Netha Putri, 27 tahun, duduk di meja kerjanya dengan mata yang terasa berat. Jam telah menunjukkan pukul 03.00 dini hari Sudah seharian ia sibuk mengejar deadline laporan untuk perusahaan tempat ia bekerja.
Lupa makan, lupa minum, dan bahkan lupa menikmati hidup. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap cantik dengan riasan tipis yang ia pakai sejak pagi.
"Satu halaman lagi... satu halaman lagi, setelah ini selesai," gumamnya seraya mengetik cepat di laptop. Namun, rasa kantuk akhirnya tak tertahankan. Kelopak matanya tertutup, dan kepalanya tertunduk di atas meja.
Ketika Netha membuka mata, ia merasa aneh. Pandangannya buram, tubuhnya terasa berat, dan ada sesuatu yang berbeda. Ia mencoba menggerakkan tangannya, namun sulit. Ia merasakan kasur di bawah tubuhnya, bukan kursi kantor. Perlahan, ia berguling-guling, namun tubuhnya malah oleng hingga
Brak!!!
"Ahhh!" Netha meringis. Kepalanya terbentur sesuatu, kaleng soda. Ia terduduk di lantai, memegang kepalanya yang nyut-nyutan.
"Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba ada kaleng soda di lantai. Siapa yang membuang nya sembarangan. Siapa.. Siapa..?" ucapnya marah yang belum tau dimana ia saat ini berada. Lalu membuang kaleng soda itu ke sembarangan arah.
Matanya menyapu ruangan. Gelap, pengap, dan... Terlihat berantakan. Bukan terlihat lagi, tapi benar-benar berantakan. Sampah berserakan di dimana-mana.
Bukan hanya di lantai, tapi di meja, kasur dan bahkan hampir seluruh ruangan, gorden yang masih tertutup rapat, padahal matahari telah bersinar terang, dan bau apek menyeruak di udara. Jantungnya berdegup kencang.
“Ini dimana? Ini bukan rumahku. Astaga, bukankah tadi aku masih dikantor? Setan mana yang membawaku kesini?” ucapnya panik.
Netha berdiri dengan susah payah. Tubuhnya begitu berat. “Aduh kenapa berdiri saja susah sih. Ada apa sebenarnya ini?”
Dengan langkah terseok, ia berjalan mengamati ruangan itu, hingga tatapannya terhenti di sebuah cermin yang menempel di lemari.
“Aaaaaaaa.....” Teriaknya.
Apa yang dilihatnya membuatnya terkejut. Sangat terkejut.
"Wah… apa-apaan ini!?"
Di cermin, seorang wanita dengan wajah mulus dan rambut hitam panjang yang sehat menatap balik ke arahnya. Namun, tubuhnya... gemuk.
Sangat berbeda dari tubuh langsingnya. Kaos tidur lusuh membalut tubuh besar itu. Namun meski begitu, wajahnya tetap cantik dan kulitnya putih bersih.
“Kau siapa?”
“Kenapa kau mengikuti ku berbicara?”
“Astaga apa ini... aku?”
Ingatan asing mulai berputar di kepalanya, seperti film rusak. Adegan-adegan singkat, dua anak laki-laki, seorang pria tinggi berseragam militer, dan dirinya sendiri yang terlihat lusuh, malas, dan… suka marah-marah?.
Ia bahkan harus berpegangan ke lemari agar tubuhnya tidak limbung dan terjatuh dengan tubuh gemuk nya ini.
“Astaga… apa ini? Aku mimpi?! Hahahaha.. Ya pasti ini mimpi.”
Dengan gemetar, ia masuk ke kamar mandi. Ia menatap disekitar, mengambil sabun cuci muka. Wajahnya yang penuh busa sabun menatap balik dari cermin kamar mandi.
“Astaga, apa benar ini aku? Ah sudahlah, sebaiknya aku mandi dulu. Sebelum semua nya benar-benar jelas.”
Setelah membersihkan diri, Netha berjalan dengan handuk melilit ditubuhnya, menuju lemari pakaian.
Ia buka lemari itu, hingga ia membelalakkan kedua matanya, melihat pemandangan yang membuat matanya sakit. Hampir semua bajunya berwarna mencolok, merah, kuning, pink terang. Ia meringis.
“Astaga, ini baju atau permen blaster?” gumamnya.
Lalu ia mencari-cari hingga di dasar lemari dan menemukan satu kaos putih dan rok lilit besar. Ia memakainya.
Setelah berpakaian, ia menguncir rambutnya ala messy bun dan memoles wajahnya dengan skincare seadanya. Ia mendesah panjang.
“Hah... Hidupku.. padahal aku masih belum bisa bersenang-senang.”
Setelahnya, berencana membersihkan kamar ini.
Ia membuka jendela kamar lebar-lebar. Cahaya pagi masuk dan udara segar mengusir pengap yang menyelimuti ruangan.
“Ah sejuknya... Udara disini ternyata masih segar..”
Sprei kotor ia lepas, dan menggantinya dengan yang baru. Meletakkan sprei itu di tempat ranjang kotor. Mengambil semua pakaian kotor yang juga berserakan dibawah lantai.
Bungkusan makanan dan minuman tak luput dari penglihatannya, ia ambil dan dikumpulkan di kresek sampah.
Lantai ia sapu hingga terlihat mengkilap, dan tak lupa parfum ruangan yang hanya sisa dua semprotan saja, namun ruangan itu perlahan kembali layak huni.
Lalu ia duduk di tepi ranjang. “aaaah.. Capeknya... Sungguh badan ini membuatku sulit bernafas.”
Sementara itu, di ruang tamu, Sean Jack Harison duduk dengan kedua anak kembarnya, El barack dan Al barack. Sean, dengan wajah tegas dan sorot mata dingin, sedang membaca laporan dari ponselnya.
El duduk di sebelah kanan, diam seribu bahasa sambil memainkan robot kecil. Sedangkan Al, yang lebih cerewet, mulai bersandar pada bahu Sean.
“Papa, suara apa itu? Apakah papa mendengarnya” tanya Al tiba-tiba.
Sean mengangkat alis. “Suara apa?”
“Seperti suara barang jatuh. Dari kamar atas,” jawab Al, sambil menunjuk ke lantai atas dengan dagunya.
El menoleh. “Mungkin dia bangun. Coba kamu lihat, Al.”
Al mendorong El pelan. “Kamu saja yang lihat. Aku tak mau. Aku sibuk.”
El menggeleng. “Kamu saja.”
“Sudah, kalian pergi sana, kalian berdua lihat keatas,” potong Sean dingin, membuat kedua anak itu saling pandang.
“Baik pa.” Akhirnya, dengan wajah cemberut, Al dan El berjalan ke kamar Netha.
Tok tok tok!
“Hallo...!” suara Al terdengar dari balik pintu. “Hei, sudah bangun belum? Apakah ada sesuatu di dalam? Tadi aku mendengar suara keras terjatuh.”
Tak ada jawaban. El mengetuk lagi, lebih keras. Namun tetap hening. Mereka juga hendak membuka pintu itu, namun tak terbuka alias terkunci.
Mereka mendesah panjang dan akhirnya turun kembali ke bawah dengan angkat bahu.
“Papa, wanita itu nggak jawab. Pintunya juga dikunci.”
Sean hanya mendengus kecil. “Biarkan saja. Bersiaplah, kita akan pergi dari sini setelah makan. Papa mau masak dulu.”
Tanpa banyak bicara, ia bangkit dan menuju dapur. Tangannya cekatan memecahkan tiga butir telur, namun sayangnya, keahlian memasaknya benar-benar buruk. Telur ceplok yang ia buat gosong di pinggir, dan terlalu banyak garam masuk ke penggorengan.
Tak lama kemudian, mereka bertiga sudah duduk di meja makan, menatap tiga piring telur gosong itu dengan ekspresi datar. Al mendesah keras.
“Papa… kenapa telur nya bisa gosong lagi? Tak bisa kah papa membuatnya lebih indah?” keluh Al.
“Kamu pikir papa sedang membuat karya seni?” jawab Sean dengan dingin.
El hanya diam sambil memandangi telur di piringnya.
Tiba-tiba, suara pintu kamar atas terdengar. Ketiganya menoleh ke arah tangga, dan mereka semua terdiam. Netha muncul dengan penampilan yang berbeda.
Kaos putih polos, rok lilit, rambut digelung rapi meskipun sedikit berantakan, dan wajah bersih tanpa polesan lipstik merah cerah. Penampilan yang begitu sederhana, namun membuat mereka semua terpana.
“Siapa wanita manis ini?” ucap El dan Al dalam hati.
“Apakah itu.. Netha?” ucap Sean dalam hati sambil mengerjapkan kedua matanya.
Netha berjalan menuju meja makan, menatap tiga piring telur yang tampak menyedihkan itu. Seketika, bibirnya melengkung tertawa terbahak-bahak.
“Hahahaha... Siapa yang memasak telur gosong?” gumamnya pelan, namun cukup terdengar.
Karena Netha hanya melihat 3 piring saja, ia berkata, “Apakah kau tidak memaksa bagianku?”
Semenit menunggu mereka berbicara, tapi mereka hanya menatap Netha dengan pikiran yang entah kemana.
Karena tak ada jawaban, akhirnya ia ingin memasak sendiri saja. “Sepertinya kalian bertiga bisu..”
Ketiga pria itu masih menatapnya tanpa berkata apa-apa.
“Apa yang ia katakan? Aku bisu?” ucap mereka bertiga dalam hati.
Netha berdehem, “Sungguh sial, ada disini bersama tiga laki-laki kaku.”
Netha berbalik menuju dapur. Setelah membuka kulkas dan lemari dapur, ia mendapati bahan makanan yang sangat terbatas.
“Hanya telur dan mie? Mana bahan yang lainnya? Ya sudah, ini juga bisa, dari pada aku kelaparan. Baru juga pindah tubuh, mati lagi kan gak bagus.” ujarnya sambil mulai mempersiapkan segalanya untuk memasak.
“Dengan tubuh ini, porsi kecil sepertinya kurang. Aku masak lebih banyak saja.” ucap Netha.
Netha memasak porsi jumbo dengan cekatan, ditambah dengan beberapa bahan tambahan, sehingga aroma nya lebih terasa.
Sedangkan ketiga pria dari tadi melihat Netha mulai dari mengambil telur di kulkas hingga selesai memasak dengan pikiran bingung. “Sejak kapan wanita ini memasak? Apakah masakannya nanti enak?”
Dua puluh menit kemudian, Netha telah selesai memasak, ia membawa sepiring mie goreng.
Tak lama, Netha muncul kembali dengan sepiring mie goreng. Aromanya menggugah selera. El dan Al menatap piring itu dengan mata berbinar.
“Sepertinya masakannya enak, wanginya saja sangat harum. Aku mau.” ucap El dan Al dalam hati.
Netha duduk di kursinya dan hendak menyendok mie ke piringnya, namun ia berhenti sejenak.
“Kenapa kalian menatapku.. Apakah kalian mau coba masakanku?” tanyanya santai.
El diam saja, sedangkan Al langsung bersuara, “Aku mau, bolehkan?”
“Al,” suara Sean memotong tegas. “cepat makan makananmu sendiri. Sejak kapan kamu manja begini.”
Al merengut. “Tapi, Papa… ini makanan yang dimasak papa ini gosong dan asin! Aku ingin mencoba makan masakannya. Sepertinya sangat enak.”
“Tentu saja sangat enak, bukan seperti telur gosong milik kalian. Hahahaha.” jawab Netha dengan percaya diri.
Sean tak menjawab, ia malah kesal dengan lontaran Netha. Sean hanya bisa memandang El dan Al dengan tajam.
Namun Al tak peduli. “Apakah aku boleh makan mie buatan mu? Bolehkah aku mencobanya, sedikiiiiiiit saja. Hem.” tanyanya pada Netha.
Netha terkekeh kecil. “Boleh, kebetulan aku memasak banyak. Tunggu sebentar, aku ambilkan dulu yang baru. Apakah kau juga mau?” ucap Netha menawarkan kepada El dan Sean.
El yang tadinya diam akhirnya mengangguk pelan lalu berkata “Aku juga mau. Ambilkan satu untukku juga. Tolong...”
Sean yang cemberut, karena makanan yang ia masak tidak dimakan oleh si kembar El dan Al, akhirnya ia mengambil telur-telur itu dan memakan semua nya.
“Kenapa dengan wanita ini tiba-tiba? Apakah kepalanya terbentur sesuatu?” ucap Sean dalam hati.
“Hanya telur gosong dan asin, kenapa kalian tak mau? Biar papa saja yang menghabiskan semuanya. Jangan pernah minta di masakkan lagi oleh papa.” ucap Sean yang dongkol.
Netha akhirnya kembali ke dapur, membawa dua porsi mie goreng lagi untuk El dan Al. Begitu ia kembali, kedua anak itu makan dengan lahap. Sean hanya melirik dari ujung meja, namun gengsinya terlalu besar untuk ikut meminta.
“Apakah itu benar-benar enak? Kenapa ia tak juga memberikannya kepadaku untuk di coba? Sangat pelit sekali.”
Setelah makanan habis, Sean meletakkan sendoknya dan memandang Netha. “Netha.. Nanti setelah makan, kamu temui aku di ruang tamu. Ada yang ingin kubicarakan.”
Netha, yang sedang mengumpulkan piring, menoleh dan mengangguk santai. “Oke.”
El dan Al saling pandang dengan bingung, sedangkan Sean bangkit dari kursinya dan berjalan menuju ruang tamu.
Sementara itu, Netha melanjutkan pekerjaannya, membersihkan meja makan dan mencuci piring-piring kotor. Dalam hati, ia bertanya-tanya, apa yang sebenarnya sedang terjadi di hidup barunya ini.
Kemana wanita gemuk ini berada? apakah ini sebuah novel atau game atau apa. Mana baru sampai sini sudah punya suami dan dua anak kembar lagi. Bagaimana hidupnya selanjutnya. Bisa kah ia pergi dari sini.
Netha duduk di atas sofa empuk ruang tamu, memainkan ujung kaos putihnya sambil menghela napas. “Aish, laki-laki ini.. Membuatku jengkel saja.”
Jantungnya sedikit berdegup lebih cepat ketika Sean Jack Harison, pria tinggi dengan seragam militer yang rapi, berada di hadapannya sedang menatapnya.
“Ada apa? Bukankah kamu ingin berbicara denganku? Cepat katakan.” ucap Netha mencoba untuk baik-baik saja.
Tatapan pria itu begitu dingin, seolah mampu menusuk siapa pun yang berani menantangnya.
“Astaga, biasa saja lihatnya. Ku colok juga kedua matamu itu..” ucap Netha dalam hati.
"Sudah selesai makan?" tanya Sean datar, tanpa melihat ke arahnya.
Netha hanya mengangguk kecil. “Sudah,” jawabnya pendek.
Sean duduk di sofa berhadapan dengannya, menaruh map cokelat di atas meja. Tangannya perlahan membuka map tersebut dan mengeluarkan selembar kertas yang berisi banyak tulisan dan tanda tangan notaris di bawahnya. Netha melirik sekilas.
“Ini surat cerai,” ucap Sean tanpa basa-basi. Suaranya begitu tenang, seperti sedang membaca laporan rutin.
Netha menatapnya dengan mata sedikit melebar, namun ia cepat menguasai diri. “Cerai?” gumamnya pelan, memastikan dirinya tak salah dengar.
Netha menelan ludah, berusaha menyusun kalimat. Namun dalam hati, ia bersorak kegirangan. “Apa? Cerai? Ya ampun, ini jackpot! Padahal tadi aku hanya berbicara ingin pergi dari sini. Bukankah ini keberuntungan yang hakiki?”
Sean melanjutkan dengan nada tegas. “Aku tidak akan mempersulitmu. Semua sudah dipersiapkan. Aku hanya meminta hak asuh untuk El dan Al. Dan sebagai gantinya, kau akan mendapatkan uang sebesar lima miliar dan rumah ini akan jadi milikmu. Jika setuju, tanda tangani.”
Netha menatap kertas itu, matanya berbinar-binar. “Lima miliar?” bisiknya dalam hati. “Rumah ini juga? Gila, ini rezeki nomplok! Kenapa aku tak setuju, tentu saja. Manusia mana yang menolak rezeki ini dengan percuma. Tak sia-sia pergi melintasi waktu, dapat uang dan rumah sekaligus.”
Dalam benaknya, skenario bahagia mulai terputar. “Dengan uang ini Aku bisa hidup tenang, aku akan jalan-jalan keliling dunia, belanja barang bagus, tas, sepatu, jam tangan, pakaian bermerk, perawatan spa setiap hari. Ini seperti mimpi jadi nyata! Ah aku sudah tak sabar.”
Tanpa berpikir panjang, Netha langsung menyambar pena yang diletakkan Sean di atas meja. Dengan cepat, ia membubuhkan tanda tangannya di atas kertas cerai itu. “Bebas.. Aku bebas dan akan menikmati hidupku yang baru.”
Sean mengangkat alis, tampak sedikit terkejut dengan sikapnya yang begitu sigap. “Cepat sekali, apakah ia memang dari dulu ingin berpisah?” gumamnya dingin.
Netha hanya tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan rasa senangnya.
“Kalau memang ini yang terbaik…aku bisa apa..” jawabnya, pura-pura pasrah.
Sean mengambil kembali kertas itu, kemudian menatapnya. Ia menarik napas dalam dan bersiap membubuhkan tanda tangannya sendiri. Namun tepat ketika ujung pulpen menyentuh kertas—
Tringggg… Tringggg…
Suara ponsel Sean berdering tajam. Sean memicingkan mata ke arah layar ponselnya. Nama “Komandan Evans” muncul di sana. Sean segera mengangkat panggilan itu, wajahnya berubah serius.
“Iya?” ucapnya singkat.
Dari seberang, terdengar suara tegas yang hanya bisa didengar Sean. Netha mencoba mendengarkan, namun Sean berdiri dan berjalan ke pojok ruangan. Ekspresi wajahnya semakin tegang seiring waktu.
“Baik, saya segera ke sana,” jawab Sean akhirnya sebelum memutus panggilan. Ia menyimpan ponsel di saku celana, lalu kembali ke meja.
“Kenapa?” tanya Netha penasaran, meskipun sebenarnya ia hanya ingin Sean segera menyelesaikan tanda tangannya.
Sean menatapnya lama sebelum menjawab. “Ada misi penting. Situasi di perbatasan darurat. Aku harus berangkat sekarang juga.”
Apa?! Netha hampir melonjak. “Tunggu… tunggu, tandatangani dulu dong! Kamu mau ke mana? Hei, komandan. Aku sudah menandatangani nya, sekarang giliranmu. Cepat, cepat tandatangan.”
Sean mengabaikan protes Netha. Ia berjalan cepat menuju tangga, mengambil beberapa barang di lantai atas. Tak lama kemudian, ia sudah kembali ke ruang tamu sambil mengenakan jaket dan tas kecilnya.
“Netha,” panggil Sean singkat.
Netha mendongak, masih dengan wajah kesal karena urusannya belum selesai. “Apa lagi?”
“Aku ada urusan. Kau harus menjaga El dan Al selama aku pergi. Ini urgen, aku tidak punya waktu memikirkan pengasuh atau siapa pun saat ini.”
Netha melongo. “Apa? Aku? Nggak bisa! Tinggal tanda tangan aja, aku dan kamu bebas. Kamu kan bisa bawa mereka.”
Sean tak peduli dengan protesnya. Ia merogoh saku jaket dan melemparkan dua kartu plastik ke atas meja, kartu kredit dan kartu debit.
“Pin-nya 112211,” ujar Sean tegas. “Kau bisa gunakan ini untuk membeli keperluan mereka atau apa pun selama aku tidak ada.”
Netha menatap kartu itu, matanya berbinar lagi. Kartu kredit? Debit? Ini makin menarik!
“Tunggu, Sean—”
Sean tak memberi kesempatan. Dengan langkah cepat, ia membuka pintu dan berlalu keluar. “Jaga mereka baik-baik. Jangan bikin masalah,” katanya dingin sebelum pintu tertutup.
Brak!
Netha terduduk di sofa, masih memegang kartu yang diberikan Sean. Bibirnya perlahan melengkung senang. “Ya ampun, uang lima miliar, rumah, kartu kredit… Wah, aku bisa hidup mewah. Tapi tunggu dulu, pria itu belum menandatangani surat nya. Aish.”
Ia tertawa kecil, senyum lebar terlukis di wajahnya. “Sepertinya hidupku di dunia ini nggak seburuk yang aku kira.”
Dari balik pintu kamar, El dan Al mengintip diam-diam. Wajah mereka terlihat muram. Mereka mendengar semua percakapan tadi.
“Papa… Sepertinya sudah mantap berpisah dengannya,” bisik Al dengan suara bergetar.
El hanya diam, menatap kosong ke arah ruang tamu.
“Aku tahu, sebenarnya aku masih ingin bersama nya.. Tapi, sepertinya papa sudah mengambil keputusan bulat. Sebentar lagi, kita pasti hidup bersama papa saja,” lanjut Al lagi. “Tapi kenapa dia nggak bawa kita sekarang?”
El akhirnya bicara, suaranya dingin seperti biasa. “Papa ada misi.”
Keduanya saling berpandangan sejenak. Lalu, dengan langkah kecil, mereka keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Netha masih duduk di sofa, memainkan kartu itu sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Papa mana?” tanya Al tiba-tiba.
Netha mendongak. Ia melihat kedua anak kembar itu berdiri di hadapannya. Wajah mereka polos, namun matanya penuh pertanyaan.
“Oh, pria itu? Papa kalian pergi,” jawab Netha santai, suaranya datar. “Ada misi katanya. Jadi kalian di tinggal disini.”
Al mengerutkan kening. “Kapan papa pulang?”
Netha mengangkat bahu. “Mana aku tahu? Papa kalian buru-buru pergi, jangankan bertanya kapan pulang, urusanku dengannya saja belum selesai.”
El, yang sedari tadi diam, menarik lengan Al. “Ayo masuk.”
“Tapi—” ucap Al.
“Masuk,” potong El singkat.
Al menurut. Keduanya kembali ke kamar mereka dengan wajah muram. Di dalam kamar, Al duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai.
“Kita hanya berdua sekarang,” ucap Al pelan. “Dia pasti bebas memarahi kita nanti. Apa yang akan kita lakukan, kak?”
El duduk di sebelahnya. “Kalau begitu, kita jangan bikin masalah. Jangan pernah ngomong sama dia kalau nggak perlu.”
Al mengangguk kecil, meskipun hatinya masih gelisah.
Di ruang tamu, Netha akhirnya bangkit dari sofa, berjalan menuju balkon. Angin sore bertiup lembut, membuatnya sedikit tenang. Ia bersandar pada pagar balkon, memandang jauh ke langit.
“Hidupku berubah total,” gumamnya pelan. “Wanita ini sebenarnya siapa?”
Ingatan tentang dirinya sendiri, Netha Putri, wanita karir berusia 27 tahun, masih segar di kepala. Namun kini ia terjebak di tubuh wanita lain yang hidupnya berantakan. Istri komandan militer, ibu dari anak kembar, dan sekarang…
“Ah, ini gila,” Netha mengusap wajahnya.
“Bagaimana bisa aku masuk ke dunia ini? Malaikat mana yang salah membuatku reinkarnasi ketubuh ini.”
Ia memejamkan mata, mencoba mengingat apa yang terjadi sebelum ia terbangun di tubuh ini. Kerja lembur, kelelahan, dan… tertidur.
“Ini mimpi? Hah ya pasti mimpi. Aku akan mencobanya nanti, mungkin setelah bangun tidur, aku kembali ke kantor ku. Tapi kenapa ini terasa begitu nyata?”
Netha membuka matanya lagi, memandang ke arah halaman depan rumah besar itu. “Tapi kalau ini nyata, aku nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan. Lima miliar, rumah, kartu kredit…”
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. “Selagi aku di sini, aku akan menikmati semua ini. Kapan lagi, tanpa bekerja dapat uang banyak untuk bersenang-senang. Apalagi kartu baru yang diberikan pria itu, jangan sia siakan uang ini. Yok kita gas.”
Namun tiba-tiba ia terdiam, jauh di dalam hatinya, ada rasa tak nyaman. Tatapan kosong El dan Al tadi, sikap dingin Sean, dan kenyataan bahwa ia mungkin harus bertahan hidup di dunia yang asing ini…
“Ah, sudahlah. Pikir nanti saja,” ujarnya pada diri sendiri. Ia berbalik masuk ke dalam rumah, membiarkan angin sore membawa kekhawatirannya sejenak.
Netha berdiri di balkon kamar dengan tatapan kosong mengarah ke langit yang mulai memerah. Angin sore berhembus lembut, menyibakkan beberapa helai rambutnya yang tak sengaja terlepas dari ikatan messy bun.
Dari tempatnya berdiri, ia bisa melihat pekarangan depan rumah yang luas namun tak terurus. Rumput liar tumbuh di sana-sini, dan beberapa bagian halaman bahkan terlihat kusam.
“Ya ampun...” gumamnya sambil menggelengkan kepala.
“Netha yang satu ini benar-benar keterlaluan. Rumah segede ini ditelantarkan. Jika dibersihkan pasti rumah ini akan indah.”
Ia mengembuskan napas panjang, memegangi kepalanya. Ingatan Netha asli, pemilik tubuh ini, perlahan mulai berdatangan, tentang kehidupan yang berantakan, sikap malas, dan hubungan buruk dengan suami serta anak-anaknya.
Netha Putri yang sebenarnya hanya bisa mengelus dada. Bagaimana mungkin seorang istri bisa sedemikian tak pedulinya?
Ia melangkah masuk ke kamar dan berdiri di depan cermin besar yang terpasang di pintu lemari. Pandangannya menelusuri refleksinya.
Tubuhnya gemuk, jelas tak seperti dirinya sebelumnya, yang selalu ramping dan terawat. Namun, ada satu hal yang membuatnya bersyukur.
“Setidaknya wajah ini masih mulus. Nggak ada jerawat, kulit putih bersih…” Netha memiringkan kepalanya, mengamati wajahnya lebih seksama.
“Kalau gendutnya hilang, aku pasti akan kelihatan lebih cantik. Tapi sepertinya aku akan jadi montok meskipun nanti tubuh gemuk ini hilang. Pasti akan sexy bukan?”
Ia tersenyum tipis. “Baiklah, mulai besok pagi aku harus diet! Berat badan ini harus turun. Semangat menurunkan berat badan.”
Netha berbalik, berjalan menuju lemari pakaian. Ia membuka pintu lemari, lalu mendesah panjang. “Astaga… kenapa aku harus melihat pemandangan menyilaukan ini lagi?”
Semua pakaian di sana berwarna cerah dengan motif bunga-bunga, garis, dan corak aneh lainnya. Ada juga beberapa baju tidur dengan warna neon menyilaukan.
“Ini sih norak banget…” Netha menggerutu sambil memilah-milah pakaian.
Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukan satu kaos abu-abu polos dan rok panjang yang sedikit kebesaran namun tidak terlalu mencolok.
“Sementara ini aja, deh. Besok aku harus beli pakaian baru.”
Netha keluar dari kamarnya, lalu beranjak ingin berkeliling rumah. Sayangnya ia baru sadar ternyata rumah yang ia tinggali sangat tak layak huni, hampir sama dengan kamar nya sebelumnya.
Lantai penuh dengan remah-remah serta sisa makanan yang mengering.
“Gila, ini rumah atau kandang ayam? Kenapa aku tak menyadarinya dari tadi.” Netha bergumam sambil memegangi hidung.
“Aku harus bersihin semuanya. Rumah ini mau jadi milikku, kan? Jadi aku harus pastikan nyaman ditinggali.”
Dengan tekad bulat, Netha mulai bergerak. Ia menggulung lengan kaosnya hingga siku.
“Nggak nyangka hidup di tubuh ini baru sehari datang, sudah kerja rodi saja,” ucapnya.
Setelahnya ia mulai membersihkan meja makan, mengelap setiap permukaannya hingga mengkilap. Lalu ia menyapu lantai dapur, mengepel hingga benar-benar bersih, bahkan membersihkan bagian bawah lemari dapur yang berdebu.
“Hah, capek sekali.. Tapi lumayan. Sekalian buang kalori, Ayo semangat, setidaknya bisa mengurangi 1 ons berat badanku.” katanya menyemangati diri sendiri.
Netha melangkah ke semua ruangan. Ia menurunkan semua gorden tebal yang terlihat kusam dan berdebu. Begitu diguncangkan, debu berhamburan membuatnya terbatuk-batuk.
HUK!!! HUK!!!
“Ya ampun, wanita ini benar-benar menjijikkan, ini sudah berapa lama nggak dicuci?”
Dengan penuh tenaga, ia menurunkan semua tirai jendela. Tak hanya itu, taplak meja yang penuh noda minuman dan makanan, juga ia copot dan langsung ditaruh di keranjang cucian.
Ia menyapu setiap sudut ruangan, membersihkan karpet, mengelap perabotan, hingga mengepel lantai dua kali.
Peluh mulai membasahi dahinya, namun ia tak berhenti. Ia bergerak ke kamar mandi, mengecek setiap sudut, lalu berjongkok membersihkan lantai keramik, menyikatnya hingga mengkilap. Rumah yang tadinya berantakan, perlahan berubah lebih rapi.
“Sekarang ini baru bisa disebut rumah,” katanya puas sambil menatap sekeliling. Ia berjalan ke dapur, membuka lemari pendingin untuk mencari minum. Namun begitu melihat isinya, Netha hanya bisa mendesah.
“Isi kulkas ini cuma angin sama sisa makanan basi. Nggak ada apa-apa…” Ia menutup pintu kulkas dengan keras, lalu mengambil air dingin dari dispenser dan menuangkannya ke dalam gelas.
Ia berjalan ke sofa di ruang tamu dan duduk dengan lunglai.
“Capeknya…sungguh lelah, tubuh ini sungguh berat.” keluhnya sambil meneguk air dingin. Kesegaran air itu sedikit menghapus rasa lelahnya.
Ia mengipas ngipaskan dirinya dengan buku yang berada di bawah meja.
Setelah beberapa saat duduk dan menenangkan napasnya, Netha mengeluarkan ponsel, yang untungnya masih ada di saku rok, dan mulai mencatat apa saja yang dibutuhkan untuk mendekor ulang rumah ini.
“Pertama, gorden baru, taplak meja… terus apa lagi ya?” Ia bergumam pelan sambil mengetik cepat di aplikasi catatan.
“Oh, perabotan masak baru. Dapur ini butuh banyak peralatan. Lalu persediaan makanan buat isi kulkas.”
Ia melanjutkan daftarnya dengan antusias, baju baru, skincare, makeup, perlengkapan mandi, kebutuhan pribadi, dekorasi rumah, dan barang-barang kecil lainnya.
“Wah, ini sih bakal jadi proyek besar. Untung ada kartu Sean. Pin-nya tadi… 112211, ya? Senang sekali, rumah ku akan menjadi indah tanpa mengeluarkan uang ku hasil perceraian nanti, kau sungguh cerdas, Netha.” Netha tersenyum kecil, puas dengan rencananya.
Setelah beberapa menit beristirahat, Netha memutuskan untuk mandi.
“Aku harus bersih-bersih lagi. Badan ini lengket banget,” katanya sambil berjalan ke kamar mandi.
Di dalam kamar mandi, ia membersihkan diri dengan teliti. Air dingin membuat tubuhnya lebih segar, meskipun dalam hati ia masih merenung. “Bagaimana bisa aku terjebak di kehidupan seperti ini? Kemana jiwa Netha asli ini pergi?”
Saat selesai mandi dan melilitkan handuk di tubuhnya, Netha berjalan menuju lemari pakaian dengan harapan tipis akan menemukan pakaian yang sedikit lebih layak. Namun saat lemari terbuka, ia kembali mendesah.
“Ya Tuhan, bajunya ini-ini lagi…” Netha menyisir lemari dengan mata malas. Akhirnya, ia mengambil satu kaos yang agak longgar dan celana panjang kain berwarna cokelat. “Ini lebih mending dibandingkan baju-baju mencolok itu.”
Setelah berpakaian, Netha berdiri di depan cermin sekali lagi. Meskipun baju itu tidak terlalu mencolok, ia merasa masih terlihat kurang percaya diri. “Nanti aku harus belanja banyak baju. Mulai sekarang, penampilan harus nomor satu!”
Netha menarik napas dalam, menatap refleksinya sambil berbisik, “Aku bisa melalui semua ini. Kalau memang aku harus hidup di tubuh ini, aku akan membuatnya lebih baik. Aku akan jadi lebih cantik, lebih sehat, dan lebih bahagia. Mulai besok, rencana diet dan perubahanku dimulai.”
Dengan semangat baru, Netha melangkah keluar kamar. Meskipun rumah ini sunyi, ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit, sebuah harapan untuk kehidupan baru yang lebih baik, meski dimulai dengan penuh kebingungan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!