Mama adalah satu-satunya orang tua yang masih aku miliki. Papa meninggal ketika usiaku menginjak 17 tahun, hari ini tepat 7 tahun setelah Papa meninggal dunia.
"Ma, hari ini aku pulang lebih cepat," ucapku sambil memakai sepatu hendak berangkat kerja.
"Ada apa? Kenapa harus pulang cepat?" tanya Mama dengan pandangan yang masih terfokus pada layar ponselnya.
"Ma, hari ini peringatan 7 tahun Papa meninggal, kita harus ziarah ke makam Papa," ujarku sedikit kesal. Sejak Papa meninggal seolah Mama tidak peduli. Jika bukan aku yang mengajak, Mama tidak mau satu kali pun mengunjungi makam Papa.
"Ohh, kamu aja," jawabnya singkat. Aku malas berdebat seperti ini setiap tahun. Akhirnya kuputuskan untuk pergi sendiri jikalau Mama memang tidak mau.
Setelah siap, aku berangkat bekerja. Aku mengendarai mobil yang baru saja kubeli setengah tahun lalu. Bukan mobil baru, hanya mobil bekas. Gajiku tidak seberapa, jadi tidak cukup untuk membeli mobil baru. Mobil itu bisa kubeli setelah lima tahun menabung, itu pun masih kredit satu tahun lagi.
Sampai di kantor, aku disambut Atika --rekan kerjaku--. Aku bekerja di sebuah penerbit kecil di kotaku dan aku adalah seorang editor buku. Gajiku tak seberapa, tapi cukup untuk menghidupiku dan Mama.
"Ada apa, Len? Masih pagi mukanya sudah ditekuk begitu," tanyanya.
"Hah, biasa ... mamaku," jawabku lemas seraya meletakkan tasku di atas meja.
"Oh iya, kemarin kamu bilang harus ziarah. Kenapa gak ziarah dulu aja?"
"Gak apa-apa, aku pasti menangis kalau mengunjungi makam Papa. Nanti aku pulang cepat aja."
"Ahh begitu. Ya udah, tetap semangat ya!" support-nya seraya menepuk pundakku, kemudian kembali ke meja kerjanya.
"Haahh ...." Aku mendengus kesal. Kuatur napas dan berusaha konsentrasi.
..
Pulang kerja, aku langsung pergi ke makam Papa. Kubersihkan rumput-rumput yang tumbuh di sekitarnya lalu kutaburkan bunga serta kuletakkan buket bunga mawar batik kesukaan Papa.
"Pa, Alena datang. Maaf ya, Pa, Mama gak mau datang lagi. Tapi, Lena yakin mama masih mencintai Papa kok." Kuusap air mata yang mulai mengalir. "Maaf, Pa, Lena masih cengeng. Papa bahagia di sana, kan?"
Kemudian seseorang mengusap bahuku. Mas Robi, pacarku.
"Hai, Mas," sapaku sembari menoleh ke arahnya.
"Menangis lagi?" tanyanya.
"Maaf."
"It's ok. Udah ya! Papamu juga pengen kamu bahagia."
"Iya, Mas." Kemudian aku tersenyum. Kuusap lagi nisan Papa.
"Pa, ini ada Mas Robi, calon menantu Papa. Dia sayang banget sama Lena. Papa jangan takut! Sekarang udah ada yang menjaga Lena."
Kami berdua saling membalas senyum. Setelah kukirimkan doa, kami pulang bersama. Mas Robi ikut ke rumah. Kami bawa mobil masing-masing.
"Lena pulang," ucapku setelah membuka pintu. Terdengar Mama sedang sibuk di dapur, sepertinya sedang memasak. "Ma, ada Mas Robi," ucapku lagi.
"Oh, Robi. Mau minum apa?" teriak Mama dari dapur. Mas Robi memang sudah sering berkunjung, jadi Mama juga sudah dekat dengannya.
"Apa saja, Ma," jawab Mas Robi.
"Sebentar ya, Mas. Aku ganti pakaian dulu," ujarku.
Mas Robi hanya mengangguk lalu duduk di sofa. Aku masuk ke kamar dan Mama datang membawakan minuman dingin. Tak lama kemudian aku kembali ke ruang tamu dan mengobrol bersama. Beberapa menit berlalu, Mas Robi pamit pulang karena ada urusan mendadak.
"Len, Robi kerja apa sih?" tanya Mama.
"Manajer perusahan, Ma."
"Mobilnya bagus, anak orang kaya?"
"Sepertinya. Papanya Bupati di kota C."
"Wah, cepat ajak menikah! Jangan lepaskan kesempatan emas!"
"Kesempatan? Maksud Mama apa?"
"Dia orang kaya, kan? Dia bisa menghidupi kita berdua. Kamu gak perlu kerja terlalu keras. Tinggal minta uang saja."
"Ma--"
"Jangan sampai kamu menyesal seperti Mama! Menolak dijodohkan dengan orang kaya demi papamu yang miskin itu."
"Ma! Jangan sebut Papa seperti itu!" sanggahku tak terima.
"Kenyataan kok. Kalau saja Mama mau menerima perjodohan dengan Mas Agung yang PNS itu, pasti sekarang kita bisa hidup enak." Kemudian Mama beranjak dari sofa.
"Ahh iya, kalau kamu gak mau segera menikah, setidaknya kamu bisa manfaatkan uangnya dari sekarang. Ponsel Mama mulai lambat, Mama minta yang baru! Yang terbaru! Jeng Ira baru beli ponsel, Mama gak mau kalah dong!" Lalu Mama masuk ke dalam kamar.
Ck! Aku geram. Mama tahu gajiku tidak besar, tapi Mama tidak bisa mengubah gaya hidupnya yang mewah itu. Gajiku selalu habis untuk menuruti keinginan Mama yang tak ada habisnya. Gaji bulan ini saja sudah habis, bagaimana bisa aku membelikan Mama ponsel terbaru? Kalau tidak berdosa rasanya aku ingin sekali mencari pesugihan. Aku hampir putus asa.
"Jadi, siapa yang mau ikut saya ke kota A untuk kunjungan? Hanya menginap 3 hari kok, tidak lebih," tanya Bu Manajer.
"Alena saja, Bu. Dia kan belum pernah ikut keluar kota, lagi pula dia sendiri yang masih gadis. Jadi, tidak perlu bingung urusan rumah," saran Atika.
'Ah, sial! Mengapa dia harus menyarankan aku?' batinku.
"Baiklah, Lena. Apa kamu bersedia?" tanya Bu Manajer lagi.
"Anu, emm ... baiklah, Bu." Akhirnya aku menyetujui karena tidak punya alasan untuk menolak.
Rapat ditutup. Akhirnya akulah yang harus ikut Bu Manajer ke kota A.
"Huffttt! Pasti Mama akan minta uang pegangan. Aku, kan, belum gajian," gerutuku begitu tubuh ini sudah sepenuhnya bertumpu pada kursi. Aku mendengus kesal. Kuacak asal rambutku. Aku merasa seperti punya bayi kecil. Belum lagi ponsel yang Mama minta.
"Len, ada apa?" tanya Atika yang kebetulan lewat meja kerjaku.
"Pusing," jawabku tanpa basa-basi.
"Masalah kunjungan, ya? Apa aku salah memberikan saran?" tanya Atika, ada nada penyesalan di sana.
"Aku butuh uang," jawabku singkat. Rasanya ia sedikit mengerti.
"Pinjam aja dulu sama pacarmu, pasti diberi." Yah, benar-benar saran yang sangat kubenci.
"Itu bukan jalan keluar, Tik!" jawabku, kemudian mematikan komputer dan keluar dari kantor sebentar untuk menghirup udara segar.
Kubeli kopi dingin dari mesin penjual dan duduk di bangku seberang kantor di bawah pohon yang cukup rindang. Kutarik napas dalam-dalam lalu kuhempaskan lagi perlahan.
Drrttt drrttt drrttt...
Panggilan masuk dari Mas Robi.
"Halo, Mas," ucapku setelah ponsel itu menempel di telinga.
"Nanti mau makan siang bareng? Kebetulan Mas sedang ada di dekat kantormu," jawab Mas Robi dari seberang sana.
"Ah ya ... boleh."
"Baiklah, nanti Mas jemput ya, Sayang."
"Iya, Mas."
Tut. Sambungan terputus.
..
Jam makan siang, kami makan di restoran seafood dekat kantorku.
"Len, ada apa? Sepertinya kamu terlihat kacau," tanya Mas Robi khawatir. Memang sebaiknya aku ceritakan apa yang aku rasakan saat ini. Barangkali ada jalan keluar.
"Anu, Mas ... Mama."
"Ada apa? Mama sakit?"
"Bukan kok, Mas. Besok aku harus kunjungan ke kota A selama tiga hari. Mama pasti akan minta uang pegangan selama aku pergi. Sedangkan gajiku sudah menipis dan biasanya Mama gak mau menerima uang yang sedikit. Belum lagi Mama minta ponsel keluaran terbaru. Aku gak punya uang sebanyak itu, Mas." Akhirnya aku menceritakan semuanya pada Mas Robi.
"Oalah," jawabnya ringan. "Pake uang Mas aja dulu, ya!" Sudah kuduga, ia akan menawarkan itu.
"Mas, tapi aku gak mau berhutang. Termasuk denganmu."
"Buang gengsimu, Lena! Mas ini siapamu? Uang Mas juga nantinya jadi uangmu, untuk Mama juga. Iya, kan?" Terdengar meyakinkan. Ingin aku menolak, tapi aku tidak punya jalan lain. Aku tidak bisa durhaka pada Mama.
"Tapi, aku pinjam ya, Mas? Suatu saat akan aku bayar."
"Iya, boleh. Udah, ya, jangan pusing lagi!" ucapnya seraya mengusap punggung tanganku. Aku tersenyum lega.
..
Sampai di rumah, terlihat Mama sedang asyik dengan ponselnya. Ia tidak menyadari kedatanganku. Tanpa bicara, kuletakkan paperbag berlogo toko ponsel dekat sini. Melihat itu, mata Mama membulat dan langsung mengambil paperbag-nya.
"Ini punya Mama, kan?" tanyanya girang.
"Heem," jawabku malas.
"Nah, gitu dong!" Dibukanya paperbag itu dan melihat isinya. Senyumnya seketika hilang. "Loh, kok ini sih? Kan Mama minta yang terbaru."
"Itu juga terbaru, Ma," jawabku tak berbohong. Itu memang seri terbaru, tapi bukan ponsel apel sepotong.
"Ini mah murah, Mama gak mau!" Kotak itu ditaruhnya lagi di atas meja.
"Ma, itu aja udah dua belas juta, Mama mau yang harga berapa lagi?"
"Sembilan belas juta! Punya Jeng Ira itu harganya lima belas juta!" ucap Mama dengan nada yang tinggi.
"Pakai itu aja dulu, kalau gak mau ya udah. Lena akan jual lagi!" ujarku kesal. Hendak kuambil kotak ponsel itu tapi ternyata tangan Mama jauh lebih cepat.
"Ya udah Mama pakai, tapi bulan depan Mama minta yang sembilan belas juta itu!"
"Aku besok pergi, tiga hari," ujarku tak menjawab permintaan Mama barusan.
"Minta uang!" responnya singkat. Ibu macam apa? Bukannya bertanya aku mau ke mana, tapi malah minta uang.
"Iya, besok," jawabku malas seraya meninggalkan ruang tamu.
"Lima juta," tambah Mama yang membuatku semakin geram.
"Ma, lima juta itu bisa untuk makan dua bulan lebih."
"Mama mau shopping dan treatment di salon juga. Udah jangan bawel! Kalau kurang dari 5 juta, kamu gak boleh pergi!" ancamnya.
Ck! Mamaku tampaknya sudah g*la. Aku tak mempedulikan ucapannya lagi. Aku masuk ke dalam kamar.
Keesokan paginya, aku berangkat sebelum Mama bangun. Aku malas merusak mood-ku. Yah, sebenarnya mood-ku memang sudah rusak, tapi setidaknya tidak mau lebih parah lagi. Kuletakkan uang dua juta di atas meja makan, sisa dari pembelian ponsel kemarin. Aku meminjam uang Mas Robi sebesar empat belas juta. Malu sekali rasanya, tapi apa boleh buat.
..
Tibalah aku di kota A. Sampai di sana aku langsung rapat dan banyak agenda-agenda lainnya. Aku baru bisa beristirahat selepas petang. Sengaja tak kunyalakan koneksi dataku. Aku tahu Mama pasti akan mengomel habis-habisan. Usai berkegiatan, aku langsung makan, mandi dan beristirahat. Besok agendaku masih banyak.
Setelah merasa cukup tenang, aku mengaktifkan kembali koneksi dataku. Dan benar, banyak sekali panggilan tak terjawab serta spam chat dari Mama. Isinya minta uang lebih, tapi ada satu chat yang cukup membuatku mendelik.
[ Mama akan minta sendiri pada Robi. ] Tulisnya begitu.
Aku sedikit santai mengingat aku sudah bilang pada Mas Robi untuk tidak memberikan Mama uang, apapun alasannya.
Hari pertama dan kedua berjalan lancar, tapi entah mengapa di hari kedua Mama tidak lagi menggangguku. Aku berusaha berpikir positif, mungkin saja Mama sadar kalau anaknya ini bukan bank berjalan.
Namun di hari ketiga ada hal yang benar-benar membuatku terkejut. Ketika aku pulang dari kota A, jadwal selesai lebih cepat dari pada waktunya. Aku pun segera pulang. Terlihat mobil Mas Robi terparkir rapi di depan rumahku.
'Ngapain? Bukannya Mas Robi tahu aku belum sampai di rumah?' tanyaku dalam hati.
Aku memang naik taksi online, jadi mungkin orang rumah tidak akan sadar kalau aku datang. Kubuka pintu rumahku tanpa mengucap salam. Sengaja, firasat kusedikit tidak enak. Di ruang tamu tidak ada siapa-siapa. Mereka ke mana?
Kulihat kamar Mama tertutup rapat, tidak seperti biasa. Biasanya pintu kamar Mama hanya tertutup pada malam hari. Kuberanikan membuka pintu kamar itu perlahan.
"Mm--mas ... Robi?" ucapku lemas.
Tubuhku gemetar. Adegan yang seharusnya tidak kulihat dan tidak pernah ada seumur hidup. Ya. Melihat mamaku sendiri sedang bercumbu mesra bersama pacarku. Tanpa busana.
"Len ... Alena!"
"Lena, bangun, Len!" Seseorang menepuk pelan bahuku.
"Hah?" Aku terbangun. Napasku berderu cepat.
"Kamu kecapekan, ya? Kamu mimpi buruk?" tanya Bu Manajer yang kini ada di sebelahku. Aku memijit kepalaku yang sedikit pusing.
"Maaf, Bu. Apa saya ketiduran?" Aku lupa kapan aku tertidur.
"Iya, sebelum magrib tadi kamu tertidur. Lain kali jangan tidur magrib ya, Len! Gak baik."
"Ah iya, Bu. Maaf."
"Iya, gak apa-apa. Sepertinya kamu kecapekan. Istirahat saja dulu! Malam ini gak usah ikut agendanya. Biar saya saja."
"Tapi, Bu ...." Mana mungkin aku membiarkan Bu Manajer datang sendirian. Karyawan durhaka.
"Gak apa-apa, Lena. Besok kita punya agenda yang lebih padat. Persiapkan dirimu! Jangan sampai sakit!" Pesan Bu Manajer yang kemudian beranjak dari kasurku.
Kami berdua memesan 1 ruangan yang memiliki 2 buah kamar. Tidak terlalu besar, tidak juga terlalu kecil. Kulirik jam yang ada di layar ponselku. Waktu menunjukkan pukul 18.45. Melihat tanggal yang tertera di sana, aku bernapas lega. Ini masih hari keduaku di kota A. Aku bersyukur hal buruk tadi hanyalah mimpi semata.
Aku memutuskan untuk mandi sebelum melakukan aktivitas lainnya. Usai mandi, aku memesan makanan. Rasanya aku tidak ingin keluar kamar sama sekali. Fisikku sehat, tapi rasanya otakku sangat lelah. Terutama memikirkan Mama dan bagaimana aku bisa mengembalikan uang Mas Robi agar aku tak meminjamnya terlalu lama.
..
"Lena, ini gaji tambahanmu karena sudah bersedia menemani saya ke kunjungan kali ini," ucap Bu Manajer seraya menyerahkan sebuah amplop coklat.
"Terima kasih, Bu." Kuterima amplop itu dengan senang hati. Tak peduli berapapun jumlahnya. "Tapi maaf, bukannya uang ini nanti digabung ke gaji bulanan ya, Bu?"
"Ahh, iya. Yang masuk ke gaji bulanan ada sendiri. Uang ini, anggap saja pemberian dari saya. Bukan uang perusahaan. Saya sangat berterimakasih karena kamu bisa bekerja sama dengan baik." Kalimat itu diakhiri dengan senyuman yang tulus.
"Terima kasih banyak, Bu. Terima kasih." Aku menjabat tangan Bu Manajer saking senangnya.
Setelah itu kami bersiap untuk pulang. Semua urusan telah selesai. Lega sekali rasanya. Sebelum pulang, kami mampir ke toko oleh-oleh. Lagi-lagi Bu Manajer membelikanku beberapa jenis makanan dan souvernir. Aku tidak menyangka memiliki bos yang baik seperti ini.
"Ma, Lena pulang," ucapku ketika baru saja membuka pintu rumah.
Sama seperti biasa, sepi dan hening. Tak ada jawaban di sana. Sepertinya Mama sedang tidur. Kuletakkan oleh-oleh di atas meja makan. Tiba-tiba jantungku terasa sakit, teringat mimpi kemarin. Kali ini kamar Mama juga tertutup. Demi menjawab kegelisahan, kubuka pelan pintu kamar Mama.
"Udah pulang?" tanya Mama tanpa mengalihkan pandangannya dari layar ponsel.
"Ah iya, Ma." Aku merasa lega. Mama tidak melakukan hal yang berdosa seperti yang ada dalam mimpiku. "Lena bawa oleh-oleh, Ma. Ada di dapur."
"Hmm ... iya, nanti Mama makan," jawabnya lagi, tapi kali ini sedikit melirikku dan kemudian terfokus kembali pada ponselnya.
Aku masuk ke kamar dan merebahkan tubuh. Kuhela napas kemudian mengambil amplop coklat pemberian Bu Manajer. Mataku terbelalak setelah membukanya. Bagaimana tidak, amplop itu berisi tiga puluh lembar uang seratus ribuan. Hanya sekali kunjungan aku bisa mendapatkan uang sebanyak ini?
"Gajian?" Pertanyaan Mama mengejutkanku. Berdiri di depan pintu kamarku dengan ponsel yang tidak pernah terlepas dari tangannya. Sejak kapan Mama berdiri di sana?
"Bukan, Ma. Uang dari Bu Manajer." Musnah sudah harapanku untuk menyimpan uang ini.
"Ohh ... ayo makan dulu! Tadi Mama udah masak." Lalu Mama menutup pintu kamar dan pergi. Aku melongo. Ini benar Mama? Aku tidak bermimpi, kan?
Mama memang menyayangiku, tapi untuk urusan uang, Mama kadang seperti ibu tiri. Aku mengerjapkan mata beberapa kali. Kucubit lenganku dan sakit. Ini bukan mimpi.
Aku keluar kamar dan duduk di ruang makan. Mama sedang membuka oleh-oleh yang tadi kubawa.
"Kalau mau makan, ambil sendiri. Mama males pindahin dari wajan ke mangkuk," ujarnya seraya memakan sepotong biskuit yang baru dibuka. Mama memang rajin masak dan beres-beres. Bahkan aku tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah kecuali mencuci pakaian dalamku sendiri.
"Mama jadi shopping?" tanyaku sambil berjalan mengambil piring dan makanan.
"Gak jadi. Mama terlalu asyik nonton drama."
"Oohh ...."
"Uangnya masih tuh. Kalau kamu ada kebutuhan, pakai aja uangnya!" Lagi. Ucapan Mama lagi-lagi membuatku terbelalak.
"Tumben sekali. Mama baru menang arisan?" Jujur aku sangat penasaran dengan perubahan Mama. Mama menggeleng.
"Udah, makan aja yang banyak!" perintah Mama. Lalu ia kembali membuka ponselnya. Rasa penasaranku sama sekali tidak terjawab. Aku hanya berharap Mama memang sudah berubah jadi lebih baik.
Tok tok tok!
"Biar Mama yang buka." Mama beranjak dan membuka pintu itu. Aku duduk dan memperhatikan siapa tamu yang datang. Terlihat sosok Mas Robi di sana. Mereka tampak mengobrol sebentar, lalu masuk dan Mas Robi duduk di sebelahku.
"Loh, Mas, kok gak bilang kalau mau dateng?" tanyaku ketika ia baru saja duduk.
"Kejutan dong!" Lalu ia tersenyum dan mengusap rambutku. "Mas kangen." Ucapannya berhasil membuatku berdebar.
"Mas jangan bikin malu deh! Ada Mama tuh." Aku tersipu. Mas Robi memang paling bisa membuatku salah tingkah.
"Santai aja! Sebentar lagi Mama mau keluar ketemu Jeng Ira." ujar Mama yang kemudian masuk ke kamar. Aku mengobrol berdua dengan Mas Robi sambil perlahan menghabiskan makananku.
"Mama pergi dulu. Silakan nikmati waktu berdua!" ujar Mama setelah keluar dari kamar.
"Mau diantar, Ma?" tanya Mas Robi.
"Gak perlu. Dijemput Jeng Ira kok." Lalu Mama keluar dan menutup pintu. Setelah selesai makan, kami berdua duduk di sofa ruang tamu.
"Len, Mas kangen," ujar Mas Robi seraya memelukku.
"Iya Mas, Lena juga kangen." Aku menikmati pelukannya.
"Gimana kemarin kunjungannya, lancar?"
"Lancar Mas." Tiba-tiba aku teringat lagi mimpi kemarin. "Oh iya Mas, kemarin aku mimpi."
"Mimpi apa?"
"Aku mimpi Mas selingkuh sama Mama." Mendengar itu Mas Robi terdiam sebentar lalu mengacak rambutku.
"Lucu sekali mimpimu, Len. Mana mungkin aku selingkuh dengan calon mertuaku sendiri?" Benar juga. Meskipun Mama awet muda dan kadang tampak seperti seumuran denganku, tetap saja Mama lebih tua.
Mamaku dulu menikah muda. Ia melahirkan aku ketika baru berusia 16 tahun. Sedangkan Mas Robi sekarang berusia 30 tahun, 6 tahun lebih tua dariku. Artinya, jarak usia Mama dan Mas Robi adalah 10 tahun.
"Len ...." Mas Robi membenamkan kepalanya di bahuku.
"Iya, Mas?"
"Lena sayang sama Mas, kan?"
"Ya pasti Mas, kenapa?" Mas Robi tidak menjawabku. Tangan yang tadinya melingkar di pinggangku, kini perlahan bergerak ke perutku. Rasanya ada yang salah.
"Lena, Mas minta itu, ya?" ucapnya kemudian mencium leherku. Benar saja. Ini sudah tidak beres.
"Mas, stop!" Aku beranjak dari kursi dan melepaskan pelukannya.
"Lena, kita udah cukup umur untuk melakukan itu."
"Mas! Cukup umur ataupun nggak, melakukan itu adalah perbuatan dosa! Aku gak mau!" Aku menegaskan.
"Hahh ... Lena ... Lena! Udah hampir setahun berpacaran tapi sedikitpun aku gak boleh menyentuhmu. Aku ini laki-laki normal. Aku juga ingin melepaskan nafsuku bersama pacarku."
"Kalau begitu, ayo menikah!" Aku menegaskan sekali lagi.
"Ck! Sudahlah! Jangan salahkan aku kalau aku mencari tempat pelampiasan untuk menyalurkan nafsuku ini!" Mas Robi beranjak dari kursi dan keluar dari rumahku.
Aku sangat menyayangi Mas Robi, tapi aku juga tidak ingin melakukan perbuatan dosa itu. Aku sedikit kecewa. Beberapa kali kutolak, namun tetap saja Mas Robi membujukku. Dan anehnya, dia sudah cukup mapan tapi mengapa selalu menolak untuk menikah?
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!