimu!!!." suara Rasya menggema hingga ke langit-langit kamar dan itu semakin membuat tubuh Thalia bergetar ketakutan. bahkan rasa sakit pada bagian sensitifnya tak lagi dihiraukan oleh Thalia. Wanita itu beranjak turun dari tempat tidur, memunguti satu-persatu pakaiannya yang teronggok di lantai.
Rasya pun berlalu, namun sebelum benar-benar meninggalkan kamar Thalia, pria itu kembali berkata. "Aku harap besok tak lagi melihat wajahmu di sini!." setelahnya, Rasya pun kembali melanjutkan langkahnya.
Pukul satu dini hari, Thalia menyeret kopernya. sebelum membuka pintu apartemen, sejenak Thalia memandang sendu ke arah pintu kamar Rasya yang kini tertutup sempurna. "Maafkan aku mas..."
*
"Thalia... kenapa kau datang malam-malam begini???." bukannya mempersilahkan putrinya masuk, ibu justru memberondong Thalia dengan pertanyaannya.
Perasaan ibu mulai cemas ketika pandangannya tertuju pada koper besar yang dibawa Thalia.
"Jangan bilang kalau kamu kabur dari rumah???." wajah ibu sudah tak bersahabat.
"Mas Rasya sudah mengetahui semuanya, mah." sebagai seorang anak, Thalia berharap ibu memeluknya untuk sekedar memberi support, tetapi semuanya itu tidak didapatkan Thalia. Karena ibu justru menolak kedatangannya, memintanya untuk segera kembali ke apartemen suaminya.
Di usir dari rumah suaminya dan tidak pula diterima kembali ke rumah orang tuanya, membuat Thalia bingung harus pergi kemana.
"Ya Tuhan... seperti inikah rasanya hidup sebatang kara...???." seandainya ia adalah anak kandung, mungkin tidak akan mendapat perlakuan seperti itu dari ibu, tapi sayangnya ia hanyalah seorang anak angkat.
Pancaran lampu mobil yang berhenti tak jauh darinya menyilaukan mata Thalia.
"Astaga Thalia....apa yang kau lakukan berjalan seorang diri malam-malam begini???." dengan wajah cemasnya, seorang wanita turun dari mobilnya dan menghampiri Thalia.
"Riri..."
Gadis bernama Riri merupakan salah satu teman Thalia di kampus dulu, hubungan keduanya cukup dekat hanya saja setelah Riri memutuskan bekerja di salah satu perusahaan di kota S keduanya tak lagi bertemu.
Riri mengajak Thalia masuk ke dalam mobilnya. sebagai teman, Riri tidak memaksa Thalia untuk berbagi cerita jika belum siap, namun dari koper besar yang dibawa Thalia sudah cukup menjadi jawaban atas kondisi temannya itu saat ini.
"Malam ini aku akan kembali ke kota S. jika mau, kau boleh ikut denganku, Thalia!!." seketika wajah sendu Thalia berbinar mendengar tawaran Riri.
"Apa kau tidak keberatan jika aku ikut bersamamu???."
Riri mengulas senyum. "Jika merasa keberatan mana mungkin aku mengajakmu, Thalia sayang."
Bukan tanpa alasan Riri sampai berbesar hati membantu Thalia. bagi gadis itu, Thalia adalah satu-satunya teman sekampus nya yang selalu membantu dirinya jika sedang dalam kesulitan. bahkan Thalia pernah membantu dirinya melunasi uang semester.
Selamat datang di karya receh terbaruku sayang-sayangku....semoga kalian suka ya....
Delapan bulan sudah Thalia menjalani kehidupan barunya di kota S. berbagai macam perjalanan serta rintangan hidup dilalui Thalia dengan senyum dan air mata. untungnya ada Riri yang selalu membantunya dalam banyak hal, termasuk mencarikan pekerjaan untuknya. meskipun Riri sangat baik dan menawarkan untuk tinggal bersamanya, namun Thalia lebih memilih menyewa sepetak kos-kosan sejak beberapa bulan yang lalu. dengan gajinya sebagai salah satu pegawai di perusahaan tempat Riri bekerja, Thalia merasa masih cukup untuk membiayai hidupnya serta membayar kos-kosan hingga tak harus terlalu menyusahkan sahabatnya itu.
"Rajin amat sih." Riri menghampiri meja kerja Thalia.
Thalia yang menoleh pada sahabatnya itu nampak mengulas senyum.
Riri mendaratkan bobotnya di kursi depan meja kerja Thalia. "Jangan terlalu memforsir tenaga dan pikiran Thalia_"
"Kasian bayimu jika kau sampai kelelahan." sela Thalia lalu tersenyum. sepertinya Thalia sudah hafal betul dengan nasehat yang hampir setiap hari terucap dari mulut sahabatnya itu.
Ya, setelah dua bulan menetap di kota S, Thalia merasa ada yang aneh pada dirinya. Tubuhnya mudah sekali lelah dan kepalanya pun kerap kali terasa pusing. Riri yang saat itu mencemaskan kondisinya lantas mengajak Thalia untuk memeriksakan kondisinya ke dokter. betapa terkejutnya Riri saat dokter menyatakan bahwa Thalia tengah hamil.
Thalia yang awalnya ingin menyembunyikan pernikahannya, pada akhirnya berterus terang pada Riri jika anak yang dikandungnya adalah anak suaminya. Meskipun begitu, Thalia belum bersedia bercerita banyak, termasuk mengatakan siapa sebenarnya sosok suami sekaligus ayah dari bayi dalam kandungannya. lagi pula menurut Thalia tak penting untuk mengatakan siapa sebenarnya suami sekaligus ayah dari bayinya, Karena kedepannya ia akan menjadi orang tua tunggal untuk calon anak dalam kandungannya tersebut. calon anak yang mungkin tidak diinginkan oleh suaminya.
"By the way...bersiaplah, sebentar lagi semua pegawai di minta untuk berkumpul di lobby untuk menyambut kedatangan pimpinan perusahaan yang baru!!!." peringat Riri dan Thalia meresponnya dengan anggukan. "Baiklah." ucapnya.
Setengah jam kemudian, semua pegawai telah berkumpul di lobby gedung menanti kedatangan dari pemimpin perusahaan yang baru.
Sudah hampir setengah jam mereka berkumpul, namun yang dinanti belum kunjung menunjukkan batang hidungnya, sementara Thalia yang perutnya sudah semakin membesar mudah lelah jika berdiri terlalu lama.
"Jika kau lelah berdiri terlalu lama, sebaiknya kau beristirahat dulu sebentar!!!." berhubung pimpinan baru yang dinanti belum juga tiba, Riri meminta Thalia untuk beristirahat sejenak di sofa depan meja resepsionis.
Thalia pun setuju dengan ide Riri.
Belum cukup satu menit bokong Thalia menempel di sofa sudah terdengar suara pantofel beradu nyaring dengan lantai. semua pasang mata memandang ke sumber suara, di mana saat ini seorang pria dengan stelan jas mahalnya dengan didampingi oleh beberapa petinggi perusahaan baru saja memasuki gedung, lengkap dengan kaca mata hitam yang bertengger pada hidung mancungnya.
Deg.
Saking terkejut dengan apa yang disaksikan oleh kedua matanya, ponsel ditangan Thalia terlepas begitu saja dari genggamannya hingga menciptakan suara dentingan. Dengan secepat mungkin Thalia bergerak memungut ponselnya kemudian bergabung ke dalam barisan para pegawai.
Semua mata menatap kagum pada perawakan tinggi dan tegap milik pria tampan yang kini berdiri di hadapan mereka, kecuali Thalia, karena wanita itu justru menundukkan kepalanya.
"Ya ampun... ganteng banget sih..."
"Kalau tahu pimpinan baru gantengnya kebangetan kayak gini mending dari dulu aja pimpinan perusahaan diganti sama yang baru."
Jika kebanyakan pria akan bangga bahkan tebar pesona setelah mendengar kalimat berbau pujian seperti itu, pria itu justru menampilkan wajah datarnya.
"Selamat pagi semua....perkenalkan, ini pimpinan perusahaan kita yang baru, tuan Rasya Putra Sanjaya, beliau merupakan putra kedua dari pendiri perusahaan ini." salah seorang petinggi perusahaan memperkenalkan sosok pria tampan yang berdiri di sampingnya saat ini.
Ya Tuhan... bodohnya aku, bagaimana aku bisa tidak menyadarinya...SJ Group, bukankah itu singkatan dari Sanjaya Group, dan itu artinya perusaahan tempatku mencari nafkah selama ini adalah anak cabang dari perusahaan Sanjaya Group....??!!!. Thalia.
Kedatangan Rasya pagi ini baru menyadarkan Thalia bahwa perusahaan tempatnya mencari sesuap nasi merupakan milik keluarga Sanjaya.
"Selamat pagi semua... seperti yang baru saja dikatakan oleh Pak Revan, mulai hari ini saya akan menduduki posisi pimpinan di perusahaan ini. Jadi, saya berharap kita semua bisa bekerja sama dalam meningkatkan mutu perusahaan!!!." di sela pemaparan sekaligus perkenalan yang dilakukan Rasya, pandangan pria itu menangkap ada salah seorang pegawai yang sejak tadi nampak menundukkan kepala dan itu terlihat tidak kooperatif sekaligus kurang sopan di mata Rasya.
"Hey .... anda.....!!!." menunjuk dengan dagu ke arah pegawai tersebut.
Thalia baru menyadari bahwa seseorang yang dimaksud oleh pimpinan perusahaan yang baru adalah dirinya ketika Riri menyenggol lengannya, hingga mau tak mau Thalia pun mengangkat pandangannya perlahan.
Deg
Kali ini, giliran Rasya yang terkejut dengan keberadaan wanita yang sampai detik ini masih sah secara agama dan hukum negara sebagai istrinya. bukan hanya keberadaan Thalia saja yang mampu mengejutkan pria itu, tapi perut buncit Thalia pun tak kalah mengejutkan bagi Rasya. bahkan demi memastikan pandangannya, Rasya sampai melepas kacamata hitamnya.
*
"Are you okay?? jika kau sedang kurang enak badan, sebaiknya kau pulang saja biar aku yang akan menyampaikan permintaan izin kamu pada atasan!!!."
Sejak kembali dari lobby beberapa saat yang lalu, Riri melihat ada yang berbeda dengan Thalia, dan gadis itu berpikir mungkin Thalia sedang kurang enak badan.
"Aku baik-baik saja, tidak perlu khawatir!!." Thalia berusaha menampilkan senyum di depan Riri, seakan menunjukkan pada Riri jika dirinya baik-baik saja. Thalia kembali melanjutkan pekerjaannya. bukan hanya tidak ingin sampai pekerjaannya terbengkalai akibat pikirannya saat ini, ia juga tidak ingin sampai di pecat hingga tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya rumah sakit saat ia bersalin nanti.
Sementara di ruangan pimpinan, Rasya terlihat tidak fokus di hari pertamanya sebagai pimpinan perusahaan. semakin ia memusatkan pikiran pada pekerjaannya, semakin organ saraf di kepalanya berpusat pada Thalia.
"Ada apa, pak?? apa ada yang membuat anda terganggu???."
Pertanyaan asisten pribadinya menyadarkan Rasya. ternyata tanpa sadar ia baru saja menutup laptopnya dengan kasar.
"Tidak ada. kau boleh kembali ke ruangan mu!!!." sepertinya Rasya membutuhkan waktu sendiri.
"Baik, tuan" pria itu pun berlalu meninggalkan ruangan tuannya.
"Ternyata di sini kau sudah menikah lagi dan bahkan tengah mengandung." entah apa yang tengah dirasakan oleh Rasya, yang jelas hari ini pria itu benar-benar kehilangan fokus untuk bekerja. bayangan Thalia dengan perut buncitnya terus menari-nari di benak dan pikirannya.
Selamat datang di karya receh ku yang baru, sayang-sayangku.... semoga kalian suka ya.....😘😘😘
Di hari pertamanya bekerja, Rasya memeriksa berbagai laporan tentang perusahaan.
"Untuk laporan keuangan bulan ini masih sementara dalam proses pengerjaan, sepertinya besok baru selesai dikerjakan oleh staf, pak."
Rasya mengangguk paham.
"Untuk laporan keuangan sejak tiga bulan lalu sampai dengan bulan kemarin semua sudah sesuai." papar Rasya setelah selesai memeriksa berkas dihadapannya. "Dan untuk laporan keuangan bulan ini, tolong segera antarkan ke sini jika sudah selesa di kerjakan!!."
"Baik, pak. Lagi pula Nona Thalia Putri cukup berpengalaman dalam bidang ini dan saya pastikan besok laporannya sudah tersedia dimeja kerja, bapak."
Nama yang baru saja di sebutkan kepala divisi keuangan mampu mengalihkan atensi Rasya.
Beberapa saat lalu Rasya telah memeriksa satu persatu resume milik para pegawainya dan hanya ada satu pegawai yang bernama Thalia Putri, yakni Thalia yang ia kenal.
"Saya ingin laporan itu selesai hari ini juga!!." seketika Rasya berubah pikiran.
"Tapi, pak." hendak protes, namun urung kala menyaksikan raut wajah Rasya tak ingin mendengar bantahan.
"Baik, pak."
*
"Bapak memanggil saya??." Tutur Thalia saat menghadap ke ruangan atasannya.
"Pak Rasya mau laporan keuangan bulan ini harus selesai hari ini juga, Nona Thalia." sebenarnya atasannya tidak tega jika Thalia harus menyelesaikan laporan tersebut hari ini juga, mengingat Thalia sedang hamil dan butuh waktu juga untuk beristirahat, namun apa daya ia pun tidak bisa menolak perintah dari Rasya selaku pimpinan perusahaan.
Wajah Thalia berubah pias. mana mungkin laporan bisa di selesaikan hari ini juga sementara semuanya baru mulai di kerjakan pagi tadi. Hal yang sangat mustahil, kecuali jika malam ini ia harus lembur di kantor untuk menyelesaikannya.
"Baik pak, akan saya usahakan." jawab Thalia. walaupun merasa sedikit tertekan namun Thalia masih bersikap profesional, tak protes sama sekali.
"Terima kasih atas pengertian anda, Nona Thalia." setelah itu, Thalia pun di persilahkan kembali ke meja kerjanya.
"Kamu harus tetap semangat Thalia, jangan banyak mengeluh!!! ingat, biaya persalinan cukup mahal!." Thalia bergumam di sela langkah kembali ke meja kerjanya.
Jarum jam terus berputar, kini waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Satu persatu pegawai berlalu meninggalkan gedung perusahaan untuk kembali ke kediaman masing-masing, kecuali Thalia, yang masih sibuk berkutat dengan laptopnya.
Thalia terus melanjutkan pekerjaannya hingga cahaya matahari digantikan oleh cahaya rembulan. Ia berhenti sejenak kala merasakan pergerakan bayi didalam perutnya. "Kamu lapar ya, nak???." Thalia baru tersadar ternyata ia sudah melewatkan waktu makan malam. Thalia mengambil sebungkus roti serta sebotol air mineral yang selalu dipersiapkan di dalam tasnya.
"Untuk sementara kita makan ini dulu ya, nak!!! Nanti setelah semua pekerjaan mama selesai, baru kita cari makan!!!." Thalia bergumam sambil mengelus perutnya. Perlahan Thalia memasukkan roti ke dalam mulutnya. Sambil mengunyah roti pun Thalia masih saja melanjutkan pekerjaannya, dengan harapan semuanya akan terselesaikan sebelum malam semakin larut.
Tanpa di sadari oleh Thalia, ternyata sejak tadi ada sepasang mata yang terus memperhatikan dirinya.
"Ch...suami seperti apa yang tega melihat istrinya capek-capek bekerja dalam kondisi hamil." tentu saja kalimat itu ditujukan Rasya untuk pria yang telah menikahi Thalia.
Sudah pukul setengah sepuluh malam dan Thalia nampak menguap beberapa kali."Sebaiknya aku membuat secangkir kopi." sebenarnya Thalia sadar betul bahwa kopi tidak baik untuk kesehatan bayinya, namun malam ini sepertinya ia sangat membutuhkan secangkir kopi untuk meredam rasa kantuk.
Thalia berlalu menuju pantry.
Sendok berisi bubuk kopi digenggaman Thalia terjatuh ke lantai, menyadari keberadaan seseorang yang tengah berdiri dengan jarak beberapa meter dibelakang tubuhnya. Sontak saja Thalia membalikkan badan, menghadap ke arah pria yang kini tengah menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya menatapnya dengan tatapan tajam.
Thalia melangkah mundur saat pria itu melangkah maju. Langkah Thalia terhenti saat tubuhnya mentok pada meja pantry.
"Apa sebenarnya yang sedang kau rencanakan, Thalia Putri???? Tidak mungkin kau tidak tahu jika SJ merupakan salah satu perusahaan milik keluarga Sanjaya...." Rasya penasaran dengan maksud dan tujuan Thalia sampai bekerja di perusahaan keluarganya. Ya, SJ merupakan singkatan dari Sanjaya group, tidak mungkin Thalia tidak tahu jika perusahaan tersebut merupakan anak cabang dari perusahaan Sanjaya group, begitu pikir Rasya hingga pikiran negatif tentang Thalia kembali muncul di benaknya.
"Aku tidak punya maksud apa-apa dan aku juga tidak tahu jika ternyata perusahaan ini milik keluarga Bapak."
Panggilan Formal yang baru saja diucapkan Thalia mampu menciptakan seringai di sudut bibir Rasya.
"Kau pikir aku akan percaya begitu saja dengan semua ucapanmu??? cukup satu kali aku menjadi pria bodoh yang bisa dengan mudahnya kau tipu, Thalia, untuk ke depannya jangan harap aku akan tertipu lagi dengan akal bulusmu." sambil berujar, Rasya terus melangkah mendekat pada Thalia, hingga tanpa sadar tubuhnya menempel pada perut buncit Thalia, dan pada saat itu pula bayi di dalam kandungan Thalia bergerak lincah, Rasya dapat merasakan pergerakan itu dengan jelas.
Thalia buru-buru mendorong da-da bidang Rasya ketika pandangan pria itu turun pada perut buncitnya. "Maaf pak, aku harus segera kembali bekerja." dengan tergesa-gesa Thalia kembali ke meja kerjanya, bahkan tujuannya untuk membuat secangkir kopi kini terlupakan begitu saja.
Rasya tersenyum getir, memandangi punggung Thalia yang semakin menjauh darinya. "Sepertinya kau sangat menyayangi ayah dari bayimu, sampai-sampai kau begitu takut aku melakukan sesuatu padanya." bergumam lirih.
Setibanya di meja kerjanya, Thalia menjatuhkan bobotnya di kursinya. memegang da-danya yang berdebar hebat, bukan karena cinta tapi karena perasaan takut. takut Rasya sampai tahu jika bayi itu ternyata miliknya dan tega melakukan hal buruk pada bayinya, mengingat pria itu sangat membenci dirinya.
Dengan air mata yang sudah beranak sungai di pelupuk mata, Thalia mengusap perutnya.
Maafkan mama, nak.... bukannya mama ingin memisahkan kamu dengan papa kamu, mama hanya takut kebencian papa terhadap mama akan dilampiaskan papa padamu, anaku sayang. Thalia.
Anaknya merupakan harapan satu-satunya bagi Thalia di tengah-tengah kehidupannya yang hanya sebatang kara. ia tak mau sampai Rasya melakukan hal buruk atau bahkan sampai rela memintanya menggugurkan bayi yang ada di dalam kandungannya, saking bencinya pada dirinya.
Pukul dua belas malam, akhirnya pekerjaan Thalia selesai juga. Thalia pun bersiap pulang. tapi sayangnya di luar kini tengah hujan deras hingga mau tak mau Thalia harus menunggu sampai hujan sedikit reda, baru kemudian memesan taksi online.
Thalia yang tengah menunggu hujan reda di pos bersama security, sengaja memalingkan pandangan kala menyaksikan Rasya baru saja keluar dari gedung perusahaan bersama asisten pribadinya.
"Apa perlu menawarkan tumpangan pada Nona Thalia, pak???." tanya asisten pribadinya saat menyaksikan dari kaca spion mobil tuannya itu terus memandang ke arah Thalia berada.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!