SENJA BARU UNTUK SYANIA
Prolog
Semakin Aisakha membuktikan ketulusan cintanya pada Syania, semakin membuat Syania menjauh.
Syania takut rasa sakit dari kisah yang lalu akan terulang kembali. Di hina, di anggap pembawa sial, hingga di anggap tidak sederajat, cukup menjadi dasar baginya untuk menjadi Syania tanpa cinta. Karena dia tidak akan sanggup saat harus merasakan sakit itu lagi.
Sakit...sangat sakit...bagaimana mungkin Syania bisa melupakan rasa sakit itu.
Tetapi Tuhan punya cara sendiri menentukan semuanya hingga pada akhir cerita.
----------------------------------------
PERKENALKAN
Syania Fira Sujoko, biasa di panggil Nia. Saat dia masih dalam kandungan Ibunya di usia 7 bulan, Ayahnya
meninggal dunia karena kecelakaan saat pulang dari bekerja. Ibu yang sangat menyayanginya pun telah tiada saat
dia baru menginjakkan kaki di SMA. Kemudian, Nia dibesarkan oleh sang Nenek dari pihak Ibunya, tetapi lagi-lagi Nia harus menerima kenyataan saat sang Khalik memanggil Neneknya saat dia baru menamatkan bangku perkuliahan.
Gadis manis dengan kulit kuning langsat ini baru berusia 23 Tahun. Nia dikarunia Tuhan dengan kecantikan paras
alami, walaupun postur tubuhnya tergolong kecil dengan tinggi 168 cm, tetapi Nia memiliki mata bulat dengan alis
rapi dan disempurnakan dengan bulu mata yang lentik. Hidung mancung dengan bibir kecil nan seksi, semua
terbingkai dengan wajah oval dan rambut panjang hitamnya. Sekarang Nia sebatang kara hidup di Jakarta,
Sebenarnya Nia masih memiliki keluarga di Bengkulu yaitu Paman dan Bibi Ros, serta 2 orang sepupunya, yang merupakan anak dari nenek Nia, kakak Ibunya. Sesekali Nia sengaja datang berkunjung ke sana atau sebaliknya. Tetapi semenjak neneknya sudah tiada, Nia memang tidak pernah lagi ke sana. Komunikasi mereka sekarang terjalin hanya melalui telepon.
--------------------------------------
Episode 1
Tiga Tahun Yang Lalu (1)
🌈🌈🌈🌈🌈
Saat weekand seperti ini, Nia bisa mengisi waktu luang dengan asyik membersihkan rumah kontraknya yang
sederhana. Meskipun rumah itu tergolong kecil, yang terdiri dari 1 ruang tamu, 1 kamar tidur, kamar mandi dan
dapur, tetapi Nia sudah merasa lebih dari cukup. Kontrakan itu terasa nyaman bagi Nia. Di Kota besar seperti
Jakarta, bukan perkara mudah mencari kontrakan yang nyaman dan murah. Menurut Nia, dia benar-benar beruntung
bisa mendapatkan kontrakan di kawasan yang bebas dari banjir dan memiliki akses yang gampang ke mana pun,
terutama ke kantor tempat dia bekerja.
Sebenarnya, sejak 3 minggu yang lalu Nia sudah merencanakan liburan dengan mendaki Gunung di Bandung
bersama Edo kekasih hatinya dan teman-teman mereka. Rencana sudah sangat matang tinggal eksekusi di hari H
saja, tetapi Nia lupa memperhitungkan 1 hal, yaitu tamu bulanannya yang ternyata datang 1 hari sebelum acara
mendaki dilaksanakan. Edo meminta Nia agar tidak usah ikut serta pada pendakian ini karena untuk bisa sukses
mendaki diperlukan stamina yang kuat, yang fit sedangkan tubuh Nia saat datang bulan cenderung sedikit lemah.
Sejujurnya, Nia sangat keberatan dengan permintaan pacarnya itu agar dia tidak ikut serta, bukan apa-apa
pendakian ini adalah pengalaman pertama bagi Nia. Nia benar-benar berharap mendapat petualangan yang seru di
weekand kali ini, mendaki bersama orang yang dicintai, bahu membahu untuk sampai di puncak gunung, menikmati
senja bersama lelaki pujaan hatinya. Tetapi apa daya, memang tubuhnya cenderung sedikit lemah saat sedang
datang bulan. Dari pada menyusahkan Edo, biarlah untuk saat ini acara mendaki ditunda dulu. Nanti saat ada waktu
yang pas aku akan pergi berpetualang bersama Edo, guman Nia dalam hati saat itu.
Jam sudah menunjukkan pukul 14.21 Wib tetapi belum ada juga kabar dari Edo dan teman-tamannya yang sudah
pulang dari pendakian. Sementara acara beres-beres rumah sudah selesai dari 1 jam yang lalu. Karena lelah dan
rasa kantuk yang mendera akhirnya Nia memutuskan untuk tidur sejenak.
Tepat pukul 16.00 Wib, lagu Ed Sharen yang berjudul Perfect berbunyi di handphone Nia, lagu tersebut adalah nada
panggil dihandphonennya. Dengan sedikit malas Nia mencoba mengumpulkan nyawanya yang baru tersadar.
Eh..kok Toni nelepon ya? Tanya Nia dalam hatinya. Toni, Angga, Dafi dan Ardi adalah sahabat-sahabat Edo yang
sekaligus teman Edo mendaki 3 hari ini. Secepat kilat Nia mengambil handphonennya dan mengangkat panggilan
Toni.
“ya...Hallo”. Sapa Nia membuka percakapan ditelepon tersebut.
“Nik..Niaaa..kamu dimana sekarang”, terdengar suara panik Toni di ujung telepon. “Kamu bisa secepatnya datang ke
Rumah Sakit Cintella, segera pokoknya”. Suara Toni yang benar-benar panik.
“Rumah Sakit? kenapa Ton, ada apa? Kenapa aku harus ke rumah sakit? Apa yang terjadi Ton? Mana Edo? Kenapa
dengan Edo?” begitu banyak pertanyaan yang Nia ajukan pada Toni. Dia pun mendadak menjadi kaget setelah Toni
memintanya untuk segera ke Rumah Sakit.
“Nggak ada waktu buat cerita ditelepon. Pokoknya kamu segera kesini ! Aku ma yang lain udah di sini semua”.
Perintah Toni.
“Iya..iya..aku ganti baju dulu dan langsung ke situ. Sebentar lagi aku pasti sampai. Ton, ada apa dengan Edo?” lagi-
lagi Nia bertanya kepada Toni. Nia mulai dirundung kekhawatiran, kenapa Toni memaksa dia agar segera sampai di
Rumah Sakit, kemana Edo? Kenapa dia tidak menghubungi Nia. Ah, hati Nia tidak tenang, apa yang terjadi pada
kekasihnya. Rasa cemas mulai melanda Nia.
Dua puluh lima menit kemudian Nia sudah sampai di rumah sakit. Toni, Angga, Dafi dan Ardi sudah menunggunya di depan IDG, jantungnya berdetak kencang, tiba-tiba ada rasa sedih yang mendera hatinya. Kenapa ini? Kenapa wajah Toni, Angga, Dafi dan Ardi begitu memperlihatkan kekhawatiran dan kenapa tampilan mereka sangat lusuh? Di mana
Edo? Tanya Nia dalam hati saat melihat teman-teman pacarnya dari jauh.
“Nia, syukurlah kamu sudah sampai”. Toni menyambut kedatangan Nia yang setengah berlari mendekatinya.
“Ton, mana Edo? Ada apa ini?” Nia benar-benar tidak tahan untuk tidak bertanya. “Apa yang terjadi, mana Edo? Toni,
cepat jawab aku!”
“Sabar Nia, kemarilah aku akan jelaskan semua”. Toni membawa Nia menuju ujung IGD tersebut. Dengan susah
payah akhirnya Toni mulai bercerita. “Nia, sebenarnya telah terjadi sesuatu pada Edo”.
Baru mendengar satu kalimat dari mulut Toni tentang Edo sudah membuat lutut Nia menjadi lemas. Matanya mulai
bekaca-kaca, tangannya pun mulai basah, keringat dingin mulai keluar.
“Ada apa Ton, kenapa dengan Edo? Mana Edo sekarang Ton? Cepat cerita sama aku”. Nia kembali mendesak Toni
agar segera bercerita.
“Emm..aku akan cerita semuanya, tapi kamu tenang dulu. Aku jadi bingung harus gimana inih kalau lihat kamu udah
mau nangis gituh”. Toni tetap berusaha menenangkan Nia sebelum memulai semua ceritanya.
Nia mencoba menarik nafas, semua bayangan buruk tentang Edo yang sempat dipikirkannya sepanjang perjalanan
menuju Rumah Sakit di coba untuk dienyahkannya. “ceritakanlah Ton, aku janji akan tenang”.
Toni pun mencoba menceritakan semua pada Nia. “Nia, seharusnya jam 5 subuh tadi kami semua sudah sampai di
pesangrahan 1 dan setelah beristirahat sejenak, jam 12 tadi seharusnya kami sudah di rumah masing-masing,
tap..tapiii karena sesuatu hal kami semua jadi terlambat”. Toni menghirup oksigen sebanyak-banyaknya agar dapat
kembali bercerita, suaranya mulai terbata-bata.
“Nia, Edo mengalami kecelakaan saat kami akan turun gunung”. Toni akhirnya melanjutkan ceritanya.
Serasa melihat petir disiang hari, Nia benar-benar terkejut. Sesaat nafasnya berhenti, sebentuk butiran hangat jatuh
di sudut matanya. Mukanya berubah menjadi pucat. Entah kenapa rasanya dia tak sanggup untuk berdiri lagi. Toni
yang melihat Nia nyaris pingsan segera memegang kuat tangannya.
“Nia, cobalah untuk bernafas pelan-pelan, kamu harus kuat”. Toni mencoba menguatkan Nia.
Sesaat Nia merasa lumpuh, semua anggota badannya tidak bisa digerakkan, takut sangat takut itu yang
dirasakannya sekarang. “Ton, kenapa bisa seperti ini? Apa yang terjadi?”
“Saat kami hampir sampai di puncak gunung, tanpa sengaja Edo melihat bunga liar yang sangat indah. Menurut Edo
kalau dia bisa membawa pulang satu tangkai bunga tersebut buat kamu, kamu pasti akan senang. Awalnya kami
melarangnya Nia, karena bunga itu berada di pinggir tebing yang curam. Tapi, tanpa sepengetahuan kami saat kita
mau balik subuh tadi, Edo ternyata pergi kembali ke lokasi bunga itu dan memanjat tebing tersebut. Mungkin karena
kurang perhitungan dan kurangnya penerangan, Edo..Edo..emmmm,, Edo jatuh Nia ke dasar jurang”. Penjelasan
panjang Toni
DUARRRRRRRRRRRRR.....
Sekali lagi Nia merasa melihat petir besar di siang hari. Jantungnya serasa berhenti, pandangannya menjadi kabur,
butiran hangat di sudut matanya mengalir tanpa bisa dia hentikan. "Edo, oh Edo, Edo...". Hanya itu yang terucap
dihatinya.
Toni yang melihat Nia sudah mulai hilang kesadaran langsung merangkul dan mendudukkannya di kursi pada ujung
IGD tersebut. Toni mengguncang bahu Nia sambil berujar, “Nia, sadar Nia..sadar, kamu harus kuat..jangan seperti
ini. Kasihan Edo kalau tahu kamu jadi seperti ini. Kamu harus yakin Edo nggak kenapa-napa, Edo sudah ditangani
tim dokter. Doa Nia, doa, doa yang banyak buat Edo”.
Sebenarnya Toni tidak tega melihat wajah pucat Nia yang sangat khawatir saat ini. Hanya kata-kata penyemangat
itulah yang bisa dirangkainya untuk pacar sahabatnya itu. Semoga Tuhan menyelamatkan Edo.
Nia hanya terdiam, air mata tak henti-hentinya mengalir dari sudut matanya. Hatinya benar-benar takut, ya Tuhan
selamatkanlah Edo. Nia berdoa dalam hatinya, sambil mencoba mengatur nafasnya agar bisa tenang.
Sesaat kemudian Nia menangkap keberadaan seorang wanita cantik paruh baya yang sedang menangis tersedu-
sedu di depan IGD, wanita itu tengah menangis dalam pelukan seorang pria paruh baya yang tampan. Tetapi, guratan takut jelas terlihat di wajah pria itu, meskipun dia sibuk membelai dan menenangkan wanita paruh baya yang menangis di dalam pelukannya itu, sebenarnya dia sendiri sangat takut saat ini. Takut akan hal-hal buruk terjadi pada anak semata wayang mereka. Ya, mereka adalah Tante Sandara Winata dan Om Rendra Winata orang tua kandung dari Yuedo Gilang Winata, laki-laki yang sangat dicintai Nia yang sekarang tengah berjuang di ruangan IDG itu. Nia sangat ingin menyapa mereka, ingin sama-sama menguatkan demi keselamatan Edo, tetapi Toni
mencegahnya.
“Jangan sekarang Nia, kamu sangat kacau. Tenangkanlah dirimu dulu. Kasihan Om dan Tante kalau lihat kamu
seperti ini”, Cegah Toni. Sebenarnya Toni sangat terpaksa menjauhkan Nia dari orang tua sahabatnya itu, bukan
karena apa. Sesaat setelah orang tua Edo tahu detail cerita musibah yang menimpa Edo, Mama Edo sangat marah
kepada Nia. Tante Sandra menuduh Nialah penyebab kecelakaan itu. Toni takut kalau Nia mendekati mereka, dia
hanya akan dipermalukan saja. Sekarang semua sedang panik, jadi biarlah semua saling menjauh.
Tidak berapa lama kemudian keluarlah laki-laki memakai jas putih yang pada bagian-bagian tertentu di lengan dan
bagian depan jasnya dipenuhi noda merah, darah.
“Keluarga Edo”, kata laki-laki tersebut.
Cepat Om Rendra dan Tante Sandra mendatangi laki-laki tersebut, yang disusul Angga, Dafi dan Ardi. Sementara
Toni masih memaksa Nia duduk bersamanya di ujung IGD menyaksikan semua dari jauh.
“Perkenalkan, saya Darma dokter IGD yang menangani Edo begitu dia sampai di Rumah Sakit kami”, dokter itu mencoba ramah saat melihat raut wajah penuh kekhawatiran dari semua mata yang memandang.
“Bagaimana kondisi anak kami dok? Edo enggak papakan dok? Edo baik-baik aja dok? Iya dok?” Om Rendra
langsung mengeluarkan pertanyaan demi pertanyaan yang sedari tadi ditahannya.
Tiga Tahun Yang Lalu (2)
🌈🌈🌈🌈🌈
“Saya harap semua bisa tenang, akan saya jelaskan kondisi pasien saat ini”, dokter mencoba menjelaskan
kondisi Edo. “Pasien mengalami cedera berat berupa fraktur pada tulang betis, luka robek di bahu kanan, serta
mengalami penurunan kesadaran karena sudah kehilangan banyak darah. Sekarang tingkat kesadaran pasien hanya
7, dan kami harus segera melakukan operasi penyelamatan pada pasien. Untuk itu, tolong pihak keluarga
menyelesaikan prosedur awal tindakan agar tim dokter bisa segera bertindak”.
Tante Sandara nyaris pingsan, mukanya seputih kapas. Om Rendra memeluk kuat tubuh lunglai itu, air mata
mengalir deras di wajah tampannya. Entah apa yang berkecamuk di dalam pikirannya sekarang, anak semata
wayang mereka tengah berjuang dari maut, sementara istri tercintanya terkulai lemas, dan dia sendiri, dia serasa
hancur perlahan menerima kenyataan ini.
Nia pun menangis tersedu-sedu sambil menutup muka dengan kedua tangannya. Ya Tuhan..tolong selamatkan
Edo, tolonglah ya Tuhanku..aku akan melakukan apapun demi kekasih hatiku. Aku nggak sanggup ya Tuhan
dengan kenyataan ini. Kasihan om Rendra, kasihan tante Sandara, kasihani kami Tuhan. Doa Nia dalam hati sambil
menutup mata. Nia merasa pusing yang teramat sangat, apa yang harus aku lakukan? Edo, Edo kuatlah sayang.
Toni menepuk pelan pundak Nia, dia tak kalah sedihnya dengan Nia. “Berdoalah Nia, aku tahu doa tulusmu pasti akan dikabulkan”. Toni menatap iba pada Nia.
Tiba-tiba om Rendra membopong tante Sandara ke arah kursi di dekat Nia dan Toni duduk. Aneh, pikir Nia, kenapa
Om Rendra tidak menyadari keberadaannya saat lewat didepannya tadi. Apa mungkin karena rasa khawatir yang
mendera sehingga keberadaan Nia bisa terabaikan.
“Ma, sadar ma..jangan ngini Ma. Papa butuh Mama, Edo bahkan sangat butuh Mama saat ini. Kuat sayang, harus
kuat. Kita harus segera bertindak untuk menyelamatkan nyawa anak kita”. Kata-kata itu meluncur dari mulut Om
Rendra disertai air mata. Tante Sandara hanya membeku dalam pelukan Om Rendra, “Pa, anak kita Pa..Mama gak
sanggup Pa. Pa, tolong Edo, Pa, bilang dokter pindahkan aja sakit Edo ke Mama, Mama gak mau Edo kenapa-napa !
Pa bilang dokter Pa, cepat Pa !"
Semua yang menyaksikan itu sangat-sangat tersayat, ratapan dan permohonan Tante Sandara sangat memilukan.
Nia berusaha berdiri ingin mendekati orang tua kekasihnya itu. Tapi lagi-lagi Toni menahannya, “ jangan sekarang.
Semua sedang bersedih, menghibur dirimu saja kamu enggak bisa, malah mau menguatkan mereka. Kamu mau
mereka tambah terpuruk?”
Nia menghembuskan nafas sambil kembali duduk di samping Toni. Maaf Nia, aku takut Om dan Tante akan marah
besar padamu. Kita semua mendengar keadaan Edo tidak sedang baik-baik saja. Guman sedih Toni di dalam
hatinya.
Sudah hampir 40 menit operasi Edo berjalan. Semua orang pindah menunggui di depan pintu kamar operasi, tetapi
lagi-lagi Toni memilih menjauhkan posisi duduk Nia dari orang tua sahabatnya itu. Nia sebenarnya sedikit heran
dengan perlakuan Toni, tidak cuma itu Nia sebenarnya juga mulai bingung. Kenapa sepertinya Om Rendra dan Tante
Sandara tidak menyadari keberadaan dirinya sedari IGD tadi.
“ Ton, aku harus menyapa Om dan Tante. Aku gak bisa diam aja di sini seperti ini. Aku harus berbicara dengan mereka”. Nia mulai berdiri.
“ Denger deh kalau aku tuh gomong Nia, gak usah sekarang kamu temui mereka. Kita semua sedang kalut, bagus
kamu duduk di sini dan banyak berdoa !" Perintah Toni sambil menunjuk bangku yang tadi diduduki Nia. Tetapi Nia
tetap berkeras, dia tidak mau mendengarkan kata-kata Toni. Dia mulai melangkah ingin mendekati Om dan Tante
Rendra, Toni pun berusaha melarang dengan memegang tangan Nia. Tapi Nia menepisnya dan mulai melanjutkan
langkah kakinya mendekati Om dan Tante Rendra.
“Om, tante”, ujar Nia dengan lemah dan mata berkaca-kaca. Nia mengulurkan tangannya untuk menyalami orang
tua kekasihnya itu.
Om Rendra yang pertama mengangkat kepalanya menatap langsung ke mata Nia, ada rasa iba di dalam hatinya
melihat orang yang dikasihi anak kesayangan mereka sekarang dalam kondisi kacau, sama seperti dia dan istrinya.
“Nia”, hanya itu kata yang bisa diucapkannya.
Om Rendra berusaha melepaskan pelukannya dari istrinya, dia ingin menerima salam Nia. Tetapi diluar dugaan
Tante Sandara menarik tangan suaminya menjauh dari Nia dan menepiskan tangan Nia dengan kasar.
“Menjauhlah dari suami saya”. Ujar Tante Sandara dengan emosinya.
Nia sangat kaget mendapatkan sambutan seperti itu, firasat Toni, Dafi, Angga dan Ardi sudah buruk. Nia, aku sudah
melarangmu menjauh dari mereka. Kata hati Toni mulai takut.
“Tante, ini Nia. Nia ada di sini bersama Om dan Tante. Tante gak perlu khawatir, Edo pasti baik-baik aja”. Nia
berusaha menepis keterkejutannya tadi dengan menyemangati sepasang suami istri itu.
“Buat apa kamu di sini haaaaaaaaa, BUAT APA??” teriak Tante Sandara dengan emosinya. “Pergi kamu, pergi jauh-
jauh kamu dari hadapan saya”. Tante Sandara membentak dan mendorong Nia.
Nia terjatuh, dorongan Tante Sandara membuat kondisinya yang sedikit lemah terhuyung ke samping, terasa sakit mendapat perlakuan sedemian rupa. Nia benar-benar bingung dengan sikap Tante Sandara, kenapa begitu membencinya. Sengaja mengusirnya dengan kasar. Apa salahnya?
“Kenapa kamu berani datang kesini, ha? Dasar perempuan pembawa SIAL, pergilah menjauh dari hadapan saya,
kami tidak butuh kamu di sini. Semakin kamu jauh semakin bagus bagi Edo. Saya sangat membenci kamu”. Tante
Sandara tidak bisa menguasai emosinya begitu melihat Nia berdiri dihadapannya.
“Ada apa ini, kenapa Tante seperti ini, apa salah Nia, Tante”. Nia mulai panik mendapati kenyataan barusan.
“Ooo, masih berani tanya apa salahmu? Heh, dasar pembawa sial tidak tahu diri. Saya jijik melihatmu, PERGI,
menjauhlah dari hadapan saya.” Lagi-lagi Nia di buat bingung dengan kemarahan Tante Sandara.
Air mata mengalir di sudut mata Nia, dia sangat merasa terpuruk. Apa salah dirinya hingga diperlakukan seperti ini.
“Tante, apa salah Nia, jangan usir Nia. Biarkan Nia di sini. Nia nanti akan merawat Edo”.
Mendengar nama anaknya di sebut, emosi Tante Sandara semakin menjadi. “Jangan coba-coba mendekati anak
saya lagi, kamu hanya pembawa masalah bagi kehidupannya. Kamu hanya pembawa sial yang menularkan
kesialanmu pada anak saya. Kalau bukan karena anak saya memacari kamu, pasti tidak pernah ada kejadian dia
ingin membawakan bunga liar itu, Edo pasti baik-baik saja. Dia pasti sehat dan tidak seperti ini. Tapi karena kamu,
semua ini terjadi. Dari dulu saya sudah bilang, kamu bukan pasangan terbaik untuk Edo, kamu gak selevel sama kami, kamu itu hanya anak pembawa sial bagi orang-orang di sekelilingmu. Apa yang mau kamu banggakan dengan
dirimu, hidupmu ha. Apaaa??”
Sakit sekali rasanya menerima hinaan ini, Nia berusaha menutupi mulutnya agar isak tangisnya tak terdengar jelas.
Bolehkah aku mati saja, kenapa sesakit ini rasanya dihina oleh orang yang sudah kuanggap seperti orang tuaku
sendiri. Hati kecil Nia mulai gundah, mulai merasakan kepedihan mendalam.
“Sudah Ma, Mama jangan seperti ini. Kita gak boleh menyalahkan Nia, apa lagi memakinya. Semua sudah terjadi,
sudah garis tangan Edo. Sekarang gimana agar Edo membaik dan pulih seperti biasa. Itu yang harus kita pikirkan.
Nia tidak bersalah dengan musibah ini. Ini semua musibah Ma”. Om Rendra berusaha menyudahi keributan tersebut. Dia tidak tega melihat Nia yang sekarang sudah bersimpuh di kedua kaki istrinya, menangis menerima semua kesalahan yang ditimpakan padanya.
Entah sejak kapan Nia sudah duduk bersimpuh di kaki Tante Sandara. Toni sangat ingin mendekati Nia dan
membawanya jauh dari situasi rumit ini. Tapi sorot mata Dafi, Angga dan Ardi terhadap Toni menyiratkan kata,
jangan ikut campur atau semua akan bertambah kacau.
“Ooo, jadi ini bukan salah perempuan sial ini? Iya Pa, gituh maksud Papa. Papa ingin membelanya? Heh, jangan harap kesialannya akan mengikuti kehidupan anak kita lagi. Sekarang Edo kritis karena dia, besok Edo kenapa lagi karena dia. Najissss Mama sama dia Pa ! Ayahnya meninggal kecelakaan saat Ibunya mengandung dia, Ibunya meninggal saat dia baru tamat SMA, kemudian Neneknya meninggal saat dia baru wisuda. Sekarang Pa, Edo..Edo Pa..anak semata wayang kita kritis karena dia. Semua orang-orang di sekitar perempuan pembawa sial ini akan tertimpa kesialannya, akan mati Pa. Wanita tidak sederajat yang membawa sialnya ke mana-mana. Wanita miskin dari atah barantah, saya muak dengan mukamu”. Kemarahan Tante Sandara telah sampai diubun-ubunnya. Walaupun Nia telah bersimpuh dikakinya tetap tidak meluluhkan hatinya, Tante Sandara semakin menjadi menghina Nia dengan amarah-amarahnya.
“Maafkan Nia tante, maafkan Nia”. Nia berujar diiringi tangisannya sambil mengguncang kaki Tante Sandara.
“Maaf, heh..segampang itu kamu minta maaf. Setelah kesialanmu membuat anak saya celaka. Jangan harap,
sampai matipun saya tidak akan sudi memaafkan kamu pembawa sial”.
“Lantas Nia harus gimana Tante? Nia benar-benar minta maaf atas semua ini. Nia gak pernah menyangka Edo akan
begini Tante. Nia sayang Edo, sangat sayang Tante. Tante, mohon maafkan Nia”.
“Saya minta satu hal padamu, tolong kamu pergi sejauh-jauhnya dari kehidupan Edo. Bawa semua kesialanmu pada
orang lain. Biarkan Edo hidup tenang, dan biarkan kami bahagia melihat Edo hidup normal tanpa harus kami
khawatir musibah apa lagi yang akan menunggunya karena kesialan yang kamu bawa”. Tante Sandara sudah tidak
tahan lagi dengan keberadaan Nia. Pikiran jahat telah memenuhi hatinya. Rasa takut membuat dia yakin Nialah
penyebab semua ini.
Semua orang terkejut mendengar permintaan Tante Sandara. Tidak ada yang percaya Tante Sandara akan setega itu pada Nia.
“Ma..Mama gomong apa? Mama gak boleh menyalahkan Nia, apa lagi memisahkan Nia dari Edo. Mama jangan
sekejam itu pada Nia. Nia nggak salah, Mama tahu itu. Sudah, sudahi omong kosong ini, lebih baik kita berdoa agar
operasi Edo lancar”. Om Rendra berusaha menengahi suasana yang semakin tidak enak, dia kasihan melihat Nia
bersimpuh memohon pada istrinya seperti itu.
“Maafkan Nia Tante, maafkan Nia”. Hanya kata itu yang bisa diucapnya, saat ini Nia merasa sudah hancur. Hatinya
sakit sekali mendapati kenyataan ini.
“Baik Nia, saya yang akan memohon padamu. Demi kebahagiaan anak saya, saya akan memohon kepadamu agar
menghilang selamanya dari kehidupan anak saya, agar anak saya tidak tertimpa sialmu lagi. Baiklah saya akan
lakukan. Tapi setelah itu, tolong menghilanglah selamanya Nia”. Tante Sandara berusaha berdiri hendak bersimpuh di dapan Nia.
“Tante, jangan seperti itu”, Nia memegang tangan Tante Sandara agar tidak bangkit berdiri. Hati Nia serasa teriris
mendapati kenyataan bahwa tante Sandara sangat membenci dia. “Baiklah, Nia akan pergi menghilang dari
kehidupan Edo, baik Tante. Nia akan penuhi keinginan Tante. Tapi Nia mohon Tante, saat Edo sadar nanti tolong
bilang kalau Nia sangat mencintai dia”. Nia sudah bulat dengan keputusannya.
“Jangan pernah bermimpi saya akan menyebut namamu di depan Edo lagi. Saya tidak mau Edo terus hidup dalam
kesialanmu, dalam cinta yang penuh sial itu”. Tante Sandara menjawab keinginan Nia dengan begitu jijiknya.
Om Rendra memegang ke dua bahu Nia dan berusaha mengajaknya berdiri. Sungguh malang nasib gadis yang
dicintai anak semata wayangnya. Tapi Om Rendra tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin dengan sementara waktu Nia tidak ada di sini bisa membuat suasana tenang. Saat ini dia hanya ingin konsentrasi pada anaknya. Kemarahan istrinya semakin membuat Om Rendra takut hal-hal buruk akan berlanjut. Dia takut kesehatan istrinya nanti akan menurun. Dengan lembut Om Rendra berusaha mengajak Nia berbicara.
“Nia yakin akan pergi?”, tentu maksud pergi Om Rendra adalah pergi sejenak keluar dulu dari Rumah Sakit sampai istrinya tenang kembali.
Dengan susah payah Nia menjawab, “ iya Om, Nia akan menjauh dan menghilang dari sisi Edo, dari kehidupan Edo.
Nia janji Om, tapi Nia mohon Om, saat Edo sadar nanti tolong bilang kalau Nia sangat menyayangi dia, sangat
mencintainya”. Pinta Nia dengan cucuran air mata.
“Iya nak..Nia ngak perlu khawa...”
“Jangan harap saya akan menyampaikan”, Tante Sandara langsung memotong jawaban suaminya. “Pergilah, tolong
menghilanglah. Saya mohon, saya mohon”. Tiba-tiba tante Sandara terisak mengajukan permohonan pada Nia.
Seketika tubuhnya melemah kembali.
Nia mendapati kenyataan tersebut, sudah tidak tahu lagi harus apa. Dia sangat takut terjadi apa-apa dengan Edo, tetapi dia juga merasa sangat sakit di hina dan di anggap pembawa sial. Salahkah dia atas semua musibah yang menimpa orang-orang disekitarnya? Salahkah dia yang tidak pernah merasakan kasih sayang seorang ayah? Apakah dia juga bersalah karena Tuhan memanggil Ibu dan Nenek dari sisinya? Bukankah semua itu sudah ketetapan Tuhan? Lantas kenapa sekarang musibah yang terjadi pada Edo juga merupakan kesalahan dia? Lantas kenapa sekarang latar Nia yang bukan berasal dari keluarga kaya menjadi sebuah masalah?
Toni berusaha mengejar Nia yang telah menjauh dari ruang operasi. Toni heran kenapa semua berakhir seperti ini?
Kenapa Tante Sandara bisa semarah itu pada Nia. “Nia, kamu mau ke mana? Biar aku antar ya”
“Ngak usah Ton, kamu di sini aja. Aku mau pergi Ton, pergi jauh. Hingga bayang-bayangku pun takkan mungkin
terlihat di depan keluarga itu lagi”. Ujar Nia dalam keputuasaanya.
“Iya..iya..tapi kemana? Lihat kondisi kamu sekarang, jangan membuat aku khawatir, ayo aku antar kamu.”.
Nia hanya berjalan pasrah di samping Toni sambil menggandeng tangannya. “Aku mau pulang ke kontrakan Ton”.
Sepanjang perjalanan pulang menuju kontrakannya Nia hanya terdiam. Air mata sedih dan kecewa tidak juga habis
dari matanya. Lelah sekali rasanya, tetapi sakit sekali rasa yang dirasakannya melebihi segalanya. Semua bercampur jadi satu.
Sesampainya di kontrakan, Nia hanya melamun. Semua kejadian di Rumah Sakit berputar kembali. SIAL, SIAL, SIAL,
entah sudah berapa banyak kata itu terucap dari mulut Tante Sandara. Bayangan akan Edo yang tengah kesakitan
tidak berdaya, dan bayangan wajah Ibu serta Neneknya. Nia sangat lelah hingga tanpa disadarinya diapun tertidur.
Tiga Tahun Yang Lalu (3)
🌈🌈🌈🌈🌈🌈
Nia melihat Edo mengerang kesakitan, darah bercucuran memenuhi tubuhnya. Edo berteriak kesakitan, kemudian
terlihat Tante Sandara yang berteriak histeris memeluk tubuh Edo. Tante Sandara menatap Nia dengan tatapan ingin
membunuh, pergilah perempuan pembawa sial. Seperti itulah isi tatapan kebencian Tante Sandara padanya. Nia
gelisah, kepalanya sakit. Seketika dia membuka mata, ahh, semua hanya mimpi. Gumannya lirih sambil mengelap
keringat dingin yang memenuhi wajahnya.
Apa yang harus aku lakukan sekarang, semua sudah selesai. Aku sudah kehilangan semua, Ayah, Ibu, Nenek dan
sekarang Edo. Ya tuhan.... Kembali air mata jatuh disudut matanya. Tapi aku sudah berjanji akan menghilang
selamanya dari kehidupan Edo, lantas bagaimana dengan kehidupanku sendiri? Aku lahir dan besar di sini. Aku
bekerja di sini, aku..aku merasakan cinta indah dari Edo juga di sini. Kemana aku harus melangkah setelah ini?
Apa aku bisa?
Sejenak Nia berpikir, semua sudah terjadi. Dia pun sudah berjanji pada Tante Sandara. Ya, mau tak mau harus mau.
Walaupun berat harus dijalankan, dia sudah berjanji. Keputusan Nia sudah bulat, dia akan ke Kota Bengkulu,
bukankah di sana masih ada Bibi Ros dan Paman Jayadi Permana serta anak mereka Alika Zani Permana. Toh
selama ini Bibi dan Paman sudah mati-matian membujuk dia agar pindah dan menetap di Bengkulu saja, “tinggallah
di sini saja, di sini ada Bibi dan Pamanmu, kamu gak sendiri seperti di Jakarta. Di sini ada keluargamu, kami sangat
menyayangimu”. Nia ingat benar kata-kata membujuk dari Bibi saat terakhir dia berkunjung ke sana. Bahkan Alikapun tidak tinggal diam untuk meyakinkan Nia agar mau pindah dan menetap di Bengkulu saja. Nia mengambil handphonennya, melihat aplikasi penerbangan. Ya, aku sudah berjanji akan menghilang dari kehidupan Edo.
Maka aku harus pergi secepatnya, menjauh, sejauh mungkin demi kebahagiaan Edo. Nia berusaha mencari jalan
terbaik untuk dirinya sekarang.
Kemudian Nia mengetik dan mengirim surat pengunduran dirinya. Semua sudah diputuskan, dia akan pergi menjauh, memulai kehidupannya yang baru di Kota Bengkulu. Tanpa melihat jam, Nia menelepon Alika malam itu. Lama rasanya dering panggilan tersebut diabaikan, hingga akhirnya terdengar suara malas dari ujung telepon.
“Hallo Nia, ya ampun Nia, kamu tahu gak sih sekarang tuh udah jam 1 malam. Kamu kok niat banget buat ganggu
tidur aku. Masih ada besok Nia, kenapa harus tengah malam sih teleponnya?” Alika menerima panggilan Nia dengan
malasnya. Secara tengah malam di ganggu padahal dia sedang nyenyak di peraduan indahnya.
“Hallo, Alika, maaf aku ganggu kamu”, dan setelah itu hanya suara tangis yang terdengar oleh Alika.
“Nia..Nia..kamu kenapa? Kenapa nangis? Kamu sehatkan, baik-baik ajakan di sana? Bilang deh ma aku, kamu
kenapa? Jangan takut, kamu punya aku, Ayah dan Ibu di sini”. Alika berusaha menenangkan Nia. Tiba-tiba dia
tersadar, Nia bukan tipe orang yang suka mengisengi orang lain dan dia bukan tipe orang yang suka merepotkan
orang lain. Dia tegar, kuat dan tidak cengeng. Tetapi, di saat jam 1 malam Nia menelepon dan menangis, ini pasti telah terjadi ketidakberesan.
“Besok jam 05.10 pagi aku naik penerbangan pertama ke Bengkulu, tolong jemput aku ya Ka, aku akan tinggal di
Bengkulu”. Nia mencoba bersuara diantara derai air matanya.
“Ada apa? Kenapa mendadak sekali. Kenapa baru tengah malam kamu kabari aku? Kamu sehat Nia, kamu baik-baik
sajakan? Nggak ada yang jahatin kamukan di sana?” Alika panik, bayangan buruk melintas di pikirannya mendengar
suara sedih dan tangisan Nia, di tambah fakta ini tengah malam coy.
“Aku capek Ka, aku capek, aku ngak kuat rasanya. Aku ingin bersamamu, ingin di manja Paman dan Bibi”. Nia
merasa pagi masih sangat lama. Dia ingin segera bisa terbang dan sampai di rumah Bibi, segera bisa
menyembunyikan luka hatinya dari dunia ini. “sakit Ka, sakit sekali rasanya”.
“Astaga Nia, kamu kenapa? Aku benar-benar khawatir sekarang? Coba untuk cerita, pelan-pelan dan jangan
menangis lagi”. Alika panik mendengar kata-kata Nia, sebenarnya apa yang terjadi pada Nia pikirnya
“Edo dapat musibah Ka, dia mengalami kecelakaan saat mendaki gunung. Kondisinya kritis sekarang dan Tante
Sandara menyalahkan aku atas semua ini. Katanya, ini semua bisa terjadi pada Edo karena dia bersama aku, Nia si
perempuan pembawa sial. Alika, benarkah aku pembawa sial?” Sepenggal penjelasan dan pertanyaan itu mengalir
dari mulut Nia. Kemudian Nia mengulang kembali kata-kata makian Tante Sandara di Rumah Sakit tadi padanya. Dan semua diceritakan oleh Nia sambil menangis terisak.
Alika marah mendengar cerita Nia, Nenek lampir kurang ajar, dia yang sial. Enak aja ngatain sepupuku pembawa
sial. Dia tuh yang sial, punya mulut nggak disekolahkan. Betapa geramnya Alika terhadap Tante Sandara
“Nia, dengar aku. Kamu tuh gadis cantik dan baik, kamu tuh di kelilingi orang-orang yang sangat sayang sama kamu.
Jadi jangan pernah dengarkan kata Nenek lampir itu. Apa lagi berani menuduh kamu sebagai pembawa sial.
Sekarang dengar ya, kemasi barang-barang kamu. Trus istirahat, kemudian siap-siap berangkat ke sini. Nanti aku
tunggu kamu di bandara. Aku mohon buang pikiran-pikiran buruk dari hati kamu. Pokoknya kamu ke sini aku
tunggu”. Suara Alika mencoba membujuk Nia.
---------------------------------------------------------------------------
Seluruh penumpang sudah masuk ke dalam pesawat Ci****nk\, tetapi Nia masih berjalan gontai mencari keberadaan
kursi penumpangnya. Mata bengkak akibat terlalu banyak menangis, sayu dan sangat letih adalah tampilan Nia saat
ini. Satu persatu kursi Nia lewatkan, hingga akhirnya dia menemukan kursinya sesuai dengan tiket pesawatnya.
Pandangan mata Nia kabur, tetapi dia masih bisa melihat di kursi pertama disebelahnya sudah ada yang duduk.
Sepertinya seorang laki-laki dan orang itu tidak menyadari keberadaan Nia yang ingin masuk ke dalam menuju kursi
penumpangnya.
“Permisi. Maaf tuan, saya izin mau lewat. Kursi saya di sebelah dalam dekat jendela itu”. Sambil Nia menunjukkan
posisi kursinya.
“Ooo..iya, maaf-maaf saya gak lihat kamu berdiri di situ”. Laki-laki itu menyudahi aktivitas membolak balik majalah
di meja kecilnya, dia mendongak menatap asal suara. Cantik, sangat cantik, tapi kenapa ya mata indah itu bengkak
memerah? Apa dia habis nangis semalaman? Kenapa, kenapa cantik kamu kelihatan sangat bersedih? Laki-laki itu
penasaran sambil memandangi Nia. Ia berdiri memberi ruang pada Nia untuk lewat. “Sudah tas kamu biar aja di situ,
nanti aku yang bantu menaikkan ke bagasi atas. Kamu duduk aja lagi.”. Laki-laki itu melihat gelagat Nia yang
kepayahan untuk memasukkan tasnya ke bagasi atas.
Nia hanya mengangguk dan mengucapkan “terima kasih”. Dia tidak bisa melihat jelas wajah laki-laki yang duduk di
sebelahnya, pandangannya kabur, tetapi hati kecilnya merasa hangat mendengar suara laki-laki itu. Suara yang berat
dan menenangkan. Itu yang di rasakan hati kecilnya.
Laki-laki itu duduk setelah Nia duduk di sampingnya. Kemudian dari kursi sebelah kiri si lelaki tersebut berdirilah seorang pemuda yang dengan santainya memasukkan tas Nia ke dalam bagasi atas. Setelah selesai pemuda itu berujar kepada lelaki yang duduk di samping Nia. "Maaf tuan atas ketidaknyaman ini. Andai saja tidak terburu-buru tuan pasti tidak duduk di kelas ekonomi ini. Sempit, berdesakan dan terganggu oleh orang-orang sekitar”.
“Sudahlah Kristo, yang penting kita cepat sampai. Kegiatan kita mendesak di sana. Lagi pula kapan lagi saya bisa
mencoba penerbangan dengan kelas biasa”. Laki-laki itu berbicara sambil menyunggingkan senyum lucunya.
Pesawat siap lepas landas, tiba-tiba Nia gelisah. Di remasnya jari-jarinya tanpa ia sadari. Aku akan pergi jauh,
sangat jauh. Aku akan pergi jauh dari sisimu Edo, kita berpisah sekarang. Jaga dirimu ya sayang, semoga kamu
bahagia setelah tidak bersamaku lagi.
Lelaki di sebelah Nia melihat rona duka yang sangat mendalam di wajah Nia, tanpa berpikir panjang, di
genggamnya jemari Nia, jari-jari yang sedari tadi di remas takut oleh Nia. Nia tersentak, kaget karena lelaki
disebelahnya sudah mengenggam kuat jemarinya. Ada rasa hangat yang menenangkan menjalar ke lubuk hati Nia,
rasa hangat yang menenangkan. Nia suka berada dalam kehangatan yang menenangkan ini, dia sama sekali tidak
menolak perbuatan lelaki itu yang tanpa permisi telah mengenggam kuat jemarinya. Seakan-akan lelaki itu ingin
melindungi Nia dan tidak tahu dari mana rasa tersebut muncul. Biarlah, untuk sesaat seperti ini, Nia memang butuh
perlindungan. Sejenak tanpa disadarinya, Nia merasa aman, merasa berarti, merasa utuh lagi.
“Tenanglah kamu jangan takut, semua akan baik-baik aja. Aku janji padamu!” Suara yang berat dan menenangkan
itu serasa meninabobokan Nia, dia tidak melepaskan genggaman lelaki tersebut, Nia tidak menolaknya. Entah kenapa, hingga akhirnya Nia terlelap selama penerbangan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!