Pagi itu matahari memancarkan sinar lembutnya ke jendela apartemen kecil di tengah kota N. Di dalam, Melia Aluna Anderson, seorang wanita berusia 27 tahun, sibuk mempersiapkan sarapan. Tangannya lincah menuangkan jus jeruk ke dalam gelas sambil sesekali melirik ke arah meja makan, memastikan semuanya sempurna. Di sisi lain ruangan, Arvin Avano, pacarnya, baru saja selesai mengenakan dasi. Mereka telah bersama selama lima tahun, tinggal bersama di apartemen sederhana ini.
“Arv, aku bikin pancake favoritmu,” ucap Melia sambil tersenyum kecil. Namun, senyumnya memudar ketika melihat Arvin sibuk dengan ponselnya, seperti tidak mendengar.
“Hm? Oh, iya. Thanks, sayang,” jawab Arvin cepat tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar ponsel.
Melia mencoba menutupi rasa kecewanya. “Hari ini aku mungkin pulang agak malam, ada meeting sama klien besar,” katanya mencoba memulai percakapan.
“Meeting lagi? Kamu nggak capek, Mel? Harusnya kamu lebih santai aja. Toh, itu perusahaan keluargamu,” balas Arvin dengan nada datar.
Melia mengerutkan kening. Ia selalu berusaha menyembunyikan identitas keluarganya yang kaya raya agar hubungannya dengan Arvin terasa lebih tulus. Tetapi, ucapan seperti itu sering membuatnya merasa tidak dihargai.
“Kerja keras itu penting, Arv. Lagipula, aku suka pekerjaanku,” jawab Melia sambil tersenyum tipis.
Arvin hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Suasana di meja makan terasa dingin.
Di kantor, Melia sibuk memimpin tim desainnya untuk menyelesaikan koleksi terbaru perusahaan fashion milik keluarganya. Sebagai seorang manajer desain, Melia dikenal cerdas, penuh ide, dan selalu bekerja keras. Meskipun perusahaan itu adalah bagian dari kerajaan bisnis keluarganya, ia tetap ingin membuktikan kemampuannya sendiri.
Sementara itu, di kantor Arvin, situasi berbeda terjadi. Arvin adalah seorang manajer di perusahaan besar yang bergerak di bidang teknologi. Pagi itu, ia memperkenalkan sekretaris barunya kepada timnya.
“Ini Keyla Salsabila, sekretaris baru saya. Saya harap kalian semua bisa bekerja sama dengannya,” kata Arvin dengan nada tegas, tetapi ramah.
Keyla, seorang wanita muda dengan wajah manis dan penampilan anggun, menyambut semua orang dengan senyuman. “Senang bertemu dengan kalian semua. Saya harap bisa belajar banyak dari tim ini,” ucapnya sopan.
Di balik sikap lembutnya, Keyla adalah seseorang yang ambisius. Ia memiliki rencana besar untuk mendekatkan dirinya kepada Arvin, pria yang sejak pertama kali ia temui langsung menarik perhatiannya.
Hari pertama Keyla bekerja berjalan lancar. Ia mulai mendekati Arvin dengan berbagai alasan, dari meminta bantuan hingga berbagi cerita pribadi. Arvin, yang awalnya hanya bersikap profesional, perlahan mulai merasa nyaman berbicara dengan Keyla.
Malam itu, Melia pulang lebih awal dari perkiraannya. Ia membawa pulang makanan kesukaan Arvin sebagai kejutan. Namun, ketika ia membuka pintu apartemen, suasana terasa sepi.
“Arv?” panggil Melia. Tidak ada jawaban.
Ia meletakkan makanan di meja dan melihat ponselnya. Tidak ada pesan dari Arvin. Setelah beberapa saat, pintu apartemen terbuka, dan Arvin masuk dengan wajah lelah.
“Kamu dari mana?” tanya Melia sambil tersenyum kecil.
“Tadi ada urusan kantor. Maaf nggak sempat kasih kabar,” jawab Arvin sambil melepas sepatu.
Melia mengangguk, meskipun hatinya sedikit terusik. Dulu, Arvin selalu memberitahu jika ia pulang terlambat. Tetapi akhir-akhir ini, Arvin sering pulang larut tanpa kabar.
“Kamu udah makan?” tanya Melia lembut.
“Belum, tapi nggak usah repot. Aku udah nggak terlalu lapar,” jawab Arvin cepat.
Melia menghela napas. Ia ingin bertanya lebih jauh, tetapi memilih untuk diam.
Hari-hari berikutnya, perubahan kecil dalam hubungan Melia dan Arvin mulai terlihat. Arvin menjadi lebih sering menghabiskan waktu di kantor, dengan alasan pekerjaan. Sementara itu, Keyla semakin sering muncul di sekitar Arvin. Dengan caranya yang halus, ia selalu menemukan alasan untuk berbicara atau meminta bantuan dari Arvin.
Suatu siang, Keyla mengajak Arvin makan siang bersama.
“Pak Arvin, saya belum terlalu tahu tempat makan enak di sekitar sini. Apa Anda punya rekomendasi?” tanyanya dengan senyum manis.
“Oh, saya biasanya makan di kafe dekat sini. Kalau mau, saya bisa ajak kamu ke sana,” jawab Arvin tanpa berpikir panjang.
Di kafe, mereka berbincang santai. Keyla dengan cerdik membangun topik pembicaraan yang membuat Arvin merasa nyaman. Ia menceritakan bagaimana ia baru pindah ke kota N dan merasa kesulitan beradaptasi.
“Jujur, saya senang punya atasan seperti Anda. Ramah, dan perhatian,” ucap Keyla dengan nada yang terdengar tulus.
Arvin tersenyum kecil, merasa tersanjung.
Sementara itu, di kantor Melia, Laura, asistennya yang juga sahabatnya, mulai menyadari perubahan pada Melia.
“Mel, kamu kelihatan agak murung akhir-akhir ini. Ada masalah?” tanya Laura sambil menatap Melia dengan khawatir.
“Nggak, kok. Aku baik-baik aja,” jawab Melia sambil tersenyum kecil, meskipun senyumnya tampak dipaksakan.
Laura tidak ingin memaksa, tetapi ia tahu ada sesuatu yang mengganggu sahabatnya.
Malam harinya, Melia memutuskan untuk berbicara dengan Arvin. Ia menunggu Arvin pulang, tetapi seperti biasa, Arvin terlambat. Ketika akhirnya Arvin tiba, Melia mencoba membuka percakapan.
“Arv, kita udah lama banget nggak ngobrol. Aku kangen masa-masa kita dulu,” ucap Melia dengan lembut.
“Mel, aku capek banget hari ini. Bisa kita bahas lain kali?” jawab Arvin sambil masuk ke kamar tanpa menoleh.
Melia hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan sedih. Hubungan yang dulu penuh kehangatan kini terasa dingin.
Beberapa hari kemudian, di kantor Arvin, Keyla mulai menunjukkan sisi manipulatifnya. Ia berpura-pura kelelahan karena pekerjaan dan meminta bantuan dari Arvin untuk menyelesaikan tugasnya.
“Pak Arvin, saya benar-benar minta maaf. Saya nggak biasanya seperti ini, tapi saya terlalu lelah. Bisa bantu saya sedikit?” katanya dengan wajah memelas.
Arvin, yang merasa simpati, setuju untuk membantu. Keyla semakin sering memanfaatkan situasi ini untuk mendekatkan dirinya pada Arvin.
Melia, di sisi lain, mulai merasa ada sesuatu yang salah. Ia tidak memiliki bukti, tetapi intuisi wanitanya mengatakan bahwa Arvin sedang menyembunyikan sesuatu.
Hubungan Melia dan Arvin diperlihatkan semakin renggang. Sementara itu, Keyla semakin berhasil menarik perhatian Arvin. Konflik mulai terbangun, memperlihatkan retakan kecil dalam hubungan yang telah terjalin selama lima tahun.
Melia yang termenung sendirian di apartemen, menatap foto dirinya dan Arvin di dinding. Dengan suara lirih, ia berkata pada dirinya sendiri, “Arv, apa kita masih seperti dulu? Atau aku hanya berusaha mempertahankan sesuatu yang sudah hilang?”
Hari itu awan kelabu menggantung di langit kota N. Melia duduk di meja kerjanya, matanya menatap layar laptop, tetapi pikirannya melayang jauh. Sudah beberapa hari ini Arvin tampak berubah. Pria yang sudah lima tahun berbagi hidup dengannya mulai sering pulang larut, sibuk dengan ponselnya, dan terdengar semakin dingin saat berbicara.
Melia mencoba mengalihkan perhatiannya ke sketsa desain yang terbentang di depannya, tetapi sulit. Entah kenapa, hatinya merasa resah. Ada sesuatu yang salah, ia yakin akan hal itu, meskipun belum tahu apa.
“Mel, lo kenapa sih? Dari tadi diem aja.” Laura, asistennya sekaligus sahabatnya, menatap Melia khawatir.
Melia tersenyum tipis, berusaha terlihat baik-baik saja. “Nggak apa-apa, Ra. Gue cuma lagi capek.”
“Capek apa galau?” sindir Laura sambil melipat tangan di dada. “Jangan bohong sama gue.”
Melia menghela napas panjang, meletakkan pensilnya. “Entahlah, Ra. Arvin... belakangan ini dia beda. Dingin, sibuk, jarang pulang tepat waktu.”
Laura mengernyit. “Lo udah ngomong sama dia?”
“Udah, tapi jawabannya selalu sama: kerjaan lagi banyak.”
Laura menatap sahabatnya dalam-dalam. “Mel, lo curiga ada sesuatu?”
Melia terdiam. Kata “curiga” itu seakan menghantam jantungnya. Ia belum berani berpikir sejauh itu.
Di tempat lain, Arvin sedang duduk di meja kantornya, dikelilingi tumpukan berkas. Di seberangnya, Keyla duduk dengan wajah yang tampak kelelahan.
“Pak Arvin, saya nggak ngerti bagian ini. Boleh bantuin saya?” suara Keyla terdengar lembut, nyaris memohon.
Arvin menghela napas pendek. “Oke, sini saya bantu.” Ia menarik kursinya lebih dekat ke meja Keyla.
Keyla berpura-pura fokus, meskipun sesekali ia melirik Arvin dengan tatapan yang sulit diartikan. “Makasih banget, Pak. Kalau bukan karena Anda, saya pasti udah kena omel bos besar.”
“Udah biasa, Key. Nanti juga kamu terbiasa,” balas Arvin singkat.
Dalam beberapa hari ini, kebersamaan mereka memang semakin intens. Keyla selalu menemukan cara untuk meminta bantuan Arvin, entah dengan alasan tugas sulit atau lembur sampai malam.
Arvin, yang awalnya hanya bersikap profesional, mulai merasa nyaman dengan kehadiran Keyla. Keyla berbeda, ia lembut, selalu memuji Arvin, dan membuatnya merasa dihargai. Sesuatu yang, tanpa ia sadari, mulai jarang ia rasakan di rumah bersama Melia.
Malam harinya, Melia duduk sendirian di ruang tamu apartemen mereka. Jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam, tetapi Arvin belum juga pulang. Ia sudah mencoba menelpon beberapa kali, tetapi panggilannya hanya berakhir di kotak suara.
Melia menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa sakit yang mulai menghimpit dadanya. “Arv, kamu lagi di mana…” gumamnya lirih.
Tiba-tiba, pintu apartemen terbuka. Arvin masuk dengan langkah cepat. “Sorry, Mel. Aku pulang telat lagi.”
Melia langsung berdiri. “Arv, kamu dari mana? Aku nelpon berkali-kali, tapi nggak diangkat.”
“Meeting sama tim, terus lembur dikit. Kamu kenapa sih?” jawab Arvin dengan nada defensif sambil melepas jasnya.
“Meeting sampai jam segini?” Melia memandang Arvin penuh tanya. “Aku cuma mau tahu, Arv. Apa ada yang kamu sembunyikan dari aku?”
Arvin menatap Melia dengan tajam. “Maksud kamu apa? Kamu mikir aku bohong?”
“Aku nggak bilang gitu. Tapi kamu selalu pulang telat belakangan ini, nggak pernah ngabarin, dan sibuk sama ponselmu. Aku ini pacar kamu, Arv. Apa aku salah kalau merasa ada yang aneh?”
Arvin membuang napas kasar. “Mel, aku capek. Jangan bikin masalah dari hal kecil kayak gini, dong.”
“Hal kecil? Kamu nggak ngerti perasaanku, ya?” suara Melia mulai bergetar. “Arv, apa kamu sadar kalau kita hampir nggak pernah ngobrol lagi? Kamu selalu sibuk. Aku di sini kayak sendirian.”
Arvin berjalan mendekat, mencoba menenangkan Melia. “Denger, Mel. Aku nggak sembunyiin apa-apa. Aku cuma sibuk kerja. Itu aja. Kamu harus percaya sama aku.”
Melia memandang mata Arvin, mencari-cari kejujuran di sana. Tapi entah kenapa, perasaannya berkata lain.
Beberapa hari kemudian, rasa curiga Melia semakin memuncak. Pagi itu, ia memutuskan untuk mengantarkan bekal makan siang untuk Arvin ke kantornya, sesuatu yang jarang ia lakukan. Laura, yang tahu niat Melia, berusaha mendukung meskipun terlihat ragu.
“Lo yakin nggak mau kasih tahu Arvin dulu?” tanya Laura.
“Nggak usah. Aku cuma mau kasih kejutan.”
Setibanya di kantor Arvin, Melia langsung menuju resepsionis.
“Selamat pagi, saya mau ketemu Arvin Avano,” katanya sopan.
Resepsionis tersenyum. “Sebentar, ya, Bu. Saya hubungi beliau dulu.”
Tapi saat resepsionis sibuk dengan telepon, mata Melia menangkap sosok yang ia kenal keluar dari lift—Arvin. Pria itu berjalan bersama seorang wanita berambut panjang dan rapi, mengenakan blouse putih dan rok hitam. Itu Keyla. Mereka tampak berbicara dengan akrab, bahkan tertawa.
Hati Melia terasa mencelos. Sejenak ia hanya bisa berdiri mematung, menyaksikan pemandangan yang terasa asing dan menyakitkan. Keyla, wanita itu—mengapa ia bisa sedekat itu dengan Arvin?
Melia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia tahu ia harus percaya pada Arvin, tetapi gambar itu sulit dihapus dari pikirannya.
Malam harinya, Melia memutuskan untuk berbicara langsung. Saat Arvin pulang, ia sudah menunggu di ruang tamu.
“Arv, aku tadi ke kantor kamu.”
Arvin berhenti melepas sepatunya, menatap Melia dengan kening berkerut. “Ke kantor? Kenapa nggak bilang dulu?”
“Karena aku mau kasih kejutan. Tapi malah aku yang kaget,” jawab Melia dingin. “Aku lihat kamu bareng Keyla.”
Arvin mendesah panjang. “Itu cuma urusan kerja, Mel. Kamu kenapa sih jadi begini?”
“Kenapa jadi begini? Arv, aku pacar kamu. Wajar kalau aku curiga. Apalagi kamu nggak pernah cerita tentang dia.”
“Dia itu sekretaris baru di kantor. Itu aja. Kamu pikir aku ada apa sama dia?” nada Arvin mulai meninggi.
“Aku nggak bilang gitu, Arv. Tapi… kamu berubah. Aku bisa ngerasain itu.”
“Berubah gimana? Kamu aja yang terlalu mikirin hal-hal yang nggak penting.”
Melia tercekat. “Nggak penting? Arv, lima tahun kita bareng, dan sekarang kamu bilang kayak gini?”
Arvin memalingkan wajah, seperti enggan mendengar kata-kata Melia. “Mel, aku capek. Tolong jangan drama.”
“Drama?” Melia tertawa miris. “Tahu nggak, Arv? Aku nggak minta banyak. Aku cuma pengen kamu hargai aku. Hargai hubungan ini.”
Arvin tak menjawab. Ia hanya berbalik masuk ke kamar, meninggalkan Melia yang berdiri sendiri di ruang tamu. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh.
“Arv, kenapa kamu jadi begini…” bisiknya di tengah keheningan.
Di kamar, Arvin duduk di tepi ranjang, memijat pelipisnya. Di dalam hatinya, ia tahu Melia punya alasan untuk curiga. Keyla memang selalu ada di sekitarnya, dan tanpa ia sadari, ia mulai nyaman dengan keberadaan wanita itu. Tetapi ia tak ingin mengakuinya. Bagi Arvin, apa yang ia lakukan masih dalam batas wajar. Namun, entah kenapa, ia merasa semakin jauh dari Melia.
Di luar kamar, Melia duduk memeluk lututnya di sofa. Tatapan kosongnya menembus jendela, memandang gelapnya malam. Perasaannya campur aduk, marah, sedih, kecewa. Arvin adalah dunianya. Lima tahun bukan waktu yang singkat, tetapi kenapa sekarang ia merasa asing?
Laura pernah berkata, “Kalau hati lo bilang ada sesuatu yang salah, jangan abaikan.” Kata-kata itu terngiang di kepalanya. Tetapi Melia belum siap menghadapi kebenaran. Ia masih ingin percaya pada Arvin, meskipun hatinya perlahan-lahan retak.
Melia duduk di kegelapan apartemennya, air mata menetes tanpa suara. Di luar sana, Arvin sibuk membenarkan dirinya sendiri, sementara Keyla semakin dekat mencapai tujuannya. Retakan kecil dalam hubungan mereka semakin
Malam itu hujan turun deras di kota N. Angin bertiup kencang, membuat ranting-ranting pohon mengetuk-ngetuk jendela apartemen. Melia terbaring di kamar, selimut tebal membungkus tubuhnya. Wajahnya pucat, keringat dingin membasahi dahinya, dan suhu tubuhnya meninggi. Tubuhnya terasa lemas, bahkan untuk sekadar bangun pun sulit.
Sejak pagi, ia sudah merasa kurang enak badan. Namun, Melia tetap memaksakan diri bekerja di kantor. Tanggung jawabnya sebagai manajer desain di perusahaan keluarganya membuatnya tidak ingin tampak lemah di depan karyawan. Laura, sahabat sekaligus asistennya, sudah berkali-kali menyuruhnya pulang, tapi Melia bersikeras bertahan hingga sore. Akibatnya, malam ini penyakitnya makin parah.
Suara langkah kaki terdengar dari balik pintu. Pintu kamar terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Arvin yang baru pulang. Dengan jas yang masih melekat di tubuhnya dan wajah lelah, ia berjalan ke dalam kamar.
“Melia?” panggilnya pelan sambil melihat ke arah ranjang.
Melia membuka matanya sedikit, suaranya nyaris tak terdengar. “Kamu baru pulang?”
“Iya, maaf. Tadi ada urusan penting,” jawab Arvin sambil meletakkan tas kerjanya di kursi. Ia sama sekali tidak menyadari wajah pucat Melia.
“Arv… aku sakit,” ujar Melia lirih.
Arvin menoleh, baru menyadari bahwa wajah Melia terlihat tidak sehat. “Sakit apa?” tanyanya datar sambil menghampiri ranjang.
“Kayaknya demam. Badanku panas,” jawab Melia pelan. Matanya memohon perhatian dari Arvin. “Kamu bisa temenin aku sebentar nggak?”
Arvin tampak ragu. Ponselnya bergetar di dalam saku, dan ia langsung mengeluarkannya. Melia memperhatikan bagaimana raut wajah Arvin berubah setelah melihat layar ponselnya.
“Mel, aku harus keluar sebentar. Ini penting,” ucap Arvin mendadak sambil berbalik badan.
Melia memaksakan dirinya bangun meski kepalanya berdenyut hebat. “Arv, aku lagi sakit. Mau ke mana?”
Arvin tampak canggung.
“Keyla sakit. Dia sendirian di kota ini, nggak ada keluarga atau teman dekat. Aku cuma mau nengok bentar.”
Mata Melia membulat. “Kamu serius?” suaranya bergetar antara sakit dan kecewa.
“Mel, aku nggak bisa ninggalin dia gitu aja. Keyla kan nggak punya siapa-siapa di sini. Lagian, ini cuma sebentar.”
“Sebentar?” Melia tertawa kecil, getir. “Arvin, aku pacar kamu. Aku juga sakit Vin, Aku juga sendirian disini, Aku yang tinggal serumah sama kamu. Aku lagi sakit, tapi kamu malah ninggalin aku buat perempuan lain?”
Arvin mengusap wajahnya, jelas terlihat kesal. “Mel, jangan mulai. Ini nggak ada hubungannya sama apa-apa. Aku cuma mau bantu Keyla. Kamu kan bisa istirahat sendiri.”
“Bisa istirahat sendiri?” bisik Melia sambil menahan air matanya. “Iya, kamu benar. Aku selalu sendiri, Arv.”
Arvin memilih tidak menjawab. Dengan cepat, ia mengambil jaketnya dan keluar dari kamar, meninggalkan Melia sendirian dalam kegelapan. Pintu tertutup, suara langkah kaki Arvin terdengar semakin menjauh, dan akhirnya hanya kesunyian yang tersisa.
---
Sementara itu, di sebuah apartemen sederhana, Keyla berbaring di sofa dengan wajah manja. Ia sudah mengenakan piyama tipis, rambutnya digerai berantakan untuk menambah kesan lemah. Pintu diketuk, dan ketika Keyla membukanya, Arvin berdiri di sana dengan kantong plastik berisi buah dan obat-obatan.
“Pak Arvin…” suara Keyla terdengar lembut, seperti nyaris kehilangan tenaga. “Makasih sudah datang.”
“Gimana kondisimu?” tanya Arvin dengan nada khawatir sambil masuk ke dalam apartemen.
Keyla berjalan perlahan dan pura-pura terhuyung, memanfaatkan momen itu untuk memegang lengan Arvin. “Masih pusing, Pak. Saya tadi hampir pingsan sendirian.”
Arvin menuntunnya kembali ke sofa. “Kamu harus makan dan minum obat. Tadi saya bawain bubur juga.”
Keyla menatap Arvin penuh rasa terima kasih yang dibuat-buat. “Saya beruntung banget punya atasan seperti Bapak. Kalau nggak ada Bapak, mungkin saya udah nggak tahu harus gimana.”
Arvin hanya tersenyum kecil, tidak menyadari permainan halus yang sedang dijalankan Keyla. Ponsel Arvin tiba-tiba berbunyi. Melia menelepon. Sekali, dua kali, tiga kali. Namun, Arvin hanya melirik layar ponselnya tanpa niat mengangkat panggilan itu.
“Siapa, Pak?” tanya Keyla sambil berpura-pura tidak tahu.
“Nggak ada apa-apa. Panggilan kerjaan,” jawab Arvin sambil mematikan nada deringnya.
Keyla tersenyum puas dalam hati. Skenario yang ia bangun perlahan mulai berhasil. Dengan pura-pura lemah, ia berhasil menarik perhatian Arvin lebih jauh dari Melia.
---
Di apartemen mereka, Melia masih terbaring di ranjang. Tangan kanannya menggenggam erat ponsel yang berulang kali ia gunakan untuk menghubungi Arvin, tapi tak pernah diangkat. Air mata mengalir perlahan di pipinya.
“Arv… kenapa kamu jadi seperti ini?” isaknya pelan. Kepalanya sakit, tapi hatinya jauh lebih sakit. Lima tahun bersama, seberapa banyak yang sudah mereka lalui? Seberapa besar pengorbanan yang sudah ia berikan? Namun, malam ini, semuanya terasa sia-sia.
Laura menelepon tak lama kemudian. “Mel, lo kenapa? Kok suara lo kayak gitu?”
“Ra… aku sakit. Demam,” jawab Melia lirih.
“Kok sendirian? Arvin mana?”
“Dia… dia ke tempat Keyla. Katanya Keyla sakit dan sendirian.”
Hening sejenak dari ujung telepon sebelum Laura menyahut dengan suara marah. “Lo bercanda, kan, Mel? Arvin ninggalin lo yang lagi sakit demi Keyla? Ini udah kelewatan!”
“Sudahlah, Ra. Aku capek…”
“Gue ke sana sekarang juga!” ujar Laura tegas.
“Nggak usah, Ra. Aku bisa sendiri,” jawab Melia cepat. Meskipun hatinya sakit, ia tidak ingin merepotkan siapa pun. Laura akhirnya menyerah, tetapi tetap meminta Melia untuk menjaga dirinya.
Setelah telepon ditutup, Melia kembali terbaring. Namun, kali ini ia merasa lebih kuat. Satu hal mulai menyadarkannya, betapa ia sudah lama bertahan dalam hubungan yang tidak seimbang. Arvin telah berubah. Atau mungkin, ia yang selama ini menutup mata?
---
Beberapa jam kemudian, Arvin pulang ke apartemen. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Ia membuka pintu pelan-pelan, berusaha tidak membangunkan Melia. Namun, ketika masuk ke dalam kamar, ia mendapati Melia masih terjaga.
Melia menoleh ke arahnya dengan mata sembab dan wajah pucat. “Kamu baru pulang?” suaranya nyaris tidak terdengar.
Arvin terlihat salah tingkah. “Iya. Keyla tadi agak parah kondisinya.”
“Lebih parah dari aku?” tanya Melia dengan suara getir. “Aku pacar kamu, Arv. Aku tinggal serumah sama kamu. Tapi kamu lebih pilih menjenguk dia daripada aku.”
“Mel, dia sendirian di kota ini. Nggak ada yang bisa jagain.”
“Apa aku nggak pantas buat diperhatikan?” tanya Melia, suaranya mulai meninggi meskipun tubuhnya masih lemah. “Kamu sadar nggak sih, Arv? Aku ini cuma butuh kamu ada di sini. Itu aja. Tapi kamu lebih peduli sama orang lain. Sekarang jawab, apa salahku?”
Arvin tak bisa menjawab. Hanya rasa bersalah yang sedikit menyentuh wajahnya. “Mel, aku capek. Aku nggak mau ribut malam-malam begini. Kamu istirahat aja, ya.”
Tanpa menunggu jawaban, Arvin berbalik dan pergi ke kamar mandi, meninggalkan Melia sendirian lagi. Air mata Melia kembali mengalir. Malam ini ia benar-benar merasa hancur. Bukan hanya karena sakit fisik, tapi karena hatinya sudah terlalu lelah.
“Kalau ini terus berlanjut, aku nggak tahu seberapa lama aku bisa bertahan,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Malam itu, hujan masih deras di luar, seakan ikut meratapi kesedihan Melia.
Melia berbaring di ranjang, memandang kosong ke langit-langit. Rasa sakitnya semakin dalam, sementara Arvin terus terjebak dalam kebohongan yang ia anggap biasa. Di sisi lain, Keyla semakin puas dengan manipulasi halusnya. Retakan di hubungan Melia dan Arvin semakin membesar, dan Melia mulai bertanya-tanya apakah Arvin benar-benar pria yang tepat untuknya.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!