"ABANG BANGUN! KATANYA MAU ANTERIN AKU KE BANDARA!!!" suara Daniah menggema di kamar Atha, di barengi lampu kamar yang tadinya padam kini terang benderang, menyinari ruangan yang cukup besar itu, namun nuansanya agak dark. Karena di dominasi warna hitam.
Daniah menjambak rambut Atha, karena si empunya kamar masih tidur, seolah tak terusik dengan suara yang menggelegar dari mulut kecil Daniah. Atha menjuluki mulut Adiknya itu sperti pluit tukang parkir. Yang maunya aja dan ajak ribut. Karena Atha pernah mengalami kejadian ribut dengan tukang parkir di salah satu minimarket terkenal.
Daniah pernah protes saat Atha menjulukinya seperti itu. Namun saat itu mulut Daniah keburu di sumpal dimsum oleh Atha. Emosi Daniah langsung meredam kala mersakan dimsum buatan sang Mami yang terasa begitu lezat di mulutnya.
Bahkan Daniah pernah mengajak Maminya untuk jualan dimsum. Namun ajakannya itu di tolak mentah-mentah oleh sang Papi yang saat itu sedang duduk di samping Maminya, sambil menyenderkan kepalanya.
"Nggak ada Daniah! Papimu ini masih sanggup membiayai kehidupan keluarga ini. Sampe tujuh turunan malah!" begitulah penolakan mentah dari Papinya, ada embel-embel kesombongan di dalamnya. Ya meskipun nada bicara datar, tapi berhasil membuat Daniah gedek mendengarnya. Sombong sekali Pak Dhiau ini.
Kembali ke konteks awal. Daniah menagih janji Atha yang katanya mau mengentarkan Daniah ke Bandara untuk menjemput sahabatnya. Eliza yang pulang ke tanah air setelah 2 tahun tinggal di Jepang untuk bekerja.
"SAKIT ANJ......"
"ANJ APA? HAH? ABANG MAU NGATAIN AKU APA HAH?" Daniah sengaja nyolot duluan, karena ia tahu apa yang menjadi latah Abangnya itu ketika merasa terusik.
"Heheh.....Angeli pacarnya Rahul." Atha nyegir, meralat kata yang terpotong itu dengan nama tokoh di salah satu film India kesukaan emak-emak, sama penulis. Sambil mengelus rambut belakangnya yang terasa perih, akbiat jambakan maut dari sang Adik. Mau ngomel, tapi yang mau diomeli sudah memasang tampang garang. Nggak bahaya ta?"
"Ayo anter aku!"
Daniah tak menerima penolakan dari Abangnya yang sudah berjanji akan mengantarkannya ke Bandara pagi ini untuk menjemput Eliza. Daniah menarik Abangnya. Ingat, bukan menarik tangan Atha, tapi menarik kerah kaos yang di kenakan Atha.
Dhiau, Papi dari 2 anak itu sempat melihat dan bertanya apa yang sedang di lakukan kedua anaknya itu, saat mereka berjalan melewati ruang tamu, yang kebetulan saat itu Dhiau baru saja datang setelah memberi makan ikan koi yang ada di kolam samping kanan rumah.
Semenjak Dhiau berkunjung ke rumah temannya, yang juga aris tanah air yang hobby memelihara ikan dengan harga yang fantastis, akhirnya Dhiau keracunan hobby pelihara ikan juga.
Dhiau bahkan menamai 3 ikan koi kesayangan dengan nama yaitu Elhasiq, Faiq, Ammar. Laki-laki yang sudah memiliki 3 anak dengan satu istri yang sangat di cintainya itu, memag agak random orangnya. Kerandomannya, nular ke-ketiga anaknya itu.
Tapi kalau sudah serius apalagi marah, semua dibuat bungkam olehnya. Bahkan lebih baik di telan bumi daripada di telan tatapannya yang tajam.
Baru saja Atha hendak menjawab dan meminta tolong Papinya agar terlepas dari Daniah, Adiknya yang sedang menjelma jadi iblis kecil. Bagimana tidak kecil, badannya Daniah saja memang kecil, mungil menggemaskan. Tapi kalo marah dan emosi nggak tanggung-tanggung. Tangkuban perahu bisa balik ke wujud semula.
Dania langsung menjawab dengan sarkas.
"Mau ngajarin anak Papi supaya nggak ingkar janji."
"Ajarin yang benar ya, Daniah." balasan santai dari Dhiau membuat Atha putus asa.
Papinya sama sekali tidak bisa diandalkan. Ia malah mendukung anak kesayangannya berlaku dzolim terhadap anak sulungnya. Dan sangat di sayangkan sekali, pelindung dan pembela Atha sedang tidak ada. Kini Mami dan Fadillah, Adik bungsunya itu sedang ada di rumah Neneknya. Karen kemarin siang di telepon oleh Ibu mertua, katanya ingin membuat makanan tradisional bernama kue mendut. Lagi pengen katanya.
Daniah hampir salfok mendengar nama kue yang akan di buat sang Mami dan Neneknya itu. Ia sempat bertanya dengan polosnya.
"Nenek minta Mami bikin candi?"
Karena yang Daniah tau, Mendut itu nama candi bercorak Budha yang ada di kota Mungkid, Kabupaten Magelang.
"Gila lo Daniah! Pemaksaan ini namanya!" omel Atha saat mereka sudah berada di dalam mobil, Atha di bangku kemudi. Sedangkan Daniah di bangku sampingnya.
"Siapa yang janji?" ujar Daniah mengingatkan Atha atas ucapannya kemarin sore yang berjanji akan mengantarkan Daniah ke Bandara, asalkan dia memberi tahu password WIFI yang sengaja Daniah ganti. Padahal itu adalag triknya agar sang Abang mau mengantarkannya ke Bandara.
Karena Pak Abqari, sang supir sudah lebih dulu di pinta Papi untuk menjemput Mami dan Adiknya ke rumah Nenek. Kalau minta tolong diantar Papi, Daniah malas sekali, karena Papinya itu pasti banyak dramanya.
Pokoknya yang aman, minta Atha yang mengantarkannya. Dan sengaja Daniah tidak memberikan waktu Abangnya meskipun sekedar cuci muka atau berganti baju. Biar nanti Atha tidak ikut keluar dan merecoki pertemuannya dengan Eliza di Bandara. Dengan kata lain, Atha di butuhkan hanya sebagai supirnya saja.
"Yaelah Daniah. Gue belum mandi. Mana masih belekan lagi!" komentar Atha pada dirinya sendiri karena melihat pantulan wajahnya dari kaca spion tengah. Lalu mengusap kotoran mata yang berwarna putih yang bertengger di sudut mata dalamnya. Mana rambutnya acak-acakan lagi. Khas sekali baru bangun tidurnya. Namun kesadarannya sudah 100%. Karena jambakan dari sang Adik yang menyadarkannya.
Berbeda dengan Atha, Daniah jsutru berpenampilan santai. Namun elegan. Ia memakai t-shirt berwarna light beige dan dipadukan dengan midi skirt berawarna hijau daun. Rambut panjang dan berponi berwarna hitam kecoklatan itu di gerai. Namun ada jepitan berbentuk persegi panjang berwarna cream yang menjepit rambut bawah bagian kanannya.
"Udah deh Bang. Lo juga nggak cakep-cakep amat! Ayo jalan keburu kena macet nanti."
"Pedas banget tuh cocot. Masih pagi juga."
Usia Atha dan Daniah berjarak 4 tahun. Meraka juga masih memiliki Adik kecil yang jarak usianya lumayan jauh. Karena di rumah yang anak besarnya hanya mereka berdua, jadilah mereka lumayan akrab. meskipun banyak bertengkarnya.
Kalau sedang tidak di hadapan orang tua atau keluarga besar, mereka akan saling panggil lo gue layaknya seorang teman. Bukan Adik-Kakak, seperti sekarang ini. Atha melirik jam yang melingkar di lengan kanan Daniah, baru jam setengah enam. Seharusnya ia masih berleha-leha di jam segini.Apalagi lagi weekend.
Meskipun dengan bersungut-sungut, Atha tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membelah jalanan kota yang masih lenggang. Atha mengotak-atik layar kecil di dashboard mobilnya, memutar lagu dangdut.
"Cikini ke gondangdia......Aku begini gara-gara diaaa....Cikapek Tasikmalaya. Hatiku capek bila kau tak setia...." Atha mulai berdendang mengikuti lagu yang sedang viral itu.
"Bang, ini masih pagi, lo udah dangdutan aja." komentar Daniah yang risih mendengar lagu yang di putar oleh Atha.
"SSG."
"Apaan?"
"Suka-suka gue."
"Dih alay, segala di singkat-singkat gitu bahasnya."
Atha mengabaikan komentar Adiknya, ia asik mengikuti irama lagu dangdut yang bertalu-talu lalu menggema di dalam mobil. Kepalanya mulai bergerak kiri dan kana. Daniah menyumpal telinganya dengan earphone lalu memutar lagu 'DARARARI' yang dinyanyikan group band Kpop dari negeri ginseng, Treasure yang beranggotakan 12 cogan.
Daniah dan Atha memiliki selera musik yang berbeda. Jika Daniah suka dengan musik kekinian yang banyak di gandrungi oleh remaja-remaja masa kini dari Korea, sedangkan Atha menyukai lagu dangdut dan grup tanah air. Cinta karya musik anak bangsa, bilangnya begitu. Daniah juga suka, namun kali ini ia sedang alih haluan dulu.
"Daniah, gue nggak ikut ke dalam ya." ujar Atha saat mereka sudah sampai depan gedung Bandara.
"Emangnya kalo gue ajak ke dalam, lo mau Bang? Nggak malu sama penampilan?" sarkas Daniah sambil memperhatikan penampilan Abangnya itu.
Ia pun sudah sangat memahami Abangnya yang sangat memperhatikan penampilan. Katanya style is number one. Padahal penampilan Atha yang sekarang pun ulah dirinya yang langsung menyeret Atha untuk mengantarkannya ke Bandara.
Atha tersenyum kecut mendengar penuturan sang Adik. Andai Daniah bukan Adiknya dan bukan seorang perempuan yang lemah, sudah pasti Atha memberikan bogeman mentah ke wajahnya yang baby face itu.
Daniah memasuki gedung Bandara dengan membawakan sebuah buket bunga sebagai hadian kedatangan Eliza dari negeri ginseng ke tanah air, di tangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sibuk memegang handphone guna menghubungi Eliza yang katanya sudah datang 15 menit yang lalu, dan menunggu Daniah di salah satu Caffe di dalam Bandara.
"Hallo Eliza? Apa? Nggak kedengeran. Hallo?"
BRAK!
"YAAA BUKET GUE!!" teriak Daniah kaget melihat buket bunga yang akan di hadiahkan untuk Eliza terlepas meluncur dari pelukannya ke lantai akibat benturan keras yang Daniah rasakan dari seorang laki-laki yang berjalan menyenggol lengan kirinya.
Laki-laki itu berjalan begitu saja melewati Daniah, bahkan ia sempat menginjak buket bunga itu, semakin memperburuk penampiln buket.
"Cowok sialan!" umpat Daniah. Ia mengejar laki-laki itu.
"WOIII TUNGGU! TANGGUNG JAWAB LO!" teriak Daniah sambil mengacungkan tangan kananya yang memegang buket bunga yang sudah rusak. Ia tak meperdulikan di sekitarnya yang ramai. Bahkan atensi beberapa orang mengarah kepadanya.
Karena laki-laki itu tak juga berhenti membuat Daniah yang mungil, kecil, menggemaskan itu kewalahan. Ia menghentikan larinya untuk mengejar lki-laki itu, dadanya naik turun, mengatur nafasnya yang terengah-rengah.
Beberapa detik kemudian, Daniah melakukan kuda-kuda dengan tangan dan kakinya menggunakan teknik melempar bola ala pemain baseball, ia fokuskan mata dan mengarahkan buket menuju target. Di rasa sudah siap ia berlari, lalu meloncat, kemudian melempar buket bunga itu ke arah laki-laki yang menabraknya.
"PLAAK!
Tepat sasaran! Buket bunga itu mendarat mengenai punggung si laki-laki.
"GANTI RUGI! LO UDAH RUSAKIN BUKET BUNGA GUE!" teriak Daniah berlari menuju laki-laki yang menghentikan langkahnya.
Laki-laki itu memutar badannya.
"......"
"Dok.......Dokter Arrazi?"
Ghaniyyah : Daniah, lo dimana?
**Daniah** : Gue baru banget sampe parkiran Ghaniyyah, bentar lagi sampe.
Sambil berjalan, Daniah membals chat dari Ghaniyyah, tempat se koasnya di RS Harapan Keluarga.
**Ghaniyyah** : Nia, kayak lo harus langsung ke ruang Dokter Arrazi.
**Daniah** : GUE TAU!
**Ghaniyyah** : Santai Bu.. Hehehe. Siapin mental ya Nia, gue selalu berdoa yang terbaik buat lo dalam menghadapi manusia satu itu.
Daniah menghela nafas. Paham apa yang di maksud Ghaniyyah. Sudah 3 bulan masa koas Daniah lalui. Ia dan teman-temannya sudah sangat mengenali sidat Dokter Arrazi. Seorang Dokter yang bekerja di RS Harapan Keluarga, tempat Daniah Koas, juga seorang petinggi bagian RS tersebut.
Dokter pembimbing yang katanya sangat tampan, rupawan, care kepada semua pasien, selalu berusaha untuk melayani pasien dengan baik, bahkan tersemat kepada laki-laki 28 tahun itu sebagai calon suami idaman.
Tapi bagi Daniah dan teman satu koasnya, Dokter Arrazi itu orangnya galak, perfeksionis, pendiam dan dingin kayak es balok. Di tambah tragedi saat di Bandara minggu lalu, Dokter Arrazi semakin galak kepada Daniah.
Tidak, bahkan buas kata yang tepat disematkan kepada Arrazi terhadap Daniah. Padahal Daniah sudah klarifikasi dan yang bersalah adalah Arrazi, karena telah menabraknya dan menghancurkan buket Daniah yang akan dihadiahkan untuk Eliza.
Tapi, laki-laki itu sangat gengsi untuk mengakui kalau dirinya salah. Ia malah menyalahkan Daniah, lalu pergi begitu saja. Daniah memang harus selalu siap mental kalau berhadapan dengan Arrazi. Dan mengelus dada sambil beristigfar. Ya, lumayan buat ngurangin dosa.
**Daniah** : Ya.
**Ghaniyyah** : Hati-hati lo di tabrak setan RS lagi :D
**Daniah** : ODOB!
Daniah mengendus kesal melihat chat terakhir dari Ghaniyyah. Daniah memang pernah mengalami hal mistis di RS yang saat itu tempatnya koas. Saat itu jam 12 malam, Daniah baru selesai dengan tugasnya dari Dokter Arrazi yang nggak kira-kira. Sedangkan beberapa teman yang lain sudah pada pulang.
Awalnya Daniah akan pulang bersama Ghazalah. Namun Ghazalah buru-buru pulang saat mendapati kabar kucing peliharaanya mati satu. Ghazalah itu sekte babunya kucing, dia lebih mementingkan kucingnya daripada hal apapun. Bahkan rela membeli makanan kucing dengan uang yang tadinya akan ia pakai untuk beli seblak.
Daniah berjalan melewati koridor RS menuju parkiran. Baru beberapa langlah Daniah berjalan di koridor, ia sudah merasakan bulu kuduknya merinding. Dan entah kenapa rasanya koridor yang di lewatinya begitu sepi. Ia tidak tahu, apakah selalu sepi seperti ini kalau sudah malam atau memang hanya saat itu saja.
Karena baru pertama kali Daniah pulang malam, setelah seminggu Koas. Merasa ada yang tidak beres, Daniah mempercepat langkahnya. Ia sama sekali tidak mau menoleh ke arah manapun. Tatapannya lurus ke depan, ingin cepat keluar dari RS.
BRUK!
Tiba-tiba saja Daniah terjatuh di lantai setelah merasakan ada sesuatu yang menyenggol bahunya dengan keras. Namun tidak ada siapapun di koridor itu. Hanya ada Daniah manusia satu-satunya di sana.
Daniah segera bangkit dari jatuhnya, ia berlari menuju parkiran. Namun ia kembali terjatuh karena tidak menyadari ada tangga kecil yang ia lewati. Dada Daniah naik turun, nafasnya tidak teratur. Rasa akut yang saat itu ia rasakan, mengalahkan rasa sakit di kakinya. Daniah kembali bangkit, ia lari sambil berteriak.
"GUE NGGAK TAKUT, SETAN!" itulah kalimat yang keluar dari mulutnya, padahal dirinya ketakutan.
Keesokan harinya Daniah menceritakan hal yang dialaminya. Bahkan kasihan, teman-temannya itu malah menertawakan nasib malang yang menimpa gadis berusia 22 tahun itu.
"Mau kenalan dia sama lo, Nia." ceplos Halwa.
***
TOK! TOK! TOK! TOK!
Pintu di ketuk oleh Daniah, lalu ia membuka pintu ruangan Arrazi. Tak lupa, sebelum ia membuka pintu. Daniah menghela nafas, menetralisir nafa yang tidak beraturan dan menenangkan hatinya agar bisa lapang menghadapi semburan lahar panas dari mulut Arrazi.
Ia tahu, hari ini dirinya yang bersalah karena telat datang ke RS. Namun begitu, Daniah sudah mengantongi alasan kenapa dirinya bisa telat. Daniah harap, alasan itu bisa membuat Arrazi memahami dan memaafkan atas ketelatannya.
"Permisi Dokter." ucap Daniah dengan sangat ramah. Ia masih berdiri di ambang pintu.
Arrazi hanya melirik ke arah Daniah dengan ekor matanya. Laki-laki itu sedang berhadapan dengan macbook-nya. Entah sedang apa. Namun terlihat begitu serius. Merasa dihiraukan, karena tidak ada balasan apapun dari Arrazi, Daniah kembali berucap.
"Permisi Dokter....."
"Telinga saya masih normal! Cepat masuk!" ujar Arrazi dengan ketus.
Daniah meneguk salivanya, aura-aura panas mulai terasa olehnya. Perlahan ia masuk, lalu menutup pintu ruangan dari dalam. Kemudian menghampiri Arrazi dan duduk di bangku depan Arrazi yang dibatasi jaraknya oleh meja.
"Siapa yang suruh kamu duduk?"
Lagi-lagi Arrazi masih berbicara dengan ketus kepada Daniah, ditambah tatapan mata Arrazi yang tajam membuat badan perempuan itu lemas, kayak jeli. Aduh, kalau ada kamera lebih baik Daniah melambaikan tangan saja. Nggak kuat.
Daniah kembali berdiri sambil menundukkan kepala.
"Anu Dok.....Hmmm.......maaf...."
"Bicara yang jelas!" ujar Arrazi dengan dingin.
"Saya minta maaf karena telat, Dokter. Soalnya tadi say nolongin Ibu-Ibu yang hampir keserempet mobil waktu di perempatan jalan. Saya bantuin Ibu itu buat duduk, ternyata kakinya ada yang terluka, keseleo juga. Terus saya obatin lukanya, saya urutin kakinya yang ke........"
"Mau sampai kapan kamu mendongeng?"
Pertanyaan Arrazi menginterupsi penjelasan Daniah atas keterlambatannya. Sudag 4 kalinya gadis itu menelan salivanya karena kalimat yang di ucapkan Arrazi. Menyakitkan sekali.
"Dongeng apanya? Orang itu kisah nyata!" gerutu Daniah dalam hati.
"Temuin Ghaniyyah. Tugas kamu sudah saya titip ke dia." lanjut Arrazi.
"Ghaniyyah dimana, Do....Dokter?"
"Cari sendiri."
Daniah mengumpat tanpa suara setelah dirinya keluar dari ruangan Arrazi. Sambil menatap pintunya, giginya bergemeretak dan tangannya mengepal kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.
"Liat aja, gue bale lo suatu hari nanti!"
"Gila! Dokter gila! Galak! Buas!!!"
"Hhhsss......Astagfirullah, sabar Nia....sabar....nggak papa. Masih ada 19 bulan lagi lo ngadepin demit itu! Nggak papa.....sabar, rileks...huuu haaa."
Kali ini Daniah mengelus dada sambil menghela nafasnya, mencoba menenangkan diri. Kemudia meninggalkan tempatnya mengumpat tanpa suara, menuju ruangan yang sudah di beri tahi oleh Ghaniyyah lewat chat. Ghaniyyah sedang berjaga di IGD.
Saat masuk ke ruangan IGD, Daniah sudah berganti pakaian dengan menggunakan baju seragam koasnya berwarna biru. Sedangkan jas putih bertengger di bahu kirinya. Daniah langsung duduk di samping Ghaniyyah yang saat itu sedang mencatat.
"Gila Ghaniyyah, kayaknya Dokter Arrazi itu titisan dajjal buat nguji gue deh." keluh Daniah sambil menghela nafas dengan penggung yang menyender di bahu kursi sambil bersedekap tangan didada.
Beruntung di ruangan itu hanya ada mereka berdua. Karena Halwa dan Ghazalah sedang membantu pasien pindah ke ruang inap. Sedangkan Bahi, Bariq dan Huwaida ada tugas di ruang lain. Sedangkan pegawai yang lain sibuk di tempatnya masing-masing. Jadi, Daniah bisa melampiaskannya.
"Titisan Dajjal mah ngujinya pake cara halus Nia, mereka......"
"Nah, berarti dia lebih parah dari pada titisan Dajjal." Daniah menginterupsi kalimat Ghazalah.
"Gue heran deh Ghazalah, emaknya ngidam apa sih waktu hamil dia. Sampe punya anak garang begitu! Mana tadi gue ceritain kan, alesan kenapa gue datang terlambat, eh dia malah nganggep gue lagi ngedongeng. Mana gue nggak diizinin duduk lagi. Sumpah, pengen gue kunyah ginjalnya." ujar Daniah berapi-rapi.
Menghadapi laki-laki macam Arrazi benar-benar menguras emosi dan kesabarannya.
"Psikopat lo, Nia." cibir Ghazalah. Ia masih mendengar keluhan temannya itu meskipun samnil merekap laporan.
Daniah memajukan badannya. Menggeser kursi yang didudukinya agar lebih dekat dengan meja, sehingga ia dapat duduk dengan posisi nyaman, setelah Ghazalah memberikan map berwarna hijau yang di titipi oleh Arrazi untuk Daniah.
Daniah mengoceh lagi sambil mencatat.
"Sumpah Ghazalah. Gue kesel banget sama itu makhluk. Namanya aja bagus, Arrazi. Tapi attitudenya Arrazong!"
"Nia......."
"Keknya Arrazong emang lebih cocok sih sama karakter Dokter galak itu.....aaoouu Ghazalah! Lo kenapa nyubit gue?" omel Daniah karena perutnya tiba-tiba di cubit oleh Ghazalah.
Namun segera bibir Daniah membungkam saat kepalanya berputar mengikuti arah pandangan mata Ghazalah yang mengarah kebelakangnya. Pulpen yang berada di tangannya terlepas begitu saja.
"Mati gue!" rutuk Daniah dalam hati melihat sosok laki-laki yang sedang ia maki ada di belakangnya.
Laki-laki yang memiliki tinggi 190 itu berdiri tegap sambil bersedekap tangan, tak ketinggalan tatapan tajamnya bagaikan belati yang siap menusuk setiap inci tubuh kecil Daniah itu, menatap manik mata Daniah dengan lekat.
Entah dari kapan makhluk itu berada di belakang Daniah. Daniah tak tahu. Nyali Daniah langsung menciut, kini mulutnya kelu, tenggorokannya terasa tercekat, badannya pun panas dingin.
"Lanjutin makian kamu, saya mau dengar." sindir Arrazi. Nada bicaranya memang datar, tapi menusuk.
"Ma.......maaf Do......Dokter....." cicit Daniah setelah ia beranjak dari kursinya, berdiri dan menundukkan kepalanya didepan Arrazi.
Hal itu pun di lakukan Ghazalah, namun ia hanya diam saja. Tapi ikut merasa bersalah karena tidak menghentikan makian Daniah terhadap Dokter pembimbingnya itu. Satu menit ruangan itu senyap, tak ada yang mengatakan sepatah katapun.
Daniah maupun Ghazalah tetap dalam posisinya berdiri sambil menundukkan kepalanya. Sedangkan Arrazi masih menatap tajam ke arah gadis yang berada di depannya.
"*Immortal girl*!" ucap Arrazi dengan sarkas. Daniah menelan salivanya mendengar ucapan Arrazi yang di tunjukkan untuk dirinya.
Arrazi mengalihkan tatapannya dari Daniah ke Ghazalah.
"Ghazalah, berikan laporan hasil rekapnya ke Dokter Bari." ujar Arrazi dengan nada bicara lebih lembut dari sebelumnya, meskipun masih terdengar ketusnya.
"Ba.......Baik Dokter."
Daniah dan Ghazalah baru bisa duduk setelah Arrazi keluar dari ruangan. Berbeda dengan Ghazalah yang kembali sibuk dengan rekapan laporan, Daniah malah merasakan tubuhnya lemas lunglai bagai jeli. Kepalanya mendarat di atas meja.
Dua kata yang di ucapkan Arrazi masih tergiang di telinganya dan langsung menusuk ke dalam hatinya. Apakah Daniah sangat kelewatan sampai Arrazi mengatakan hal itu? Sepertinya iya.
"Mati gue! Mati gue!" Daniah merutuki dirinya sendiri, sambil membenturkan keningnya di meja.
Sikap Arrazi kepadanya yang pasti akan semakin menjadi-jadi, bahkan bisa lebih dari sekedar kebencian Arrazi kepada dirinya. Apalagi dia menyebut Daniah tidak bermoral. Apakah itu akan mempengaruhi penilaian hasil koasnya selama 2 tahun?
"Nia, gue saranin lo minta maaf lagi sana sama Dokter Arrazi, bawa buah kek atau bunga." ujar Ghazalah, kasihan melihat Daniah yang sedang nelangsa. Daniah saat ini berada di dalam masalah besar. Apalagi menyangkut dengan Dokter Arrazi. Dokter pembimbingnya.
"Lo kira gue berantem sama pacar, pake bawain bunga atau coklat!" omel Daniah.
Ghazalah meringis.
"*Salah gue ngasih saran" gumamnya dalam hati*.
"Ya udah sana minta maaf lagi."
"Gue udah nggak punya muka di depan dia, Ghazalah."
"*ABANG HATI-HATI!!!" teriak seorang anak kecil menarik tangan Arrazi yang berdiri diatas pagar jembatan. Hingga keduanya terjatuh di alas jembatan yang berbahan beton*.
"*Aduh!" rintih gadis kecil yang badannya tertindih oleh Arrazi yang ukuran badannya lebih besar dan berat dari badan kecilnya. Laki-laki itu langsung bangun dan membantu si gadis kecil untuk bangun*.
*Setelah keduanya berdiri, si gadis kecil malah mengomel*.
"*Jangan berdiri di sana Bang, bahaya! Abang emang mau jatuh ke sungai, terus di makan buaya? Kalo Abang mati gimana? Kasian Mami Papinya Abang, nanti mereka sedih." omel gadis kecil itu dengan khawatir*.
*Menghiraukan omelan gadis kecil di depannya, Arrazi menjatuhkan pantatnya di atas jembatan, lalu menangis dengan menekukan kedua kaki dan tangannya menutupi wajah*.
*Melihat itu, gadis kecil melepaskan tas yang di gendongnya di punggung. Lalu ia mengeluarkan sapu tangan berwarna pink dengan hiasan bordir bunga daisy berwarna biru disisi sebelah kanannya, kemudian memberikannya kepada Arrazi*.
"*Jangan nangis Bang. Semangat Abang udah gede. Abang hebat, Abang kuat. Don't give up, Abang." ucap gadis kecil itu. Mendengar kalimat yang diucapkannya, Arrazi mengangkat kepalanya melihat kearah gadis kecil yang masih berdiri sambil mengulurkan sapu tangan untuknya*.
*Arrazi tidak dapat melihat dengan jelas wajah gadis kecil itu. Karena kilau cahaya matahari, juga matanya yang basah. Namun, Arrazi melihat senyuman gadis kecil itu. Dua gigi atas yang tengahnya tidak ada, gadis kecil itu ompong*.
"*Jangan pergi." ucap Arrazi saat tubuh gadis kecil itu mulai menghilang dari pandangannya*.
"Jangan pergi."
"Razi? Woy, Arrazi bangun!" panggil Dhafir membagunkan Arrazi yang sedang tidur dan mengingau di sampingnya.
"Mimpi buruk lo, Zi?" tanya Dhafir dengan menautkan keningnya, melihat Arrazi yang sudah bangun dari tidurnya dengan posisi duduk, dan menyeka keringatnya.
"Ambil gue minum." pinta Arrazi, mengulurkan tangannya meminta minum yang ada di meja depan Dhafir.
Dhafir segera mengambilkan minum dan memberikan kepada Arrazi. Arrazi menerima air minum itu dan meneguknya hingga tandas.
"Haus lo, Zi? Apa doyan?"
Arrazi tak menjawab pertanyaan Dhafir.
"Malaikat kecil gue, Fir." gumam Arrazi.
Pandangannya lurus kedepan, sepasang mata hazel menatap kosong layar TV yang sedang menampilkan pertandingan bola yang sedang di tonton Dhafir.
"Lo kayaknya kalo udah mati bakal jadi arwah gentayangan, dah Zi." cibir Dhafir. Ia paham maksud ucapan Arrazi. Karena ini bukan pertama kali sepupunya itu menyebut gadis kecil yang menyelamatkan dia dari percobaan bunuh dirinya di masa lalu sebagai 'MALAIKAT KECIL'. Apalagi gadis kecil itu kerapkali datang di mimpinya.
"Fir, lo nggak bisa apa cariin dia buat gue? Secara kan lo........."
"Nggak bisa, Zi. Di Indonesia itu ada seratus juta lebih cewek. Mana bisa gue cari malaikat kecil lo itu yang nggak jelas ciri-cirinya, apalagi udah sepuluh tahun yang lalu. Dia juga udah lupa kali." ujar Dhafir menginterupsi perintah Arrazi.
Meskipun ia pengusaha berkedok hacker, mana bisa ia mencari gadis kecil yang cuma sekali di temui Arrazi dalam hidupnya di masa lalu, apalagi dengan penjabaran ciri-ciri yang tidak jelas mengenai gadis kecil itu dari Arrazi.
"Gelang bracelet sama sapu tangannya bisakan jadi petunjuk?" ujar Arrazi masih mencari cara untuk membujuk Dhafir agar mau membantunya.
"Eh kupret, gelang sama sapu tangan kek gitu mah banyak yang produksi, muka kek lo aja ada 7 kembarannya di dunia, apalagi barang buatan manusia, bisa di tiru dan banyak yang punya, coy."
Arrazi terdiam. Benar juga kata Dhafir. Tidak akan mudah menemukan gadis kecil penyelamatannya. Apalagi hal itu sudah 10 tahun yang lalu. Entah kemana gadis kecil yang sudah tumbuh menjadi dewasa itu. Apakah ia sudah meninggal atau masih hidup. Apakah dia masih tinggal di dalam negeri atau sudah di luar negeri.
Semenjak penyelamatan gadis kecil itu kepada Arrazi yang hampir mati konyol, Arrazi tidak pernah bertemu dengan gadis kecil itu lagi. Namun gadis kecil itu meninggalkan barang miliknya yang menjadi kenangan bagi Arrazi.
Selembar sapu tangan dengan bordir bunga Daisy berwarna biru di sisi kanannya dan gelang bracelet berwarna peach dengan hiasan inisial nama 'D' dan juga bunga berbahan emas. Arrazi berharap suatu hari nanti ia akan menemukan 'MALAIKAT KECILNYA' iu. Bagaimana pun situasi dan kondisinya.
Ia akan berterimakasih kepadanya, karena kalimat yang di ucapkan oleh mulut kecilnya bisa membuat Arrazi bertahan sampai sekarang.
"*Jangan nangis Bang. Semangat. Abang udah gede, Abang hebat, Abang kuat. Don't give up, Abang*...."
Kalimat itu menjadi motivasi bagi Arrazi yang saat itu sedang di timpa ujian yang sangat berat. Ia harus menerima kepahitan dalam hidup dua kali ketika berusia 17 tahun. Yaitu, Arrazi menyaksikan sendiri perselingkuhan Papinya di rumah dengan sekretaris kantornya, dan kepergian sang Mami dari rumah yang tidak ada kabar sama sekali, bahkan sampai saat ini.
Disaat itulah Arrazi berpikir untuk mengakhiri hidupnya, karena ia tak memiliki rumah untuk pulang. Namun tak lama dari kejadian itu, ia di bawa Kakek dan Neneknya untuk tinggal di Singapura. Arrazi sekolah di sana sampai kuliah di jurusan kedokteran.
Setelah lulus kuliah, ia kembali ke Indonesia dan mendedikasikan dirinya di RS Harapan Keluarga milik Kakeknya. Saat itu juga Arrazi memutuskan untuk tinggal sendiri di apartemen. Namun Dhafir sering datang untuk menginap di apartemennya. Apalagi kalau bukan untuk merecoki ketenangan Arrazi.
"Zi, lo serius mau nambahin jon sama waktu kerja ke mahasiswi koas bimbingan lo itu?" tanya Dhafir teringat cerita Arrazi tadi sore mengenai mahasiswai koas yang memakinya di ruang IGD. Ia mengabaikan Arrazi yang masih memikirkan tentang 'MALAIKAT KECILNYA.'
"Nggak usah nanya kalo lo udah tau jawabannya." ujar Arrazi dengan ketus.
"Elah Zi. Gue cuma mau mastiin lagi aja. Jangan baper jadi orang Zi. Lo nggak kasian apa sama dia? Lo itu lagi ngebimbing Zi bukan ngospek."
"......"
"Ck. Kalo emang lo beneran ngelakuin itu, gue setuju sih sama cewek itu. Kalo nama lo di ganti aja sama Arrazong bukan Arrazi lagi. Orangnya emosian, temperamen, mulutnya pedes kek seblak level 30." cibir Dhafir.
Sepupunya ini memang rupawan dan idaman bagi para cewek-cewek yang cuma liat cowok dari ketampanannya saja. Bahkan sempat ada yang menyamakan wajah Dhafir dengan aktor bernama Mike D Angelo yang jadi pemeran utama di film Full House versi Thailand, remake dari film Full House Korea yang di bintangi oleh Mas Rain dan Mbak Song Hye Kyo. Tapi kalau ngomong, doi suka ceplas-ceplos mirip kek netizen.
"Berisik!"
"Pantesan lo jomblo sampe sekarang. Meskipun tampang lo cakep kek blasteran nirwana sama dunia. Tapi, kalo cocot lo itu masih pedes, sikap lo masih dingin dan galak kek beruang kutub, cewek mana yang mau pacaran sama lo. Deket lo aja ogah kali mereka....."
"Fir diem lo."
Mengabaikan perintah Arrazi agar dirinya diam, Dhafir malah melanjutkan kembali kalimat yang sempat diinterupsi Arrazi sebelumnya.
"Gue penasaran, siapa ya cewek yang bisa membuat Arrazi Dabith Dzakir bisa luluh hatinya dan jadi bucin setengah mampus........."
"Dhafir, sekali lo ngomong, gue bogem lo."
"Nah kan, mulai keluar kegarongannya."
"DHAFIR!"
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!