Hutan Giripati tampak tenang di bawah sinar matahari sore. Jalan setapak yang mereka lalui dipenuhi dedaunan yang gugur, menciptakan suasana seperti lukisan alam yang damai. Raka berjalan paling depan, membawa peta yang ia unduh dari internet, sementara Andre di belakang sibuk merekam perjalanan mereka dengan kamera.
"Ini bakal jadi konten yang keren," ujar Andre dengan senyum lebar. Judulnya, 'Menaklukkan Giripati: Hutan Paling Angker di Jawa.' Aku yakin video ini bakal viral."
"Bisa nggak, sekali aja, lo nggak ngomong soal konten?" sindir Dinda sambil menggulung lengan jaketnya. "Kita di sini buat refreshing, bukan buat cari sensasi. Awas saja gara-gara perbuatan Lo kita gak bisa pulang," ancam Dinda lagi.
"Hei, siapa tahu ini jadi kenang-kenangan terakhir," sahut Andre, bercanda, meski matanya menyiratkan keseriusan.
Bima tertawa kecil. "Kenang-kenangan terakhir? Lo kebanyakan nonton film horor, Ndre. Hutan ini cuma hutan biasa. Cerita-cerita serem itu cuma buat nakut-nakutin biar orang nggak sembarangan masuk."
Namun, Citra, yang selama perjalanan lebih banyak diam, tiba-tiba berhenti. Wajahnya sedikit pucat. "Kalau cuma cerita, kenapa semua penduduk desa tadi nggak ada yang mau jadi pemandu kita? Bahkan saat kita nawarin bayar lebih?"
Semua terdiam. Raka mengangkat bahu, berusaha terlihat santai. "Mungkin mereka cuma percaya takhayul. Lagi pula, kita udah cek semua peralatan. Kompas, peta, GPS, semua aman. Kalau kita ikut jalur ini, kita pasti sampai ke tempat perkemahan sebelum gelap."
Tapi dalam hati, Raka juga menyimpan keraguan. Sepanjang perjalanan tadi, ada perasaan tak nyaman yang tak bisa ia jelaskan. Seolah-olah ada sesuatu yang mengawasi dari balik pepohonan.
Matahari mulai tenggelam.
Mereka tiba di sebuah persimpangan kecil. Jalur setapak bercabang menjadi dua arah. Satu jalur tampak lebih lebar, dengan tanda-tanda bekas jejak kaki, sementara jalur lainnya sempit, hampir tertutup semak-semak.
"Arah mana, Rak?" tanya Bima, suaranya terdengar lebih pelan dari biasanya.
Raka menatap peta, lalu GPS. Keduanya memberi informasi berbeda. GPS menunjukkan jalur lebar sebagai rute utama, tapi peta yang dipegang Raka justru menunjukkan jalur sempit itu sebagai jalan yang benar.
"Kalau ikut peta, kita ambil yang sempit ini," ujar Raka, sedikit ragu.
"Lo yakin?" tanya Andre.
"Tentu aja yakin." Tapi suaranya terdengar lebih seperti meyakinkan diri sendiri.
Tanpa banyak bicara, mereka memutuskan mengikuti jalur sempit itu. Pepohonan di kanan kiri semakin rapat, menghalangi sisa-sisa cahaya senja. Suara burung dan binatang lain perlahan menghilang, digantikan oleh kesunyian yang mencekam.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, mereka tiba di sebuah batu besar yang menjulang di tengah jalur. Batu itu tertutup lumut, dengan goresan-goresan aneh yang terlihat seperti tulisan kuno.
"Ada yang tahu ini tulisan apa?" tanya Citra sambil menunjuk salah satu goresan.
"Nggak penting. Kita harus cepet-cepet nyari tempat buat buka tenda sebelum gelap," balas Dinda, jelas mulai cemas.
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, terdengar suara keras dari balik pepohonan. Seperti ranting yang patah, diikuti bunyi langkah kaki berat.
Raka mengangkat tangan, memberi isyarat agar semua berhenti. "Dengar itu?" bisiknya.
Langkah itu semakin mendekat. Suara dedaunan yang terinjak terdengar jelas. Tapi saat mereka menoleh ke arah suara, tidak ada apa-apa.
"Siapa di sana?" Raka berseru, suaranya tegas, meski ada nada takut.
Tidak ada jawaban.
Kemudian, dari arah yang berlawanan, terdengar suara yang sama—langkah berat, ranting yang patah. Kali ini, terdengar lebih dekat, lebih jelas.
"Kita harus pergi sekarang," kata Dinda, hampir berbisik.
Sebelum mereka sempat bergerak, Andre berteriak, "Lihat itu!"
Semua menoleh ke arah yang ditunjuk Andre. Di kejauhan, di balik pepohonan, tampak sosok tinggi besar, bayangan hitam dengan mata merah menyala, berdiri diam memandang mereka.
Dan dalam sekejap, sosok itu menghilang.
"Kita nggak sendiri di sini," bisik Citra dengan suara gemetar.
Malam baru saja dimulai.
Hutan Giripati kini benar-benar tertelan kegelapan. Sisa-sisa cahaya senja telah menghilang, digantikan oleh bayang-bayang pekat yang seperti hidup, bergerak perlahan di antara pepohonan. Udara dingin merayap, membawa aroma tanah basah yang menyengat. Suara langkah berat yang mereka dengar tadi seakan lenyap begitu saja, tapi ketegangan di udara masih menggantung seperti benang halus yang siap putus kapan saja.
“Raka, lo yakin kita masih di jalur yang bener?” suara Bima bergetar, berusaha keras untuk terdengar biasa.
Raka memeriksa peta di tangannya, tapi jalur yang seharusnya mereka lalui tidak lagi cocok dengan yang ada di depan mata. Hutan di sekitar mereka terlalu rapat, dan semak-semak tebal kini memenuhi jalan yang sebelumnya terlihat jelas. Ia menggigit bibir, mencoba menahan rasa paniknya.
“Menurut peta, kita harus terus lurus… Tapi—”
“Tapi apa?” potong Andre tajam. “Jangan bilang lo nyasar.”
“Gue nggak nyasar!” balas Raka cepat, meski nadanya terdengar ragu. “Ini cuma… aneh aja. Jalurnya kayak berubah.”
“Berubah?” Dinda menatap Raka dengan tatapan tajam. “Lo denger nggak apa yang lo bilang? Jalur nggak mungkin berubah. Itu bukan logis.”
“Aku setuju sama Dinda,” Citra bergumam pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi… mungkin ada hal di sini yang nggak logis.”
Andre mendengus, meski nada percaya dirinya mulai luntur. “Udahlah, jangan paranoid. Kita buka tenda aja di sini. Besok pagi kita bisa cari jalan keluar.”
“Buka tenda di sini?” Dinda melotot. “Lo gila, Ndre? Kita nggak tahu apa yang ada di sekitar sini!”
Sebelum perdebatan semakin panas, terdengar suara lain. Bukan suara langkah, melainkan gumaman pelan, seperti seseorang yang berbicara dalam bahasa yang tak mereka mengerti. Suara itu terdengar jauh, tapi cukup jelas untuk membuat bulu kuduk mereka meremang.
“Apa itu?” bisik Citra, wajahnya pucat pasi.
“Gue nggak tahu, tapi gue nggak mau tau juga,” sahut Bima cepat. “Kita harus pergi. Sekarang.”
Namun, ketika mereka mencoba kembali ke arah semula, jalur yang mereka lalui tadi tidak lagi ada. Semuanya telah berubah menjadi dinding semak-semak yang rapat, mustahil untuk dilewati.
“Ini nggak masuk akal…” Raka bergumam, suaranya hampir hilang.
“Berarti kita terjebak.” Andre menatap Raka tajam. “Lo yang bawa kita ke sini. Lo harus tahu cara keluar!”
“Diam!” bentak Dinda. “Berantem nggak bakal bantu. Kita harus tetap tenang!”
Namun, ketenangan itu sulit dicapai. Suara gumaman tadi kembali terdengar, kali ini lebih dekat, lebih jelas. Kata-katanya masih asing, tapi nadanya seperti… mengancam. Dan kemudian, suara itu berhenti. Hening.
“Kenapa… berhenti?” Citra menoleh ke kanan dan kiri dengan cemas.
Tiba-tiba, di balik semak-semak, terdengar bunyi gesekan pelan. Suara daun-daun yang terseret di tanah. Dan dari kegelapan, sesuatu muncul.
Tangan.
Tangan hitam legam yang panjang, kurus, dengan kuku-kuku tajam yang tampak seperti cakar, menjulur dari balik semak-semak. Perlahan, tangan itu mencengkeram batang pohon, seolah-olah pemiliknya sedang bersiap menarik tubuhnya keluar.
Andre mundur dengan wajah pucat. Kamera di tangannya bergetar, tapi ia masih merekam. “Apa itu…”
Sebelum ada yang sempat menjawab, tangan lain muncul di sisi lain semak-semak, mencengkeram batang pohon lain. Dan kemudian, mata itu muncul. Mata merah menyala yang tadi mereka lihat, kini menatap mereka dengan intensitas yang membakar.
“LARI!” teriak Raka, memecah ketegangan.
Tanpa pikir panjang, mereka semua berlari ke arah yang berlawanan. Tidak ada lagi jalur yang jelas—hanya insting yang membawa mereka menjauh dari sosok mengerikan itu. Nafas mereka memburu, jantung mereka berdetak kencang. Semak-semak berduri merobek kulit mereka, tapi mereka tidak peduli. Yang ada di pikiran mereka hanya satu: keluar dari sini.
Namun, suara langkah berat itu kembali terdengar. Kali ini lebih cepat, lebih keras, seolah mengejar mereka.
“Aku nggak mau mati di sini!” tangis Citra di sela-sela nafasnya.
“Terus lari!” balas Dinda, menarik tangan Citra agar tetap bersamanya.
Mereka berlari tanpa henti hingga tiba di sebuah area yang lebih terbuka. Di tengahnya, berdiri sebuah bangunan kecil yang tampak tua. Dindingnya dari kayu yang sudah lapuk, atapnya miring, hampir roboh.
“Apa itu?” tanya Bima, terengah-engah.
“Tempat berlindung,” kata Raka tanpa berpikir panjang. “Kita masuk ke sana!”
“Gila lo?” Dinda menatapnya tajam. “Kita nggak tahu apa yang ada di dalam!”
“Dan kita juga nggak tahu apa yang ada di belakang kita!” bentak Andre.
Pilihan mereka sedikit. Dengan berat hati, mereka memutuskan masuk ke bangunan itu. Pintu kayunya berderit pelan saat Raka mendorongnya, mengungkapkan ruangan gelap dengan aroma apak dan debu yang menyesakkan.
Namun, sebelum mereka sempat menutup pintu, suara langkah itu berhenti.
Keheningan yang mematikan kembali menyelimuti.
“Kalian rasa… kita aman?” bisik Citra, matanya tak lepas dari pintu yang terbuka.
Tiba-tiba, pintu tertutup sendiri dengan keras, membuat mereka semua melompat ketakutan. Dari balik kegelapan ruangan, terdengar suara lain. Suara napas berat, dalam, dan sangat dekat.
“Jangan… berbalik,” bisik Raka, suaranya hampir tak terdengar.
Namun mereka tahu, apapun yang ada di ruangan itu, sedang berdiri tepat di belakang mereka.
Ruangan di dalam gubuk tua itu gelap pekat, dengan hanya sedikit cahaya bulan yang masuk melalui celah-celah dinding kayu yang lapuk. Udara di dalam terasa dingin, lembap, dan berat—seolah-olah sesuatu di sana tidak ingin mereka tinggal. Mereka berdiri saling berdekatan, tubuh mereka kaku, mendengar suara napas berat yang terdengar begitu dekat.
“Ini... bukan cuma perasaan gue, kan?” bisik Andre, nyaris tak bersuara.
Tidak ada yang menjawab. Semua terdiam, terlalu takut untuk bergerak. Napas berat itu terdengar seperti berasal dari makhluk besar, hanya beberapa langkah di belakang mereka.
“Jangan… berbalik,” ulang Raka, lebih pelan, nyaris seperti doa.
Namun, ketegangan itu terlalu berat untuk ditahan. Citra, yang berdiri paling dekat dengan dinding, bergetar hebat. Dia menggigit bibirnya, mencoba menahan teriakannya, tapi tubuhnya seakan ingin lari. Tiba-tiba, sebuah tangan dingin menyentuh pundaknya.
Citra menjerit.
Jeritannya memecah keheningan, membuat semua orang spontan berbalik. Namun saat mereka melihat ke belakang, tidak ada apa-apa.
Hanya bayangan gelap di sudut ruangan.
“APA ITU!” teriak Bima sambil menunjuk sudut ruangan, tempat sebuah sosok perlahan terlihat dari kegelapan. Sosok itu tinggi, sangat tinggi, lebih besar daripada manusia biasa. Tubuhnya hitam pekat, seolah tidak sepenuhnya berbentuk, seperti bayangan yang hidup. Mata merah menyala itu kembali menatap mereka, menyiratkan rasa lapar yang tidak terjelaskan.
Raka mengangkat sebuah kayu tua dari lantai, memegangnya seperti senjata. “Jangan dekati kami!” teriaknya, meski jelas ia ketakutan.
Makhluk itu tidak bergerak. Hanya berdiri, memandang mereka. Tapi semakin lama mereka menatapnya, semakin mereka merasa sesuatu sedang menarik mereka. Ruangan itu terasa berputar, menjadi lebih gelap, lebih kecil. Suara-suara aneh mulai terdengar—gumaman-gumaman dalam bahasa yang tidak mereka mengerti, bercampur dengan tawa kecil yang menyeramkan.
“Ini bukan nyata… ini bukan nyata…” Andre bergumam sambil memegangi kepalanya.
“Keluar dari sini! SEKARANG!” teriak Dinda, menarik tangan Citra yang masih gemetar.
Raka membuka pintu dengan paksa. Mereka semua berlari keluar, meninggalkan gubuk itu tanpa menoleh ke belakang. Udara dingin malam menyambut mereka, tapi hutan di luar terasa lebih menakutkan daripada sebelumnya. Pohon-pohon tinggi tampak seperti raksasa yang mengawasi, dan bayang-bayang mereka bergerak dengan cara yang tidak alami.
“Kita ke mana sekarang?” tanya Andre dengan suara putus asa. Kamera di tangannya kini tergantung lemah, lensa pecah akibat jatuh saat mereka berlari keluar.
“Kita harus cari jalan keluar!” balas Bima.
“Jalan keluar? Kita bahkan nggak tahu di mana kita sekarang!” balas Andre, hampir menangis.
Tiba-tiba, suara itu terdengar lagi. Langkah kaki berat. Kali ini lebih cepat, lebih keras. Mereka menoleh ke arah suara, dan bayangan hitam itu terlihat lagi. Berjalan perlahan, tetapi setiap langkahnya mengguncang tanah di bawah mereka.
“Cepat!” Raka berteriak. “Ikut gue!”
Mereka berlari mengikuti Raka, yang membawa mereka lebih jauh ke dalam hutan. Setiap langkah terasa semakin berat, seolah-olah tanah di bawah mereka menarik mereka masuk. Ranting-ranting tajam mencakar kulit mereka, udara semakin dingin hingga napas mereka terlihat seperti uap putih.
Namun, bayangan itu tetap mengikuti, tak pernah jauh di belakang.
---
Setelah berlari tanpa arah selama beberapa menit, mereka tiba di sebuah celah di antara dua tebing batu yang curam. Di dalamnya terdapat sebuah lorong sempit yang tampak seperti jalan keluar.
“Lewat sini!” teriak Raka, meski hatinya ragu. Lorong itu gelap, dan udara di sekitarnya terasa lebih dingin. Tapi mereka tidak punya pilihan lain.
Satu per satu, mereka masuk ke dalam lorong itu. Suasana di dalam lebih mencekam. Dinding-dinding batu yang sempit menekan mereka dari kedua sisi, dan suara langkah kaki mereka menggema, menciptakan ilusi bahwa mereka tidak sendiri.
“Apa kita… aman?” tanya Citra, suaranya hampir tak terdengar.
Sebelum ada yang sempat menjawab, sebuah tangan kurus dengan kuku panjang mencengkeram bahu Andre dari belakang.
Andre menjerit, tubuhnya ditarik dengan kekuatan luar biasa ke dalam kegelapan lorong. “TOLONG GUE!” teriaknya, tangannya meraih ke depan, mencoba mencari pegangan.
“ANDRE!” Raka dan Bima berusaha menariknya, tapi kekuatan itu terlalu besar. Dalam sekejap, Andre menghilang, lenyap di balik kegelapan lorong.
Semua terdiam, napas mereka terengah-engah. Hanya suara napas mereka yang tersisa, hingga akhirnya, suara langkah berat itu terdengar lagi—kali ini dari dalam lorong.
“Kita harus terus jalan,” bisik Raka, suaranya serak.
“Tapi Andre—” Dinda mulai bicara, tapi Raka memotongnya. “Kita nggak bisa nolong dia kalau kita mati!”
Mereka melanjutkan perjalanan, meski hati mereka penuh rasa bersalah. Langkah mereka semakin cepat, mencoba mengabaikan suara langkah berat yang terus mengikuti dari belakang.
Lorong itu membawa mereka ke sebuah ruang terbuka. Namun, pemandangan yang mereka temukan jauh dari yang mereka harapkan. Di depan mereka berdiri sebuah altar batu besar, dengan simbol-simbol aneh yang terukir di permukaannya. Di sekitar altar, lilin-lilin besar menyala dengan api biru, meski tidak ada angin yang berhembus.
“Ini apa…” bisik Citra, tubuhnya menggigil.
Sebelum ada yang menjawab, suara gumaman tadi terdengar lagi. Kali ini, lebih jelas, lebih keras. Mereka menyadari bahwa suara itu berasal dari altar. Dan di atas altar itu, perlahan, sesosok tubuh mulai terbentuk dari kegelapan.
Mata merah menyala itu kembali menatap mereka, kali ini disertai tawa kecil yang membuat darah mereka membeku.
“Kita nggak akan keluar dari sini…” ujar Bima dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Namun, Raka melangkah maju. Dengan tangan gemetar, ia mengambil kayu dari lantai dan berteriak, “Kalau kita mati, kita lawan sampai akhir!”
Sosok itu hanya tersenyum, menunjukkan gigi-giginya yang tajam. Dan sebelum ada yang sempat bergerak, bayangan itu melompat ke arah mereka, menelan seluruh ruangan dalam kegelapan yang mencekam.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!