Udara Edinburgh menyambut Jasmine dengan hembusan angin yang dingin, membawa aroma khas musim gugur—daun-daun kering, tanah basah, dan hujan yang baru saja reda.
Langit di atasnya kelabu, namun tetap memiliki keindahan yang menenangkan. Kaki Jasmine melangkah keluar dari pesawat dengan perlahan, sementara matanya menatap kosong ke arah landasan yang basah. Musim gugur di kota tua ini terasa begitu nyata, seperti peralihan antara sesuatu yang berakhir dan sesuatu yang baru akan dimulai.
"Hanya seorang diri, tak ada yang aku kenal di sini."
Jasmine memejamkan mata sejenak, membiarkan angin menusuk kulitnya, seolah sengaja menguji seberapa kuat dia bertahan. Hawa dingin ini lebih baik daripada kebisingan yang selama ini memenuhi hidupnya. Di sini, dia ingin diam. Sendiri.
Beberapa menit kemudian, Jasmine berdiri di tepi peron stasiun Edinburgh Waverley. Tangan kecilnya mencengkeram gagang koper sementara langkah orang-orang di sekelilingnya terdengar samar, seperti gema dari dunia yang jauh. Kereta yang akan membawanya ke hotel datang dengan suara gemuruh lembut, memecah keheningan yang mulai terasa pekat.
Dia naik ke dalam gerbong dan memilih duduk di dekat jendela. Saat kereta mulai bergerak perlahan, matanya menatap keluar, memperhatikan dedaunan berwarna oranye dan merah yang beterbangan di jalanan, melayang ringan sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Edinburgh di musim gugur terlihat seperti lukisan hidup—indah namun menyimpan nuansa melankolis yang dalam.
"Mulai hari ini, kau harus hidup mandiri, Jasmine."
Kata-kata itu masih terngiang jelas di telinganya. Itu suara ayahnya, dingin, tegas, tanpa penyesalan. Sementara ibunya hanya berdiri di sisi lain ruangan, wajahnya datar, seolah menghindari perasaan bersalah yang seharusnya ada.
Mereka memberikannya cek dengan angka yang lebih besar dari yang pernah ia lihat seumur hidup. Uang yang cukup untuk menyewa apartemen mewah, untuk hidup nyaman. Tapi bukan itu yang ia inginkan. Bukan itu yang ia butuhkan.
"Kami akan memulai hidup baru. Ayahmu akan menikah bulan depan, begitu juga aku. Kamu sudah cukup dewasa untuk memulai hidupmu sendiri."
Kata-katanya ibunya juga terdengar seolah itu hal yang wajar. Hal yang pantas Jasmine dapatkan.
Mereka menyebutnya hidup baru, tapi bagi Jasmine, semua itu hanya perpisahan tanpa ucapan selamat tinggal.
"Kenapa aku dibuang ketika kalian mendapatkan kehidupan baru?" Suara lirih, tak ada air mata yang bisa jatuh.
Kereta bergerak lembut. Jasmine memejamkan mata, kepalanya bersandar ke kaca jendela yang dingin. Dia mencoba mengingat kapan terakhir kali menangis.
Saat adik perempuannya meninggal? Saat orang tuanya bertengkar untuk terakhir kalinya? Air mata itu seperti mengering bersama luka-lukanya, menyisakan kehampaan yang entah sampai kapan akan menetap di dadanya.
Dia membuka mata kembali, menatap refleksi dirinya di kaca. Wajahnya terlihat pucat, tapi tidak rapuh. Mungkin, pikirnya, inilah yang dimaksud mandiri. Berjalan sendiri, tanpa menoleh ke belakang.
Atau mungkin, takdir punya rencana lain untuknya? Entah bagaimana skenario takdirnya akan berjalan di kota ini.
Kereta akhirnya berhenti di Stasiun Waverley, Edinburgh. Jasmine turun dengan koper kecilnya, melangkah di jalanan Edinburgh yang basah. Saat itu, matanya menangkap sebuah kafe kecil di sudut jalan. Alih-alih menuju hotel seperti rencana awal, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sebuah kafe kecil di sudut jalan.
Kafe itu tampak unik—bangunannya tua dengan jendela kaca besar yang buram. Di atasnya tergantung papan kayu usang dengan tulisan The Rusty Crown. Nuansanya terasa berbeda, seperti tempat yang menyimpan banyak cerita, menariknya tanpa alasan yang jelas.
Tanpa berpikir panjang, Jasmine mendorong pintu kafe dan masuk. Sebuah lonceng kecil berdenting nyaring di atas pintu, seolah mengumumkan kedatangannya. Begitu berada di dalam, dia merasa udara di sana sedikit berat. Cahaya remang dari lampu gantung tua menyoroti beberapa meja kayu panjang yang dikelilingi pria-pria dengan postur besar dan wajah suram.
Perbincangan yang tadinya terdengar samar langsung berhenti. Seisi ruangan menoleh ke arahnya.
Jasmine mematung. Dadanya terasa sesak. Sekumpulan pria yang duduk di meja itu memandangnya tanpa senyum, dengan mata penuh tanda tanya—dan kecurigaan. Tatapan mereka cukup untuk membuat siapa pun berpikir dua kali sebelum melangkah lebih jauh. Jasmine bisa merasakan keberadaan mereka, dingin dan mengintimidasi.
Seorang pria di sudut ruangan—duduk di bawah bayang-bayang—menarik perhatian Jasmine. Sosoknya tinggi, dengan jaket kulit hitam yang membungkus tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya sedikit berantakan, tapi ada ketajaman dalam pandangan matanya yang biru. Dia duduk di kursi, salah satu tangannya memegang gelas kopi, sementara yang lain menopang dagunya.
Jasmine merasa seperti ditelanjangi oleh sorot mata itu. Tatapan pria itu begitu menusuk namun dingin, seolah menghakimi kehadirannya di tempat yang salah.
Jasmine berdeham kecil, mencoba memberanikan diri. "Apa ini… bukan kafe biasa?" tanyanya, suaranya terdengar kaku.
Salah satu pria tertawa pelan, suara beratnya memecah kesunyian. "Tempat ini bukan buat turis."
"Keluar, Nona," sela suara lain dengan nada mengejek. "Sebelum kau menyesal."
Jasmine menelan ludah. Untuk sesaat, dia mempertimbangkan untuk berbalik dan pergi. Tapi entah kenapa, kakinya justru melangkah ke depan, bukan mundur—mungkin juga karena dia menyukai hal yang menantang.
“Aku cuma butuh kopi,” ucapnya dengan nada datar. Dia menatap pria-pria itu satu per satu sebelum akhirnya menatap pria di sudut ruangan—pria dengan jaket kulit hitam dan tatapan dingin yang belum berpaling darinya.
Pria itu—Jack Finlay—mengerutkan kening tipis, seolah terhibur oleh keberanian wanita asing ini. Bibirnya melengkung samar, bukan senyum ramah, melainkan sesuatu yang lebih menyeramkan.
"Beri dia kopi yang diinginkan," ujarnya dingin. Suaranya rendah, berat, dan memerintah. Seketika ruangan itu kembali hening. Semua orang terlihat canggung, tapi tak ada yang berani membantah.
Seorang pelayan akhirnya bergerak menuju meja kasir dengan enggan. Jasmine menatap Jack dengan bingung, namun pria itu hanya meneguk kopinya lagi, seolah dirinya tak pernah bicara barusan. Asap rokok yang menguar keluar dari bibir pria itu—entah mengapa bisa menarik di mata Jasmine. Alih-alih menatap ke arah lain, Jasmine justru tertarik pada satu pria itu saja—Jack.
"Berhenti menatap ke arah kami, Nona!" ucap salah satu pria dengan suara yang dingin.
"Maaf." Suara Jasmine terdengar lirih.
Dengan jantung yang berdegup kencang, Jasmine akhirnya duduk di salah satu meja dekat jendela, menjauhi pusat ruangan itu.
Kepalanya kini tertunduk, tangannya mencengkeram erat gagang koper. Apa yang baru saja terjadi? Dan kenapa pria itu terlihat seperti seorang raja yang diam-diam menguasai ruangan ini?
Dari sudut matanya, Jasmine bisa melihat Jack masih menatapnya—dingin, tajam, namun anehnya tidak mengusirnya seperti yang lain. Seolah kehadirannya di sana menarik perhatiannya lebih dari sekadar gangguan.
Di tempat asing ini, dengan tatapan-tatapan mengerikan mengarah padanya, Jasmine merasa seperti ditarik ke dalam pusaran takdir yang tidak dia duga. Dan semuanya bermula di sini, di musim gugur Edinburgh yang kelabu. Di kafe kecil yang suram itu, takdir mulai memainkan perannya untuk dua manusia yang mungkin sama-sama terluka.
...****************...
Langkah berat terdengar mendekat, membuat napas Jasmine tersangkut di tenggorokan. Sebuah kursi kayu di seberangnya ditarik, bunyinya memekik di lantai kafe yang sunyi. Ketika dia mendongak, sosok pria berjaket kulit itu—Jack Finlay—sudah duduk di depannya. Tatapannya menusuk, mengintimidasi, dengan mata biru yang seperti menelanjangi setiap rahasia kecil yang dia sembunyikan.
Jasmine menatap Jack dengan tatapan yang terlihat ketakutan. Sedangkan Jack masih tetap memasang tampang dinginnya. Namun, pria itu dapat melihat kehangatan yang bercampur luka dalam sorot mata Jasmine.
"A-ada apa?" tanya Jasmine, namun Jack tidak menjawabnya. Pria itu terus menatap dalam diam.
Jasmine berusaha fokus pada cangkir kopinya yang mengepul di hadapannya. Jari-jarinya gemetar samar saat menggenggam cangkir itu, mencoba menyerap kehangatannya untuk mengusir rasa dingin yang tiba-tiba menjalari tubuhnya. Suasana kafe ini menekan, seperti sebuah perangkap yang tak sengaja dia masuki.
"Bukan tempat yang tepat untuk menikmati kopi, bukan?" Jack membuka suara. Nada bicaranya dalam dan dingin, membuat bulu kuduk Jasmine meremang.
Jasmine menelan ludah, berusaha menyusun kalimat. "Aku hanya... tersesat," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di udara.
"Jadi, kau anak kucing yang tersesat?"
"A-aku bukan anak kucing, a-aku Jasmine."
Jack tidak menjawab. Dia hanya menatap Jasmine lebih dalam, seolah menikmati kebingungan dan kegugupan yang dia ciptakan. Wajahnya nyaris tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu yang berbahaya di balik ketenangan itu—sesuatu yang liar dan penuh godaan.
Berpura-pura tak peduli, Jasmine buru-buru meneguk kopinya. Cairan panas itu hampir membakar tenggorokannya, tetapi dia tidak peduli. Dia hanya ingin segera pergi, keluar dari ruangan yang seolah merampas napasnya ini.
Cangkir itu kosong dalam sekejap. Jasmine berdiri dengan cepat, terlalu cepat hingga kursinya berdecit kasar. "Terima kasih untuk kopinya," ucapnya cepat, berusaha terdengar sopan meskipun suaranya sedikit bergetar.
Dia memutar badan, siap melangkah keluar dari sana, tetapi langkahnya terhenti saat suara Jack menyusulnya.
"Apa kau selalu melarikan diri setiap kali merasa gugup? Kupikir kau pemberani, seperti saat kau tetap melangkah masuk ke dalam kafe ini."
Jasmine berhenti. Jantungnya berdebar keras, hampir memekakkan telinganya sendiri. Perlahan, dia menolehkan kepala. Jack masih duduk di kursinya dengan santai, satu lengannya bersandar di meja. Tatapan tajam itu tidak bergeser darinya. Bibir pria itu melengkung samar, seperti senyum menggoda yang sengaja dibuat untuk membuatnya semakin salah tingkah.
"Kau..." Jasmine mencoba bicara, tapi kata-katanya terhenti.
Jack memiringkan kepalanya sedikit, memandangnya seperti seorang pemburu yang baru saja menemukan mangsanya. "Aku hanya penasaran. Kau seperti anak kucing yang tersesat di sarang serigala."
Jasmine merasakan dadanya bergetar. Pria ini berbahaya, setiap geraknya memancarkan aura liar yang mempesona—sekaligus menakutkan.
Dia tidak tahu apa maksud perkataan Jack, tapi cara pria itu berbicara membuatnya semakin gugup. Ada ketegangan yang menggantung di udara di antara mereka, sesuatu yang sulit dia definisikan.
“Aku tidak... melarikan diri,” bantahnya lirih, meskipun suaranya terdengar lemah.
Jack tertawa kecil, suara itu rendah dan berat, menyelinap masuk ke telinga Jasmine. "Kalau begitu, kenapa kau terburu-buru pergi?"
Jasmine mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya, berusaha menjaga dirinya tetap tenang. "Aku hanya tidak ingin mengganggu."
"Sudah terlambat." Jack menatapnya lebih lama, senyumnya masih belum pudar. "Kau sudah mengganggu."
Kata-kata itu membuat Jasmine mematung. Entah kenapa, nada suaranya terdengar lebih seperti peringatan daripada candaan. Rasanya, tanpa sengaja dia sudah melangkah terlalu jauh ke dunia pria ini—dunia yang jelas berbeda dari apa pun yang pernah ia kenal.
Jasmine meneguk ludah dan menunduk sedikit. "Maaf kalau begitu. Aku akan pergi sekarang."
Tanpa menunggu jawaban Jack, Jasmine berbalik dan melangkah cepat ke pintu. Namun, bahkan saat dia sudah berada di luar kafe, hawa dingin musim gugur pun tak mampu menghilangkan sensasi aneh yang merayap di seluruh tubuhnya—seolah tatapan Jack masih mengikuti ke mana pun dia pergi.
Dan entah kenapa, dia tahu ini bukan akhir dari pertemuan mereka. "Jangan sampai bertemu dengannya lagi."
Rasa gugup Jasmine masih menggelayut, dan tatapan tajam Jack Finlay masih menghantui pikirannya.
Sembari memeluk jaketnya lebih erat, Jasmine menatap layar ponselnya, mencari hotel terdekat. Jemarinya sedikit bergetar saat mengetik, entah karena udara yang menusuk atau karena sisa-sisa ketegangan di dalam kafe. Dalam beberapa menit, dia menemukan hotel kecil tak jauh dari sana—sebuah tempat sederhana yang cukup baginya untuk berlindung sementara.
Dia bergerak lebih cepat, menarik kopernya menyusuri trotoar yang basah, suara roda koper berpadu dengan langkah sepatunya yang bergegas. Berulang kali Jasmine menoleh ke belakang, memastikan dirinya tidak diikuti. Rasanya konyol, tapi perasaan tidak nyaman itu tak mau hilang begitu saja.
"Aku datang ke sini untuk menenangkan diri, tapi sekarang aku malah merasa tidak tenang!" gerutu Jasmine.
Setibanya di hotel, Jasmine langsung memesan kamar. Lobi kecil yang hangat memberinya sedikit rasa nyaman. Setelah mendapatkan kunci, dia segera menuju kamarnya, mengunci pintu dengan hati-hati, dan akhirnya menjatuhkan diri di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar dengan kosong.
"Hari yang melelahkan!" gumamnya, sambil mengusap kening.
Wajah Jack Finlay muncul di pikirannya. Pria itu... benar-benar aneh. Tatapannya yang tajam, senyumnya yang samar, serta julukannya tadi—"Anak kucing yang tersesat di sarang serigala"—ucapan pria itu terus berputar di kepalanya, membuatnya kesal sendiri.
"Kucing apanya? Aku bukan anak kucing," gumamnya pelan, berusaha menepis rasa malu.
Namun, di balik kekesalannya, ada sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Sesuatu yang tidak dia pahami—perasaan asing yang muncul saat berada di bawah tatapan Jack.
...****************...
Di dalam kafe, The Rusty Crown
Jack kini sudah duduk di kursinya, pandangannya tertuju pada pintu kafe yang kini tertutup rapat. Cangkir kopinya kosong, namun ia sama sekali tidak bergerak. Pria-pria di sekitarnya kembali sibuk dengan obrolan mereka, meski sesekali melirik ke arah Jack dengan penuh tanda tanya.
"Dia berani sekali, datang ke sini seperti itu," kata salah satu pria dengan suara pelan.
"Gadis bodoh. Tempat ini bukan untuk turis, apalagi seorang gadis sepertinya," sahut yang lain sambil tertawa kecil.
Jack tidak mengatakan apa pun. Jemarinya mengetuk permukaan meja kayu dengan pelan, ritmis, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Bayangan Jasmine—rambut cokelat yang sedikit berantakan, tatapan matanya yang hangat namun menyimpan luka, serta sikapnya yang jelas-jelas gugup tapi berusaha tetap tenang—semua itu meninggalkan kesan yang tak mudah dia abaikan.
"Jadi, apa pendapatmu, Jack?" Salah satu pria memberanikan diri bertanya, berusaha memecah diamnya pemimpin mereka.
Jack mendongak perlahan, menatap orang itu dengan sorot mata yang membuatnya segera terdiam. Pria itu mundur, tahu bahwa di sudah bicara terlalu banyak bicara.
"Bukan urusan kalian," jawab Jack akhirnya, suaranya dalam dan datar.
Dia bersandar di kursinya, menarik napas panjang, lalu menyeringai samar. "Anak kucing yang tersesat," gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. Ada sesuatu di balik senyum itu—sebuah ketertarikan yang belum sepenuhnya ia pahami. "Dia bilang Jasmine. Apa itu namanya?"
Jasmine tampak berbeda di mata Jack. Tidak ada yang berani berjalan ke dalam sarangnya dengan kepala tegak seperti itu. Bahkan ketika ketakutan, Jasmine terlihat mempesona dalam caranya sendiri—seperti seekor anak kucing yang mencoba menunjukkan cakarnya, meski tidak cukup tajam untuk menyakiti.
Jack bangkit dari kursinya, suara gesekan kursi kayu membuat ruangan kembali hening. "Aku keluar sebentar," ujarnya singkat kepada para bawahannya yang sudah seperti keluarga.
Begitu berada di luar, angin musim gugur menyambutnya. Jack berdiri di bawah naungan papan kayu The Rusty Crown, pandangannya menyapu jalanan kosong yang mulai diselimuti kabut tipis.
Dia tahu Jasmine belum pergi jauh. Entah kenapa, Jack merasa ingin tahu lebih banyak. Tentang siapa dia, kenapa dia ada di sini, dan apa yang membuatnya begitu berani datang ke tempat yang salah.
"Aku akan melihat sejauh mana anak kucing itu bisa bertahan," gumam Jack pelan, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang liar dan penuh godaan.
Langkahnya perlahan menyusuri jalanan Edinburgh yang dingin, sementara pikirannya terus tertuju pada satu hal, gadis dengan tatapan mata hangat yang menyimpan banyak rahasia.
...****************...
Jasmine melangkah keluar dari hotelnya pagi hari, mencoba menikmati udara segar Edinburgh. Dia berjalan menyusuri trotoar berbatu, mengagumi bangunan-bangunan tua dengan arsitektur khas yang memancarkan pesona kota tua. Dedaunan musim gugur berserakan di jalan, menciptakan suasana melankolis yang cocok dengan hatinya.
"Aku harus memotretnya," gumam Jasmine, segera dia mengeluarkan ponselnya dan mengabadikan semua bangunan itu.
Namun, meski dia berusaha menikmati keindahan kota, ada satu tempat yang dia pastikan untuk tidak dilewati, tempat itu membuatnya bergidik ngeri setiap dia mengingatnya. The Rusty Crown. Pikiran tentang kafe itu dan pria yang menyeramkan di dalam sana, membuatnya waspada. Tatapan pria itu, caranya berbicara, dan senyum samar penuh teka-teki itu... semuanya membuat Jasmine tidak nyaman.
"Kalau tidak salah namanya Jack. Aku ingat seorang pria yang di kafe itu memanggilnya begitu. Tapi dia mengerikan, badannya penuh tato, tinggi dan kekar," gumam Jasmine, sembari kedua tangan mengusap lengannya—tentu bukan karena cuaca dingin.
Untuk mengalihkan pikirannya, Jasmine memutuskan berbelanja snack di supermarket kecil dekat hotel.
"Aku akan beli ini untuk menemaniku menonton," bisiknya kepada dirinya sendiri, sambil memasukkan beberapa bungkusan snack ke dalam keranjang.
Setelah membeli beberapa makanan ringan dan barang-barang keperluan, dia kembali berjalan santai, hingga langkahnya membawanya ke sebuah toko buku tua dengan jendela besar berdebu.
Jasmine tersenyum kecil. Tempat ini terlihat hangat dan nyaman—tempat sempurna untuk melupakan semua kekhawatirannya. Dia mendorong pintu kayu yang berderit pelan, aroma buku-buku lama segera menyambutnya.
"Edinburgh memang sangat estetik." Suaranya berisik, langkahnya pelan.
Dia berjalan perlahan di antara rak-rak buku, jemarinya menyentuh punggung buku yang berjajar rapi. Senyum tipis menghiasi wajahnya untuk pertama kalinya sejak tiba di Edinburgh. Namun, momen itu segera sirna ketika ia mendengar suara langkah berat mendekat.
"Jadi, kita bertemu lagi, anak kucing."
Jasmine tertegun. Tubuhnya menegang saat mengenali suara itu. Dengan perlahan, dia menoleh, dan di sana, berdiri sosok Jack Finlay. Pria itu bersandar santai di rak buku dengan tangan kiri yang dimasukkan ke dalam saku jaket kulitnya. Wajahnya tampak garang, dengan tatapan tajam yang menghunjam langsung ke arahnya.
"Kenapa wajahmu terlihat begitu tegang? Aku tidak menggigit kucing," ujar Jack dengan nada menggoda, senyumnya samar, membuat Jasmine semakin gugup.
"A-aku hanya mencari buku," balas Jasmine terbata-bata, berusaha menjaga suaranya tetap tenang. Dia segera memalingkan wajah dan mencoba kembali fokus pada buku-buku di hadapannya.
Jack tidak membiarkannya begitu saja. Dengan langkah tenang, dia mendekat, berdiri di sisi Jasmine. Aroma maskulin pria itu terasa begitu dekat hingga Jasmine ingin segera pergi.
"Buku apa yang kau cari?" tanya Jack, nadanya terdengar ramah, tetapi ada nada licik yang tersirat di sana.
"Tidak ada yang khusus," jawab Jasmine cepat.
Jack menyeringai kecil. Diaa mengulurkan tangan dan menarik satu buku dari rak di depannya, lalu menatap sampulnya sekilas. "Bagaimana dengan ini? ‘How to Stay Calm Under Pressure.’ Sepertinya cocok untukmu."
Jasmine mendengus pelan, meski pipinya memerah. "Terima kasih, tapi aku bisa memilih sendiri."
Jack menutup buku itu dan meletakkannya kembali. Tatapannya tidak bergeser dari Jasmine. "Kau selalu begini? Menghindariku?"
"Kenapa memangnya? Aku tidak mengenalmu, jelas saja aku harus menghindari orang asing!"
"Wow, kucingku ingin mencakar," ledek Jack.
Jasmine menatap malas, dia memutar tubuhnya, berniat meninggalkan pria itu, tapi Jack melangkah di depannya, menghalangi jalannya. Wajahnya terlalu dekat, membuat Jasmine merasa terpojok.
"Kita belum sempat saling kenal. Namaku Jack Finlay, tapi kurasa kau sudah tahu." Jack tersenyum kecil, senyuman yang lebih menyerupai ejekan.
Jasmine menggigit bibirnya, berusaha tidak terintimidasi. "Aku tidak ingin kenalan dengan siapapun."
Jack tertawa pelan, suara beratnya menggema di antara rak-rak buku. "Sayang sekali, karena aku ingin kenal denganmu. Jadi, siapa namamu, anak kucing?"
"Bukan urusanmu," jawab Jasmine tegas, meskipun suaranya sedikit bergetar.
Jack mengangkat alis, ekspresinya seperti sedang menilai Jasmine. "Keras kepala, ya? Aku suka."
"Kalau kau tidak keberatan, aku ingin pergi." Jasmine mencoba melewatinya, tapi Jack menahan langkahnya dengan satu tangan di rak, menghalangi jalannya lagi.
"Kau takut padaku?" Jack menatapnya dalam-dalam, suaranya sedikit menurun menjadi lebih lembut, tapi tetap memikat. "Aku bisa lihat itu di matamu."
Jasmine menelan ludah, matanya berusaha menghindari tatapan Jack. "Aku tidak takut. Aku hanya ingin kembali ke hotel dan tidur."
Jack tertawa kecil lagi, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—lebih tulus, meski masih ada kesan licik di baliknya. "Lucu sekali. Kau masuk ke wilayahku kemarin, dan sekarang kau mencoba kabur dariku. Dunia ini kecil, anak kucing. Percaya padaku, kita akan bertemu lagi."
Dia menurunkan tangannya, memberi jalan, tetapi sebelum Jasmine bisa benar-benar pergi, Jack berbicara lagi, nadanya pelan tapi menggoda.
"Jasmine, kan?"
Langkah Jasmine terhenti. Dia membeku di tempatnya. Bagaimana pria itu tahu namanya? Dia tidak ingat bahwa dirinya sendiri yang mengatakan namanya.
Jack menyeringai penuh kemenangan. "Kau sendiri yang bilang bahwa kau Jasmine. Jadi, kurasa itu memang namamu." Dia memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, tampak santai. "Senang bertemu denganmu, Jasmine. Sampai jumpa lagi, anak kucingku."
Jasmine berbalik dengan cepat dan berjalan keluar toko, jantungnya berdebar kencang. Wajahnya memerah karena kesal dan gugup. Bagaimana pria itu bisa begitu memikat sekaligus mengerikan?
Sementara itu, Jack hanya berdiri di tempatnya, menatap punggung Jasmine yang menjauh. Senyuman samar di wajahnya tidak memudar. "Gadis ini menarik," gumamnya pelan, sebelum akhirnya melangkah keluar dari toko dengan sikap santai.
JACK FINLAY
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!