"Kalian harus menikah."
"A-apa?!!"
Elil mengerjapkan mata. Sedangkan Cio, kedua mata pria tersebut membelalak besar seperti jengkol.
"Menikah? I-Ibu, apa-apaan ini?" teriak Cio syok.
"Kau itu yang apa-apaan!" Patricia meradang. Dia melepas high heels miliknya kemudian dilemparkan ke arah putranya yang telah berkelakuan buruk. "Ibu sangat kecewa padamu, Cio! Lihat apa yang telah kau lakukan pada Elil. Kau melecehkannya!"
"Itu fitnah. Aku tidak melakukan apapun padanya!"
"Tidak kepalamu itu! Coba perhatikan baik-baik penampilan kalian sekarang. Sama-sama tidak memakai baju dan banyak bekas keunguan di tubuh Elil. Apanya yang tidak melakukan apa-apa hah!!"
Gluk
Cio menelan ludah. Setelah itu dia menoleh, menatap nanar ke arah jejak kissmark yang tertinggal di leher, dada, serta bahu Elil. Dengan bukti sejelas ini wajar jika ibunya kesurupan. Cio kemudian mengumpat dalam hati, merutuki kebodohannya yang gagal melawan hawa nafsu untuk tidak meniduri gadis tersebut.
(Arghhh, sial! Sial! Sial! Kenapa aku bisa lepas kendali begini sih. Elil itu hanya gadis ingusan berdada rata yang tidak menarik sama sekali. Bagaimana bisa aku terbujuk pesonanya yang tidak seberapa itu. Ini tidak benar. Semalam aku pasti tidak sadar saat melakukan itu padanya. Ya, aku sedang tidak sadar)
"Masih ingin mengelak? Iya?" tanya Patricia sambil bernapas terengah-engah. Dia lalu berkacak pinggang sambil menatap bengis pada putranya yang malah melamun sambil menatap dada Elil yang setengah terbuka.
"Bibi, kau itu sebenarnya kenapa?" tanya Elil dengan polosnya.
"Hah?"
"Aku dan Cio itu cuma tidur kok. Memang kalau orang tidur itu berdosa ya?"
"E-Elil, kau .... "
Jantung Patricia seperti berhenti berdetak melihat sikap polos Elil dalam menanggapi amarahnya. Yang benar saja. Apa gadis ini tidak sadar akan perbuatannya dengan Cio? Jelas-jelas putranya telah merenggut kesuciannya, tapi kenapa gadis ini malah bersikap bodoh begini?
"Aduh, kok sakit ya," gumam Elil saat ingin menggerakkan kaki. Dia merenung sesaat. "Seperti ada yang mengganjal. Aneh,"
Sambil tertawa kikuk, Cio menggaruk rambutnya. Dia bingung sendiri harus bersikap bagaimana menghadapi kepolosan Elil. Apa gadis ini tidak sadar kalau rasa sakit yang muncul berasal dari keperawanan yang telah dia renggut? Bodoh.
"Uh, seperti ada batang kayu di dalam milikku. Aku ... aku tidak bisa berjalan!" pekik Elil sambil mengernyit menahan sakit. Dia lalu menatap ibunya Cio dengan sorot mata memelas. "Bibi, tolong bantu aku mengeluarkan batang kayu ini supaya aku bisa berjalan lagi. Rasanya benar-benar aneh. Juga sangat sakit. Tolong aku ya,"
Junio yang baru masuk ke dalam kamar seperti akan muntah darah mendengar ucapan Elil. Dia heran, gadis ini bodoh atau polos? Sudah jelas di sampingnya ada laki-laki yang bertelanjang badan, mengapa malah dikira ada batang kayu yang terselip di lubang guanya? Mungkinkah Elil tidak tahu apa itu hilang keperawanan?
"Tundukkan pandanganmu bodoh! Sekali lagi berani melihat ke arah depan, akan ku congkel biji matamu itu sampai keluar. Mau!" ancam Patricia sambil mencubit pinggang Junio.
"Aku tidak melihat apa-apa, sayang. Cuma tidak mengerti saja dengan cara berpikir gadis itu," bisik Junio sambil meringis. Cubitan istrinya sangat pedas.
"Kau pikir aku akan percaya? Kau dan Cio itu sama mata keranjangnya ya. Lebih baik sekarang cepat tundukkan pandanganmu sebelum aku benar-benar mencongkel biji matamu. Cepat!"
(Huh, resiko punya istri raja rimba. Baru juga menikmati barang bagus sudah saja diancam akan dicongkel biji matanya. Patricia ini tidak tahu saja orang sedang bahagia,)
Melihat Elil yang kesulitan saat ingin menggerakkan kaki, Patricia pun segera berjalan menghampirinya. Dengan kasar dia menarik selimut yang menutup tubuh Cio kemudian melilitkannya ke tubuh polos gadis ini.
"Mau ke mana, hm?"
"Bibi, hikss. Apa semalam aku terjatuh dari pohon? Rasanya seperti ada batang kayu yang menancap di milikku. Sakit sekali," rengek Elil mulai terisak. Dia tak bohong. Rasanya benar-benar sangat sakit.
"Tidak, sayang. Kau tidak jatuh dari pohon, tapi ...."
"Tapi apa, Bi? Pohonnya yang jatuh dan menimpa milikku ya?"
Jawaban polos Elil sukses membuat Cio mendengus kasar. Bodoh, benar-benar sangat bodoh. Padahal sangat jelas kalau semalam mereka melakukan hubungan intim, tapi kenapa gadis ini masih tak sadar juga? Memang sih mereka melakukannya dalam kondisi Elil sedang terpengaruh alkohol, tapi masa iya sepolos itu sampai tak menyadari sudah kehilangan keperawanan?
"Cio, cepat bangun dan belikan obat untuk Elil. Gara-gara ulahmu juga dia jadi kesakitan begini!" teriak Patricia geram. Sebagai sesama wanita yang pernah menjadi perawan, Patricia jelas tahu seperti apa rasa sakit yang sedang ditanggung oleh Elil. Rasanya cukup menyiksa.
"Ck, pesan lewat online sajalah, Bu. Aku sedang malas," sahut Cio sekenanya.
"Oh, sudah berani membantah perintah Ibu ya?!"
"Ya tidak begitu juga, Bu. Astaga." Cio mengusap wajah. Dengan sangat terpaksa dia akhirnya beranjak dari ranjang, membiarkan tubuhnya yang polos terekspos begitu saja tanpa merasa malu.
Patricia berdecih. "Lihatlah kelakuan bajingan itu. Dia bahkan tak merasa malu pada ibunya sendiri. Benar-benar jelmaan ayahnya."
"Aku mendengarmu, sayang," protes Junio. Kepalanya masih tertunduk, tak berani melanggar perintah sang nyonya.
"Memang benar kok apa yang aku katakan. Mau mengelak?"
"Tidak. Semua yang kau katakan adalah benar."
"Baguslah kalau kau sadar."
Elil yang sedang kesakitan, semakin meraung saat rasa sakit di bagian miliknya kian terasa. Melihat hal itu pun Patricia merasa semakin tak tega. Dia lalu berteriak memanggil Cio.
"Apalagi sih, Bu!" kesal Cio yang kini sudah berpakaian lengkap. Ekor matanya tampak melirik ke arah Elil yang sedang menangis tersedu-sedu.
(Berlebihan sekali. Memangnya sesakit itu ya?)
"Cepat bantu Elil ke kamar mandi."
"Aku?"
"Lalu siapa lagi kalau bukan kau? Ayahmu?"
"Ck, dia itukan punya kaki. Kenapa tidak berjalan sendiri? Merepotkan saja!"
Jtaakkk
Satu jitakan melayang keras di kepala Cio setelah melontarkan kalimat tersebut. Tak berani mengaduh, dia bergegas mengangkat tubuh Elil dan membawanya masuk ke kamar mandi. Urusannya akan jadi panjang kalau dia berani membantah keinginan ibunya.
"Hikss, Cio. Tolong bantu aku melihat apa yang ada di sini ya. Rasanya sungguh sangat luar biasa sakit. Tolong ya," ucap Elil sembari menunjuk ke bagian bawah tubuhnya. Saking merasa sakit, dia sampai tak memperhatikan kalau selimut yang membungkus tubuhnya tersingkap. Bukan tersingkap sih, tapi memang sengaja dia buka untuk memudahkan Cio menarik batang kayu yang terselip diantara dua paha.
Tubuh Cio membeku dan matanya lurus menatap ke arah gundukan daging yang semalam membuatnya hampir gila. Apakah ini undangan?
"Elil, kau yakin memintaku untuk melihatnya?" tanya Cio tak berhenti menelan ludah. Dia pria normal, wajar kalau juniornya menegang.
"Iya. Matamu tidak buta 'kan?"
"Te-tentu saja tidak."
"Kalau begitu tolong bantu aku ya. Aku tidak tahan dengan rasa sakitnya."
Kembali Cio menelan ludah. Tepat ketika akan menyentuh gundukan daging tersebut, pintu kamar mandi dibuka dari luar. Sontak hal itu membuat Cio terjengkang ke depan hingga wajahnya menyentuh sesuatu yang ....
"CIO MORIGAN STOLLER! APA YANG SEDANG KAU LAKUKAN HAH!!"
***
"Aku?"
Setelah berhasil mengusir ayah dan ibunya pergi, Cio segera menemui Elil yang sedang istirahat di dalam kamar. Heran, itu reaksi pertama yang muncul begitu menyaksikan gadis tersebut yang sedang berbaring dengan gaya kupu-kupu.
"Apa dia pikir ini rumahnya?" gumam Cio. "Sudah tidak ingat dengan kejadian semalamkah? Bisa-bisanya malah membuat pose undangan. Ku perk*sa lagi baru tahu rasa kau."
Cio menghela nafas. Pikirannya menerawang jauh mengingat kejadian buruk sekaligus nikmat yang membuatnya terjebak oleh desakan pernikahan.
"Masa iya aku harus menikahi gadis ingusan seperti dia? Elil sungguh bukan tipeku. Dadanya terlalu rata dan sikapnya kurang agresif. Tetapi kalau aku menolak perintah Ibu, itu sama artinya dengan aku sedang menggali lubang kubur sendiri. Apa yang harus ku lakukan ya?"
Flashback
"Hei hei hei, apa yang sedang kau lakukan? Cepat turunkan bajumu!" teriak Cio panik saat Elil menyingkap dresnya ke atas. Reaksi yang cukup normal memang, tapi sebenarnya tatapan Cio tak bisa lari dari rayuan maut secumpuk daging yang tampak menggunduk dibalik celana d*lama milik gadis ini. Dia ... terpancing b*rahi.
"Ugg tubuhku rasanya seperti dibakar. Aku mau buka baju ini saja. Gerah," sahut Elil sambil menggeliat. Wajahnya memerah dan pandangannya mengabut. Setengah tak sadar, dia menarik leher Cio lalu menyatukan bibir mereka. Setelah itu Elil mend*sah pelan. "Panas. Tolong aku,"
"T-tolong apa?"
"Aku tidak mau pakai baju ini,"
"Sadar tidak kau sedang bersama siapa?"
"Sadar,"
"Siapa aku?"
"Manusia mesum yang sering mengataiku gadis berdada rata."
Jawaban jujur Elil tanpa sadar membuat Cio meng*lum senyum. Ditatapnya lekat-lekat wajah gadis ini yang sudah memerah seperti buah tomat.
"Cantik juga kalau dipandang dari jarak dekat. Cicip sedikit boleh kali ya?" ujar Cio sambil menj*lat bibir. Posisi wajah mereka sangat dekat, bahkan dia bisa merasakan embusan napas Elil yang sangat hangat. Didukung dengan kondisi sepi di mana Cio memutuskan untuk membawa Elil ke apartemennya saja, membuat kesempatan ini semakin mempunyai peluang besar. "Elil, kau bilang gerah memakai baju ini. Bagaimana kalau kita sama-sama melepas baju supaya lebih relaks. Kau mau tidak?"
Ada desakan aneh di tubuh Elil saat Cio berbisik di telinganya. Merinding, tapi juga mendamba. Ini sangat aneh, tapi Elil seperti tak punya tenaga untuk sekadar bicara. Hanya satu yang dia ingin lakukan sekarang, yaitu membuka baju.
"Gerah, Cio. Aku mau buka baju sekarang juga. Minggir,"
"Biar aku saja yang membuka bajumu."
"Tidak mau. Kau menyebalkan, lelet seperti keong. Awas,"
"Wahh, berani sekali kau mengejekku. Tidak tahu ya kalau aku ini adalah seorang Casanova penakluk banyak wanita?" kesal Cio tak terima disebut lambat seperti keong.
"Wanita mana yang bisa ditaklukkan oleh orang sepertimu. Kau pasti berkhayal. Iyakan? Hahaha,"
"Sialan sekali kau! Tanggung sendiri akibatnya karena sudah berani meremehkanku. Huh!"
"Coba buktikan kalau memang ucapanmu benar. Membantuku membuka baju saja kau tidak berani, masa iya jadi seorang Casanova. Cacing di dalam perutku sampai terpingkal-pingkal mendengarnya," ejek Elil tak sadar sedang membangunkan singa yang sedang tidur. Dia bicara dengan kondisi mata setengah terbuka dan setengah terpejam.
Panas, tanpa membuang waktu lagi Cio pun segera beraksi. Dia membopong tubuh lemas Elil lalu membaringkannya di ranjang. Sambil terus mengawasi gadis ini, dia mulai melucuti pakaiannya. Menyusul dia merobek paksa dres milik Elil hingga menampilkan seluruh bagian tubuhnya yang ternyata sangat bersih. Cio kebakaran.
(Brengsek! Tidak ku sangka tubuh Elil akan semulus ini. Argghh!)
"Keong, kau sedang melihat apa? Kemarilah. Tubuhku ingin disentuh," rengek Elil penuh damba. Tatapannya sayu, sarat akan napsu yang berkabut.
"Hei bodoh, jangan salahkan aku kalau malam ini kita tidur bersama. Kau yang mengundangku. Ingat itu baik-baik!" pesan Cio sambil terus menelan ludah.
"Tidur ya tidur saja, kenapa harus banyak omong segala. Ternyata selain lelet, kau juga penakut ya. Hahaha,"
Mungkin jika Elil sedang tidak dalam pengaruh alkohol, dia tidak akan seberani itu bicara pada Cio. Karena efek dari ucapannya, kini dia harus berjuang keras melayani serangan Cio yang membabi buta. Antara sadar dan tidak sadar, Elil terjebak oleh rasa sakit yang sialnya sangat nikmat. Dia tak berhenti merintih, mend*sah, bahkan mengeluarkan kata-kata yang dia sendiri tak pernah tahu dari mana kata tersebut berasal. Mendadak Elil berubah seperti orang lain gara-gara asal meminum minuman.
"Akh sial! Dia masih perawan!"
Flashback Now
"Aku sering tidur dengan wanita yang masih perawan, tapi kenapa Elil rasanya berbeda? Apa karena dia bodoh dan sedang dalam pengaruh minuman ya?" gumam Cio menerka-nerka.
"Ughhhh,"
Lenguhan terdengar dari arah ranjang. Hal ini membuyarkan lamunan Cio yang sedang sibuk mengenang kejadian nikmat semalam.
"Lapar," Elil bergumam lirih. Dia kemudian menoleh ke arah pintu, merengut saat mendapati ada orang lain di sana. "Sedang mengintip orang tidur ya?"
"A-apa?"
"Oh tuli. Pantas kaget,"
"YAKKK!"
Cio mendengus kasar setelah dikatai tuli dan sedang mengintip. Sudah bagus Elil memang tidur. Karena sekalinya membuka mulut gadis ini pasti akan langsung membuat tensi darah naik. Astaga.
"Aku lapar. Apakah di rumahmu ada makanan?" tanya Elil. Dia masih belum berani banyak bergerak karena miliknya masih sakit. Sudah diobati oleh Bibi Patricia, tapi rasanya masih sedikit mengganjal. Mungkin sisa kayunya masih ada yang tertinggal.
"Ini rumah, bukan restoran," jawab Cio cetus. Masih dengan posisi yang sama, berdiri di depan pintu seraya menatap ke arah ranjang. Cio betah menonton gaya tidur kupu-kupu Elil yang belum berubah meski sudah bangun.
"Memangnya yang bilang rumah ini restoran siapa? Lagipula restoran mana yang menyediakan kamar untuk skidipapap? Ada-ada saja,"
Rasanya seperti mau muntah darah saat Cio mendengar ucapan Elil. Sungguh, dia kehabisan kata menghadapi kepolosan lidah gadis ini.
"Ya ampun, jam berapa sekarang? Aku harus berangkat bekerja!" pekik Elil sembari menepuk kening.
"Kau tidak boleh ke mana-mana!"
"Kenapa begitu?"
"Terserah aku ingin membuat peraturan apa. Ini rumahku, jadi kau harus patuh!" ucap Cio cemas. Bisa hancur image-nya jika para sepupunya tahu kalau dia telah menghabiskan malam bersama gadis yang bukan tipenya. Kejadian semalam harus dirahasiakan dari semua orang.
"Tapi bagaimana kalau aku dipecat?" Mata Elil berkaca-kaca. Ilona sudah menjadi nyonya, hidupnya telah terjamin dengan baik. Tetapi dirinya?
"Uangku banyak. Aku bisa menghidupimu sampai kau mati."
"Benarkah?"
"Kau ... tidak tersinggung?"
"Kenapa harus tersinggung? Bukannya malah bagus ya kalau ada yang mau membiayai hidupku? Jadi aku tidak perlu repot-repot lagi menyikat WC dan menjadi mata-matanya Karl. Lumayan,"
Wajah Cio pias. Murahan sekali gadis ini. Sekalinya dia bilang punya banyak uang, Elil tak lagi terpikir untuk bekerja.
(Aku harus menyebutnya apa? Gadis materialistiskah? Tapikan aku yang ingin agar dia tak bekerja, kenapa sekarang malah kaget saat Elil setuju tanpa protes? Astaga, sebenarnya aku ini kenapa sih. Kenapa jadi plin-plan begini!)
***
"Sihir apa yang sudah kau mainkan sampai bisa tidur dengan gadis itu?"
" .... "
"Benar dia masih perawan?"
" .... "
"Tapi dia itukan bukan tipemu. Kau rakus atau sedang khilaf?"
"Bisa diam tidak?"
"Tentu saja tidak. Ini bukan seperti dirimu, son. Salah memang jika seorang ayah khawatir pada putranya sendiri?" ucap Junio seraya menampilkan mimik wajah yang sangat serius. "Lalu apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Ratu rimba ingin agar kalian menikah, tapi kok rasanya agak mengganjal ya. Ayah takut kau tidak bahagia jika menikah dengan gadis yang bukan tipemu."
Cio menghela nafas panjang. Panjang sekali hingga hampir mengalahkan panjangnya rel kereta api.
"Son, apa benar dia masih perawan?" Junio kembali memastikan. Tatapannya penuh selidik menatap putranya yang sedang merenung.
"Aku yang pertama menyentuhnya, dan bukan hanya perawannya saja. Pelukan, ciuman, r*masan, j*latan, pokoknya semuanya aku adalah orang pertama yang melakukan. Gila 'bukan?"
Junio menatap ngeri pada putranya yang baru saja menjawab dengan begitu gamblang. Seberuntung itukah?
"Hahhh, aku harus bagaimana ya, Yah. Masa iya aku harus mengakhiri karir juniorku dalam menjalin silaturahmi dengan gua-gua yang lain? Terlalu dini untuk seorang Casanova sepertiku pensiun," Cio mengeluh. Dia kemudian menunduk menatap juniornya yang sedang tidur cantik di dalam kandang. "Sungguh sangat disayangkan kalau penjelajahan ini harus terhenti sekarang."
"Apa kau berani melawan amukan ratu rimba?"
"Itu hanya akan sia-sia saja."
"Kalau begitu kau tamat sekarang,"
"Ayah, apakah itu adalah sebuah solusi?" Cio memicingkan mata. Maksud hati mengundang ayahnya adalah untuk meminta bantuan, dia malah mendapat jawaban yang tak bisa menolongnya sama sekali. Huh.
Terdengar helaan nafas panjang dari mulut Junio saat Cio memprotes ucapannya. Dia paham akan keputus-asaan yang tengah dirasakan oleh putranya. Namun, tak ada jalan lain yang bisa dilakukan selain patuh dan pasrah jika ingin tetap hidup.
"Bukan hal yang baik jika melawan keinginan ratu rimba. Selain bisa berubah menjadi penguasa negara, ratu rimba satu ini juga bisa berubah menjadi malaikat pencabut nyawa. Jadi Ayah sarankan sebaiknya kau patuh saja daripada nanti juniormu dibuat tidur selamanya," ucap Junio dengan bijak memberikan nasehat. "Ini demi kebaikan bersama, Cio. Mengalah saja,"
"Dengan menikahi Elil?"
"Ya kalau kau berani melawan keinginan ratu rimba, silahkan saja jadikan dia koleksi manekin."
"Jawabanmu sama sekali tak membantu, Ayah. Tolong seriuslah," ucap Cio frustasi.
"Ayah juga serius, Son. Kau saja yang menganggap kalau Ayah sedang bercanda,"
"Aku tidak siap jika harus menikah dengan Elil. Dia ... dia bukan tipeku."
"Tapi kau begitu brutal saat menjamah tubuhnya. Ayah bahkan masih menyimpan gambar sisa kebrutalanmu yang tertinggal di tubuh Elil."
"Itu ... aku khilaf," Cio meringis sambil menggaruk rambut.
"Khilaf apa bisa sampai separah itu?" Junio menyeringai penuh ejek. "Jangan sungkan. Dulu Ayah juga begitu saat berusaha menaklukkan ratu rimba itu. Dan sialnya sekarang Ayah benar-benar terjerat oleh pesonanya. Hehe,"
Sejenak melupakan masalah Elil, Cio dan ayahnya membahas soal pekerjaan. Menjadi pemilik dari dua perusahaan besar yang telah digabungkan menjadi satu bukanlah sesuatu yang mudah. Beruntung Cio mempunyai kecerdasan yang mumpuni sehingga bisa mengatasi pekerjaan dengan baik. Jika tidak, mungkin dia sudah gila sejak lama.
"Musuh selalu ada di mana-mana. Kau harus jeli dalam membedakan mana kawan dan mana lawan," Junio memberikan petuah. Kali ini dia serius.
"Aku tahu. Ayah jangan cemas. Didikan kalian membuatku tumbuh menjadi orang yang teliti,"
"Yakin teliti?"
"Kecuali soal ranjang. Aku seribu kali lebih baik dari Ayah. Hehehe,"
"Anak setan!"
"Dan Ayah adalah seniornya. Jangan lupakan juga dengan bakat langka Ayah dalam menciptakan manekin dari tubuh manusia. Itu adalah bakat yang hanya aku seorang yang mampu menjadi penerusnya."
(Ngomong-ngomong soal manekin, buat kalian pembaca baru pasti bakalan bingung dengan alur cerita ini. Bagi yang mau, kalian bisa membaca novelku yang lain dengan judul ISTRI KECIL SANG PEWARIS. Di sana awal mula bapak sama ibunya Cio bisa nikah)
Drrtt drrtt
Ponsel milik Cio bergetar. Segera dia menjawab tanpa melihat siapa yang menelpon. "Ada apa?"
["Tuan Cio, seorang wanita mengacau di depan kantor. Katanya ingin bertemu dengan Anda. Penting!"]
"Musnahkan saja. Aku sedang tidak mood berurusan dengan makhluk pembawa gunung," jawab Cio sekenanya.
" .... "
"Eh tunggu sebentar. Gunung kembarnya besar tidak?"
Sebuah buku mendarat tepat di wajah Cio begitu dia menanyakan soal ukuran gunung kembar milik si wanita. Tanpa merasa bersalah sedikit pun, dia memasang senyum lebar pada ayahnya yang kini tengan mengerutkan kening.
["Cukup besar, Tuan. Sesuai dengan selera Anda."]
"Kalau begitu minta dia .... "
"Halo, sayang. Aku sedang di kantornya Cio. Katanya ada wanita berdada besar yang ingin mengajaknya berkencan. Menurutmu apa yang harus ku lakukan?"
"Usir wanita itu sekarang juga. Pastikan dia tak lagi datang mengacau ke perusahaan!"
Klik. Cio langsung mematikan panggilan kemudian melayangkan tatapan menghunus pada ayahnya. "Cepu! Apa maksud Ayah bicara seperti itu pada Ibu? Sengaja membahayakan nyawaku apa bagaimana? Heran!"
"Hehe, siapa suruh ingin menerima tamu lain di saat Ayah ada di sini. Ya jangan salahkan Ayah kalau mengadu pada ibumu. Ya kali Ayah jadi obat nyamuk. Sorry ya," sahut Junio penuh kemenangan.
"Dasar orang tua aneh. Sudah tahu anaknya sedang stress, malah sengaja menambahkan beban pikiran. Tidak bisa apa melihat anak senang sedikit?"
Sambil bersungut-sungut Cio berjalan mengambil minuman. Setelah itu dia meneguknya langsung dari botol hingga membuat wajahnya memerah. Rasa pekat yang mengalir di tenggorokan, masih belum sepekat nasibnya yang dipaksa agar menikah dengan Elil.
"Aku harus bagaimana, Ayah. Aku benar-benar tidak ingin menikahi gadis itu."
"Nikmati saja, jangan terlalu dijadikan beban. Kalau memang tidak jodoh, sekeras apa pun Ibumu mendesak, pernikahan kalian tidak akan terjadi. Percayalah,"
"Jika semudah itu melawan takdir, sudah sejak lama semua wanita cantik di kota ini ku tiduri dan ku jadikan manekin. Dan takdir paling sulit adalah melawan kehendak Ibu. Help me,"
"Untuk yang satu ini Ayah tak bisa menolong. Bisa jadi Elil adalah karma atas semua perbuatanmu." Junio beranjak dari duduk kemudian menghampiri Cio yang terlihat sangat frustasi. Dia lalu menepuk bahunya, mencoba menguatkan. "Nanti Ayah akan coba bicara dengan ibumu agar tidak buru-buru menikahkan kalian dulu. Semoga saja ibumu mau menurunkan ego dan bersedia memberikan waktu untuk kalian saling mengenal. Dan saat itu terjadi, Ayah harap kau bisa menjaga sikap. Perlakukan Elil dengan baik dan jangan coba-coba melakukan kontak fisik dengan wanita lain, apalagi menjadikannya patung manekin. Mengerti?"
"Thanks, Ayah. Terima kasih sudah mau membantu menyelamatkanku dari Elil," ucap Cio terharu.
Junio tersenyum lebar. Dan hal ini membuat Cio mend*sah panjang. Ayahnya tetaplah ayahnya yang tak mau merugi. Pasti ada harga yang harus dia bayar jika ingin rencana ini berjalan mulus.
(Apakah benar dia ayahku?)
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!