Tahun 1898...
Kedamaian telah menaungi Kerajaan Cahaya selama seratus tahun terakhir. Namun, di balik keheningan yang damai, bayang-bayang tragedi yang terjadi satu abad lalu masih terasa di hati para penduduknya.
Hari itu, Raja Yuto, pemimpin Kerajaan Cahaya, berdiri di hadapan patung tujuh ksatria legendaris di alun-alun utama. Patung-patung itu menjulang megah, masing-masing menggenggam pedang, seolah masih berjaga melindungi kerajaan yang mereka selamatkan dari kehancuran. Raja Yuto membungkuk hormat, diikuti oleh seluruh ksatria yang hadir.
Di antara para ksatria itu, berdiri seorang pemuda dengan tatapan penuh makna. Simbol bercahaya di bahu kanannya, lambang warisan darah seorang ksatria legendaris, menjadikan dia berbeda. Pemuda itu bernama Ziaz Blue, cucu salah satu dari tujuh ksatria legendaris.
“Seratus tahun telah berlalu sejak kau melindungi kerajaan ini, Kakek...” bisik Ziaz sambil menatap patung ksatria di hadapannya.
Raja Yuto akhirnya angkat bicara, suaranya tegas namun penuh penghormatan. “Jika bukan karena mereka yang mengorbankan segalanya, kita tidak akan berdiri di sini hari ini. Dunia mungkin sudah dilahap kegelapan.”
Para ksatria lainnya terdiam, wajah mereka menyiratkan rasa takut. Nama Raja Kegelapan, musuh terbesar Kerajaan Cahaya, masih menjadi legenda yang menakutkan meski telah lama berlalu. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar di antara mereka.
“Aku dengar, Raja Cahaya pertama dibunuh begitu mudah oleh Raja Kegelapan...” ujar salah seorang ksatria, suaranya bergetar.
“Bahkan kakekku bilang, Raja Kegelapan bisa menghancurkan kerajaan dalam sehari, kalau dia mau,” sahut yang lain.
Mendengar itu, Ziaz mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. (Raja Kegelapan itu hanya pengecut. Dia mengandalkan iblis untuk menang!) pikirnya dengan penuh amarah.
Raja Yuto melanjutkan, memotong bisik-bisik para ksatria. “Kalian semua takut pada Raja Kegelapan, bukan? Tapi tahukah kalian, ksatria legendaris kita bertarung hingga hampir gugur dalam tragedi itu?”
Para ksatria saling berpandangan, bingung. Mereka tidak pernah mendengar kisah itu sebelumnya.
Melihat reaksi mereka, Raja Yuto tersenyum tipis. “Saat pertempuran itu terjadi, seluruh penduduk telah dievakuasi jauh dari medan perang. Tidak ada yang tahu bahwa tujuh ksatria kita nyaris kalah. Mereka sendirian melawan kekuatan yang luar biasa.”
Ziaz terkejut mendengar pengakuan itu. Ia memandang patung sang kakek dengan mata yang mulai berkaca-kaca. (Kakek... Kau tidak pernah menceritakan kalau kalian bertujuh bertarung sendirian melawan seluruh pasukan Raja Kegelapan...)
“Pada hari itu,” lanjut Raja Yuto dengan suara yang semakin tegas, “Raja Kegelapan membunuh Raja Cahaya pertama. Segalanya hampir berakhir, hingga sesuatu yang luar biasa terjadi.”
Para ksatria menahan napas, perhatian mereka kini sepenuhnya tertuju pada sang raja.
“Sebuah cahaya muncul,” kata Raja Yuto, menunjuk ke arah patung-patung itu. “Cahaya yang selama ini bersemayam di dekat tahta kerajaan. Cahaya itu menyelimuti tujuh ksatria kita, dan dalam sekejap, ia berubah menjadi tujuh pedang pelindung.”
“Pedang pelindung?” salah seorang ksatria berbisik, suaranya penuh kekaguman.
Raja Yuto mengangguk. “Tujuh pedang itu bukan hanya senjata biasa. Mereka diberkati dengan kekuatan yang sangat kuat, masing-masing memiliki kekuatan unik yang hanya dapat digunakan oleh ksatria terpilih. Dengan pedang itu, tujuh ksatria kita kembali bangkit, meski sudah di ambang maut. Mereka melawan hingga titik darah penghabisan, menghabisi pasukan kegelapan dan berhasil menyegel Raja Kegelapan hingga saat ini."
Ziaz mendengar cerita itu dengan mata yang bersinar-sinar. Kata-kata Raja Yuto menggema dalam pikirannya. “Pedang pelindung... Berwarna biru...” gumamnya, seolah menyebut sesuatu yang lebih dari sekadar kata.
Namun, di balik cerita heroik itu, sebuah firasat buruk mulai mengusik hati Ziaz. Raja Kegelapan mungkin telah dikalahkan, tetapi apakah ancamannya benar-benar hilang?
Raja Yuto pun menghela nafasnya. "Tapi sayangnya... Para ksatria tidak dapat mengalahkan seluruh Ksatria Kegelapan. Mereka hanya bisa mengalahkan 8 Ksatria Kegelapan sedangkan 12 lagi kabur dan masih ada hingga sekarang."
Para ksatria yang mendengar itu pun sangat terkejut. Karena tidak mungkin para Ksatria Kegelapan masih hidup karena tragedi itu sudah 100 tahun lalu.
"Jika kalian menganggap mereka telah tiada, maka kalian salah besar. Mereka di berkati kekuatan kegelapan dan membuat mereka bisa hidup panjang selama mereka tidak kalahkan." ucap Raja Yuto
Setelah Raja Yuto mengatakan semuanya kepada para ksatria. Dia pun membubarkan seluruh ksatria yang ada disana termasuk Ziaz. Raja Yuto pun memberikan hormat untuk terakhir kalinya kepada patung ksatria legendaris.
___
Hari itu, seluruh kegiatan di Kerajaan Cahaya dihentikan. Para penduduk sibuk merayakan seratus tahun kemenangan mereka dengan nyanyian, tarian, dan festival besar di alun-alun utama. Namun, di sisi lain, seorang pemuda memilih untuk menjauh dari keramaian itu.
Ziaz Blue berdiri di tengah hutan yang sunyi, pedang di tangannya berkilau diterpa cahaya matahari yang menembus celah dedaunan. Wajahnya dipenuhi tekad.
“Jika aku ingin dipromosikan menjadi ksatria senior, aku tak punya waktu untuk bersantai,” gumamnya sambil mengayunkan pedangnya ke batang pohon besar di hadapannya.
Namun, di tengah ayunan pedangnya, sebuah suara bisikan misterius tiba-tiba terdengar.
“Datanglah... cari aku di balik air yang turun dari tempat tinggi...”
Ziaz menghentikan gerakannya seketika. Ia menoleh ke sekeliling, mencoba mencari sumber suara itu. “Huh? Siapa itu?” tanyanya dengan nada waspada.
Tidak ada jawaban, hanya keheningan yang menjawab. Tapi beberapa saat kemudian, suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas.
“Hadaplah ke timur... Masuklah lebih dalam ke dalam hutan... Kau akan menemukan apa yang telah lama hilang...”
Jantung Ziaz berdegup kencang. Suara itu tidak seperti suara manusia biasa, lebih seperti gema yang memenuhi pikirannya. Pedangnya terjatuh dari genggamannya saat ia mendengar kata-kata itu.
“Apa ini?” bisiknya, setengah tak percaya.
Namun rasa ingin tahu dan keberanian segera menguasainya. Dengan langkah cepat, Ziaz mulai berlari ke arah yang ditunjukkan oleh suara tersebut.
Setelah beberapa menit berlari, ia mulai mendengar suara gemuruh air. Dari jarak sekitar lima puluh meter, suara itu semakin keras, seperti alunan dentuman raksasa yang memenuhi udara.
“Sejak kapan ada air terjun di hutan ini?” gumamnya sambil memperlambat langkahnya.
Perlahan, Ziaz melewati sebuah area yang dipenuhi cahaya terang. Ketika ia membuka matanya, pemandangan di hadapannya membuatnya tertegun.
Sebuah air terjun yang sangat tinggi dan besar berdiri megah di hadapannya. Aliran airnya tampak seperti tirai kristal yang jatuh dari langit.
“Luar biasa... Sepertinya aliran sungai di Kerajaan Cahaya berasal dari sini,” ujarnya sambil berjalan mendekati tepian air terjun.
Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di balik tirai air itu, ia melihat kilauan cahaya kecil yang berkedip, seperti bintang yang terjebak di dalam air.
“Apa itu?” bisiknya.
Ia mencari cara untuk turun ke dasar air terjun. Tapi saat melihat ketinggian tebing itu, ia bergidik. “Jika aku melompat, aku akan langsung bergabung dengan kakekku di alam lain,” ucapnya, setengah bercanda untuk meredakan ketegangan.
Dengan hati-hati, ia mulai menuruni tebing, berpegangan pada batu-batu yang menonjol. Setiap langkahnya penuh kehati-hatian, hingga akhirnya ia berhasil mencapai dasar air terjun dengan selamat.
Ziaz menatap sekeliling. Air di dasar air terjun itu ternyata tidak terlalu dalam. Ia merasa aneh. “Kenapa air di sini dangkal? Apakah dulunya tempat ini bukan air terjun?”
Cahaya di balik air terjun itu kembali berkedip, seolah memanggilnya. Tanpa ragu, Ziaz berjalan menuju sumber cahaya itu, melewati dinginnya percikan air yang jatuh dari atas.
___ END CHAPTER 1 ___
Ketika ia akhirnya melewati air terjun itu, Ziaz terdiam. Di hadapannya, terbentang sebuah gua di balik air terjun itu. Sumber cahaya itu tampaknya berasal dari dalam gua tersebut.
“Jadi... inilah yang kau maksud dengan sesuatu yang telah lama hilang,” ujar Ziaz pelan. Ia merasakan dadanya berdebar hebat, seperti akan menemukan sesuatu yang sangat penting.
Dengan penuh rasa ingin tahu, ia melangkah masuk ke dalam gua, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun yang menantinya di dalam.
Karena kegelapan yang menyelimuti gua itu, Ziaz merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kristal bercahaya. Sinar lembut dari kristal tersebut menerangi jalannya saat ia melangkah lebih jauh ke dalam gua. Tatapannya fokus melihat sekelilingnya, pedangnya siap di tangan kanan untuk berjaga-jaga.
Dinding gua yang dingin dan kasar perlahan terungkap oleh cahaya kristal. Saat ia melangkah lebih dalam, sebuah pemandangan menarik perhatian Ziaz. Di dinding gua itu terdapat lukisan dan tulisan kuno yang sangat misterius.
"Ini... bukannya lukisan tentang kejadian satu abad lalu?" bisiknya, suaranya terdengar kecil di tengah keheningan gua.
Ia berjalan perlahan, mengamati setiap detail lukisan itu. Sosok ksatria dengan pedang berkilauan, raja kegelapan yang mengerikan, dan cahaya terang yang turun dari langit—semuanya tergambar jelas di dinding batu itu.
“Dari goresannya, sepertinya ini sudah berumur sekitar delapan puluh tahun,” gumamnya sambil menyentuh lukisan itu dengan hati-hati. Sentuhannya membawa sedikit debu yang terlepas dari dinding.
Di antara lukisan itu, ia melihat sebuah tulisan kuno yang familiar. "Ini... tulisan kuno yang kakek perlihatkan padaku saat aku berumur 7 tahun!" ujarnya, terkejut sekaligus terkesan.
Ziaz mengingat kembali perkataa dari kakeknya tentang tulisan kuno itu. Perlahan, ia mulai mengartikan tulisan kuno itu.
“Carilah cahaya dari dalam kegelapan...” bisiknya sambil menyentuh ukiran itu.
Tiba-tiba, dari ujung kegelapan gua, sebuah cahaya biru terang muncul dengan sangat terang yang membuat Ziaz terpaksa menutup matanya. Cahaya itu menyebar memenuhi gua, membuat bayangan Ziaz membesar di dinding gua.
"Apa ini?!" serunya, mencoba menahan rasa panik.
Namun, sama cepatnya dengan kemunculannya, cahaya itu perlahan meredup dan menghilang. Ziaz, yang penasaran, segera berlari menuju tempat di mana cahaya itu muncul.
Di sana, ia menemukan sesuatu yang mengejutkan—sebuah ruangan besar yang tersembunyi di dalam gua. Pilar-pilar batu berdiri megah menopang langit-langit, dan di tengah ruangan, terdapat sebuah kursi takhta yang terlihat kuno namun agung.
"Yang benar saja... Apa ini dulunya sebuah kerajaan?" gumamnya, matanya menunjukkan kalau dia sedang kagum.
Di atas kursi takhta itu, sebuah pedang tertancap dengan gagahnya. Cahaya biru samar memancar dari pedang tersebut, seolah memanggil Ziaz untuk mendekat.
“Pedang jenis apa ini?” tanyanya pada dirinya sendiri, matanya terpaku pada pedang itu.
Dengan hati-hati, Ziaz menaiki tangga menuju takhta. Setiap langkahnya bergema di ruangan kosong itu. Ia berhenti di depan pedang, lalu meraih gagangnya.
Saat ia menarik pedang itu, cahaya biru kembali muncul, kali ini lebih terang dari sebelumnya. Cahaya itu meliputi seluruh tubuh Ziaz, dan tiba-tiba ia merasa dirinya ditarik ke tempat lain.
Ketika ia membuka matanya, ia mendapati dirinya berada di ruangan kosong tanpa ujung. Tidak ada dinding, lantai, atau langit, hanya kekosongan biru yang tak bertepi.
“Dimana ini?” bisiknya, kebingungan.
Dari balik kekosongan itu, sebuah suara muncul. Suara yang sama yang telah memandunya ke dalam gua.
“Siapa yang berani menarik pedang itu dari kursi tahtanya?” suara itu bertanya dengan nada tegas namun tenang.
Ziaz terkejut. Ia memandang sekeliling, mencoba mencari sumber suara itu, tapi tidak ada siapa pun di sana.
“Dimana kau?! Apa yang kau inginkan dariku?!” teriak Ziaz.
Sosok seorang ksatria muda tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mengenakan jubah biru dengan mata yang berwarna biru, lambang Kerajaan Cahaya terpampang di bahunya.
“Si-siapa kau?” tanya Ziaz dengan suara bergetar.
Ksatria muda itu tersenyum kecil. “Siapa aku? Aku adalah orang pertama yang menggunakan pedang yang kau pegang itu,” jawabnya.
“Maksudmu... pedang ini adalah Pedang Pelindung?” Ziaz bertanya dengan nada penuh keraguan.
“Benar. Kau sedang memegang Pedang Pelindung berwarna Biru. Pedang itu pernah digunakan oleh kakekmu dalam pertempuran besar satu abad lalu,” jawab pria itu.
“Tapi itu tidak masuk akal!” seru Ziaz. “Seharusnya kakekku adalah orang pertama yang menggunakan Pedang Pelindung berwarna Biru! "
Pria itu kembali tersenyum. “Kau salah. Aku, Yuez Blue, adalah leluhurmu. Aku lahir 150 tahun yang lalu, jauh sebelum tragedi itu terjadi.”
Ziaz terkejut mendengar pernyataan itu.
Yuez mulai menceritakan asal usul Pedang Pelindung. “Pedang ini... bersama enam lainnya, ditemukan dalam misi berbahaya di sebuah kerajaan yang kini telah hilang. Kami menyegel pedang-pedang itu dalam cahaya untuk melindungi dunia dari ancaman yang belum datang.”
Namun, Yuez menjelaskan bahwa keputusan itu membawa konsekuensi berat: ia dan rekan-rekannya tidak dapat hidup lebih dari 30 tahun karena telah menyegel pedang pelindung.
"Aku tidak tau pasti apakah kerajaan itu masih ada atau tidak, tapi kami menemukan pedang pelindung saat sedang menjalankan bisa berbahaya di kerajaan itu." ucap Yuez
“Tapi... kerajaan apa itu?” tanya Ziaz.
Sebelum Yuez sempat menjawab, ruangan biru itu perlahan memudar. Ziaz kembali ke ruangan besar di dalam gua, masih memegang Pedang Pelindung berwarna Biru.
Cahaya pedang itu bersinar terang, tetapi tiba-tiba gua mulai runtuh. Batu-batu besar jatuh dari atas, memaksa Ziaz untuk berlari secepat mungkin keluar dari gua itu.
Saat ia melompat melalui air terjun, Ziaz akhirnya mencapai tepian sungai di luar gua. Napasnya terengah-engah, tubuhnya basah kuyup, tapi di tangannya, ia masih memegang Pedang Pelindung berwarna Biru.
“Hampir saja...” gumamnya, menatap pedang itu dengan mata penuh rasa ingin tahu dan hormat.
Dengan pikiran penuh pertanyaan, Ziaz memutuskan untuk kembali ke rumahnya melewati terowongan air yang mengalir ke arah kerajaan.
___
Saat malam hari...
Raja Yuto sedang mengadakan pertemuan dengan para ksatria penjaga perbatasan. Raja Yuto mendengar kabar kalau desa di bagian perbatasan kerajaan cahaya telah di serang oleh seseorang.
"Bukannya kalian tadi malam berjaga di wilayah itu?" tanya Raja Yuto
"Itu kesalahan kami yang mulia, namun saat sebelum desa tersebut di serang oleh seseorang, pada saat itu kami sedang mengejar para bandit yang berlarian ke dalam hutan." jawab ketua regu penjaga perbatasan
"Berapa lama desa itu di serang?" tanya Raja Yuto
"Pada saat itu kami mengejar para bandit sekitar 10 menit saja, namun saat kami kembali kami melihat desa tersebut sudah di penuhi dengan api yang membara dan para penduduk yang berlarian karena ketakutan." ucap ketua regu penjaga perbatasan
___ END CHAPTER 2 ___
Keesokannya...
Raja Yuto pergi ke desa yang di serang itu. Dia pun bertanya kepada penduduk yang melihat langsung penyerangan itu.
"Apa kau melihat siapa yang menyerang desa ini?" tanya Raja Yuto
"Aku tidak tau banyak, Yang Mulia. Tapi dia memakai jubah berwarna hitam dan matanya berwarna merah, lalu jika tidak salah dia memegang pedang berwarna hitam gelap." kata penduduk itu
Raja Yuto yang mendengar itu pun sangat terkejut. "Tidak mungkin... Apa mereka sudah mulai menyerang lagi?" ujarnya
Raja Yuto pun menyuruh semua ksatria yang berjaga di desa luar kerajaan cahaya agar segera mengevakuasi penduduk desa untuk masuk ke dalam tembok pelindung kerajaan cahaya.
"Sial, melawan mereka dalam keadaan kekuatan seperti ini akan membuat kerajaan cahaya menjadi hancur," ucap Raja Yuto yang kesal
Disisi lain, Ziaz bersiap untuk melakukan perjalanan menuju Kerajaan Petir. Dia pergi untuk menjalankan tugasnya sebagai pemakai pedang pelindung berwarna biru yang baru.
___
Malam hari kemarin...
Ziaz yang pulang ke kediamannya memutuskan untuk mengumpulkan semua informasi tentang pedang pelindung dari gudang barang peninggalan kakeknya. Ziaz tinggal bersama ibunya yang merupakan mantan ksatria wanita.
"Ziaz? Apa yang sedang kau lakukan di gudang kakek mu?" tanya ibunya
Sambil terengah-engah Ziaz pun melihat ke arah ibunya. "Aku telah di tugaskan untuk suatu hal."
Ibunya pun melihat pedang di bawa oleh Ziaz di pinggangnya. "Ziaz... Apa itu pedang pelindung?" tanya ibunya
Ziaz yang mendengar perkataan ibunya itu pun langsung berhenti membuka semua barang kakeknya. "Apa ibu sudah pernah melihat pedang ini sebelumnya?"
Ibunya pun tiba tiba sangat khawatir kepada Ziaz. Dia pun menyuruh Ziaz untuk mengembalikan pedang itu karena ibunya tidak ingin Ziaz menjalankan takdir seperti kakeknya.
"Ziaz! Apa kau ingin menjalankan takdir seperti kakek mu? Konsekuensinya sangat besar nak," ucap ibunya
"Aku tidak bisa menolaknya Bu... Aku bertemu dengan ayah dari kakek dan dia menyuruhku untuk pergi ku untuk pergi mencari pedang pelindung yang lain." ujar Ziaz
Ternyata sebelum Yuez dan Ziaz berpisah kemarin. Yuez tidak lupa menyuruh Ziaz untuk pergi mencari pedang pelindung yang lain karena kedamaian di dunia akan segera lenyap kembali.
"Apa kau tau Ziaz? Ibu menjadi ksatria muda di umur 17 tahun seperti dirimu sekarang, namun pedang pelindung sangat tidak cocok untuk ksatria muda karena itu akan membahayakan dirimu." kata ibunya
"Dari mana ibu tau kalau ini akan membahayakan ku! Apa ibu pernah memakainya?" tanya Ziaz yang kesal
Ibunya yang mendengar itu pun langsung menghela nafasnya. "Apa kau ingin tau kenapa kakek mu sakit sakitan terus menerus?"
"Apa... Apa kakek mengatakan sesuatu tentang penyakitnya itu?" tanya Ziaz
"Kakek mu mendapatkan penyakit itu karena terlalu sering memakai pedang pelindung dan efeknya sangat benar benar tinggi, saat ibu masih sangat muda dia sering membicarakan tentang pedang pelindung kepada ibu." kata ibunya
Ziaz yang mendengar itu pun hanya terdiam. Dia pun melihat peta seluruh kerajaan di dunia yang di tinggalkan oleh kakeknya. Kakeknya membuat sebuah tanda kepada kerajaan tertentu.
"Ziaz, apa kau ingin menjadi seperti kakek mu?" tanya ibunya
Ziaz pun tersenyum. "Jika itu perlu maka aku akan menjalankan takdir ini Bu," jawabnya
___
Keesokannya...
Ziaz pamit ke ibunya untuk pergi ke Kerajaan Petir. "Aku pergi dulu Bu," ucapnya
"Berhati hatilah Ziaz, kakek dan ayah mu pasti akan menjagamu dalam menjalankan tugas sebagai ksatria pedang pelindung." ujar ibunya
Ziaz pun pergi sambil tersenyum. Dia pun menaiki kudanya dan pergi ke arah Kerajaan Petir dengan pedang pelindung berwarna biru di pinggangnya.
Saat berada di dekat perbatasan dia melihat desa yang hancur di serang seseorang tadi malam. "Apa yang sedang terjadi disana?" ucapnya
Ziaz pun tidak memberhentikan kudanya. Dia pun bergegas ke Kerajaan Petir sebelum malam hari.
Sore harinya...
Ziaz terus memacu kudanya melewati jalanan berkerikil menuju Kerajaan Petir. Hujan secara tiba tiba mulai turun yang membuat dia terpaksa harus berhenti di sebuah hutan besar di dekat perbatasan Kerajaan Petir.
Saat sedang memberi makan kudanya. Ziaz melihat pedang pelindung miliknya mulai mengedipkan cahaya lagi. "Hmm? Ada apa?" tanyanya
Tiba tiba Ziaz melihat sebuah petir yang menyambar salah satu pohon besar di hutan tersebut. Hal tersebut membuat kuda milik Ziaz ketakutan dan kabur dari sana.
"Hey tunggu! Kau ingin kemana!" ujar Ziaz yang panik
Ziaz pun tidak sanggup mengejar kudanya itu karena angin yang sangat kuat dan hujan yang begitu deras. Namun dia penasaran dengan pohon yang di sambar petir tadi.
"Sialan, pohon ini benar benar besar." ucap Ziaz
Tiba tiba petir kembali menyambar pohon di dekat Ziaz. Pohon tersebut pun tumbang dan jatuh ke tanah. Ziaz pun berhasil menghindar dari batang pohon tersebut yang ingin menimpanya.
"Yang benar saja? Apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Ziaz yang kebingungan
Dia pun mendengar suara seseorang yang sedang menghitung sesuatu. Dia pun penasaran dan pergi ke arah sumber suara itu. Namun saat sampai di sumber suara itu.
Ziaz sangat terkejut karena dia melihat seorang ksatria muda dengan rambut berwarna kuning dan simbol cahaya di bahunya. "Tidak mungkin..." ucapnya
Ksatria itu pun tiba tiba berhenti mengayunkan pedangnya. "Sial, walaupun sudah berapa kali aku mencoba mengeluarkan kekuatan dari pedang ini. Pedang ini tetap saja tidak ingin menuruti perintah ku," ucapnya
Ziaz pun melihat ksatria itu dari balik pepohonan. Namun tiba tiba cahaya pedang pelindung Ziaz kembali menyala. Ziaz pun panik karena dia takut ketahuan.
"Tenanglah," ujar Ziaz
Namun Ziaz melihat pedang pelindung ksatria itu ikut bercahaya dengan warna kuning. Ksatria itu pun melihat sekelilingnya yang membuat Ziaz bersembunyi di balik semak semak dalam keadaan hujan yang sangat deras itu.
"Apa ada seseorang disini?" tanya ksatria itu
Ziaz yang mendengar itu pun hanya diam saja. Namun ksatria itu tau kalau ada seseorang di dekatnya.
"Keluarlah! Aku tidak akan menyakitimu!" ucapnya
Ziaz pun memutuskan untuk keluar dari balik semak semak. Dia pun berjalan ke arah ksatria itu sambil menunjukkan simbol cahaya di bahu kanan miliknya.
Ksatria itu pun terkejut melihat simbol cahaya di bahu kanan Ziaz. Dia pun menyuruh Ziaz untuk berhenti. "Berhenti disana," ujarnya
Ziaz pun berhenti sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aku tidak ada niatan berbuat jahat!" ucap Ziaz
"Dari mana kau berasal! Kenapa kau memiliki simbol cahaya di bahu mu!" tanya ksatria itu
Ziaz pun menurunkan tangannya dengan perlahan. "Karena kita berdua berasal dari keturunan ksatria cahaya..." ujarnya
___ END CHAPTER 3 ___
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!