"Kenapa kamu berpikir dia jahat?" Ada tanda tanya yang besar dalam hati Brayn melihat Raka yang tampak begitu membenci sosok gadis bercadar itu.
"Dia dan Hellen sahabatan dulu. Tapi, kemudian pertemanan mereka jadi renggang. Kata Hellen, Nirma yang sengaja menjauhi dia."
"Oh." Brayn menatap ke arah gadis yang tengah membantu beberapa santri lain mengangkat sembako.
Gadis itu terlihat sederhana, sikapnya juga lemah lembut.
"Ngomong-ngomong, tadi kamu bilang... Oma kamu mau menjodohkan kamu dengan dia, kan?" Tanya Brayn.
"Iya, tapi aku tidak mau. Gila saja nikah sama dia. Memangnya perempuan di bumi ini sudah habis?"
Brayn hanya terkekeh mendengar gerutuan panjang Raka.
Ia paham, Raka yang memiliki kehidupan modern tidak mungkin mau dinikahkan dengan wanita seperti Nirma yang sangat tertutup dan jauh dari kata modern.
"Pak Dokter, terima kasih banyak bantuannya. Semoga menjadi ladang pahala untuk Pak Dokter dan keluarga." Ustadz Yusuf, pemilik pondok sederhana itu menyapa mereka.
"Panggil Brayn saja, Abah. Jangan panggil Pak Dokter. Saya juga belum jadi dokter, kok."
"Ah, sama saja. Ayo, duduk dulu!" Ia menepuk bahu pemuda itu.
"Terima kasih, Abah."
Brayn dan Raka duduk sebentar sambil mengobrol.
Sesekali Brayn mencuri pandang ke arah Nirma yang tampak sedang mengajari anak-anak mengaji.
Ia sedikit heran dengan Raka yang terkesan sangat membenci Nirma.
"Dia itu penampilannya saja yang tertutup. Kalau hanya melihat penampilan, siapapun akan mengira dia alim. Munafik sekali." bisik Raka, saat menyadari Brayn sesekali melirik gadis itu.
"Istighfar, Raka! Manusia tidak berhak menilai kadar keimanan seseorang."
"Pokoknya di mataku dia tidak lebih dari gadis munafik. Lagi pula, aku yakin cadarnya itu hanya untuk dijadikan topeng, bukan karena keimanannya." cibir Raka.
"Astaghfirullah." Brayn menghembuskan napas panjang.
***
Gemuruh petir menyambar sore itu diiringi derasnya hujan yang menciptakan suasana mencekam.
Brayn dan Raka sedang membantu Ustadz Yusuf membenarkan bagian atap yang sempat terhempas oleh angin kencang.
Bangunan itu memang sudah cukup tua dan sama sekali belum pernah direnovasi.
Beberapa bagian dinding bahkan sudah tampak lapuk dan berjamur. Juga terdapat beberapa bagian atap yang bocor.
"Setiap hujan turun, bocor seperti ini ya, Bah?" tanya Brayn, sesaat setelah selesai dengan pekerjaannya.
"Iya, Nak. Tapi tidak apa-apa. Kami sudah terbiasa dengan keadaan seperti ini."
"Kasihan anak-anak yang tinggal di sini." Brayn melirik anak-anak yang tampak ketakutan setelah kejadian tadi.
Perhatiannya kembali tertuju kepada Nirma yang dalam keadaan basah kuyup sedang berusaha menenangkan anak-anak.
Melihat keadaan bangunan pondok yang cukup memprihatinkan, Brayn berencana akan bicara dengan Papanya untuk membantu memperbaiki bangunan tersebut agar lebih layak dan aman untuk digunakan.
"Tidak apa-apa. Anginnya sudah reda, kok. Insyaallah, Allah dan para malaikatnya akan melindungi kita."
Satu lagi yang membuat hati Brayn bergetar, suara Nirma terdengar begitu lembut di telinga.
***
"Aku membencinya!" ucap Raka di sela perjalanan pulang.
Mereka baru saja meninggalkan pondok sederhana tersebut.
Brayn yang duduk di kursi kemudi itu hanya melirik sekilas, kemudian kembali terfokus pada jalan di depan.
"Jangan membenci secara berlebihan! Ingat kisah Umar Bin Khattab yang pernah sangat membenci Rasulullah, tapi pada akhirnya menjadi orang yang paling mencintainya, dan menjadi orang yang paling terluka saat kepergiannya."
"Apa kamu sedang berusaha membela Nirma?"
Brayn terkekeh. "Tidak! Aku hanya sekedar mengingatkan. Lagipula, aku tidak melihat sesuatu yang buruk darinya. Kamu lihat tadi, bagaimana lembutnya dia menenangkan anak-anak yang ketakutan saat ada badai."
"Jangan tertipu, Brayn! Itu hanya topeng untuk menutupi kebusukannya."
"Kalau sudah benci memang susah melihat kebaikan seseorang."
Setelah menempuh perjalanan hampir dua jam, Brayn membelokkan mobilnya memasuki gapura perumahan tempatnya tinggal.
Seorang penjaga sigap membuka gerbang ketika Brayn membunyikan klakson mobilnya.
Suasana rumah malam itu cukup ramai. Ada beberapa mobil yang terparkir di halaman rumah, salah satunya milik Darren, paman dari Raka, yang memang sudah cukup lama bersahabat dengan keluarga Hadiwijaya.
"Assalamu alaikum." ucap Brayn sesaat setelah memasuki rumah.
'Walaikumsalam." Beberapa orang kompak menjawab salam.
"Habis dari mana kalian? Kok baru pulang?" tanya Bu Resha penasaran, saat melihat pakaian Brayn dan Raka basah.
"Habis dari pondok saja, Ma. Lama di sana, soalnya bantuin Pak Ustadz benerin atap yang kena angin kencang." Jawab Brayn.
"Raka juga ikut?" tanya Tante Mawar, menatap keponakannya dengan senyuman.
"Iya, Bunda!" jawab Raka cepat.
"Ketemu dong sama Nirma." goda wanita itu.
"Emm...." Jawaban singkat cenderung dingin dari Raka membuat Tante Mawar terkekeh.
"Ya sudah, kalian sana cepat ganti baju dulu, nanti masuk angin!" Ucap Bu Resha.
Brayn dan Raka beranjak menuju lantai atas. Sementara para orang tua masih mengobrol di lantai bawah.
Para laki-laki memiliki meja sendiri, begitupun dengan wanita.
Setiap ulang tahun Zayn dan Zahra, adik kembar dari Brayn, para kerabat mereka akan berkumpul di rumah.
Bukan untuk merayakan, tapi hanya untuk menemani Bu Resha melewati hari yang berat.
"Siapa itu Nirma?" Bu Resha menatap Tante Melati dengan penasaran.
"Nirma itu anak pemilik pondok, Ustadz Yusuf, sahabat Abah dan Ayah mertuaku. Kebetulan Ayah mertuaku punya niat baik untuk menjodohkan Raka dengan Nirma." jawab Tante Mawar.
"Alhamdulillah. Ini kabar baik." Ucap Tante Resha.
"Tapi, sepertinya Raka belum setuju. Sementara Ayah kurang suka dengan hubungan Raka dan Hellen. Katanya, Hellen membawa pengaruh buruk untuk Raka."
"Oh." Bu Resha mengangguk pelan.
***
Raka menghempas tubuhnya di ranjang sesaat setelah mandi dan berganti pakaian. Ia menatap langit-langit kamar dengan nanar.
"Aku menginap di sini, malas pulang ke rumah!" ucap pria berusia 25 tahun tersebut.
"Kenapa?" sahut Brayn.
"Malas debat sama Opa. Mereka terus membujuk supaya aku setuju untuk menikah dengan Nirma. Gila gak?"
"Namanya orang tua pasti mau yang terbaik untuk kamu."
"Aku kan sudah ada Hellen, Brayn! Aku lebih cocok dengan dia! Aku rasa hidupku akan seperti di neraka kalau sampai benar-benar menikah dengan Nirma."
"Apa Nirma sudah tahu kalau Opa kamu berniat menjodohkan kamu dengan Nirma?"
"Dia tahu sih kayaknya."
"Terus?"
"Tidak tahu. Tapi, kalau dia gadis baik-baik, dia pasti akan menolak niat Opa, apalagi Hellen itu sahabatnya sendiri!"
Alis tebal Brayn saling bertaut mendengar ucapan Raka.
Sebenarnya, Brayn tidak begitu menyukai Hellen sejak awal menjalin hubungan dengan Raka.
Namun, demi menjaga persahabatan mereka, Brayn memendamnya sendiri.
"Aku tidak bisa bayangkan bagaimana perasaan Hellen kalau sampai Opa memaksa!" Bayangan menikah dengan seorang gadis bercadar terasa sangat mengerikan bagi Raka.
"Biasanya pilihan orang tua itu yang terbaik, loh."
"Tetap aku tidak akan mau! Aku tidak akan pernah tertarik dengan yang namanya Nirma. Pasti ada wajah jelek di balik cadarnya itu!"
************
************
"Aku tidak mau menikah dengan dia, Opa!" Suara Raka begitu lantang menyerukan penolakan. Dari tatapannya memancar amarah.
"Raka, pelankan suara kamu kalau bicara dengan opa!" Pak Darren memperingati keponakannya.
"Tapi, Abi ... memangnya wanita di dunia ini sudah habis sampai harus dijodohkan dengan orang seperti Nirma itu?" Kalimat penolakan terus terlontar dari mulut Raka.
"Nirma gadis yang baik dan dia yang paling cocok menjadi menantu di keluarga kita. Nirma akan mendampingi kamu membangun rumah tangga yang benar sesuai ajaran agama." Ucap Opa Sean.
"Тарі Ора.."
"Tidak ada tapi-tapian!" Suara Opa Sean kembali memekik.
Detik kemudian pria paruh baya itu menyentuh dada sebelah kiri yang terasa begitu nyeri. Napasnya juga mulai tampak sesak.
Hal yang membuat Raka tak berani berbuat lebih jauh untuk menolak.
Opanya memiliki riwayat sakit jantung, sehingga emosinya harus selalu terjaga.
Walau bagaimana pun, Raka tidak ingin kehilangan keluarganya lagi.
Kepergian Ayah dan Ibunya menghadap sang Pencipta adalah pukulan paling menyakitkan baginya.
Perlahan Raka mendekat dan bersimpuh di hadapan sang Opa yang sudah membesarkannya sejak kecil.
"Maafkan aku, Opa. Tapi, aku tidak suka Nirma. Apa aku bisa menjalani rumah tangga yang baik dengannya, sementara aku sendiri tidak bisa menerima dia?"
"Dikatakan bahwa wanita adalah perhiasan dunia, dan sebaik-baiknya perhiasan dunia adalah wanita shalihah, Nak. Opa yakin Nirma bisa menemani kamu membangun keluarga sakinah, mawaddah wa rahma. Dia sangat sempurna untuk menjadi pendamping hidup kamu."
Tak ada sahutan dari Raka. Ia tahu sekeras apa Opa dan Abinya.
Segala penolakannya tidak akan membuahkan hasil. Jika ia memaksa, itu akan beresiko terhadap kesehatan Oра.
"Ya sudah kalau itu sudah menjadi keputusan Opa dan Abi." ucap Raka pasrah.
***
"Katanya Raka setuju menikah dengan Nirma." Bu Resha mengembangkan senyum sesaat setelah mengucapkan kalimat itu.
Tangannya sibuk mengisi piring dengan nasi dan beberapa lauk, lalu ia geser ke hadapan Suaminya.
"Alhamdulilah kalau begitu." jawab Pak Vino, lalu menatap Brayn yang duduk di hadapannya.
"Kamu sudah melihat seperti apa calonnya Raka, kan?"
"Sudah, Pa. Namanya Nirma, dia gadis bercadar. Kelihatannya sih baik, aku melihat dia mengajari anak-anak mengaji, aku melihat caranya melayani Ayah dan Ibunya dengan tulus. Tapi, tidak tahu kenapa Raka tidak suka padanya."
"Kalau Kak Raka tidak mau, sama Kakak Brayn saja." ucap Bima di sela-sela suapannya.
Brayn terkekeh pelan mendengar ucapan adik bungsunya. Saat ini Bima sudah berusia 12 tahun.
Gerbang menuju remaja, dan tahun depan ia akan memasuki bangku SMP.
"Kakak kamu sudah ada pilihan sendiri, Bim." sahut Bu Resha. "Bedanya Kakak kamu suka, malah perempuannya yang tidak suka sama dia."
Kalimat penuh canda itu membuat bibir Brayn mengerucut, lalu diakhiri dengan tawa kecil.
"Oh ya, Pa. Apa Papa tidak keberatan kalau aku berniat menyalurkan bantuan renovasi untuk pondok itu? Bangunanya sudah tua dan lapuk. Kalau hujan sering bocor."
"Kenapa harus keberatan? Selama itu untuk kebaikan, lakukan!" Pak Vino menatap putra sulungnya dengan bangga.
Meskipun Brayn hidup dengan bergelimang harta, namun ia tidak pernah menggunakannya untuk bersenang-senang.
Seperti Bu Resha, ia memiliki jiwa sosial yang tinggi.
"Alhamdulillah, makasih, Pa."
Pandangan Pak Vino kemudian tertuju kepada Zayn, yang sejak tadi memilih diam.
"Zayn gimana kuliahnya, Nak?"
"Lancar, Pa!" jawabnya singkat.
Pak Vino menatap putra keduanya itu. Sejak Zahra menghilang, Zayn menjadi sangat pendiam dan lebih senang menghabiskan waktunya dengan menyendiri.
"Oh ya, Mas. Tadi Mawar juga minta kita ikut ke pondok. Katanya mereka akan menemui Ustadz Yusuf untuk melamar Nirma."
"Boleh, Sayang. Aku akan meluangkan waktu." Pak Vino mengulas senyum.
"Bima ikut ya, Ma!"
"Boleh, Sayang. Tapi tidak boleh ribut di sana."
"Siap, Ibu Negara!"
Bu Resha terkekeh mendengar ucapan putra bungsunya.
***
Hari yang ditunggu akhirnya tiba.
Pagi itu rombongan keluarga Opa Sean sudah hadir di pondok. Kedatangannya juga disambut hangat oleh Ustadz Yusuf.
Pak Vino dan Bu Resha turut hadir hari itu atas permintaan Tante Mawar dan Pak Darren.
"Jadi ini pondok yang dimaksud Brayn?" gumam Pak Vino sesaat setelah memasuki ruang tamu.
Pandangannya meneliti setiap bagian. Benar kata Brayn, pondok itu membutuhkan renovasi sesegera mungkin.
Atap dan bangunannya sudah cukup rapuh dan bisa membahayakan penghuninya.
"Kejutan sekali Pak Sean dan keluarga datang ke pondok kami." ucap Ustadz Yusuf.
"Alhamdulillah, Pak Ustadz." balas Opa Sean.
"Kebetulan kedatangan saya adalah untuk melanjutkan kembali pembicaraan kita beberapa waktu lalu."
Ustadz Yusuf terlihat cukup terkejut. Tentunya ia langsung paham maksud Opa Sean, ia masih ingat pembicaraan mereka beberapa bulan lalu.
Namun, kala itu ia tak menanggapi serius ucapan teman lamanya itu.
Mereka berasal dari keluarga sederhana. Orang terhormat seperti Opa Sean mana mungkin mau menjalin ikatan keluarga dengan mereka.
Begitu pikir Ustadz Yusuf kala itu.
"Kedatangan saya kemari adalah untuk mengutarakan keinginan saya untuk melamar anak Pak Ustadz, Nirma, untuk dijadikan menantu di keluarga saya."
Sejenak Ustadz Yusuf menunduk, kemudian menatap ke arah Istrinya yang duduk di barisan para wanita.
Di sana juga terlihat Nirma yang duduk di samping Ibunya.
"Alhamdulillah, terima kasih, Pak Sean. Saya sangat tersanjung dengan niat baik Pak Sean." Ia menjeda ucapannya dengan tarikan napas.
"Taрі, sebelum kita melanjutkan pada pembicaraan yang lebih dalam, saya harus memberitahu sesuatu yang penting mengenai Nirma."
"Soal apa, ya, Pak?" tanya pria paruh baya itu.
Ustadz Yusuf kembali terdiam selama beberapa saat. Ia sempat melirik putrinya. Gadis itu hanya diam dengan kepala menunduk.
"Sebenarnya Nirma bukanlah anak kandung saya, melainkan anak angkat." ucap Ustadz Yusuf, menciptakan keheningan di ruangan itu.
Semua tamu yang hadir tampak terkejut, termasuk Pak Vino dan Bu Resha.
Mata Bu Resha refleks menatap gadis bercadar yang duduk tak jauh darinya.
Entah untuk alasan apa, ia merasakan sesuatu yang berbeda dengan Nirma.
"Anak angkat? Saya pikir anak kandung Pak Ustadz." ucap Opa Sean.
"Bukan, Pak Sean." Pria paruh baya itu kembali menoleh kepada putrinya yang duduk di barisan paling belakang.
"Nirma, boleh Abah ceritakan?"
Nirma menyahut dengan anggukan tanpa suara. Membuat keheningan kembali tercipta.
"Delapan tahun lalu, Nirma datang ke pondok ini dalam keadaan yang cukup memprihatinkan. Pagi itu saya bangun untuk shalat subuh. Saat membuka pintu, saya menemukan Nirma tidur di depan teras dalam keadaan kedinginan dan lapar. Dia sama sekali tidak bisa bicara. Saya ajak dia masuk dan memberi makan."
Di balik cadar, Nirma menjatuhkan air mata.
"Istri saya juga menemukan sepucuk surat di dalam tas Nirma, yang isinya kurang lebih menitipkan Nirma di pondok kami. Di dalam surat itu tertulis bahwa Nirma dalam keadaan trauma, dia juga tidak bisa bicara setelah mengalami kecelakaan. Sejak saat itu Nirma tinggal bersama kami dan kami angkat sebagai anak. Beberapa bulan setelahnya, kawan saya menawarkan untuk melakukan pengobatan untuk Nirma, Alhamdulillah, setelah berbulan-bulan menjalani terapi, Nirma mulai bisa bicara. Berkat bantuan kawan saya juga, Nirma bisa melanjutkan sekolah ke madrasah."
Semua orang terdiam.
"Sekiranya kalau Pak Sean mau membatalkan niat baik terhadap Nirma, saya paham bahwa dalam memilih menantu harus yang jelas asal usul keluarganya, apakah dia berasal dari keluarga yang baik atau tidak. Karena itulah saya memberitahu fakta tentang Nirma. Sampai saat ini ... kami tidak tahu siapa orang tua kandung Nirma."
*************
*************
"Dalam agama kita ada empat kriteria yang bisa dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan hidup. Yaitu harta, kedudukan, paras, dan agamanya. Tapi, dari keempat kriteria itu, agama adalah yang paling utama." Ucapan Opa Sean disambut Ustadz Yusuf dengan anggukan kepala. Ada senyum tipis di sudut bibirnya.
"Nirma mungkin tidak memenuhi tiga kriteria di antaranya. Dia tidak memiliki harta, tidak memiliki kedudukan apapun, dan soal paras adalah tergantung dari pandangan manusia. Tapi, kalau dinilai dari agama ... insyaallah Nirma adalah gadis yang berbekal pengetahuan agama yang luas. Taat, dan memiliki akhlak yang baik. Selama tinggal bersama kami, tidak pernah satu kali pun dia membantah, meninggikan suara, atau menyakiti hati saya sebagai orang tua angkatnya." Ustadz Yusuf berucap dengan lirih.
"Alhamdulillah. Saya memang sudah yakin sejak pertama kali bertemu Nirma. Saya akan merasa sangat beruntung kalau Pak Ustadz sekeluarga, terutama Nirma sendiri, bersedia menerima pinangan dari keluarga kami."
"Kalau saya setuju saja. Tapi yang akan menjalani adalah Nirma. Jadi, saya tidak bisa mengambil keputusan sendiri." Sejenak Ustadz Yusuf melirik ke belakang. "Bagaimana, Nak? Apa kamu menerima pinangan dari Nak Raka?"
Gadis itu hanya menunduk menyembunyikan genangan air mata. Kedua tangannya saling meremas di balik khimar panjang yang membalut tubuhnya. Ia benar-benar dalam keadaan bimbang.
"Bagaimana, Nak? Apa kamu setuju?" tanya Pak Ustadz lagi, saat tidak mendapat jawaban.
Nirma yang masih menunduk itu menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan.
"Nirma ikut keputusan Abah saja. Mana yang menurut Abah terbaik untuk Nirma." Nirma menjawab pelan. Suara lembutnya membuat semua orang terpaku.
Terutama Pak Vino. Ia membeku saat pertama kali mendengar suara lembut gadis itu.
Seolah menembus ruang hatinya, membuat jantungnya berdebar kuat. Mata sendu milik gadis itu bahkan membuatnya kehilangan kata.
Ada rasa berbeda yang ia rasakan. Seperti menemukan kepingan hatinya yang pernah hilang. Seolah ada benang merah yang mengikatnya dengan gadis itu.
Bahkan, tanpa sadar ia menjatuhkan air mata, yang kemudian diusapnya dengan penuh tanya.
Ada apa dengan dirinya? Mengapa mendengar suara gadis itu saja seolah mampu mengalihkan dunianya.
"Astagfirullah." Pak Vino menarik napas dalam-dalam.
Ia yakin ini hanyalah rasa simpati semata setelah mendengar kisah masa lalu Nirma. Selain itu, usia Nirma hampir sama dengan putrinya yang telah pergi.
"Kenapa, Mas?" bisik Bu Resha, yang duduk di sisi Suaminya.
"Tidak apa-apa, Sayang. Aku hanya merasa terharu." jawab Pak Vino, sambil menarik tangan Bu Resha dan menggenggamnya.
"Iya, aku juga. Aku suka gadis itu saat pertama kali melihatnya tadi, bahkan walaupun aku tidak tahu seperti apa wajahnya."
Setelah mengucapkan kalimat itu, Bu Resha menyeka ujung matanya yang basah.
Tak dapat dipungkiri, pertama kali memasuki pondok tersebut, ia merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada yang memanggil dirinya dari dimensi yang berbeda.
"Jadi bagaimana Pak Ustadz?" tanya Opa Sean.
"Saya setuju saja, Pak Sean. Saya akan mempercayakan putri saya, Nirma, kepada Nak Raka. Meskipun saya bukan Ayah kandungnya, tapi saya tetap berharap yang terbaik untuk anak saya. Semoga Nak Raka bisa menerima segala kekurangan yang ada dalam diri Nirma, dan bersama-sama membangun keluarga sakinah, mawaddah, wa rahma."
"Amiin. Alhamdulillah." ucap Opa Sean penuh syukur.
"Sebelumnya, apakah Nak Raka mau melihat dulu wajah Nirma? Sebagai calon Suami, Nak Raka berhak untuk melihat." ucap Ustadz Yusuf.
Menurutnya, akan lebih baik jika Raka melihat lebih dulu seperti apa wajah Nirma.
Walaupun pada dasarnya haram bagi laki-laki memandang wajah wanita yang bukan mahram. Namun, syariat memperbolehkan untuk melihat wajah wanita yang hendak dilamarnya.
Tentunya, hanya sebagai dasar apakah wanita tersebut membuatnya tertarik atau tidak. Setelah itu ia dapat menentukan apakah akan meneruskan ke jenjang pernikahan atau tidak.
Selama beberapa saat Raka terdiam. Ujung matanya melirik ke depan, di mana sosok gadis pilihan sang Opa itu menundukkan pandangan.
"Tidak usah, Pak Ustadz. Saya tidak mempermasalahkan soal fisik." tolak Raka dengan halus. Toh, ia tidak perduli dan tidak tertarik untuk melihat wajah gadis itu.
"Alhamdulillah. Kalau begitu kita tinggal atur tanggal pernikahan. Kalau bisa, jangan terlalu lama." ucap Opa Sean, seolah tidak sabar.
Semua orang berucap syukur. Lamaran berlangsung penuh haru, tanpa hambatan.
Pak Darren menepuk bahu keponakannya diiringi senyum.
"Insyaallah Nirma adalah pilihan terbaik dan akan menjadi jodoh kamu di dunia dan akhirat."
****
Nirma POV
Namaku Nirma Salsabila, itu adalah nama pemberian ibuku.
Ibu angkatku....
Kata ibu... dia menemukanku saat bersembunyi dari orang-orang jahat yang sedang mengejarnya.
Aku tidak ingat kejadian persisnya seperti apa, karena saat itu aku masih terlalu kecil.
Ibu mengatakan, usiaku sekitar 5-6 tahun.
Tapi, satu hal yang kutahu, aku sangat takut dengan sungai, kolam renang atau pun laut.
Ibuku adalah wanita berhati mulia. Aku bukan anak yang lahir dari rahimnya, tapi dia merawat dan menjagaku sepenuh hati.
Tidak pernah satu kali pun dia memarahi atau membentakku, meskipun kami hidup dalam keterbatasan.
Usiaku 11 tahun, saat suatu malam Ibu membangunkanku dengan tergesa-gesa.
Dalam keadaan masih mengantuk, aku terbangun dan melihat di lantai rumah sederhana kami sudah ada dua tas. Satu milik Ibu, dan satunya milikku.
Aku sudah menebak apa yang akan terjadi selanjutnya.
Sudah beberapa kali kami mengalami kejadian seperti ini, saat tengah malam Ibu membangunkanku untuk pergi diam-diam dari rumah sewa kami.
Kadang kami hanya bertahan beberapa bulan di satu tempat, lalu berpindah lagi dengan keadaan yang sama.
Malam itu aku melihat beberapa laki-laki berbadan besar berpencar di sekitar gang sempit di perkampungan tempat kami tinggal. Aku tidak tahu kejahatan apa yang sudah dilakukan Ibuku di masa lalu.
Kenapa orang-orang itu mengejarnya?
Di tengah hujan kami berlari tanpa arah, entah akan ke mana. Kami harus bersembunyi dan melarikan diri dengan sangat hati-hati.
Sesekali Ibu memelukku saat kami kelelahan dan bersembunyi untuk mengatur napas. Dia mengusap kepalaku yang tertutup hijab basah.
"Sayang, kamu sabar, ya. Maafkan Ibu."
Ibuku selalu saja mengucapkan kalimat itu setiap kami berhasil lolos dari kejaran orang-orang.
Aku tahu dia menangis dan ketakutan. Tapi, dia selalu menyembunyikannya dariku dan selalu terlihat kuat.
Alhamdulillah, malam itu lagi-lagi kami berhasil lolos. Aku mulai kelelahan dan kedinginan. Tubuhku basah kuyup diguyur derasnya hujan.
Sepanjang jalan Ibuku terus melindungiku dan menutup kepalaku dengan sweaternya, padahal aku tahu dia juga kedinginan.
Hingga pada saat langkah kami terhenti di depan sebuah pondok pesantren. Ibu membawaku untuk duduk di sana, menyembunyikan tubuh kami dari orang-orang yang mungkin masih mengejar.
Aku bisa merasakan tubuh Ibu yang gemetar saat memelukku. Berulang-ulang dia menciumi keningku.
"Nirma, maafkan Ibu ... sepertinya Ibu harus meninggalkan kamu di sini."
Tiba-tiba aku merasa sesak mendengar ucapannya. Saat itu aku tidak bisa bicara.
Kata Ibu... mungkin akibat kecelakaan yang terjadi padaku saat dia menemukanku. Aku hanya bisa menangis mendengar kalimat perpisahan itu.
Air mataku berderai, kepalaku hanya bisa menggeleng sembari menarik ujung pakaian Ibu. Menatap penuh permohonan agar Ibu membawaku kemanapun dia pergi.
Aku tidak peduli meskipun kami hidup dalam kesusahan.
Aku tidak peduli meskipun kami harus berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Aku tidak keberatan jika kami hanya bisa makan sehari sekali, yang penting aku bersamanya.
Ibuku selalu paham apa yang ingin aku katakan meskipun hanya dengan melihat bahasa tubuhku. Dia terus membujukku agar aku berhenti menangis.
"Ibu tidak bisa membawa kamu, Nak. Ini terlalu berbahaya untuk kamu." Dia mencium keningku lagi.
"Masuk ke pondok ini dan minta bantuan Pak Ustadz. Ibu dengar dari orang-orang bahwa pemilik pondok ini orang yang sangat baik. Dia pasti mau menerima kamu."
Sekali lagi aku menggeleng dan menangis.
"Nirma... tolong dengar Ibu kali ini. Kamu sayang sama Ibu, kan?"
Aku memandang wajahnya yang lelah. Dia merangkum kedua sisi pipiku dan menatap mataku dalam-dalam.
"Ibu ada satu permintaan. Apapun yang terjadi, jangan pernah kamu ceritakan kepada siapapun bahwa kamu adalah anak Ibu. Siapapun! Kalau kamu melihat foto Ibu di mana pun itu, jangan pernah mengaku sebagai anak Ibu. Suatu hari, kalau keadaan sudah membaik, Ibu akan ke sini menjemput kamu. Saat kita tidak perlu hidup dalam persembunyian. Jadi tunggu Ibu di sini. Ibu akan datang menjemput kamu dalam keadaan yang lebih baik."
Itulah pesan terakhirnya sebelum kami berpisah. Setiap malam setelah perpisahan itu, aku selalu menantikan Ibu, berharap dia akan datang menjemputku dan membawaku bersamanya.
Tapi, Ibu tidak pernah datang dan tidak pernah memberi kabar sampai hari ini.
Aku sangat beruntung karena pemilik pondok tempat Ibu meninggalkanku adalah orang yang sangat baik.
Mereka menerimaku dengan tangan terbuka dan mengangkatku sebagai anak. Kebetulan, mereka tidak memiliki anak perempuan.
*******
*******
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!