Saya tidak tahu cerita ini seberapa seram, tapi mengandung gore. Diharapkan kebijaksanaannya dalam membaca!
Dia berlari di sepanjang jalanan ber-paving block yang basah menuju sebuah gedung---setinggi tiga lantai dengan banyak jendela di bagian depan.
Malam masih sangat basah dan dingin. Sisa-sisa hujan sesekali menjatuhi bumi. Angin dingin terkadang menari-nari di sekeliling untuk menggoda siapa saja yang tidak beruntung keluar di malam hari. Meski awan mendung sudah menyingkir dari cakrawala, tak berarti dapat memberi cahaya yang cukup untuk menarik mundur kegelapan. Bulan masih terlalu muda. Gelap seakan terlalu kuat dan berkuasa untuk malam ini.
Bunyi suara kecipak sekali lagi terdengar saat sandal Dia beradu dengan genangan. Wajahnya yang pucat terpercik titik-titik hujan yang terbawa angin. Perlahan Dia merasa beku. Menarik erat jaketnya agar melingkupi badan, Dia menaikkan kecepatan agar segera sampai ke gedung di depan.
Pada pinggiran jalan yang Dia lewati terdapat taman berbentuk kotak, memanjang mengikuti jalanan. Di bagian luar tembok bata pendek yang membatasi taman, tumbuh rumput-rumput di lapangan yang cukup luas. Sangat terawat dan dipotong pendek. Beberapa bangku dan pohon mengisi lapangan tersebut.
Di depan teras Dia sampai. Sejenak menyempatkan diri untuk melihat kaki dan sandalnya yang basah. Tak ada noda lumpur atau tanah yang menempel, tapi terasa tak lagi nyaman dipakai.
Dia memutuskan untuk segera masuk ke dalam. Memasukkan kunci duplikat ke dalam lubang, dia membuka pagar besi, baru kemudian pintu besar. Sebuah lobi gelap yang tak terlalu besar kini terlihat. Dia masuk, di samping kiri dan kanan terdapat banyak piala yang dipajang rapi di dalam lemari kaca.
Pintu Dia tutup kembali agar tak menimbulkan kecurigaan---namun tak dikunci. Gelap gulita sekarang. Dia membuka tas untuk mengeluarkan senter kecil. Begitu dihidupkan, cahaya yang keluar tak terlalu terang. Sangat redup dan temaram.
Di ujung ia melihat lapangan dalam, dan terdapat dua buah belokan. Dia berjalan ke sana dan mengambil arah kanan. Sebuah lorong gelap dan panjang terbentang. Dia menyusuri sambil sesekali melihat keadaan. Pintu-pintu ruang kelas terkunci. Kosong dan sunyi. Langkah kaki Dia satu-satunya yang terdengar.
Dia terus mengitari lorong, sampai tiba di sebuah pintu. Masuk ke dalam, menampakkan lorong lain yang tak kalah panjang. Hanya saja lorong ini tak memiliki dinding-dinding yang membatasi. Bentuknya seperti jalanan setapak dengan banyak pilar dan papan-papan pengumuman di kiri-kanannya. Dia melewatinya. Di luar lantai lorong terdapat pelataran yang ditumbuhi rumput dan pohon-pohon. Satu di antaranya adalah pohon beringin yang cukup melegenda. Tampak kokoh berdiri. Di gelap malam ia seperti menghadirkan mimpi buruk bagi siapa saja yang melihatnya. Kelam dengan tali-tali panjang yang menjuntai ke bawah. Rimbun dengan daun dan ranting yang bergoyang-goyang.
Srek... Srek... Srek...
Angin bertiup.
Memberikan rasa mencekam dan paranoid.
Tanpa menoleh ke mana pun, Dia berlari di sepanjang koridor itu. Namun suara tapaknya seperti beradu dengan tapak lain. Ia mempercepat langkah. Langkah lain juga bertambah cepat.
Tak!
Tak!
Tak!
Dia terengah-engah. Ketakutan. Ada yang memburu jantung dan menekan dadanya.
Terus berlari masuk ke dalam gedung setelah terburu-buru membuka kunci. Berlari lagi untuk menuju tangga. Terus lari sampai lantai paling atas gedung. Di ujung ada sebuah pintu kayu besar dan tinggi. Dia mendekat dan membukanya. Hamparan rak-rak tinggi dan besar menyambut Dia. Melewati meja administrasi, Dia menuju pada meja paling besar di tengah-tengah.
Dia meletakkan tasnya. Menarik kursi dan duduk di sana.
Wajah dan bibir Dia seperti sudah tak dialiri darah. Tampak letih dan gemetar. Rambutnya yang panjang sepinggang menjadi kumal. Poni ratanya yang tebal berantakan.
Dibantu pencahayaan dari senter kecil, Dia membuka tas dan mencari sebatang lilin putih serta koreknya. Menggapai dan menyalakan benda itu.
Lilin diletakkan di meja.
Di tengah ruangan yang gelap gulita, cahaya lilin tampak seperti barrier bulat yang melingkupi Dia.
Mata sayu Dia kembali melihat ke dalam ransel. Sebuah tangan lentik dan lemah mengeluarkan dupa---menyalakan dan diletakkan pada tempat khusus. Lalu sebuah kamera. Dia menyalakan benda itu, disangga oleh tripod dan diletakkan di meja, lalu merekam dirinya.
Baru kemudian Dia mengeluarkan sebuah papan kayu datar. Di atasnya ditulis huruf dari A sampai Z, angka dari 0 sampai 9 yang terletak di tengah-tengah; simbol matahari dan kata "Ya" serta bulan dan kata "Tidak" pada kanan atas dan kiri; lalu kata "Selamat Tinggal" berada pada tengah bawah. Serta yang paling membuat Dia penuh pergulatan batin adalah kata "Ouija" yang ditulis pada bagian tengah atas.
Tangan Dia merogoh kantong kecil di tas, menarik keluar sebuah koin perak dan planchette*. Dia hendak meletakkan keduanya di atas papan. Tapi koin itu luput dan menggelinding di lantai, memasuki kegelapan dan berhenti entah di mana. Dia ingin mencari tapi kemudian memilih mengabaikan saja.
Memangnya apa yang mungkin terjadi jika tak ada koin perak itu?
*Berbentuk seperti segitiga dan bagian tengahnya bolong. Digunakan sebagai indikator yang nantinya akan bergerak menuju huruf demi huruf, atau yang lainnya.
Planchette diletakkan. Pada bolongan planchette tersebut tampak huruf "G". Dia meletakkan jari telunjuk dan tengahnya pada planchette, menggoyangkannya secara melingkar dan mulai berkonsentrasi. Dia membaca mantra di dalam hati, lalu menyapa roh, "Halo, apa kamu ada di sana?"
Tak ada jawaban. Dia masih menggerakkan planchette-nya secara melingkar. Terus fokus dan konsentrasi.
Planchette bergerak amat pelan. Menuju bagian atas dan berhenti.
Bolongan tengah benda itu menunjukkan kata "Ya".
"Siapa namamu?"
Planchette bergerak, ke huruf "M", "E", dan "Y".
Dia mengangguk. Terbersit di pikirannya tentang sebuah pertanyaan: Di mana videonya disembunyikan oleh Nixie? Tapi Dia menggeleng.
"Kamu selama ini berdiam diri di mana?"
Planchette bergerak cepat. Mula-mula menuju ke huruf "Z", kemudian "Y", "X", "W".
Dia panik. Roh itu berusaha melarikan diri. "A-aku rasa udah cukup... Selamat---" Planchette tak mau berhenti bergerak. Benda itu menuju ke "V". Dia memaksa planchette untuk bergerak ke "Selamat Tinggal", tapi gagal. Planchette malah bergerak ke angka "8". Kemudian dengan sangat cepat menuju "K", "U", "B", "U", "N", "U", "H", "K", "A", "U".
Dia memelotot dan bergerak panik. Tangannya lepas dari planchette dan melempar papan. Kursi yang ia duduki terbalik saat Dia bangkit.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Tak ada yang terjadi. Sunyi yang menyesakkan. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tak! Dia menoleh ke depan dengan tergesa.
Satu detik...
Dua detik...
Tiga detik...
Empat detik...
Lima detik...
Enam detik...
Sesuatu muncul dari dalam kegelapan. Menggelinding keluar. Bulat melonjong dengan banyak rambut panjang yang acak-acakan. Kepala manusia!
"AAA...," Dia berteriak. Berjengkit keluar dari kursi. Kepala yang berlumuran darah menggelinding ke arahnya.
Dia berlari menuju pintu. Kepala mengikuti.
"AAA..." Pintu macet tak bisa dibuka. "Buka...! Buka pintunya..." Dia menggedor benda itu kuat-kuat. Kepala menggelinding semakin dekat.
Dia berlari menghindar, mengambil arah ke kiri. Namun Kepala mencegatnya duluan. Terpaksa ia menginjak benda itu dan tersungkur ke bawah. Kepala tersentak menghantam dinding. Pecah dan mengeluarkan banyak darah hitam dari ubun-ubun. Menjijikkan.
Menunduk, Dia meringis mendengar Kepala mendekat. Menggelinding membasahi lantai keramik yang dingin, meninggalkan jejak-jejak hitam berbau busuk, bercampur ke mana-mana dengan rambut panjangnya. Semakin dekat. Dan Kepala berhenti di dekat kaki Dia.
Wajah Dia gemetar, terangkat pelan. Dan Kepala bergulir menyentuh kaki. Wajah Kepala menghadap Dia. Tertutupi rambut yang berlumuran darah. Ubun-ubun juga mengucurkan cairan hitam kental yang amat banyak, menggenangi lantai dan membasahi kaki Dia. Amis dan busuk sekali. Dia berusaha menyepak Kepala, tapi kelopak mata Kepala terbuka. Memelotot lebar. Seperti menangis, darah mengucur banyak sekali. Bola mata bergoyang-goyang. Copot. Dan menggelinding.
"AAAAAA!" Dia menyepak benda itu. Namun bergulir balik.
"AAA..." Gelap yang pertama terlihat. Dia ngos-ngosan.
"Buka pintunya!" Ketukan pintu menggema di seisi kamar. Semakin rapat suara itu saat Dia tak menjawab.
"Kamu kenapa? Ayo buka pintunya!"
Dia menoleh ke samping. Pada lampu redup di atas nakas, lemari pakaian, meja belajar, dan jendela yang menampilkan bulan muda.
Bulan muda?
Tanpa Dia sadari ketukan di pintu berhenti. Orang di baliknya, tertunduk sedih di kegelapan. Matanya sayu dan basah. Gaun tidurnya yang putih ia cengkeraman kuat. Merasa tak berguna karena tidak dapat melakukan apa pun. "Aku harap kamu baik-baik aja." Suara bisikan lirih yang keluar, seperti sebuah doa. Kemudian, dengan langkah berat ia berbalik, menjauh dari sana.
🥀🥀🥀
Gimana menurut kalian prolog ini? Please, kalo berkenan kasih pendapat---kritik dan saran gitu. Dan kira-kira udah seram belum?
Sincerely,
Dark Pappermint
Enam bulan sebelumnya...
Namaku Hanselio Kaban. Kata orang-orang aku hanyalah seorang biang kerusuhan. Tapi itu tidak benar. Sangat tidak benar. Orang-orang-lah yang terlalu berlebihan menilai diriku.
Aku benci belajar. Jadi aku lebih memilih mengeksplor dunia luar dibanding duduk di dalam kelas seharian. Tapi guru-guru dan orang dewasa lain lebih senang aku tersiksa. Makanya mereka tak suka aku berkeliaran di luar, kemudian menuduhku macam-macam dan menghukumku yang katanya melanggar.
Di sini aku benar-benar tak mengerti. Aku hanya tidak mau melakukan hal yang membuatku merasa terbebani. Lantas kenapa aku dicap salah dan dipermalukan? Merekalah yang bersalah karena mengekang kebebasan seseorang.
Lalu, aku benci cowok-cowok lemah yang berlagak di depanku. Jadi aku menghajar mereka sampai sadar tempat masing-masing.
Oke, di sini mungkin aku agak sedikit kejam. Tapi aku hanya membuat perhitungan pada orang-orang yang duluan cari perkara. Intinya aku membela diri kan? Masa ia diam saja saat diremehkan dan ditindas. Itu sih goblok namanya. Tapi lagi-lagi, orang dewasa menganggap perilakuku salah. Dan terkadang para polisi ikut-ikutan menahanku semalaman di kantor mereka yang jelek.
Hal lainnya adalah, aku suka cewek-cewek cantik. Jadi aku memacari setiap gadis yang kurasa menarik.
Ayolah. Bukan aku yang awalnya menggoda mereka. Mereka yang datang sendiri padaku. Melihatku dengan mata mereka yang manja. Tertawa centil saat aku menceritakan suatu hal. Sengaja menempelkan tubuh mereka ketika berdekatan. Terus-terusan menggamit tanganku ketika kami berjalan berdampingan.
Lihat! Mereka sendiri yang melemparkan diri ke mulut singa. Dan sebagai singa yang kelaparan, aku hanya membuka mulut lebar-lebar.
Apa salahnya dari hal itu coba?
Tapi kemudian aku yang dikatai brengsek. Padahal, dari semua cewek yang pernah menggodaku, aku hanya memacari dua belas di antara mereka. Memang sih, itu hanya dalam rentang waktu satu tahun.
Tapi mau bagaimana lagi. Kata seorang gadis aku itu: "Amat sangat tampan dan menggoda dengan tubuh proporsional berbalut kulit kecokelatan yang menunjang tinggi badannya, rambut yang selalu tampak acak-acakan nan seksi, mata elang ditambah dengan alis tebal, hidung mancung, serta bibir penuh dan dagunya yang kelihatan tegas."
Astaga. Tiba-tiba aku jijik dengan deskripsi yang berlebihan itu. Tapi aku serius saat bilang ada seorang gadis yang mengatakan itu. Dia salah seorang cewek yang setiap hari menggangguku dan mengatakan dia telah menjadikan aku sebagai tokoh utama dalam cerita yang ditulisnya.
Sayangnya, citra jelek yang melekat pada diriku, bertambah hancur saat hari pembagian rapor.
Sebisa mungkin aku memasang wajah cool tanpa celah saat teman-teman, yang sebenarnya jauh lebih goblok dariku, membahas tentang rapor jeblok milik masing-masing.
"Absen gue lebih banyak, bro, liat nih!" Seorang cowok pendek membanggakan jumlah hari ia tidak hadir.
Cowok lain berdecak. "Alah gitu doang, nilai gue yang paling jelek dibanding kalian semua."
Dengarlah betapa bodohnya mereka.
"Tapi gak ada yang tinggal kelas, kan?"
Ah, shit.
"Gue naik kok."
"Gue juga."
"Gue juga."
"Masa sih zaman sekarang masih ada anak yang gak naik kelas? Tolol banget tuh orang kalo sampe kagak naik!"
Sialan. Aku memelototi orang yang secara tidak sadar telah mengumpankan diri sendiri ke mulut buaya itu tajam, membuat si tersangka keder dan tampak menciut.
Iya, benar. Sekarang kalian sudah tahu kan apa yang membuat citraku jadi lebih jelek.
AKU TIDAK NAIK KELAS!
Namun, yang tidak disangka-sangka adalah keputusan tiba-tiba Ayah yang memintaku pindah sekolah. Bukan hanya pindah sekolah saja, melainkan juga pindah dari rumahnya---atau istilah lainnya: aku diusir. Memang aku tak akan ditelantarkan begitu saja. Aku akan pindah ke Medan dan tinggal dengan nenek plus kakak sepupuku yang rada aneh.
Lalu apakah aku bersedih dengan hal itu? Nyatanya aku bahagia sekali bisa memisahkan diri dengan ayahku, sebab jujur saja, aku juga muak tinggal dengan pria itu. Si workaholic yang sepertinya tak mengenal kehidupan di luar pekerjaannya. Pria berhati dingin yang tak pernah terganggu akan semua kenakalan yang aku perbuat. Terkadang aku sempat berpikir mungkin ibuku meninggal karena bosan. Iya, hanya karena bosan. Habis sampai sekarang aku tak pernah tahu apa penyebab pasti meninggalnya beliau. Itu sangat aneh dan tiba-tiba. Ibuku sehat dan tak memiliki riwayat penyakit apa pun. Apalagi pemakamannya juga terkesan buru-buru dan terlalu ditutup-tutupi dari orang luar.
Kebosanan itu benar-benar membunuh. Ada rasa tak tertahankan yang teramat sangat dan kau tidak tahu harus diapakan. Dan aku menyalurkan perasaan itu melalui keonaran. Rasanya benar-benar lega. Semua itu serasa menguap hilang melalui pori-pori setiap aku bertingkah. Kesunyian yang telah menderaku selama bertahun-tahun pun seketika memudar, kemudian berganti suara bising yang lama sekali tidak kudengar.
Hanya dengan kebisingan, suara gaduh, aku merasa tidak sendirian.
Aku menatap ke luar jendela, hamparan luas benda putih yang menjadi objek pandanganku, perlahan berganti menjadi kegelapan saat mataku memejam.
***
"Perlu bantuan?" tanya Randall, abang sepupuku yang tiga tahun lebih tua. Setelah acara peluk-pelukan dari nenek dan si Randall ini di bandara Kuala Namu tadi, kini aku sudah berada di dalam kamar yang sengaja disiapkan untukku. Membuka satu per satu koper yang kubawa.
Aku menoleh pada Randall. "'Gak usah, Bang!' Gue tau seharusnya gue ngomong gitu, tapi gue males beberes. Jadi iya, gue butuh bantuan."
"Kampret lo, dari dulu gak berubah!"
Berubah? Maksudnya seperti dia sekarang ini?
Dulu Randall juga tinggal di Jakarta dan hidup penuh masalah sepertiku. Namun sekarang laki-laki itu berbeda seratus delapan puluh derajat. Dia lebih mirip anak culun superlembek dibanding mantan preman sekolah. Rambutnya yang dipotong monoton tanpa gaya tertentu (aku bahkan curiga dia potong rambut sendiri, modelnya jelek banget), wajah berminyak dengan kacamata bingkai hitam, kuping tanpa tindik (padahal dulu cowok ini melantur akan berubah jadi bab* jika melepas benda itu), dan badan letoi berbalut kaus cupu kebesaran---kalau masalah celana, dari dulu dia memang hobi pakai boxer.
Sebenarnya apa yang membuat si gengster berubah jadi anak alim?
"Kok malah melamun? Awas entar lo kesambet lagi."
"Gak apa-apa. Lagi pula kenapa memangnya kalo gue kampret? Masih mending daripada gue jadi aneh kayak elu." Aku merinding sendiri membayangkan diriku dalam bentukan cowok nerd begitu.
"Aneh apanya?" tanya Randall yang kini sudah berleyeh-leyeh di atas kasur. Padahal katanya tadi mau bantu-bantu.
"Lo gak ngerasa aneh dengan semua yang ada sama diri lo sekarang ini?" Aku menaikkan sebelah alisku dan berhenti membongkar pakaian.
"Hehe," cowok itu malah cengengesan. "Gue udah tebak sih elo bakal anggap gue kayak gitu. Tapi gue udah bosen hidup kayak dulu. Sekarang gue pengen hidup untuk diri gue sendiri, ngelakuin hal yang dari dulu gue tutup-tutupi gara-gara takut dianggap cupu."
"Emang apa yang elo lakuin sekarang?"
Randall menatapku dengan cengiran menyebalkan. Lalu dengan bangga mengatakan, "Sekarang gue jadi penulis novel thriller."
🥀🥀🥀
Sincerely,
Dark Pappermint
Aku tidak pernah menyangka bahwa pengakuan Randall malam itu malah menjadi petaka. Bukan karena kata-katanya ternyata adalah sihir hitam yang menyihirku menjadi seekor bab*, melainkan dia terus-terusan memaksaku untuk membaca karya-karyanya.
Lalu di sinilah karya-karyanya itu berada, tergeletak begitu saja di dalam tasku yang sedari tadi rasanya memang berat banget.
Tidak salah kan kalau aku bilang Randall itu aneh? Jelas-jelas aku terus menolak membacanya. Lalu kenapa tiba-tiba semuanya bisa ada di sini?
Sialan. Hansel dan buku itu bagai air dan minyak. Walau bukan buku pelajaran, mana bisa sekarang aku tiba-tiba jadi anak culun yang hobi bawa-bawa buku tebal ke mana-mana.
"Kenapa? Ada masalah?" tanya seorang guru perempuan yang katanya adalah wali kelasku.
"Gak ada, Bu," sahutku malas menjelaskan. Lagi pula mau menjelaskan apa, bahwa aku punya abang sepupu gila yang sekarang menerorku dengan novel-novel thriller.
"Ya sudah, kalau begitu sekarang ayo ikut Ibu."
Tanpa banyak cincong aku mengikuti langkah guru muda itu dari belakang.
Gila, bodinya oke juga. Pikiranku jadi melantur. Tapi mau bagaimana pun aku ini tetap cowok remaja yang masih menggebu-gebu. Wajar sekali kalau terkadang aku memerhatikan bagian tertentu dari seorang perempuan.
Buru-buru aku buang jauh-jauh pemikiran itu saat kami tiba di depan kelas yang akan aku tempati ke depannya.
Aku mengikuti Bu Vira masuk dan menemukan sekawanan murid berisik yang mendadak hening melihat kedatangan kami.
"Anak-anak, seperti yang kalian lihat, hari ini kita kedatangan teman baru." Bu Vira menoleh padaku. "Ayo perkenalkan dirimu!"
"Nama saya Hanselio Kaban. Saya pindahan dari Jakarta."
Dapat kudengar beberapa anak heboh sehabis mendengar perkenalan singkatku tadi.
"Anak ibu kota, geng. Tapi bentar lagi udah jadi anak daerah ding."
"Mukanya mirip Alex Lange."
"Agak serem."
"Ganteng kok."
Bu Vira berusaha meredakan kebisingan murid-muridnya yang disebabkan olehku. Jujur, ini lebih menyenangkan daripada hening berkepanjangan.
"Sudah itu saja?" tanya Bu Vira, memastikan apakah masih ada yang ingin kusampaikan.
Aku mengangguk. "Iya, Bu."
Tapi tiba-tiba sebuah tangan mengacung tinggi, berasal dari seorang cowok superkinclong yang sepertinya hobi tebar-tebar senyum Pepsodent. "Mau tanya dong, Bu."
"Tanya apa Ali?"
"Dia kenapa pindah ke sini? Kena polusi ya di sana? Kulitnya sampe gelap gitu?"
Sial. Aku sudah di-bully di hari pertama masuk sekolah. Tidak tahukah mereka aku lebih tua setahun dari mereka semua?
"Ketutup debu gitu, ya, Li?" serobot sebuah suara lain yang terdengar tak kalah menyebalkan.
Gelak tawa mulai memenuhi ruang kelas ini. Aku memasang wajah kecut yang sepertinya cukup berhasil membuat beberapa orang keder.
Saat dilihatnya aku tak berniat menjawab pertanyaan si Ali-Ali itu (tentu saja aku tak bakal mengaku kalau aku tinggal kelas), Bu Vira langsung menunjukkan sebuah kursi untukku.
"Kamu duduk di samping Ali, ya! Hanya dia saja yang duduk sendiri."
Haha. Jujur aku kesal bukan main karena harus semeja dengan cowok yang sekarang sedang cengar-cengir itu, tapi juga senang karena ini bisa jadi kesempatan untukku mengganggunya.
Namun kenyataannya tidak semudah itu. Cowok itu sama sekali tidak takut dengan pelototan yang secara terang-terangan kuarahkan padanya.
"Kita belum kenalan secara resmi," ucapnya begitu aku duduk pada kursi di sampingnya dengan masih memasang senyum Pepsodent yang sama. "Aku Tengku Ali Imran. Kau boleh panggil Ali, tapi jangan panggil Imron, itu nama bapakku."
Cowok ini goblok atau apa sih. Jelas-jelas aku terganggu terhadapnya. Kenapa dia bisa-bisanya malah pasang tampang innocent begitu?
"Kok diem aja, Bos?"
Eh, Bos?
Aku berdeham. Dan entah kenapa tangan ini malah bergerak sendiri, menyalami tangannya yang sejak tadi terulur. "Gue Hanselio Kaban. Tapi lo boleh panggil gue 'Bos' kok."
"Wuohhh," serunya lebay. "Kau ngomongnya pake elo-gue gitu, ya? Oke deh, gu-e juga bakal kayak gitu biar e-lo lebih nyaman ngomong sama gu-e."
"Lo gak perlu ngelakuin itu," tolakku sebab nada bicaranya aneh banget.
"Gak pa-pa, Bos. Gu-e ini mudah beradaptasi kok. E-lo bisa ngandelin gue. Tuh kan gue udah mulai terbiasa. Gampang banget ini mah ngomong kayak orang-orang ibu kota."
"Seharusnya kan gue yang menyesuaikan diri di sini."
"Iya sih, tapi gu-e," balik lagi deh, "pengen gaya-gayaan aja ngomong kayak gini ke elo, Bos."
"Serah lo deh."
🥀🥀🥀
Sincerely,
Dark Pappermint
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!