NovelToon NovelToon

Wanita Gemuk Istri Komandan

Pindah Raga? Reinkarnasi?

Netha Putri, 27 tahun, duduk di meja kerjanya dengan mata yang terasa berat. Jam telah menunjukkan pukul

03.00 dini hari. Sudah seharian ia sibuk mengejar deadline laporan untuk perusahaan tempat ia bekerja.

Lupa makan, lupa minum, dan bahkan lupa menikmati hidup. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap cantik dengan riasan tipis yang ia pakai sejak pagi.

"Satu halaman lagi... satu halaman lagi, setelah ini selesai," gumamnya seraya mengetik cepat di laptop. Namun, rasa kantuk akhirnya tak tertahankan. Kelopak matanya tertutup, dan kepalanya tertunduk di atas meja.

Samar-samar, kesadaran mulai menelusup masuk ke dalam pikirannya. Suara kicauan burung terdengar lembut di kejauhan, seolah berasal dari taman yang luas. Hembusan angin yang menyelinap dari sela-sela tirai sutra membuat kain itu menari pelan, menciptakan desiran yang menenangkan. Aromanya lembut, seperti lavender yang baru dipetik dan mawar merah yang sedang mekar sempurna.

“Hnnngg..” gumam Netha lirih.

Kelopak matanya bergerak pelan. Cahaya matahari yang hangat menyusup masuk dari celah jendela tinggi, menyilaukan pandangannya. Ia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas.

“Eh?” suaranya serak.

Ia perlahan memalingkan kepala ke kiri.

Ia menoleh ke kanan.

Ia berusaha duduk, tetapi tubuhnya terasa berat, sangat berat.

“Kenapa... rasanya... berat begini?” gumamnya kebingungan, berusaha mengangkat tubuh dari kasur.

Namun, saat selimut tersingkap sedikit, matanya membelalak.

“A-apa…?!”

Ia menatap tubuhnya, lebih tepatnya, tubuh baru yang kini ia huni. Tangannya besar dan gemuk. Jari-jarinya tampak membengkak. Ia menurunkan pandangan ke perut yang menggembung luar biasa.

“Gila! Ini tubuh siapa?!”

Ia berusaha duduk.

“Gh... haa... ugh!”

Susah payah. Bahkan untuk sekadar mengangkat punggung dari kasur empuk itu, ia megap-megap. Peluh mulai membasahi pelipisnya. Ototnya seperti tak terbiasa menggerakkan tubuh seberat itu.

“Aku... mimpi? Ya Ini pasti mimpi aneh!”

Ia menampar pipinya. “Aduh, Sakit!”

Ia menjambak rambutnya. “Masih kerasa!”

Ia mencubit lengan, terasa sakit, sangat sakit. Ia menyentuh pipinya yang chubby dan bulat, menjepitnya kuat-kuat.

“Ini bukan mimpi, bukan mimpi.” gumamnya panik, napas memburu, keringat dingin mengucur di pelipisnya.

Namun langkah demi langkah pikirannya mulai runtut.

Ia mengingat dengan jelas bahwa ia sedang di kantor mengejar deadline. Setelah selesai, ia mengantuk.

"Ini dimana? Ini bukan rumahku. Astaga, bukankah tadi aku masih dikantor? Setan mana yang membawaku kesini?" ucapnya panik. Netha berdiri dengan susah payah.

Bahkan untuk mengangkat bokongnya dari kasur empuk itu saja, ia sudah megap-megap. Otot-otot di pahanya menjerit. Tubuhnya berguncang pelan saat ia berusaha duduk.

Tubuhnya begitu berat. “Aduh kenapa berdiri saja susah sih. Ada apa sebenarnya ini?"

Nafasnya makin cepat. Keringat dingin mulai merembes dari pelipisnya.

“Kenapa rasanya kayak naik gunung cuma buat bangun dari kasur, sih.?!”

Dengan susah payah, ia mencoba bangkit. Tangan gemuknya mendorong lutut, wajahnya memerah karena tenaga yang ia keluarkan hanya untuk berdiri.

“Baru bangun dari kasur aja kayak naik gunung Everest,” desisnya sambil megap-megap.

Aaaaaaaa.... Teriaknya.

Adegan-adegan singkat, dua anak laki-laki, seorang pria tinggi berseragam militer, dan dirinya sendiri tidak menyukai anak kecil itu. Benar-benar kejam.

la bahkan harus berpegangan ke dinding agar tubuhnya tidak limbung dan terjatuh dengan tubuh gemuk nya

ini.

“OH TIDAK!” Netha memegangi kepalanya.

Dengan langkah gontai, ia masuk ke kamar mandi. Matanya liar menatap sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membantunya menenangkan diri.

Ia menemukan sabun cuci muka.

“Setidaknya aku harus cuci muka dulu. Siapa tahu ini cuma mimpi buruk.”

Ia mengusap wajahnya dengan busa sabun, lalu menatap ke cermin.

“Masih dia, Masih aku?”

Tangan gemuknya menyentuh pipi chubby itu. Lalu dagu bulat yang bertumpuk dua. Ia menarik napas panjang.

“Oke, Netha. Tarik napas. Tahan. Ini mungkin halusinasi karena stres dan lembur tanpa makan.”

Setelah mencuci muka, Netha berjalan kedalam kamar nya kembali, melihat sekeliling kamar yang ia tempati Dengan seksama, dindingnya berwarna snow white dengan lampu gantung yang indah, tirai gorden yang tinggi sampai menyentuh lantai, perabotan mahal, sungguh perbedaan besar dengan kosan nya sendiri dikehidupan pertama nya yang lebih memilih kosan buluk dibandingkan kosan indah demi menghemat uang.

Ia berjalan menyentuh semua perabotan itu, lalu ia juga pergi ke ‘Walk kloset?’, Netha ingin tertawa. “Ini mah punya orang kaya, berasa mimpi aku berada disini.”

Lalu ia membuka lemari itu, sayangnya tidak sesuai ekspetasinya. Ia berfikir adalah gaun yang indah dengan warna yang sangat soft atau glamor. Ternyata ‘Heh’

“Astaga, ini baju atau permen blaster?” gumamnya.

Ia kembali berjalan menuju ke kamar nya kembali, duduk di ranjang nya, masih memikirkan mengapa ia bisa ke tempat ini. Lalu siapa kedua anak kecil kembar dan pria tampan itu.

Sementara itu, di ruang tamu Sean Jack Harison duduk dengan kedua anak kembarnya, El barack dan Al barack.

Sean, dengan wajah tegas dan sorot mata dingin, sedang membaca laporan dari ponselnya. El duduk di sebelah kanan, diam seribu bahasa sambil memainkan robot kecil.

Sedangkan Al, yang lebih cerewet, mulai bersandar pada bahu Sean. “Papa sedang apa?”

“Hanya membaca laporan.”

“Seperti suara barang jatuh. Dari kamar atas,” jawab Al, sambil menunjuk ke lantai atas dengan

dagunya.

“Kamu salah dengar mungkin Al.” ucap El yang masih sibuk dengan mainannya.

“Mungkin.”

Tanpa banyak bicara, ia bangkit dan menuju kelantai atas, tempat Netha berada. Lupakan soal memasak, pasti tak baik. Karna sikembar pasti protes dengan hasil masakannya yang gosong lah, keasinan lah dan banyak yang lainnya. Itulah yang selalu Sean dengar tiap kali memasak.

Kamu pikir papa sedang membuat karya seni? Jika tiap masak si kembar merajuk ingin masakan yang indah.

“Papa mau ke mama mu dulu, kalian disini saja, teruslah bermain!”

“Baik Pa!” ucap ke duanya serempak.

Sesampainya dilantai atas, Sean telah berdiri di depan kamar Netha. Ya itu adalah kamar Netha, kedua nya tak pernah tidur sekamar setelah menikah.

Tok! Tok! Tok!

Netha di dalam kamar yang sedang melamun, kaget dengan suara ketukan itu. Ia berjalan menuju ke pintu dengan setengah hati.

“Netha?” ucap Sean dalam hati sambil mengerjapkan kedua matanya.

Netha menatap Sean yang sedang berada didepan nya, ia melihat dari atas ke bawah, wajahnya sangatlah tampan dengan pakaian militer nya. Tubuhnya gagah, otot-otot nya tercetak jelas.

“Oh Tuhan, aku masih perawan ting ting, malah disungguhkan pria tampan disini!” Ucap Netha dalam hati.

Ia lupa sekarang berada ditubuh orang lain, yang sudah bersuami dan mempunyai dua anak kembar.

“Netha?”

“Ah iya, ada apa?”

“Aku ingin berbicara denganmu, apakah aku boleh masuk?”

“Hm.”

Akhirnya Sean masuk ke kamar itu, ia langsung duduk di kasur, sementara Netha duduk di atas sofa.

Sean memandangi seluruh ruangan yang tak pernah ia masuki itu.

Sementara Netha juga melamun sambil memandangi Sean yang masih melihat isi di dalam kamar.

“Kemana wanita gemuk ini berada? apakah ini sebuah novel atau game atau apa. Mana baru sampai sini sudah punya suami dan dua anak kembar lagi. Bagaimana hidupnya selanjutnya. Bisa kah ia pergi dari sini. Atau melanjutkan hidup bersama dua anak dan pria ini. Tapi aku tak pernah menikah, apalagi ngurus anak!”

Masa Lalu dan Masa Kini

Netha duduk di atas sofa empuk, sambil menghela napas panjang. “Kenapa ia tak berbicara? membuatku jengkel,” gumamnya pelan.

Tak berselang lama...

“Netha!” ucap Sean, suaranya tegas.

Netha mencoba terlihat tenang meski hatinya tidak demikian. Tatapan pria itu begitu dingin, seolah mampu menusuk siapa pun yang berani menantangnya.

“Astaga, kenapa tatapannya begitu? Ingin kucolok juga kedua matamu itu, Ia mirip dengan Pak Andre atasanku yang suka melotot kalau kasi tugas mengerjakan laporan,” gerutu Netha dalam hati, menahan kesal sambil mengingat kehidupan pertamanya.

“Apakah kau baik-baik saja?” tanya Sean datar, tanpa menoleh ke arahnya sedikit pun.

Netha hanya mengangguk kecil.

“Tentu saja aku baik, yang tak baik adalah istrimu yang asli sudah meninggoy!” ucap Netha dalam hati.

Sean berjalan tenang lalu duduk di sofa yang berhadapan langsung dengannya. Ia meletakkan sebuah map cokelat di atas meja. Dengan gerakan pelan namun mantap, tangannya membuka map itu dan mengeluarkan selembar kertas.

Netha melirik sekilas. Matanya langsung menangkap banyak tulisan resmi dan satu tanda tangan notaris di bagian bawah.

“Ini adalah surat kepemilikan rumah ini, untukmu!” ucap Sean tanpa basa-basi. Suaranya tenang, dingin, seolah sedang membaca laporan rutin.

Netha menatapnya dengan mata sedikit melebar, terkejut. Namun ia cepat menguasai diri. “Untukku?” gumamnya pelan, memastikan dirinya tak salah dengar.

Ia menelan ludah, mencoba menyusun kalimat yang tepat. Tapi dalam hati, ia justru bersorak kegirangan.

“Apa? Aku dapat rumah? Ya ampun, ini jackpot! Bukankah ini namanya keberuntungan hakiki?”

Tanpa memberi waktu untuk Netha menjawab, Sean melanjutkan dengan nada tegas dan datar.

“Bisakah kau berfikir kembali untuk tidak berpisah? Jikapun kita berpisah, aku hanya meminta hak asuh atas El dan Al. Tapi... Aku harap kau bisa melupakan fikiranmu untuk kita berpisah, anak-anak masih butuh Mama dan Papa nya. Jika....”

Tanpa berpikir panjang, Netha langsung menyambar dokumen itu sambil menganggukkan kepalanya, “Ya akan aku pikirkan!”

“Sepertinya aku akan menikmati hidupku yang baru disini,” batinnya bersorak penuh kemenangan.

Sean mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan sikapnya yang begitu sigap. “Kenapa dengannya? Bukankah sejak dulu ingin berpisah? Kuberi apapun, ia selalu menolak. Apakah kini ia sangat menyukai kemewahan?” gumamnya dingin dalam hati.

Sementara itu, Netha hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa senangnya. “Tenang saja, aku akan mempertimbangkannya, apakah ada yang perlu aku tanda tangani?” ucapnya.

“Hm, disini!” ucap Sean sambil menunjuk dibagian yang perlu di tandatangani oleh Netha.

Tanpa berpikir panjang, Netha langsung menyambar pena yang diletakkan Sean di atas meja. Dengan cepat, ia membubuhkan tanda tangannya di atas dokumen itu.

Sean mengambil kembali kertas itu, menatap tanda tangan di atasnya, lalu menatap Netha. Ia menarik napas dalam, matanya sedikit menyipit seolah mencoba membaca isi hati wanita di hadapannya.

Netha diam, memperhatikan perubahan ekspresi Sean. Senyum tipisnya menghilang perlahan, tergantikan oleh rasa penasaran... dan sedikit kegelisahan.

“Tunggu sebentar.” ucap Sean sambil pergi dari kamar itu meninggalkan Netha yang bingung.

Tak lama kemudian, ia kembali ke kamar Netha kembali dengan sebuah tas tergantung di bahunya. Wajahnya penuh fokus.

“Netha,” panggil Sean singkat.

Netha mendongak dengan ekspresi kesal. “Apa lagi? Apakah kau berubah pikiran?”

Netha pikir, kepergian Sean barusan karena Sean gak jadi memberikan rumah itu untuknya. Mungkin berubah pikiran, tak rela rumah mewah itu pindah pemilik.

Sean malah duduk kembali didepan Netha, “Bisakah kita...” lalu ia menggelengkan kepalanya.

“Kenapa pria ini?” pikir Netha.

Sean lalu memegang salah satu tangan Netha yang besar, Netha sangat risih dan berusaha melepaskannya. “Lepaskan, Sean!”

Tapi Sean tetap tenang. Ia tak peduli dengan protesnya. Tangannya membuka tasnya, lalu memberikan amplop yang sangat tebal itu untuk Netha. “Untukmu!”

Netha memandang amplop itu dengan heran, sambil menatap Sean, ia mengambil amplop ditangan Sean. Lalu membuka nya secara perlahan, penasaran dengan apa isi di dalamnya.

Mata Netha langsung berbinar. Didalamnya ada uang tunai seratus ribuan. Ia mengeluarkannya. Sepuluh gepok uang yang sudah ia keluarkan membuatnya terperangah.

“Baru pindah tubuh, sudah dapat banyak kejutan. Kapan lagi dapat uang sebanyak gini! Ini mah kerja bertahun-tahun baru punya uang segini, itupun kalau gak digunain.” ucap Netha dalam hati ingin tertawa.

“Ini untukku?”

“Hm!”

Netha memicingkan matanya, ia berfikir, “Pasti ada yang ia mau darinya. Tidak mungkin ia memberikan uang banyak untuk ku bukan? Biasanya orang kaya atau didalam novel, memberikan uang jika tidak menyuruh pergi, ya minta tubuh bukan? Tapi nyuruh pergi, tidak mungkin kan? Minta tubuh juga, apa pria ini gila? Tubuh gemuk begini ya kali ia minta?”

“Tunggu, Sean.” ia mencoba menghentikan Sean yang dari tadi berbicara tanpa henti, tapi tidak Netha dengarkan. Entah ngomong apa dari tadi, yang penting masuk telinga kanan keluar telinga kiri.

Sean bingung, apakah ia tadi berbicara tidak didengarkan oleh istrinya? Ah sia sia saja.

“Kau memberikan semua ini untukku?”

“Hm!”

Netha menyilangkan dada nya dengan kedua tangannya, “Jangan bilang kau menginginkan tubuhku?”

Sean ingin tertawa, tapi ia tahan. Sean malah mengetuk kepala Netha dengan jari nya.

“Aw!” ucap Netha meringis.

“Apa yang kau pikirkan?”

“Benar juga! Mana mau dia dengan Netha yang tubuhnya dua kali lipatnya? Mungkin orang yang buta yang menginginkannya!” pikir Netha dalam hati.

“Aku memintamu, untuk menjaga si kembar. Bisakah kau merubah sikapmu?”

“Akan ku coba! Tenang saja!” ucap Netha sambil memeriksa apakah uang itu asli atau palsu.

Sean masih tidak percaya dengan omongan Netha, terakhir ia meninggalkan si kembar untuk bekerja selama seminggu diluar kota, semua kebutuhan si kembar bahkan mereka harus memenuhi sendiri, Netha tak peduli. Jika bukan karena ia berisiniatif meminta bawahannya mengirimkan makanan untuk si kembar, mungkin si kembar bahkan tak sempat makan.

Netha tidak mendengar suara apapun membuatnya tersadar, “Kenapa?”

“Ah tidak apa, aku mau keluar dulu!” ucap Sean yang kini tersadar.

“Kemana?”

“Cari makan!” jawab datar Sean.

Tapi Sean tak memberi kesempatan. Dengan langkah cepat dan mantap, ia menuju pintu.

“Jaga mereka.”

Hanya itu pesannya sebelum pintu tertutup di belakangnya, meninggalkan Netha yang masih bingung.

“Tunggu, Sean...”

Sean tak memberi kesempatan. Dengan langkah cepat, ia membuka pintu dan melangkah keluar.

Brak!

Pintu tertutup rapat.

Netha menatap pintu yang sudah tertutup itu, “Apakah ia tak tahu ada aplikasi beli makanan online? kenapa harus keluar hanya untuk beli makan? Apakah ia sangat kudet?”

Netha menggelengkan kepalanya, matanya menatap uang merah itu, beserta dokumen pengalihan nama rumah atas nama nya, lalu bibirnya perlahan melengkung, membentuk senyum penuh kepuasan. Ia tertawa kecil, geli sendiri melihat situasi yang tak disangka-sangka ini.

Di Ruang tamu, El dan Al wajah mereka terlihat muram. Mereka biasanya selalu mendengar percakapan Papa dan Mama nya, jika sang Mama selalu meminta berpisah, tapi Papa selalu menolaknya. Apakah kaliini, papa juga gagal meyakinkan mama nya untuk tetap bertahan?

“Apakah kali ini Papa dan Mama akan berpisah, Kak El?” bisik Al dengan suara bergetar sambil menatap ke atas lantai dua.

El hanya memainkan mainannya. “Entahlah, Aku juga tak mau mereka berdua berpisah, sebenarnya aku masih ingin bersama Papa dan Mama. Tapi setiap mereka bertemu, yang mereka debatkan adalah kata berpisah!”

“Jika mereka berpisah, kita pasti hidup sama Papa kan?” kata Al lirih, duduk di pinggir sofa.

Ia terdiam sejenak, sebelum melanjutkan dengan nada ragu. “Padahal aku masih ingin kasih sayang Mama...!” lirihnya.

“Ku harap ada keajaiban, Mama berubah bisa menyayangi kita dan tidak berpisah dengan Papa.” ucap El. Suaranya tetap datar dan dingin seperti biasanya, tapi matanya sedikit meredup dan penuh harap.

Keduanya saling berpandangan sejenak. Tanpa banyak kata, mereka berjalan pelan dari ruang keluarga menuju ruang tamu.

Sementara, Netha masih duduk di sofa, segera bangkit untuk melihat isi rumah besar itu. “Kita tour dulu melihat isi rumah ini!” ucapnya sambil berdiri dan pergi dari kamarnya.

Ia berjalan menuju ke lantai bawah, dan bertemu dengan si kembar.

“Papa mana?” tanya Al tiba-tiba.

Netha mendongak cepat. Kedua anak kembar itu berdiri di hadapannya, wajah mereka polos namun mata mereka penuh pertanyaan.

Netha melihat kedua anak itu dari bawah ke atas, kedua anak itu sangat tampan. Ya sesuai lah dengan Sean yang juga tampan. Sebelas Dua belas cetakan mereka.

“Eh... dia keluar, beli makan,” jawab Netha terbata, sedikit panik karena tidak menyangka akan ditanya secepat ini apalagi ini pertama kalinya mereka bertemu.

El menatapnya tajam. “Jadi sekarang kami di tinggal disini sama, Mama?"

Al mengerutkan kening. “Kapan Papa pulang?” tanyanya.

Netha mengangkat bahu santai. “Mana aku tahu? Papa kalian buru-buru pergi. Tidak mengucapkan kemana ia pergi. Jangan tanya kapan pulang, pasti sebentar lagi kembali. Cuma beli makan aja, gak akan lama. Memang nya beli di planet bisa lama hanya untuk beli makan?”

El, menarik lengan Al pelan. “Ayo pergi,” ujarnya singkat.

“Tapi...” Al hendak protes.

“Ayo pergi,” potong El dengan nada tegas tapi lembut.

“Ye.. Malah main pergi aja tuh dua bocah! Setidaknya salam kek! Hah, sepertinya karakter mereka berdua harus dirubah.” ucapnya dalam hati sambil melihat si kembar naik ke lantai atas menuju ke kamarnya.

Netha melihat ke seluruhan rumah besar itu satu-persatu, terakhir melangkah menuju balkon.

Angin yang sejuk menyapa wajahnya, membelai lembut rambutnya yang mulai berantakan. Ia bersandar pada pagar balkon, matanya menatap jauh ke langit

Proyek Besar Netha

Senja turun perlahan, membasuh langit dengan warna jingga keemasan. Di balkon lantai dua, angin sore berembus pelan, membelai wajah bulat Netha yang berdiri diam menatap langit.

Tubuhnya besar, penuh daging, dan jujur saja, masih asing baginya.

“Ya ampun...” gumamnya sambil menggelengkan kepala.

“Netha yang satu ini benar-benar keterlaluan. Rumah segede ini ditelantarkan dan tak di hias. Jika di renovasi pasti rumah ini akan lebih indah. Bagaimana dengan konsep modern, ala hotel mewah?”

Baru sehari ini ia masuk ke tubuh Netha yang baru. Nama boleh sama, tapi hidup mereka jauh berbeda. Kalau dulu tubuhnya ramping dan cekatan, sekarang setiap langkah terasa seperti menenteng karung beras. Tapi anehnya, tak ada rasa sesal. Ia malah tertawa kecil melihat betapa lucunya tubuhnya saat ini terpantul di kaca jendela.

“Ya Tuhan... Ini paha atau bantal leher?” gumamnya geli, menepuk paha kanan yang mengintip dari balik daster ungu longgar.

“Setidaknya wajah ini masih mulus. Nggak ada jerawat, kulit putih bersih, masih bisa di rawat.” Netha memiringkan kepalanya, mengamati wajahnya lebih seksama.

“Kalau gemuknya hilang, aku pasti akan kelihatan lebih cantik. Tapi sepertinya aku akan jadi montok meskipun nanti tubuh gemuk ini hilang. Pasti akan sexy bukan?”

Ia tersenyum tipis. “Baiklah, mulai besok pagi aku harus diet! Berat badan ini harus turun. Semangat menurunkan berat badan.”

Tapi pikiran serius segera datang mengusir tawanya.

Wajah Sean kembali terlintas di benaknya, pria yang katanya suami. Mungkin dalam dunia ini, ia memang suaminya, tapi bagi Netha yang baru saja menyeberang ke tubuh ini... semua masih absurd. Namun satu hal yang pasti, Sean sepertinya bukan pria biasa.

“Kalau cinta cuma diucap tanpa ada kontrak, ya itu namanya janji manis berlapis debu,” gumamnya pelan, menirukan peribahasa yang pernah ia dengar di dunia lamanya.

Ia memeluk tubuhnya sendiri, lebih karena dingin angin sore, lebih banyak lagi karena pikirannya yang bercabang. Bagaimana ia seharusnya bersikap terhadap Sean? Apalagi terhadap dua anak kembar yang memanggilnya Mama dengan suara nyaring penuh cinta?

“Mereka manis sekali... Tapi ya, mengurus anak kembar itu bukan kerja sambilan. Capeknya dobel, rempongnya tiga kali lipat. Masa iya aku ngurus mereka full-time tanpa kompensasi?” bibirnya merengut, menghela napas berat.

Matanya menatap langit yang mulai gelap. Ia tersenyum tipis, sinis.

“Kalau di novel atau sinetron, biasanya si istri bijak bikin perjanjian, kontrak pernikahan. Hm... bisa juga. Anggap saja Sean bos besar, dan aku karyawati yang profesional. Ada tugas, ada upah. Kan kerja juga ini. Hati boleh main, tapi jangan sampai rugi,” bisiknya, sambil berjalan.

Netha keluar dari kamarnya, lalu beranjak ke ruang kerja Sean.

HUK!!! HUK!!!

“Ya ampun, wanita ini benar-benar menjijikkan, ini sudah berapa lama tempat ini nggak dibersihkan?”

Ia menyapu setiap sudut ruangan, membuka tirai dan jendela besar itu.

Peluh mulai membasahi dahinya, Ia mengipas ngipaskan dirinya dengan buku yang berada di atas meja.

Setelah beberapa saat duduk dan menenangkan napasnya.

Ia mencari sebuah kertas kosong, dan bulpoin.

Seketika, muncul pikiran iseng yang perlahan tumbuh jadi ide serius.

“Berapa juta yang pantas aku minta untuk setiap kali mengurus acara Sean sebagai seorang komandan? Menghadiri pesta, jadi pendamping atau saat tugas ibu-ibu persit, atau sekadar jadi ibu untuk menemani si kembar? Toh, ini semua juga pekerjaan. Anggap saja dia bos dan aku... karyawan,"

Ia terkekeh pelan.

“Ya, anggap saja ini kerja. Aku digaji untuk jadi istri dan ibu profesional,” gumamnya. “Toh, dalam hidup... tak ada makan siang gratis. Bahkan cinta pun, kalau hanya satu pihak yang berjuang, bisa bikin perut lapar dan hati koyak.”

Ia segera menulis kontrak perjanjian pernikahan, Netha tersenyum. Lucu? Mungkin. Tapi inilah caranya menjaga logika tetap berjalan di tengah badai perasaan yang belum tentu.

Setelah beberapa menit berlalu, akhirnya Netha selesai menulis perjanjian kontrak itu, ia bernafas lega. Tubuhnya yang gemuk membuatnya agak susah untuk duduk dan berdiri. Ia mencoba untuk istirahat sejenak.

Setelah beberapa menit beristirahat, Netha memutuskan kembali ke kamar membawa kertas perjanjian itu, lalu ke dalam kamar nya untuk mandi.

“Aku harus bersih-bersih lagi. Badan ini lengket banget,” katanya sambil berjalan ke kamar mandi.

Di dalam kamar mandi, ia membersihkan diri dengan teliti. Air dingin membuat tubuhnya lebih segar.

Setelah mandi, kaki nya melangkah menuju ke Walk in closet, dengan menimang-nimang pakaian yang akan dipakai nya untuk menemui Sean nanti, berbicara berdua tentang surat perjanjian kontrak pernikahan itu.

“Ya Tuhan, bajunya ini-ini lagi.” Netha menyisir lemari dengan mata malas. Akhirnya, ia mengambil satu kaos yang agak longgar dan celana panjang kain berwarna cokelat. “Ini lebih mending dibandingkan baju-baju lainnya.”

Netha menarik napas dalam, mengambil ponsel nya yang ia letakkan di meja dekat ranjangnya.

Ia pergi ke aplikasi catatan, dan membuat daftar apa saja yang akan dilakukannya di masa depan.

Salah satu utamanya membuat tubuhnya turun, diet, olahraga dan melakukan aktivitas untuk membakar kalori.

Membuat anak-anak lebih dekat dengannya.

Membeli dekorasi rumah, untuk mempercantik rumahnya.

Membuka usaha rumahan.

Menjadi ibu-ibu persit, tapi ia hapus kembali. “Sepertinya ini masih belum!”

Membeli semua perlengkapan dan kebutuhan untuk dirinya sendiri, sandang, pangan, papan.

menatap refleksinya sambil berbisik, “Aku bisa melalui semua ini. Kalau memang aku harus hidup di tubuh ini, aku akan membuatnya lebih baik. Aku akan jadi lebih cantik, lebih sehat, dan lebih bahagia. Mulai besok, rencana diet dan perubahanku dimulai.”

Dengan semangat baru, Netha melangkah keluar kamar. Meskipun rumah ini sunyi, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit, sebuah harapan untuk kehidupan baru yang lebih baik, meski dimulai dengan penuh kebingungan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!