Netha Putri, 27 tahun, duduk di meja kerjanya dengan mata yang terasa berat. Jam telah menunjukkan pukul 03.00 sini hari. Sudah seharian ia sibuk mengejar deadline laporan untuk perusahaan tempat ia bekerja. Lupa makan, lupa minum, dan bahkan lupa menikmati hidup. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap cantik dengan riasan tipis yang ia pakai sejak pagi.
"Satu halaman lagi... satu halaman lagi, setelah ini selesai," gumamnya seraya mengetik cepat di laptop. Namun, rasa kantuk akhirnya tak tertahankan. Kelopak matanya tertutup, dan kepalanya tertunduk di atas meja.
Ketika Netha membuka mata, ia merasa aneh. Pandangannya buram, tubuhnya terasa berat, dan ada sesuatu yang berbeda. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun sulit. Ia merasakan kasur di bawah tubuhnya, bukan kursi kantor. Perlahan, ia berguling-guling, namun tubuhnya malah oleng hingga
Brak!!!
"Ahhh!" Netha meringis. Kepalanya terbentur sesuatu, kaleng soda. Ia terduduk di lantai, memegang kepalanya yang nyut-nyutan. "Apa-apaan ini?"
Matanya menyapu ruangan. Gelap, pengap, dan... berantakan. Sampah berserakan di lantai, gorden tertutup rapat, dan bau apek menyeruak di udara. Jantungnya berdegup kencang.
“Ini bukan rumahku…” bisiknya.
Netha berdiri dengan susah payah. Tubuhnya begitu berat. Dengan langkah terseok, ia mendekati cermin yang menempel di lemari. Apa yang dilihatnya membuatnya terkejut.
"Wah… apa-apaan ini!?"
Di cermin, seorang wanita dengan wajah mulus dan rambut hitam panjang yang sehat menatap balik ke arahnya. Namun, tubuhnya... gemuk. Sangat berbeda dari tubuh langsingnya. Kaos tidur lusuh membalut tubuh besar itu. Namun meski begitu, wajahnya tetap cantik dan kulitnya putih bersih.
“Ini... aku?”
Ingatan asing mulai berputar di kepalanya, seperti film rusak. Adegan-adegan singkat, dua anak laki-laki, seorang pria tinggi berseragam militer, dan dirinya sendiri yang terlihat lusuh, malas, dan… suka marah-marah?.
“Astaga… apa ini? Aku mimpi?!”
Dengan gemetar, ia masuk ke kamar mandi. Wajahnya yang penuh busa sabun menatap balik dari cermin kamar mandi. Setelah membersihkan diri, Netha berjalan menuju lemari pakaian. Hampir semua bajunya berwarna mencolok: merah, kuning, pink terang. Ia meringis.
“Astaga, ini baju atau permen?” gumamnya, lalu menemukan satu kaos putih dan rok lilit besar. Setelah berpakaian, ia menguncir rambutnya ala messy bun dan memoles wajahnya dengan skincare seadanya.
Setelahnya, ia membuka jendela kamar lebar-lebar. Cahaya pagi masuk dan udara segar mengusir pengap yang menyelimuti ruangan. Sprei kotor ia lepas, bungkusan makanan dan minuman ia ambil dan dikumpulkan di kresek sampah, lantai ia sapu, dan tak lupa parfum ruangan yang hanya sisa dua semprotan saja, namun ruangan itu perlahan kembali layak huni.
Sementara itu, di ruang tamu, Sean Jack Harison duduk dengan kedua anak kembarnya, Elbarack dan Albarack. Sean, dengan wajah tegas dan sorot mata dingin, sedang membaca laporan dari ponselnya. El duduk di sebelah kanan, diam seribu bahasa sambil memainkan robot kecil. Sedangkan Al, yang lebih cerewet, mulai bersandar pada bahu Sean.
“Papa, suara apa itu?” tanya Al tiba-tiba.
Sean mengangkat alis. “Suara apa?”
“Seperti suara orang jatuh. Dari kamar ‘dia’,” jawab Al, sambil menunjuk ke lantai atas dengan dagunya.
El menoleh. “Mungkin dia bangun.”
Al mendorong El pelan. “Kamu saja yang lihat.”
El menggeleng. “Kamu saja.”
“Sudah, kalian berdua lihat,” potong Sean dingin, membuat kedua anak itu saling pandang. Akhirnya, dengan wajah cemberut, Al dan El berjalan ke kamar Netha.
Tok tok tok!
“Kamu!” suara Al terdengar dari balik pintu. “Hei, bangun nggak?”
Tak ada jawaban. El mengetuk lagi, lebih keras. Namun tetap hening. Mereka juga membuka pintu itu, namun tak terbuka. Mereka akhirnya turun kembali dengan angkat bahu.
“Papa, dia nggak jawab. Pintunya juga dikunci.”
Sean hanya mendengus kecil. “Biarkan saja.”
Tanpa banyak bicara, ia bangkit dan menuju dapur. Tangannya cekatan memecahkan tiga butir telur, namun sayangnya, keahlian memasaknya benar-benar buruk. Telur ceplok yang ia buat gosong di pinggir, dan terlalu banyak garam masuk ke penggorengan.
Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah duduk di meja makan, menatap tiga piring telur gosong itu dengan ekspresi datar. Al mendesah keras.
“Papa… kenapa gosong lagi?” keluh Al.
El hanya diam sambil memandangi telur di piringnya.
Tiba-tiba, suara pintu kamar terdengar. Ketiganya menoleh ke arah tangga, dan mereka semua terdiam. Netha muncul dengan penampilan yang berbeda.
Kaos putih polos, rok lilit, rambut digelung rapi meskipun sedikit berantakan, dan wajah bersih tanpa polesan lipstik merah cerah. Penampilan yang begitu sederhana, namun membuat mereka semua terpana.
Netha berjalan menuju meja makan, menatap tiga piring telur yang tampak menyedihkan itu. Seketika, bibirnya melengkung kecil menahan tawa.
“Itu telur.... gosong?” gumamnya pelan, namun cukup terdengar. Karena Netha hanya melihat 3 piring saja, akhirnya ia ingin memasak sendiri saja.
Ketiga pria itu hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa. Netha berdehem, lalu berbalik menuju dapur. Setelah membuka kulkas dan lemari dapur, ia mendapati bahan makanan yang sangat terbatas.
“Hanya telur dan mie instan? Ya sudah, ini juga bisa,” ujarnya sambil mulai memasak.
Netha memasak porsi jumbo dengan cekatan, ditambah dengan beberapa bahan tambahan, sehingga aroma nya lebih terasa.
10 menit kemudian, Netha telah selesai memasak, ia membawa sepiring mie goreng.
Tak lama, Netha muncul kembali dengan sepiring mie goreng. Aromanya menggugah selera. El dan Al menatap piring itu dengan mata berbinar.
Netha duduk di kursinya dan hendak menyendok mie ke piringnya, namun ia berhenti sejenak. “Mau coba?” tanyanya santai.
El diam saja, sedangkan Al langsung bersuara, “Aku mau!”
“Al,” suara Sean memotong tegas. “Makan makananmu sendiri.”
Al merengut. “Tapi, Papa… ini gosong dan keasinan!”
Sean tak menjawab, hanya memandang El dan Al dengan tajam. Namun Al tak peduli. “Kamu, boleh aku makan mie-nya?” tanyanya pada Netha.
Netha terkekeh kecil. “sebentar, aku ambilkan dulu yang baru.”
El yang tadinya diam akhirnya mengangguk pelan lalu berkata “Aku juga mau.”
Sean yang cemberut, karena makanan yang ia masak Tidak dimakan oleh si kembar El dan Al, akhirnya ia mengambil telur gosong itu dan memakan semua nya. Tak masalah, Sean sudah terbiasa di militer, tak boleh mengeluh dan habiskan.
Netha akhirnya kembali ke dapur, membawa dua porsi mie goreng lagi untuk El dan Al. Begitu ia kembali, kedua anak itu makan dengan lahap. Sean hanya melirik dari ujung meja, namun gengsinya terlalu besar untuk ikut meminta.
Setelah makanan habis, Sean meletakkan sendoknya dan memandang Netha. “Nanti temui aku di ruang tamu. Ada yang ingin kubicarakan.”
Netha, yang sedang mengumpulkan piring, menoleh dan mengangguk santai. “Oke.”
El dan Al saling pandang dengan bingung, sedangkan Sean bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang tamu.
Sementara itu, Netha melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja makan dan mencuci piring-piring kotor. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di hidup barunya ini. Namun satu hal yang ia tahu pasti: dunia ini jauh berbeda dari yang ia tinggalkan.
Netha duduk di atas sofa empuk ruang tamu, memainkan ujung kaos putihnya sambil menghela napas. Jantungnya sedikit berdegup lebih cepat ketika Sean Jack Harison, pria tinggi dengan seragam militer yang rapi, datang menghampirinya. Tatapan pria itu begitu dingin, seolah mampu menusuk siapa pun yang berani menantangnya.
"Sudah selesai makan?" tanya Sean datar, tanpa melihat ke arahnya.
Netha hanya mengangguk kecil. “Sudah,” jawabnya pendek.
Sean duduk di sofa berhadapan dengannya, menaruh map cokelat di atas meja. Tangannya perlahan membuka map tersebut dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi banyak tulisan dan tanda tangan notaris di bawahnya. Netha melirik sekilas.
“Ini surat cerai,” ucap Sean tanpa basa-basi. Suaranya begitu tenang, seperti sedang membaca laporan rutin.
Netha menatapnya dengan mata sedikit melebar, namun ia cepat menguasai diri. “Cerai?” gumamnya pelan, memastikan dirinya tak salah dengar.
Netha menelan ludah, berusaha menyusun kalimat. Namun dalam hati, ia bersorak kegirangan. “Apa? Cerai? Ya ampun, ini jackpot!”
Sean melanjutkan dengan nada tegas. “Aku tidak akan mempersulitmu. Semua sudah dipersiapkan. Aku hanya meminta hak asuh untuk El dan Al. Dan sebagai gantinya, kau akan mendapatkan uang sebesar lima miliar dan rumah ini akan jadi milikmu. Jika setuju, tanda tangani.”
Netha menatap kertas itu, matanya berbinar-binar. “Lima miliar?” bisiknya dalam hati. “Rumah ini juga? Gila, ini rezeki nomplok!”
Dalam benaknya, skenario bahagia mulai terputar. Aku bisa hidup tenang, jalan-jalan keliling dunia, belanja baju bagus, perawatan spa setiap hari. Ini seperti mimpi jadi nyata!
Tanpa berpikir panjang, Netha langsung menyambar pena yang diletakkan Sean di atas meja. Dengan cepat, ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas cerai itu.
Sean mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan sikapnya yang begitu sigap. “Cepat sekali,” gumamnya dingin.
Netha hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa senangnya. “Kalau memang ini yang terbaik…” jawabnya, pura-pura pasrah.
Sean mengambil kembali kertas itu, kemudian menatapnya. Ia menarik napas dalam dan bersiap membubuhkan tanda tangannya sendiri. Namun tepat ketika ujung pulpen menyentuh kertas—
Tringggg… Tringggg…
Suara ponsel Sean berdering tajam. Sean memicingkan mata ke arah layar ponselnya. Nama “Komandan Evans” muncul di sana. Sean segera mengangkat panggilan itu, wajahnya berubah serius.
“Iya?” ucapnya singkat.
Dari seberang, terdengar suara tegas yang hanya bisa didengar Sean. Netha mencoba mendengarkan, namun Sean berdiri dan berjalan ke pojok ruangan. Ekspresi wajahnya semakin tegang seiring waktu.
“Baik, saya segera ke sana,” jawab Sean akhirnya sebelum memutus panggilan. Ia menyimpan ponsel di saku celana, lalu kembali ke meja.
“Kenapa?” tanya Netha penasaran, meskipun sebenarnya ia hanya ingin Sean segera menyelesaikan tanda tangannya.
Sean menatapnya lama sebelum menjawab. “Ada misi penting. Situasi di perbatasan darurat. Aku harus berangkat sekarang juga.”
Apa?! Netha hampir melonjak. “Tunggu… tunggu, tandatangani dulu dong! Kamu mau ke mana?”
Sean mengabaikan protes Netha. Ia berjalan cepat menuju tangga, mengambil beberapa barang di lantai atas. Tak lama kemudian, ia sudah kembali ke ruang tamu sambil mengenakan jaket dan menyiapkan tas kecilnya.
“Netha,” panggil Sean singkat.
Netha mendongak, masih dengan wajah kesal karena urusannya belum selesai. “Apa lagi?”
“Kau harus menjaga El dan Al selama aku pergi. Ini urgen, aku tidak punya waktu memikirkan pengasuh atau siapa pun.”
Netha melongo. “Apa? Aku? Nggak bisa! Tinggal tanda tangan aja, dan aku bebas. Kamu kan bisa bawa mereka.”
Sean tak peduli dengan protesnya. Ia merogoh saku jaket dan melemparkan dua kartu plastik ke atas meja, kartu kredit dan kartu debit.
“Pin-nya 112211,” ujar Sean tegas. “Kau bisa gunakan ini untuk membeli keperluan mereka atau apa pun selama aku tidak ada.”
Netha menatap kartu itu, matanya berbinar lagi. Kartu kredit? Debit? Ini makin menarik!
“Tunggu, Sean—”
Sean tak memberi kesempatan. Dengan langkah cepat, ia membuka pintu dan berlalu keluar. “Jaga mereka baik-baik. Jangan bikin masalah,” katanya dingin sebelum pintu tertutup.
Brak!
Netha terduduk di sofa, masih memegang kartu yang diberikan Sean. Bibirnya perlahan melengkung senang. “Ya ampun, uang lima miliar, rumah, kartu kredit… Wah, aku bisa hidup mewah.”
Ia tertawa kecil, senyum lebar terlukis di wajahnya. “Sepertinya dunia ini nggak seburuk yang aku kira.”
---
Dari balik pintu kamar, El dan Al mengintip diam-diam. Wajah mereka terlihat muram. Mereka mendengar semua percakapan tadi.
“Papa… mau cerai sama dia,” bisik Al dengan suara bergetar.
El hanya diam, menatap kosong ke arah ruang tamu.
“Aku tahu, kita pasti ikut Papa nanti,” lanjut Al lagi. “Tapi kenapa dia nggak bawa kita sekarang?”
El akhirnya bicara, suaranya dingin seperti biasa. “Papa ada misi.”
Keduanya saling berpandangan sejenak. Lalu, dengan langkah kecil, mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Netha masih duduk di sofa, memainkan kartu kredit sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Papa mana?” tanya Al tiba-tiba.
Netha mendongak. Ia melihat kedua anak kembar itu berdiri di hadapannya. Wajah mereka polos, namun matanya penuh pertanyaan.
“Oh, Papa kalian pergi,” jawab Netha santai, suaranya datar. “Ada misi katanya.”
Al mengerutkan kening. “Kapan pulangnya?”
Netha mengangkat bahu. “Mana aku tahu?”
El, yang sedari tadi diam, menarik lengan Al. “Ayo masuk.”
“Tapi—”
“Masuk,” potong El singkat.
Al menurut. Keduanya kembali ke kamar mereka dengan wajah muram. Di dalam kamar, Al duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai.
“Kita sendiri sekarang,” ucap Al pelan. “Dia pasti marah sama kita nanti.”
El duduk di sebelahnya. “Jangan bikin masalah. Jangan ngomong sama dia kalau nggak perlu.”
Al mengangguk kecil, meskipun hatinya masih gelisah.
---
Di ruang tamu, Netha akhirnya bangkit dari sofa, berjalan menuju balkon. Angin sore bertiup lembut, membuatnya sedikit tenang. Ia bersandar pada pagar balkon, memandang jauh ke langit.
“Hidupku berubah total,” gumamnya pelan. “Aku ini sebenarnya siapa?”
Ingatan tentang dirinya sendiri, Netha Putri, wanita karir berusia 27 tahun, masih segar di kepala. Namun kini ia terjebak di tubuh wanita lain yang hidupnya berantakan. Istri komandan militer, ibu dari anak kembar, dan sekarang…
“Ah, ini gila,” Netha mengusap wajahnya. “Bagaimana bisa aku masuk ke dunia ini?”
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia terbangun di tubuh ini. Kerja lembur, kelelahan, dan… tertidur.
“Ini mimpi? Tapi kenapa terasa begitu nyata?”
Netha membuka matanya lagi, memandang ke arah halaman depan rumah besar itu. “Tapi kalau ini nyata, aku nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Lima miliar, rumah, kartu kredit…”
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Selagi aku di sini, aku akan menikmati semua ini.”
Namun, jauh di dalam hatinya, ada rasa tak nyaman. Tatapan kosong El dan Al tadi, sikap dingin Sean, dan kenyataan bahwa ia mungkin harus bertahan hidup di dunia yang asing ini…
“Ah, sudahlah. Pikir nanti saja,” ujarnya pada diri sendiri. Ia berbalik masuk ke dalam rumah, membiarkan angin sore membawa kekhawatirannya sejenak.
Netha berdiri di balkon kamar dengan tatapan kosong mengarah ke langit yang mulai memerah. Angin sore berhembus lembut, menyibakkan beberapa helai rambutnya yang tak sengaja terlepas dari ikatan messy bun. Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat pekarangan depan rumah yang luas namun tak terurus. Rumput liar tumbuh di sana-sini, dan beberapa bagian halaman bahkan terlihat kusam.
“Ya ampun…” gumamnya sambil menggelengkan kepala. “Netha yang satu ini benar-benar keterlaluan. Rumah segede ini ditelantarkan.”
Ia mengembuskan napas panjang, memegangi kepalanya. Ingatan Netha asli, pemilik tubuh ini, perlahan mulai berdatangan, tentang kehidupan yang berantakan, sikap malas, dan hubungan buruk dengan suami serta anak-anaknya. Netha Putri yang sebenarnya hanya bisa mengelus dada. Bagaimana mungkin seorang istri bisa sedemikian tak pedulinya?
Ia melangkah masuk ke kamar dan berdiri di depan cermin besar yang terpasang di pintu lemari. Pandangannya menelusuri refleksinya. Tubuhnya gemuk, jelas tak seperti dirinya sebelumnya, yang selalu ramping dan terawat. Namun, ada satu hal yang membuatnya bersyukur.
“Setidaknya wajah ini masih mulus. Nggak ada jerawat, kulit putih bersih…” Netha memiringkan kepalanya, mengamati wajahnya lebih seksama. “Kalau gendutnya hilang, aku pasti akan kelihatan lebih cantik.”
Ia tersenyum tipis. “Baiklah, mulai besok pagi aku harus diet! Berat badan ini harus turun.”
Netha berbalik, berjalan menuju lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari, lalu mendesah panjang. “Astaga… ini pakaian atau mainan badut?” Semua pakaian di sana berwarna cerah dengan motif bunga-bunga, garis, dan corak aneh lainnya. Ada juga beberapa baju tidur dengan warna neon menyilaukan.
“Ini sih norak banget…” Netha menggerutu sambil memilah-milah pakaian. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan satu kaos abu-abu polos dan rok panjang yang sedikit kebesaran namun tidak terlalu mencolok. “Sementara ini aja, deh. Besok aku harus beli pakaian baru.”
Setelah berganti pakaian, Netha melangkah ke luar kamar menuju dapur. Begitu sampai, ia langsung mengernyitkan hidung. Bau tak sedap menyeruak dari berbagai sudut ruangan. Piring kotor menumpuk di wastafel, meja makan berantakan dengan noda-noda tak jelas, dan lantai penuh dengan remah-remah serta sisa makanan yang mengering.
“Gila, ini dapur atau kandang ayam?” Netha bergumam sambil memegangi hidung. “Aku harus bersihin semuanya. Rumah ini mau jadi milikku, kan? Jadi aku harus pastikan nyaman ditinggali.”
Dengan tekad bulat, Netha mulai bergerak. Ia menggulung lengan kaosnya hingga siku dan mengambil kain lap serta sabun cuci. Dimulai dari wastafel, ia mencuci piring-piring kotor satu per satu. Suara air mengalir dan piring bertabrakan memenuhi ruangan.
“Nggak nyangka hidup di tubuh ini bakal kayak kerja rodi,” ucapnya sambil menggosok piring dengan kuat.
Setelah semua piring bersih, ia mulai membersihkan meja makan, mengelap setiap permukaannya hingga mengkilap. Lalu ia menyapu lantai dapur, mengepel hingga benar-benar bersih, bahkan membersihkan bagian bawah lemari dapur yang berdebu.
“Sekalian buang kalori,” katanya menyemangati diri sendiri.
Tak berhenti di dapur, Netha melangkah ke ruang tamu. Ia menarik gorden tebal yang sudah kusam dan berdebu. Begitu diguncangkan, debu berhamburan membuatnya terbatuk-batuk.
“Ya ampun, ini sudah berapa lama nggak dicuci?”
Dengan penuh tenaga, ia menurunkan semua tirai jendela. Tak hanya itu, taplak meja yang penuh noda juga ia copot dan langsung ditaruh di keranjang cucian. Ia menyapu setiap sudut ruangan, membersihkan karpet, mengelap perabotan, hingga mengepel lantai dua kali.
Peluh mulai membasahi dahinya, namun ia tak berhenti. Ia bergerak ke kamar mandi, mengecek setiap sudut, lalu berjongkok membersihkan lantai keramik, menyikatnya hingga mengkilap. Rumah yang tadinya berantakan, perlahan berubah lebih rapi.
“Sekarang ini baru bisa disebut rumah,” katanya puas sambil menatap sekeliling. Ia berjalan ke dapur, membuka lemari pendingin untuk mencari minum. Namun begitu melihat isinya, Netha hanya bisa mendesah.
“Isi kulkas ini cuma angin sama sisa makanan basi. Nggak ada apa-apa…” Ia menutup pintu kulkas dengan keras, lalu mengambil air dingin dari dispenser dan menuangkannya ke dalam gelas.
Ia berjalan ke sofa di ruang tamu dan duduk dengan lunglai. “Capeknya…” keluhnya sambil meneguk air dingin. Kesegaran air itu sedikit menghapus rasa lelahnya.
Setelah beberapa saat duduk dan menenangkan napasnya, Netha mengeluarkan ponsel, yang untungnya masih ada di saku rok, dan mulai mencatat apa saja yang dibutuhkan untuk mendekor ulang rumah ini.
“Pertama, gorden baru, taplak meja… terus apa lagi ya?” Ia bergumam pelan sambil mengetik cepat di aplikasi catatan. “Oh, perabotan masak baru. Dapur ini butuh banyak peralatan. Lalu persediaan makanan buat kulkas.”
Ia melanjutkan daftarnya dengan antusias: baju baru, skincare, makeup, perlengkapan mandi, kebutuhan pribadi, dekorasi rumah, dan barang-barang kecil lainnya.
“Wah, ini sih bakal jadi proyek besar. Untung ada kartu kredit Sean. Pin-nya tadi… 112211, ya?” Netha tersenyum kecil, puas dengan rencananya.
Setelah beberapa menit beristirahat, Netha memutuskan untuk mandi. “Aku harus bersih-bersih lagi. Badan ini lengket banget,” katanya sambil berjalan ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia membersihkan diri dengan teliti. Air dingin membuat tubuhnya lebih segar, meskipun dalam hati ia masih merenung. Bagaimana bisa aku terjebak di kehidupan seperti ini?
Saat selesai mandi dan melilitkan handuk di tubuhnya, Netha berjalan menuju lemari pakaian dengan harapan tipis akan menemukan pakaian yang sedikit lebih layak. Namun saat lemari terbuka, ia kembali mendesah.
“Ya Tuhan, bajunya ini-ini lagi…” Netha menyisir lemari dengan mata malas. Akhirnya, ia mengambil satu kaos hitam polos yang agak longgar dan celana panjang kain berwarna cokelat. “Ini lebih mending dibandingkan baju-baju mencolok itu.”
Setelah berpakaian, Netha berdiri di depan cermin sekali lagi. Meskipun baju itu tidak terlalu mencolok, ia merasa masih terlihat kurang percaya diri. “Nanti aku harus belanja banyak baju. Mulai sekarang, penampilan harus nomor satu!”
Netha menarik napas dalam, menatap refleksinya sambil berbisik, “Aku bisa melalui semua ini. Kalau memang aku harus hidup di tubuh ini, aku akan membuatnya lebih baik. Aku akan jadi lebih cantik, lebih sehat, dan lebih bahagia. Mulai besok, rencana diet dan perubahanku dimulai.”
Dengan semangat baru, Netha melangkah keluar kamar. Meskipun rumah ini sunyi, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit, sebuah harapan untuk kehidupan baru yang lebih baik, meski dimulai dengan penuh kebingungan.
To Be Continued…
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!