Malam itu, apartemen 5B penuh dengan aroma pasta krim jamur yang baru selesai dimasak oleh Luna. Gadis itu berdiri di dapur dengan celemek bergambar kucing berwajah lucu, menggoyangkan pinggulnya mengikuti irama lagu pop ceria yang keluar dari speaker kecil di sudut meja. Sementara itu, Xavier duduk di sofa ruang tamu, mengamati layar laptopnya dengan alis yang sedikit berkerut. Dia mengenakan pakaian santainya, kaus hitam polos dan celana jogger abu-abu, penampilan yang sama sekali tidak mencerminkan aura profesional seorang dokter obgyn.
“Hei, Dok! Jangan terlalu serius, makanannya sudah siap,” seru Luna, sambil melepas celemeknya dan membawa dua piring penuh pasta ke meja makan.
Xavier mendongak, menatap Luna dengan ekspresi datar yang sudah menjadi ciri khasnya.
“Aku sedang memeriksa hasil penelitian baru. Penting.”
“Penting mana, penelitian atau aku?”
Luna bertanya dengan nada menggoda, menarik kursi dan duduk di seberangnya. Dia tahu Xavier tidak akan menjawab, dan itu membuatnya semakin gemas.
Tanpa membalas, Xavier menutup laptopnya dan berpindah ke meja makan. Dia mengambil garpu dan mulai menyantap pasta tanpa komentar. Tapi Luna sudah hafal tanda-tanda kecil Xavier. Gerakan garpunya yang tidak terburu-buru dan ekspresi netral itu artinya dia menikmati makanannya.
“Kau tahu, kau harus mulai belajar memberi pujian, Dok. Minimal bilang, ‘Ini enak sekali, Luna,’ atau, ‘Terima kasih sudah memasak untukku,’”
Luna mengomel sambil menirukan suara berat Xavier dengan lebay.
Xavier hanya mendengus.
“Kau tidak butuh validasi dariku.”
Luna mengangkat alisnya.
“Kau benar. Tapi aku tetap mau mendengarnya. Ayo, katakan sesuatu yang manis sebelum aku melempar garpu ini ke arahmu.”
Xavier menghela napas panjang, seperti seseorang yang diminta melakukan hal yang sangat berat. Dia menatap Luna dengan wajah serius, lalu berkata dengan nada datar, “Ini enak sekali, Luna. Terima kasih sudah memasak untukku.”
Luna meletakkan tangan di dadanya, pura-pura terharu.
“Oh, akhirnya! Aku bisa tidur nyenyak malam ini.”
Setelah makan malam selesai, mereka berdua berpindah ke sofa. Luna membawa semangkuk besar popcorn, sementara Xavier membawa segelas wine. Mereka sudah sepakat untuk menonton film komedi romantis pilihan Luna malam itu, meskipun Xavier jelas lebih suka dokumenter medis.
“Kenapa kita harus menonton ini?”
Xavier bertanya dengan nada skeptis saat film dimulai.
“Karena kau butuh hiburan, Dok. Hidupmu terlalu serius. Kau butuh sesuatu yang ringan, lucu, dan penuh cinta,” jawab Luna sambil menyelipkan popcorn ke mulutnya. Dia menyandarkan tubuh ke bantal sofa dan melirik Xavier yang duduk tegap dengan sikap kaku.
Beberapa menit berlalu, dan Luna mulai tertawa keras. Xavier, di sisi lain, hanya menatap layar dengan ekspresi kosong. Tapi ketika Luna melihat sudut bibir Xavier sedikit terangkat, dia berseru, “Aku lihat itu! Kau tersenyum!”
Xavier langsung menghilangkan senyumnya dan menatap Luna dengan tatapan datar.
“Tidak ada.”
“Oh, ada. Aku bahkan siap merekamnya kalau kau tersenyum lagi.”
Luna mengeluarkan ponselnya, pura-pura siap mengambil video.
“Luna, berhenti,” Xavier memperingatkan dengan nada rendah, tapi Luna malah mendekatkan ponsel ke wajahnya. “Serius. Aku tidak main-main.”
“Aku juga tidak main-main. Tersenyumlah lagi untuk kamera ini, Dok. Kau bisa menjadi model iklan pasta gigi!”
Luna tertawa terbahak-bahak, tetapi tawanya terhenti ketika Xavier tiba-tiba menarik ponselnya dan menyembunyikannya di belakang punggung.
“Kembalikan!”
Luna berteriak sambil mencoba meraih ponselnya. Mereka saling tarik-menarik, dan entah bagaimana, Luna kehilangan keseimbangan dan jatuh tepat di atas Xavier.
“Luna,” Xavier menggeram pelan, menatapnya dengan ekspresi setengah lelah, setengah geli.
Namun, bukannya meminta maaf atau merasa canggung, Luna malah terkikik dan berkata, “Kalau aku menindihmu lebih lama, kau kira tulangmu bisa patah?”
Xavier hanya menggeleng pelan.
“Kalau kau terus bicara, aku mungkin benar-benar akan melemparmu.”
“Coba saja kalau bisa.” Luna mendorong dirinya bangun, masih tertawa kecil. Xavier hanya menghela napas dan mengambil kembali gelas wine-nya, sementara Luna kembali ke posisi semula dengan sikap santai, seperti tidak ada yang terjadi. Bagi mereka, ini adalah malam biasa di apartemen—tanpa batasan, tanpa kecanggungan.
Jam dinding menunjukkan hampir tengah malam, tetapi apartemen mereka tetap hangat dengan suara tawa dan obrolan ringan. Film sudah selesai diputar sejak lima belas menit lalu, tapi Xavier dan Luna masih berada di sofa, terjebak dalam percakapan santai yang lebih menghibur daripada cerita film tadi.
“Kau ingat waktu aku mencoba memasak steak untuk makan malam pertama kita?”
Luna mulai, dengan senyum lebar di wajahnya.
Xavier meneguk sisa wine di gelasnya sebelum menjawab, “Kau hampir membakar dapur.”
“Itu bukan salahku! Kompor itu punya nyala api yang terlalu besar,” balas Luna, pura-pura membela diri.
“Salahmu karena tidak tahu cara mengatur apinya.”
Xavier membalas dengan nada setengah menggoda, membuat Luna mendengus frustrasi.
“Kau tahu, Dok, kadang aku heran kenapa aku tahan tinggal serumah denganmu,” ujar Luna, menatap Xavier dengan ekspresi pura-pura serius.
Xavier hanya mengangkat bahu.
“Karena aku menyeimbangkan kekacauanmu.”
“Ya, mungkin juga karena kau yang bayar sewa apartemen ini separuh lebih besar,” Luna menambahkan dengan nada canda. Xavier tersenyum tipis, tetapi tidak membantah.
Mereka melanjutkan obrolan kecil itu hingga suasana menjadi lebih tenang. Luna akhirnya mengangkat tubuhnya dari sofa, berjalan ke dapur untuk menuangkan segelas air putih. Saat dia kembali, Xavier sudah bersandar lebih santai, matanya sedikit memejam seperti orang yang hampir tertidur.
“Kau lelah, Dok?” tanya Luna sambil duduk di ujung sofa, membiarkan kaki-kakinya melipat di atas bantal.
“Sedikit,” jawab Xavier singkat. Dia membuka matanya sebentar, menatap Luna yang masih tampak penuh energi. “Kau sendiri? Tidak berniat tidur?”
“Belum,” Luna menjawab, meneguk airnya. “Aku masih ingin mengganggumu sedikit lagi.”
Xavier hanya menutup matanya lagi, memberikan sinyal bahwa dia tidak keberatan. Bagi mereka, momen seperti ini sudah menjadi kebiasaan. Sebuah hubungan yang unik di mana tidak ada batasan—mereka bisa bercanda, bertengkar kecil, atau bahkan menjadi lebih intim tanpa harus mempertanyakan apa artinya semua itu. Di dunia mereka, segalanya terjadi dengan cara alami, tanpa beban.
Ketika malam semakin larut, percakapan mereka mereda. Namun, koneksi antara Xavier dan Luna tidak pernah benar-benar menghilang. Seperti dua sahabat yang berbagi rahasia, mereka menikmati keheningan dengan caranya masing-masing—tanpa perlu banyak bicara. Bagi mereka, malam ini hanyalah satu dari banyak malam lain yang akan mereka habiskan bersama, dalam hubungan yang entah sampai kapan akan tetap berada di batas tipis antara persahabatan dan sesuatu yang lebih.
To Be Continued>>>
Luna menggerakkan tubuhnya lebih dekat ke arah Xavier. Wajahnya menyiratkan rasa penasaran yang kerap muncul di tengah malam seperti ini, ketika batas-batas antara candaan dan kenyataan mulai kabur. Dia menatap Xavier yang masih bersandar di sofa, matanya setengah terbuka, menatap balik tanpa ekspresi yang bisa ditebak.
“Kau tahu, Dok,” Luna memulai dengan nada lembut, “kadang aku heran kenapa kau tidak pernah benar-benar menolak setiap kekonyolanku.”
“Karena aku sudah menyerah mencoba,” jawab Xavier, bibirnya melengkung tipis, hampir seperti senyum.
Luna terkikik pelan, lalu tanpa peringatan, ia bergerak mendekat dan mendaratkan ciuman lembut di bibir Xavier. Itu bukan sesuatu yang baru di antara mereka—mereka sudah melintasi garis-garis itu lebih dari sekali, dan tidak ada yang berubah setelahnya. Tapi setiap kali, momen itu tetap terasa seperti kilatan yang menggairahkan, seolah-olah untuk sesaat dunia hanya milik mereka.
Xavier tidak bereaksi selama beberapa detik, tetapi kemudian tangannya terangkat, menyentuh pinggang Luna, menariknya lebih dekat. Bibir mereka bergerak dengan ritme yang akrab, tanpa keraguan atau kecanggungan. Ini adalah bagian dari mereka—bagian yang tidak pernah dibahas di siang hari, tetapi selalu terasa alami saat malam tiba.
Luna tersenyum di sela-sela ciuman mereka, lalu menyandarkan dahinya ke dahi Xavier. “Kau benar-benar tidak pernah protes, ya?”
“Aku tahu kau tidak akan berhenti meskipun aku melakukannya,” jawab Xavier tenang, tapi ada secercah kelembutan di suaranya yang biasanya datar.
Luna tergelak kecil, lalu bergeser hingga berbaring di sofa dengan kepala bersandar di dada Xavier. Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi setelah itu, membiarkan keheningan dan detak jantung Xavier yang stabil menjadi latar suara malam mereka.
“Xav?” Luna memanggilnya pelan.
“Hm?”
“Kau tahu, kau adalah orang paling membosankan yang pernah kutemui... tapi entah kenapa aku tidak bisa pergi dari sini,” katanya dengan nada setengah bercanda.
Xavier tidak menjawab. Dia hanya menarik selimut kecil yang tergeletak di ujung sofa dan menutupinya dengan lembut. Luna tersenyum kecil, memejamkan mata. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, mereka mengukuhkan hubungan unik mereka yang berada di antara persahabatan dan kebiasaan yang tidak pernah benar-benar diberi nama.
*
Sinar matahari menembus tirai tipis apartemen 5B, memantulkan cahaya lembut di dinding putih bersih. Xavier membuka matanya perlahan, kepalanya terasa sedikit berat akibat wine yang diminum semalam. Dia mendapati dirinya berbaring di sofa, dengan selimut bergambar bintang yang entah bagaimana berakhir menutupi tubuhnya.
“Luna,” gumamnya pelan, memijat pelipis.
Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu dan mendengar suara gemericik dari dapur. Di sana, Luna berdiri dengan rambut yang sedikit acak-acakan, mengenakan piyama kebesaran bergambar kucing lucu, sambil sibuk mengaduk sesuatu di dalam panci. Aroma kopi dan pancake memenuhi udara.
“Selamat pagi, Dok!” seru Luna ceria, tanpa berbalik. “Kopi hitammu ada di meja. Pancake-nya sebentar lagi.”
Xavier mendengus kecil, lalu bangkit dari sofa. Dia merapikan rambutnya dengan tangan sambil melangkah ke arah dapur, mengambil cangkir kopi yang mengepul di meja. Xavier menggerakkan lehernya yang terasa sedikit kaku, lalu duduk tegak. “Kau menyelimutiku?”
“Siapa lagi?” Luna tertawa kecil, mengambil spatula dan memutar badannya ke arahnya. “Aku tidak ingin dokter hebat seperti kau masuk angin. Kau harus menyelamatkan dunia hari ini, bukan?”
Xavier hanya mengangguk. Dia tahu Luna selalu bercanda, tetapi di balik itu ada perhatian tulus yang membuatnya sulit membalas apa pun.
“Semalam, kau mabuk atau hanya kelelahan?” tanya Luna, menumpuk pancake di atas piring lalu menghiasnya dengan potongan stroberi dan sirup maple.
“Aku tidak mabuk.” Xavier mengambil tegukan kopinya. “Hanya terlalu banyak bekerja.”
“Begitulah kau. Hidupmu seperti mesin. Kalau bukan aku yang menyeretmu untuk menonton film, mungkin kau sudah melewatkan makan malam juga.”
Xavier mengangkat alisnya, mengingat semalam. “Kau terlalu banyak bicara tentang aku. Bagaimana denganmu? Apa kau juga mesin yang membuat pancake setiap pagi?”
Luna tertawa, lalu membawa piring pancake ke meja makan. “Kalau aku mesin, aku pasti mesin yang rusak. Karena, percayalah, aku tidak pernah membuat sarapan seperti ini untuk siapa pun kecuali kau.”
Xavier menatap pancake di depannya. Stroberi tersusun rapi membentuk wajah tersenyum, seolah-olah Luna sengaja mencoba membuat pagi menjadi lebih cerah. Dia tidak berkata apa-apa, tetapi mulai menyantap sarapan itu perlahan.
“Jadi, ada jadwal operasi hari ini?” Luna bertanya sambil menuangkan segelas jus jeruk untuk dirinya sendiri.
“Dua operasi, satu konsultasi dengan pasien baru,” jawab Xavier singkat. “Kau sendiri? Apa kau punya rencana besar untuk hari ini?”
Luna mengangkat bahu. “Hanya deadline biasa. Aku harus menyelesaikan lukisan untuk klien sebelum akhir minggu. Tapi setelah itu, aku akan bebas!”
“Apa itu artinya aku harus menyiapkan diriku untuk film lain?” Xavier bertanya dengan nada setengah serius.
“Oh, tentu saja!” Luna menjawab dengan senyum lebar. “Tapi jangan khawatir, kali ini aku akan memilih sesuatu yang lebih sesuai dengan seleramu. Mungkin film dokumenter... tentang pancake?”
Xavier hanya mendesah pelan, lalu menyelesaikan sarapannya. “Aku mandi dulu,” katanya singkat sebelum menuju kamar mandi.
Luna melirik sekilas ke arahnya, “Pastikan kau tidak ketiduran lagi di bawah pancuran seperti terakhir kali!”
Xavier tidak menjawab, tetapi senyum kecil terukir di sudut bibirnya.
Di dalam kamar mandi, Xavier berdiri di bawah pancuran air hangat. Air mengalir di atas tubuhnya, membilas rasa lelah yang masih tersisa dari semalam. Namun, pikirannya tidak bisa berhenti memutar momen tadi—pancake bergambar wajah tersenyum, senyuman Luna, dan betapa santainya mereka menjalani rutinitas ini.
Ketika dia keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan handuk tergantung di lehernya. Dia mengenakan kemeja putih yang rapi dan dasi biru gelap, mematut diri di depan cermin. Xavier adalah tipe pria yang selalu terlihat sempurna, meskipun sebenarnya dia tidak terlalu peduli dengan penampilan.
“Siap menyelamatkan dunia?” suara Luna terdengar dari belakang.
Xavier hanya mengangguk singkat. “Aku akan pulang larut malam, jadi jangan tunggu aku.”
Luna mengangkat bahu. “Kau tahu aku selalu begadang, jadi aku tidak perlu menunggumu.”
Dengan itu, Xavier keluar dari apartemen, meninggalkan Luna yang melanjutkan aktivitasnya sendiri.
*
Di rumah sakit, Xavier melangkah masuk dengan langkah percaya diri. Staf dan perawat menyapanya dengan hormat, sementara dia memberikan anggukan singkat sebagai balasan.
“Xavier!” Sebuah suara memanggilnya dari arah lobi. Dr. Leo, kolega sekaligus teman baiknya, menghampiri dengan setumpuk berkas di tangan.
“Pagi,” sapa Xavier singkat.
“Kau kelihatan lebih lelah dari biasanya. Tidur cukup?” tanya Leo, sambil memberikan salah satu berkas kepada Xavier.
“Seharusnya aku yang bertanya itu padamu,” balas Xavier, sedikit mengangkat alis. “Dua operasi hari ini, bukan? Kau siap?”
Leo tertawa kecil. “Aku selalu siap. Kau yang harus hati-hati. Kadang aku heran bagaimana kau bisa bertahan dengan jadwal seperti ini.”
“Sama seperti kau. Kopi dan... sedikit wine,” jawab Xavier sambil melirik ke arah jam dinding. “Aku harus ke ruang operasi. Kau?”
“Pasien anak-anak pagi ini,” jawab Leo. “Oh, dan dengar-dengar, ada obrolan di kantin tentang kau. Sesuatu tentang dokter obgyn dingin yang mendadak terlihat... lebih ramah?”
Xavier hanya mendengus. “Obrolan di kantin tidak relevan.”
“Kalau kau bilang begitu,” Leo mengangkat tangan tanda menyerah, sebelum melangkah pergi.
Setelah selesai dengan dua operasi paginya, Xavier kembali ke ruangannya. Ruangan itu sederhana namun teratur, dengan beberapa sertifikat yang tergantung di dinding dan rak penuh buku referensi medis. Saat dia memeriksa jadwalnya, perawat mengetuk pintu dan berkata, “Dokter, pasien konsultasi Anda sudah menunggu.”
“Bawa dia masuk,” jawab Xavier, lalu mengenakan jas putihnya.
Seorang wanita muda masuk, wajahnya tampak gugup. Dia memegang dokumen medis dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Silakan duduk,” kata Xavier, suaranya tenang namun tegas.
Wanita itu duduk perlahan, lalu menjelaskan masalah yang dialaminya. Xavier mendengarkan dengan saksama, mencatat beberapa hal di berkasnya, sebelum memberikan penjelasan yang rinci namun mudah dipahami.
“Jadi, tidak ada yang serius, Dok?” tanya wanita itu dengan nada ragu.
Xavier mengangguk. “Tidak, tetapi kita tetap akan melakukan beberapa pemeriksaan tambahan untuk memastikan. Jangan khawatir, semuanya di bawah kendali.”
Ekspresi lega tergambar di wajah wanita itu. “Terima kasih, Dokter. Anda benar-benar membantu.”
“Ini pekerjaan saya,” jawab Xavier singkat, namun ada senyum tipis di bibirnya.
To Be Continued>>>
Malam harinya, ketika Xavier akhirnya pulang, apartemen 5B tampak tenang. Dia membuka pintu dan mendapati Luna tertidur di sofa, dengan kanvas kosong di lantai dan kuas masih di tangannya.
Dia melangkah pelan, mengambil selimut bergambar bintang yang tadi pagi menyelimuti dirinya, lalu menutupkan selimut itu ke tubuh Luna.
“Selamat malam, Luna,” gumamnya sebelum melangkah menuju kamarnya.
Luna membuka matanya pelan. Jam di dinding menunjukkan pukul dua pagi. Cahaya remang-remang dari lampu meja di ruang tamu membuat suasana apartemen terasa hangat, namun ada sesuatu yang membuatnya enggan beranjak dari sofa.
Dia menyadari tubuhnya diselimuti selimut bergambar bintang—selimut yang tadi pagi ia berikan pada Xavier. Dengan dahi sedikit berkerut, Luna mengangkat bahunya. "Hmm, setidaknya dia tahu cara menjaga orang yang tertidur di sofa," gumamnya, lalu bangkit untuk merapikan meja makan yang belum sempat ia bersihkan setelah makan malam tadi.
Sementara itu, di kamar sebelah, Xavier baru saja selesai memeriksa beberapa dokumen pasien di laptopnya. Dia melirik jam digital di meja samping tempat tidurnya, lalu menghela napas panjang. Hari-harinya di rumah sakit selalu penuh, dan besok bukan pengecualian. Dia mematikan laptop, menyesuaikan alarm, lalu merebahkan diri.
Namun, suara kecil dari dapur menarik perhatiannya. Xavier bangkit dan membuka pintu, hanya untuk melihat Luna yang sedang mencoba mengangkat panci besar dengan usaha keras.
“Kau tidak bisa menunggu sampai pagi?” tanya Xavier dengan nada datar namun sedikit mengantuk.
Luna menoleh, menjulurkan lidahnya. "Aku hanya mencoba membuat semuanya rapi. Kau tahu, aku tidak bisa tidur dengan dapur berantakan."
Xavier mengusap wajahnya, lalu berjalan menghampiri. "Berikan," ujarnya, mengambil alih panci dari tangan Luna. “Kau terlalu banyak energi untuk waktu seperti ini."
"Dan kau terlalu mengantuk untuk protes," balas Luna sambil terkekeh. Dia menepuk bahu Xavier ringan. “Terima kasih, Dok. Sekarang kembali tidur sebelum kau berubah jadi zombie."
Xavier hanya mengangguk kecil sebelum kembali ke kamarnya. Malam pun berlalu tanpa gangguan.
Keesokan harinya, Xavier bangun lebih awal seperti biasa. Rutinitasnya dimulai dengan mandi air hangat yang menyegarkan, lalu mengenakan setelan kemeja yang rapi. Dia menatap cermin di kamar, merapikan dasi yang tersemat di kerahnya, memastikan penampilannya sempurna sebelum berangkat.
Saat dia berjalan ke dapur untuk mengambil kopi, Luna sudah duduk di meja makan dengan kaus tidur longgar dan rambut berantakan, menikmati semangkuk sereal.
“Kau selalu terlihat seperti seseorang yang baru keluar dari mimpi buruk di pagi hari,” komentar Xavier sambil menuangkan kopi ke dalam mug-nya.
“Dan kau terlihat seperti model iklan rumah sakit,” balas Luna sambil mengangkat sendoknya. "Hati-hati di jalan, Dok. Jangan lupa tersenyum pada pasien-pasienmu yang cantik."
Xavier hanya mendengus pelan. “Sampai nanti.”
*
Di rumah sakit, Xavier memulai harinya dengan mengecek daftar pasien yang harus ia tangani. Ruangan praktiknya selalu bersih dan rapi, mencerminkan sifat perfeksionisnya. Ketukan di pintu membuatnya mengangkat kepala.
“Xavier, kau punya waktu sebentar?” Suara itu berasal dari seorang pria berkacamata dengan jas putih yang sama rapi. Dia adalah Adrian, sesama dokter yang juga salah satu teman baik Xavier.
“Ada apa?” tanya Xavier sambil tetap memeriksa berkas di tangannya.
Adrian menyandarkan tubuhnya di meja. “Ada seorang pasien tadi di ruanganku, dan dia terus bertanya apakah kau sudah menikah.”
Xavier menghela napas panjang. “Pasien seperti itu sering muncul. Aku tidak peduli.”
Adrian tertawa kecil. “Kau harus santai sedikit, kawan. Tidak semua orang berencana membuat hidupmu lebih rumit.”
Sebelum Xavier sempat menjawab, pintu kembali diketuk. Kali ini, seorang perawat masuk untuk memberi tahu bahwa pasien pertama Xavier sudah menunggu.
“Sepertinya aku harus pergi,” kata Xavier sambil berdiri. Dia melirik Adrian. “Kita bisa membahas ini nanti.”
Adrian hanya tersenyum sambil melambaikan tangan. “Semoga harimu menyenangkan, Dok.”
Di ruang praktik, Xavier menghadapi seorang pasien muda yang datang untuk konsultasi kehamilan. Wanita itu terlihat gugup saat mulai berbicara tentang gejala-gejala yang ia alami.
“Tidak perlu khawatir,” ujar Xavier dengan suara tenang. “Gejala ini normal pada trimester pertama. Tapi pastikan untuk makan teratur dan istirahat cukup.”
Pasien itu tersenyum lega. “Terima kasih, Dokter. Anda benar-benar membuat saya merasa lebih baik.”
Xavier mengangguk kecil. Dia melanjutkan konsultasi dengan profesionalisme yang selalu membuat pasien merasa nyaman. Meskipun sifat dinginnya sering disalahartikan, di rumah sakit, Xavier adalah dokter yang sangat dihormati karena ketenangannya dan perhatian pada detail.
*
Ditempat yang berbeda, Luna duduk di depan kanvas kosong di ruang kerjanya. Jendela besar di sampingnya menampilkan pemandangan kota yang berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Kuas di tangannya bergerak perlahan, mencoba menggoreskan warna, namun semuanya terasa salah. Garis yang ia buat tampak kaku, tidak hidup.
“Apa yang salah denganku hari ini?” gumamnya frustrasi. Biasanya, ide-ide mengalir deras di kepalanya, tetapi pagi ini otaknya terasa seperti ruang hampa.
Dia menyandarkan tubuh ke kursi dan menatap kanvas dengan alis berkerut. Di sampingnya, ada secangkir kopi yang sudah dingin dan setumpuk palet warna yang berantakan. Sesaat kemudian, Luna berdiri dan berjalan ke dapur, menuang ulang kopinya. Sambil mengaduk, ia menatap pintu apartemen.
“Kurasa aku butuh udara segar,” katanya, lalu meletakkan cangkir kopinya. Dia mengganti kaus tidurnya dengan celana jeans robek dan sweater longgar. Setelah mengikat rambutnya dengan asal, Luna mengambil tas kecil dan kunci apartemen sebelum melangkah keluar.
Berjalan-jalan di sekitar pusat kota selalu menjadi cara favorit Luna untuk menghilangkan kebuntuan ide. Ia menyusuri jalanan yang dipenuhi toko-toko kecil, mulai dari toko buku, kafe, hingga galeri seni. Langkahnya terhenti ketika ia melihat seorang pengamen di sudut jalan memainkan gitar dengan suara merdu.
Luna tersenyum kecil, mendekat sambil mendengarkan lagu yang dimainkan. Suara gitar itu membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang terasa seperti percikan kecil inspirasi.
Ketika pengamen itu selesai, Luna bertepuk tangan sambil memasukkan beberapa lembar uang ke dalam kotak kecil di depannya. “Keren sekali,” katanya ramah.
Pengamen itu tersenyum. “Terima kasih. Suka musik?”
“Bukan cuma suka, aku juga butuh inspirasi,” jawab Luna sambil menunjuk ke kanvas kosong yang ada di pikirannya.
Mereka tertawa kecil sebelum Luna melanjutkan langkahnya. Kali ini, ia mampir ke sebuah toko alat lukis yang sering ia kunjungi. Aroma khas cat minyak dan kertas langsung menyambutnya begitu ia masuk. Luna mulai memilih beberapa kuas baru dan beberapa cat dengan warna-warna cerah.
Dalam perjalanan pulang, Luna berhenti di sebuah taman kecil. Ia duduk di bangku kayu di bawah pohon rindang, memperhatikan sekeliling. Anak-anak berlarian dengan tawa riang, pasangan tua berjalan sambil berpegangan tangan, dan anjing-anjing kecil yang menggonggong penuh semangat. Suasana ini terasa seperti potongan kehidupan yang tenang namun penuh cerita.
Luna membuka buku sketsa kecil dari tasnya. Dengan pensil di tangan, ia mulai mencoret-coret. Garis-garis sederhana mulai membentuk figur seorang wanita yang berdiri di tengah jalan, dikelilingi lampu kota yang gemerlap. Ada sesuatu yang terasa mengalir dari tangannya, sesuatu yang hilang tadi pagi kini mulai kembali.
“Terima kasih, dunia,” gumam Luna sambil tersenyum kecil.
Sore harinya, Luna kembali ke apartemen dengan semangat baru. Ia langsung menuju ruang kerjanya, mengeluarkan semua alat yang baru ia beli. Dengan sekali tarikan kuas, ia mulai mengisi kanvas kosong yang sejak pagi membuatnya frustrasi. Warna-warna cerah memenuhi permukaan kanvas, menciptakan gambaran abstrak yang penuh emosi.
Di sela-sela pekerjaannya, Luna menyalakan musik favoritnya. Lagu ceria dari penyanyi indie favoritnya mengisi ruangan. Sesekali ia berhenti untuk meminum kopi atau memutar kuas di tangannya, tapi ia tidak lagi terjebak dalam kebuntuan.
To Be Continued>>>
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!