"Dik, aku ingin kita berpisah." Kulihat netranya yang polos, perlahan mengembun dan memerah.
"Kenapa, Mas? Apa aku sudah membuat kesalahan yang fatal?" Dia menunduk, menyembunyikan air matanya yang susah payah ia tahan.
"Kau adalah perempuan yang sangat baik dan sempurna," ujarku ragu.
"Jika aku baik kenapa kamu ingin berpisah denganku, ha?" Ia memotong ucapanku, matanya berkilat marah, seketika Limah menggebrak meja cukup keras. Sungguh baru kali ini aku melihat ia semarah ini. Lima tahun hidup dengannya, tidak pernah kutemui perangainya yang kasar lagi keras.
"Karena aku tak pernah mencintaimu, Dik." Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku, seolah ingin mengungkapkan semua unek-unek yang telah lama ku pendam. Namun entah mengapa setelah mengucapkannya aku merasa dadaku ikut merasakan sesak.
"Tidak cinta? Setelah lima tahun kita merajut bahtera rumah tangga, kau bilang tidak cinta? Apa kau tidak melihat putri kita yang cantik sedang tertidur pulas, Mas? Apa kau juga tidak lihat, anakmu yang kedua sebentar lagi akan lahir? Bahkan kehidupan kita yang selalu harmonis dan berjalan semestinya. Dan sekarang kau bilang tak cinta? Hah, aku tidak mengerti jalan pikiranmu sama sekali."
Seketika dia tertawa, tatapannya nyalang, seperti ingin menerkam ku hidup-hidup.
Ia menatapku yang masih bergeming di tempatku duduk, ku tatap netranya, namun dengan segera ia memalingkan wajah, mengusap air matanya kasar, lalu berlalu pergi meninggalkanku tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.
Halimah adalah perempuan cantik, yang dijodohkan ayahku lima tahun yang lalu.
Dia juga baik, Sholehah dan penurut. Namun entah kenapa, entah setan apa yang menjadikanku tak bisa mencintainya. Semua terasa hambar ketika bersama dengannya.
Aku ingin merasakan apa yang dirasakan orang lain. Hati yang berdebar setiap kali berjumpa dengan kekasihnya, rasa rindu yang teramat ketika sedang berjauhan, perasaan senang yang membuat melayang, dan perasaan cinta yang tidak bisa dideskripsikan. Dan sayangnya, aku tidak merasakan itu ketika dekat dengan Halimah--istriku.
‘Apa aku salah ingin hidup bahagia?’ Ku hirup aroma kopi dalam-dalam, merasakan rasa yang pas dari setiap racikannya. Ah, Limah ku tak pernah gagal memanjakan lidahku. Andai saja dia bisa membahagiakan hatiku. Andai.
***
Limah tak menyadari kedatanganku di kamar. Kulihat bahunya berguncang, isakan nya semakin pelan, membuatku mematung pilu di belakangnya.
"Limah …" Kupegang bahunya lembut, turut merasakan suasana hatinya yang terluka.
"Apa ada perempuan lain yang sudah membuatmu jatuh cinta, Mas?" tanyanya tiba-tiba.
Aku terdiam mematung di tempatku, lutut ini tiba-tiba saja terasa lemas.
Wanita itu berbalik menunggu jawabanku, lidah ini kelu seketika.
"Mas?"
"Ya. Ya, Dik. Pertanyaan mu benar." Sedikit ragu, akhirnya kuakui juga. Aku sudah mencintai perempuan lain. Perempuan yang membuat jantungku berdegup kencang setiap kali didekatnya, perempuan yang membuatku rindu tak tertahan ketika terpisah jarak, dan ia yang membuatku gila dan sering senyum-senyum sendiri. Manis sekali bukan cinta?
"Lalu apa rencanamu jika kita bercerai?" candanya. Lagi-lagi ia tertawa, kali ini aku merasa takut melihatnya seperti itu.
"Aku akan menikahinya. Namun aku akan tetap menafkahi mu dan juga anak-anak kita," sahutku pongah. Rasanya aku bak seorang pahlawan yang paling bertanggung jawab terhadap dua wanita.
"Tidurlah, Mas! Sudah malam. Esok kita pikirkan lagi." Dia tidur memunggungi ku.
***
"Makan, Mas!" Istriku sibuk menata makanan di meja. Sambal goreng kentang plus hati sapi, juga kerupuk udang terlihat begitu menggiurkan. Juga tak lupa sayur Sop, untuk makanan Jingga--putri kecil kami.
"Makan yang banyak ya, Sayang." Limah memasukkan nasi dan sop ke piring jingga yang berbentuk nanas. Ia senang sekali membeli piring-piring dan gelas yang lucu, agar Jingga semangat makannya.
"Wah, enak sekali sepertinya. Hari ini kamu masak banyak?" Aku segera menarik kursi, dengan cekatan Limah mengisi piringku dengan masakannya.
"Hum, enak sekali ini, Dik." Dengan lahapnya aku memasukan suapan nasi dan temannya ke mulut.
"Aku akan memasak makanan yang enak-enak untukmu, Mas. Anggap saja terakhir kali aku menjadi istrimu.”
"uhuk ." Aku langsung tersedak mendengar ucapannya.
"Jingga sayang, makannya di ruang Tivi dulu ya, kan ada film kartun kesukaan Jingga," ucapnya. Lalu membawa piring nanas ke ruang tipi.
"Oh iya Bunda, Jingga lupa. Holeeee liat film kartun." Dengan polosnya Jingga mengekori Limah menuju ruang Tivi, lalu asyik menghabiskan makanannya di sana.
"Mas, setelah aku pikirkan kembali--" ucapnya tertahan. Ia menarik nafas berat, lalu menghembuskannya kasar. Seperti ada beban mendalam di setiap tarikan nafasnya.
"Bagaimana keputusanmu, Dik?" Aku menunggunya tak sabar. Berharap ia mengatakan iya atas keinginanku semalam.
"Aku setuju kita berpisah, namun dengan syarat," jawabnya tenang. Lalu menyuapkan makanan ke mulutnya.
Jujur aku sangat merasa senang mendengarnya, namun entah di dalam dada seperti ada yang tergores sembilu.
"Apapun syaratnya akan aku penuhi," tukas ku yakin. Bagaimanapun ini keinginan besarku untuk memulai hidup baru.
"Beri aku waktu selama 40 hari, Mas. Setidaknya sampai anak kita terlahir ke dunia. Aku ingin dia terlahir memiliki seorang ayah. Dan juga, jangan hubungi perempuan itu selama 40 hari kedepan. Anggap saja sebagai bentuk kesetiaan terakhirmu kepadaku. Setelah itu, kita akan bercerai, dan kau boleh menikahinya." Ia mengucapkannya dalam satu tarikan nafas, seperti sudah ikhlas melepas pernikahan ini.
"Syarat yang mudah. Aku menyetujuinya. Aku gak akan hubungi, dan bertemu dia selama 40 hari ke depan." Mataku berbinar, fatamorgana yang selama ini kulihat akan menjadi kenyataan.
"Terima kasih, Mas," sahutnya. Lalu membereskan meja makan tanpa menoleh ke arahku.
"Beri aku waktu selama 40 hari, Mas. Setidaknya sampai anak kita terlahir ke dunia. Aku ingin dia terlahir memiliki seorang ayah. Dan juga, jangan hubungi perempuan itu selama 40 hari itu. Anggap saja sebagai bentuk kesetiaan terakhirmu kepadaku. Setelah itu, kita akan bercerai, dan kau boleh menikahinya."
Kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku. Semangat yang kemarin menggebu ingin berpisah dengannya, entah kenapa sekarang mendadak lesu lalu menguap begitu saja.
[Assalamu'alaikum, A. Kita jadikan bertemu hari ini?] Ponselku berderit. Pesan dari Maira, perempuan cantik yang membuatku bergetar seperti tersengat listrik saat bertemu dengannya.
[Tentu saja. Ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu] balasku cepat. Aku tidak suka banyak berbasa-basi, karena harus kembali fokus bekerja.
[A, nanti langsung ke rumah aja ya. May mau ngajar les anak-anak dulu.] Balasnya cepat, seperti dengan sama-sama sibuk, dan ingin segera menutup ponsel. Maira adalah seorang guru TK yang menurutku begitu mempesona.
[Siap Tuan Putri.] Ku selipkan emoticon bermata lope berderet.
‘Ah apakah aku bisa tak ada kontak dengannya selama 40 hari?’ Baru saja aku menyanggupinya, tapi kenapa sekarang merasa akan sulit?
Aku kembali fokus dengan pekerjaanku. Banyak laporan keuangan yang harus ku tuntaskan. Akhir tahun adalah laporan penentu laba rugi sebuah perusahaan. Maka jangan sampai aku hilang fokus dan melakukan kesalahan dalam pembukuan.
***
Rumah yang sederhana namun terasa nyaman. Dimana lagi kalau bukan di rumah Maira calon kekasihku.
"Diminum teh nya, Nak Ridwan." Bu Arumi menyuguhi ku teh dan beberapa cemilan buatannya sendiri. Katanya memasak dan membuat cemilan adalah hobinya yang sulit ditinggalkan. Hingga tak heran, jika di rumahnya tersaji makanan dan camilan yang enak. Meskipun sederhana.
"Iya, Bu." Ku seruput teh hangat buatan Bu Arumi. Namun kali ini, gulanya kemanisan. Tidak seperti racikan Halimah yang selalu ku minum setiap pagi.
"Gimana enak nggak?" tanyanya menunggu jawabanku.
"Enak banget, Bu.” Tidak mengapa bukan, jika sesekali berdusta untuk membahagiakan hati orang tua?
"Alhamdulillah. Tunggu sebentar ya, Nak. Maira masih ngajar les. Paling sebentar lagi juga selesai,” ucapnya sembari duduk di depanku.
"Iya Bu, aku selalu menunggu anak ibu. Hehe," jawabku malu.
"Ah Nak Ridwan ini bisa aja. Eh ngomong-ngomong, gimana kelanjutan hubungan kalian? Kalau May si dia gak mau pacaran, Nak." Nampaknya Bu Arumi mulai membahas inti permasalahan. Ia nyaris sama denganku yang tidak suka berbasa-basi.
"Ah iya Bu, maka dari itu saya kesini mau ada yang dibicarakan sama May," tukas ku. Aku mengambil lapis legit yang ada di piring, lalu memakannya.
“Oh gitu, Ibu mah ikut seneng aja, Nak. Semoga kalian the berjodoh, ya!” Ia mengusapkan kedua tangannya ake wajah, berharap ucapannya menjadi kenyataan.
"Assalamu'alaikum." Seorang perempuan cantik tengah berdiri di depan pintu, suaranya tak asing di runguku.
"Wa'alaikum salam, nah itu Maira. Sini masuk, May! Ini Ridwan dari tadi nungguin kamu, lo!” Bu Arumi seperti menggoda kami, Maira berjalan menghampiri kami, lalu duduk di hadapanku dengan malu-malu. "Ibu tinggal dulu ya." Bu arumi berlalu ke dapur. Memberi ruang kepada anaknya untuk berbicara dari hati ke hati. Orang yang pernah muda pasti akan merasakannya.
Ah Maira ku memang selalu tampil anggun dalam berbagai situasi. Pakaiannya yang selalu berwarna cerah, serasi dengan warna kulitnya yang putih.
"Aa gimana kabarnya?" Ia mulai membuka percakapan.
"Alhamdulillah baik, kamu gimana, May?" tanyaku sembari menatapnya.
"Kemarin aku sakit, sekarang mendadak sembuh." Lagi dia menunduk malu-malu. Menyembunyikan senyum mengembangnya.
"Emang kamu sakit apa, May? Kenapa kamu gak bilang sama A? Terus sekarang kamu sudah minum obat?" Aku memberondong pertanyaan tanda khawatir kepadanya.
"Aku sakit rindu, dan obatnya A. Hehe," ujarnya malu-malu. Ah kena, sepertinya dia tipe perempuan bucin yang merindukan seorang imam dalam waktu yang singkat.
"Ah bisa aja kamu, May." Kami tergelak bersama.
"Oh iya, katanya ada yang mau A Ridwan sampaikan sama, May? Apa tuh?" Maira menatapku serius. Aku meneguk secangkir teh untuk menghilangkan grogi, takutnya salah menyampaikan.
"Gini, May. A tidak bisa menghubungi bahkan bertemu denganmu selama 40 hari kedepan," jelas ku hati-hati.
"Loh kenapa, A?" Dia merenggut, menggemaskan sekali. Andai dia halal untukku, sudah ku cubit pipinya sedari tadi.
"Eum, A sibuk, May! Ada proyek yang harus A selesaikan dalam waktu dekat ini. Dan A hanya ingin fokus agar hasilnya maksimal lalu segera melamar mu," jawabku berbohong. Sebenarnya Aku tak mungkin bicara pada May tentang syarat yang diajukan istriku. Bisa-bisa May pergi dariku selamanya. Dia tak pernah tahu aku seorang suami sekaligus seorang ayah.
"Heum, ko lama banget si, A?" Ada kesedihan dari netranya. Ia memilin ujung jilbabnya.
"Iya, May. Setelah itu A janji akan langsung menikahi, May.” Lagi, aku berdusta. Kata orang jangan percaya ucapan lelaki, karena ucapannya hanya bualan semata. Dan kebanyakan memang seperti itu adanya.
"A serius?" Netranya berbinar mendengar penuturan ku.
"Serius,” jawabku ragu-ragu. Khawatir tiba-tiba tak bisa memenuhi janjiku sendiri.
"Baiklah, kalau begitu. Tapi A janji, ya, jangan ganjen-ganjen selama gak komunikasi sama May." Dia mencubit pinggangku gemas.
"Aww... Galak banget si. Siap laksanakan Tuan Putri.” Kami tergelak bersama.
"Kita ketemu nanti 1 Januari ya. A pamit dulu." Aku tak mau lama-lama di sini, takutnya Halimah berfikir yang tidak-tidak tentangku.
"Siap. Eh ko Aa sebentar banget di sini nya?" May merajuk. Ia berusaha menahan kepulanganku.
"Supaya tugas Negara segera selesai, dan segera ngelamar Neng May." Entah dusta keberapa yang ku ucapkan, aku hanya ingin membuat nya tenang dan tidak berfikir macam-macam.
"Hehe yaudah hati-hati di jalan ya, A." Ia mengantarku ke depan, lalu dengan cepat mencium tanganku takzim. Aku yang belum siap malah terpaku dengan kejadian ini.
"Iya. Jaga dirimu baik-baik ya, May. Assalamu'alaikum.” Ku usap kepalanya singkat, lalu segera beranjak menuju mobil.
"Wa'alaikumsalam" jawabnya. Kesedihan tergambar jelas di raut wajahnya. Berat sebenarnya berpisah dari seseorang yang kita cintai. 'Ayo semangat Ridwan! Kamu pasti bisa! Ini hanya sebentar saja.’ Aku hanya berusaha menyemangati diri sendiri agar tetap menjalankan hari dengan baik, tanpa hadirnya sang pujaan hati.
***
" Assalamu'alaikum, Dik." Perlahan ku ketuk pintu rumah. Tak seberapa lama, derap langkah kaki terdengar mendekat.
"Waalaikumsalam, Hay!” Limah melambaikan tangan ke arahku, “kenalkan namaku Halimah," imbuhnya. Aku dibuat terheran oleh istriku sendiri.
"Oh iya, nama Mas siapa?" sambungnya lagi.
"Dik, kamu sedang sakit? atau mungkin kepalamu terbentur?" Aku memegang keningnya, namun tak panas, dan tak ada tanda-tanda ia sedang sakit.
"Mas ini ditanya nama ko malah pegang-pegang. Ish Mas mau saya laporin ke Pak RT setempat karena sudah berusaha menggodaku, ha?” Halimah menepis lenganku begitu saja.
"Astaghfirullah Dik, kamu kenapa? Apa tadi pagi ada obat yang salah kamu makan?" Aku kembali heran menghadapi wanita di depanku ini.
"Aku gak kenapa-napa, Mas. Oh iya, mulai sekarang kita temenan aja, ya! Kalau pertemanan kita bagus, kita naik ke tahap persahabatan, kalau bagus lagi ya mungkin naik lagi. Oke!" Lagi, aku dibuat mematung dengan pernyataannya yang tak ku mengerti sama sekali.
"Nak, salim dulu sama, Om!" Limah menuntun tangan Jingga untuk bersalaman denganku.
"Om? Aku ini ayahnya jingga. Apa lagi ini maksudnya?" Aku menggaruk kepala yang tak gatal. Benar-benar aneh tingkah istriku ini.
"Mas, jika tidak keberatan, antarkan aku ke rumah baruku, ya! Kan sekarang kita temenan, masa ia serumah? Kalau keberatan si gak apa, aku naik taksi online aja." Dia menyeret dua koper besar dari balik pintu.
"Eh kamu mau kemana, Limah?" Aku segera menutup pintu, lalu menyusulnya.
"Ayo, Mas. Kurasa kau tidak keberatan bukan mengantarkan kami ke rumah baru." Dia sudah berdiri di pintu mobilku. Jingga yang polos hanya anteng dengan boneka Barbie miliknya.
"Baiklah, aku ikuti permainanmu, Limah" Dengan kesal aku menuju mobil untuk menaikkan kopernya, setelah semua naik, ku kendarai mobil dengan pelan, meninggalkan pelataran rumah kami.
"Oh iya, tadi nama Mas siapa?" Lagi, Limah membuatku kesal.
"Tahu, ah." Dia hanya tersenyum puas.
"Oh iya, tadi nama Mas siapa?" Lagi, Limah membuatku kesal.
"Tahu ah." Dia hanya tersenyum puas.
"Stop, stop, Mas! Itu di depan rumahnya. Yang cat abu-abu, lo," teriaknya.
"Ya ampun, ini cuma beda 10 rumah aja dari rumah kita. Ngapain si kamu pake pindah segala?" Aku semakin kesal dibuatnya.
"Kita kan temenan, jadi jangan dekat-dekat. Nanti kamu khilaf lagi, Mas," jawabnya santai sembari membuka safe belt-nya.
"Astaghfirullah kamu mengidap penyakit apa si Dik? Jadi eror gini." Aku benar-benar tidak paham dengan kelakuannya sore ini. Kukira ia terkena alzheimer di usia muda, namun melihat dari gelagatnya ia seperti sehat-sehat saja.
"Penyakit? Enak aja. Aku gak penyakitan!" tukasnya cepat.
"Lah ini? Ngapain ribet banget kayak gini segala si?" Aku menggulung lengan baju sampai sikut.
"Shut! Jangan berisik, Mas! Tuh lihat Jingga udah mulai tidur di jok belakang. Ayo bantu aku pindahan!" Setelah parkir di rumah barunya, Limah langsung turun dengan semangat 45. Hanya sepuluh rumah saja namun ia terlihat begitu antusias untuk pindahan.
"Mas, ayo!" Teriaknya dari belakang mobil.
"Eh iya, iya." Aku segera keluar dan mengeluarkan barang-barang Limah.
"Tolong bantu bawa Jingga ke kamar ya, Mas!" Dengan santainya Limah menarik dua koper besar. Tangguh sekali dia.
"Makasih ya, Mas. Udah bantuin pindahan, udah memindahkan Jingga ke kamar juga. Sekarang Mas pulang ya! Gak enak sama tetangga." Baru saja aku mau melepas penat di kursi, dengan seenaknya dia mengusirku.
"Ntar lah, Dik. Aku cape." Aku sudah benar-benar malas untuk berdiri bahkan rasanya tak mau beranjak walau sejengkal.
"Eits, No … no … no. Sekarang juga keluar! Mas mau kita digerebek terus dinikahin?" Dia menarik tanganku lalu menyeretnya ke luar rumah.
"Biarlah kita dinikahkan dua kali, Dik. Lama-lama aku gemas denganmu." Tanganku berusaha menyentuh pipinya.
"Hiya.. plak." Tanpa aku sadari dia menghindar dan langsung melayangkan tangannya ke arah pipiku, perih sekali dan panas.
"Awww, sakit, Dik! Galak banget si kamu." Aku memegang pipi ngilu.
Ah aku terlalu meremehkan dia yang tadi sudah menyeret dua koper besar, ternyata tenaganya memang besar seperti Samson Wati.
Tanpa basa-basi dia beranjak masuk, dan menutup pintu tanpa mengajakku ikut masuk bersamanya.
"Eh tunggu ... Limah, nasibku gimana?" Hening, tak ada tanda-tanda dia kembali keluar. "Argh..." Aku menyerah dan memilih pulang.
***
Aku masuk ke dalam rumah, lalu menyalakan semua lampu. Rumah ini selalu tertata rapih dan bersih. Mungkin dia memiliki bakat terpendam menata ruangan. Tak ada satupun ruangan yang terlihat kacau dan berantakan.
Kubuka tudung saji. Tempe, tahu, lalapan dan sambal sudah tersaji, tak lupa Sop iga sapi kesukaanku terlihat begitu menggiurkan tersaji di sampingnya. Ah lezat sekali.
"Makan yang banyak ya, Mas. Anggap sebagai tanda perkenalan." Ada stik note berwarna biru yang tertempel di meja. Limah, kau membuatku seperti orang linglung dalam waktu sepersekian detik.
Aku segera mengambil piring dan menyantap makanan yang sudah tersaji, tak usah ditanya rasanya. Limah ku tak pernah gagal meracik apapun.
Enak juga ternyata ya hidup sendiri. Enggak ada suara berisik tangisan anak kecil, enggak ada lagi yang cerewet nanyain ini itu, akhirnya aku bisa menikmati hidup.
Setelah selesai makan, aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Penat sekali rasanya hari ini. Aku menikmati sejuknya air di bawah guyuran shower. Tiba-tiba lampu kamar mandi kelap-kelip seperti bintang di langit.
"Hey siapa di sana? Jangan bercanda!" Aku yang sedang mencuci muka mulai ketar ketir.
Hening tak ada jawaban, namun lampu terus saja berdisko. Gawat, kalau aku lari, mataku perih karena busa sabun masih utuh di wajah. Dengan secepat kilat aku langsung mengguyur diri, dan seketika lampu mati. Ruangan gelap tak terlihat ujung jari pun.
"Aaaaa tidak!" Secepat kilat aku menyambar handuk lalu keluar dari kamar mandi.
meringkuk diri dengan kedua tangan. Apakah aku sedang bermimpi?
***
"Limah, di rumah ada hantu. Cepat kamu kesini! Aku takut." Setelah telpon tersambung, aku langsung menelpon Limah untuk pulang.
[Hantu apaan si, Mas? Selama 5 tahun aku di rumah itu, enggak pernah tuh ketemu sama hantu. Kamu belum shalat kali. Makanya mahluk halus pada seneng menampakan diri, hih. Udah ya, aku mau ngaji dulu. Tut..Tut..] Sambungan diputusnya sepihak.
Sial, kenapa dia buru-buru mematikan sambungan telpon kami? Tapi ada benarnya juga, hampir saja aku lupa untuk shalat Maghrib.
Setelah shalat, ku buka Al-Qur'an di meja, lalu mulai membacanya. Biasanya kami selalu melingkar kecil usai shalat maghrib untuk mendengarkan aku mengaji, dan menyampaikan beberapa nasihat. Tapi kali ini, sepertinya hanya debu-debu dan mahluk Halus yang mendengar suaraku. Sepi, dan ini baru satu hari.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!