Please be awase. Adegan mungkin bersikap kekerasan. Mohon bijak saat membacanya. Ini hanya bagian karangan penulis semata. Terima kasih!!
*Regina Meizura Carlton sebenarnya sudah mati. Namun, tuhan memberikannya kesempatan kedua untuk membalas dendam*
Rasanya aku tidak bisa menggerakkan apapun. Kaki dan tanganku lumpuh. Bahkan mataku terasa kabur. Dimana aku sekarang? Aku bahkan tidak bisa menebaknya. Hanya saja hawa tersebut seakan kian lama mencekikku.
Aku tidak bisa bernafas dan bau asap menyeruak ke hidungku. Kesadaranku seakan menghentakkanku untuk membuka mata.
"Apa dia sudah mati? Kau sudah membuatnya seolah bunuh diri kan? Atau kau membuat rencana lain yang lebih menyenangkan?"
Suara itu, samarku dengar. Jelas dan aku tidak akan salah menebaknya. Itu suara Minna, adikku. Aku benar-benar tidak salah mendengarnya, bukan?
"Aku yakin, dia pasti sudah mati. Aku sudah mengaturnya seolah penculikan dan kecelakaan. Bahkan keluargamu tidak akan pernah mengira. Huh, dasar istriku yang bodoh dan sangat malang. Sungguh tragis sekali nasibnya, dia mati ditangan kita!" cetus suara seorang laki-laki.
Aku benar-benar tidak tuli. Aku bisa merasakannya. Dia suamiku.
Bagaimana mungkin? Suamiku terlihat baik dan sangat mencintaiku. Dia bahkan tidak tega ketika aku digigit serangga, namun sekarang suara itu seakan menghujam jantungku.
Nicholas adalah suamiku yang aku nikahi sudah 5 tahun. Dia, sangat mencintaiku. Aku selalu diberikan kasih sayang yang melimpah olehnya. Bukan hanya sekedar karangan bunga, tapi berbagai hadiah mewah dari tas, cincin, kalung, berlian dan mobil dia curahkan padaku.
Tapi, kenapa Nicholas melakukan itu dengan adikku Minna? Apa yang salah denganku. Dimana letak kesalahannya. Aku tahu, mereka adalah dua orang yang selalu di sisiku. Mereka selalu menyayangiku. Aku selalu dilindungi mereka. Tapi, apa ini?
"Harusnya kamu lebih cepat melenyapkannya, sayang. Harusnya jangan terlalu lama kamu bersamanya. Aku benci sekali, aku benci saat harus melihatmu tersenyum dan perhatian padanya. Kenapa sih harus dia? Kenapa kakek tua itu mewariskan semua padanya. Aku juga bagian dari mereka. Kenapa harus Regina. Kenapa semua yang aku inginkan harus di ambil olehnya. Aku sebal ugh ugh!" ucap Minna adikku. Dia sedang menendang kakiku yang sudah tidak bisa merasakan apapun.
Tega sekali. Ingin sekali aku berteriak, namun mulutku seolah terkunci. Bahkan sebuah katapun tidak dapat kuucap dari bibirku. Lidahku terasa berat dan aku tidak bisa membuka mulutku untuk berbicara.
"Maafkan aku, sayang, kalau tidak begini kamu juga tidak akan mendapatkan seluruh warisannya kan? Kita selama ini disisinya hanya untuk mengontrol semua. Dia ini wanita polos dan bodoh. Kalau kita tidak menipunya mana mungkin semua harta kekayaan itu beralih pada kita berdua."
"Sekarang semua sudah lengkap. Harta kekayaan sudah berpindah pada kita. Kematiannya akibat penculikan dan tentu saja dia dibunuh oleh si penculik. Lagipula, dia kan tidak tahu kalau selama ini kita sudah memanipulasinya. Kalau kita tidak membuat catatan palsu tentang penyakitnya, mana mungkin kita bisa memberikan obat yang melumpuhkan tubuh juga membuatnya bisu seperti ini. Ini semua adalah rencanaku."
"Semua rencana sudah matang. Dia mati. Setelah itu aku menjadi duda dan kamu bisa menjadi pengganti istriku yang malang karena semua orang tahu selama ini aku merawatnya dengan sangat baik. Aku adalah laki-laki yang patut dikasihani karena telah setia merawat istrinya yang sakit-sakitan."
Kembali hatiku bagai dirajam ribuan pedang oleh suamiku. Bisa-bisanya dia berkata seperti ini disaat aku sedang meregang nyawa seperti ini. Karena kejujurannya membuat aku tahu kalau selama ini dia tidak pernah mencintaiku. Dia, Nicholas suamiku dan adikku, Minna mereka berdua bersengkongkol untuk merencanakan kematianku.
Bahkan aku tidak tahu kalau penyakit yang aku rasakan setiap hari adalah ulah mereka. Mereka bukan hanya berkhianat padaku, tapi semua adalah rencana mereka.
"Wah, Kakakku ternyata masih bisa membuka mata ya? Hmm ... Ternyata dia benar-benar wanita yang kuat, sayang. Aku pikir kita tidak akan bertemu untuk mengucapkan salam perpisahan kakakku sayang," ucap Minna, dia menyadari aku membuka mata dan lelehan dimataku sudah cukup menjawab pembicaraan mereka kalau aku sudah mengetahui kebusukkan mereka.
Nicholas berjongkok dan tepat di depan tubuhku. Rahanganya mengeras dan dia mengeratkan giginya. Satu sudut bibirnya mencibir dengan kecut. Tatapannya begitu dingin seolah dia mencemo'ohku dengan segala kesetianku padanya.
“Ck, ck, benar-benar ya, ternyata meskipun sudah banyak obat yang kau telan, kau masih saja bisa membuka matamu. Aku tak menyangka tekadmu sangar kuat. Ini adalah ciri dari keluaga Tomshon yang termaksyur itu," ucap Nicholas seolah tanpa basa-basi. Dia sudah membuka seluruh topeng yang dia sembunyikan selama ini.
Aku hanya menatap suamiku dengan lelehan bening yang terus membasahi pipiku. Aku tidak menyangka, akan ada sakit lebih dari penyakit rekayasa yang selama ini aku rasakan di saat menjelang kematian yang tidak pernah aku bayangkan. Suamiku, yang selama ini selalu memberikanku kehangatan, pelukan dan kasih sayang tega melakukan ini.
Apa hanya karena harta? Mereka tega melakukan semua. Aku benar-benar tidak menyangka kisah sedih akan ada di hidupku.
"Bagaimana ini sayang? Dia benar-benar menginginkan salam perpisahan dari kita. Haruskah kita memberitahukan semuanya? Anggap saja ini sebagai hadiah untuk pernikahan kita nanti sayang dan dia juga gak perlu penasaran lagi tentang kita!" delik Minna yang berjongkok di sebelah Nicholas. Satu tangannya menyandar di bahu Nick seolah mengisyaratkan kisah kasih mereka yang tidak pernah sama sekali aku ketahui.
"Hmmm ... Sepertinya itu ide bagus sayang. Darimana kita menceritakan kisah kita ya sayang? Dan ... Uhm, ini sudah hampir pagi, gudang ini harus kita segera ledakkan agar tidak ada yang curiga kalau ini hanya kebakaran yang sudah aku rencanakan," jawab Nicholas lugas tanpa ada rasa bersalah sedikitpun. Hatinya seolah telah mengacuhkanku sepenuhnya.
"Hemm, begini saja ya ... mmm, kakakku sayang, aku akan beritahu satu rahasia. Kau pasti sangat terkejut. Sebenarnya Nicholas adalah kekasihku. Sebelum bertemu dengan kamu, kami adalah sepasang kekasih. Demi untuk semua, aku relakan dia menikah denganmu. Agar aku bisa selalu berada disisi Nicholas juga tentu saja aku juga ingin menikmati semua fasilitas yang kakek tua si pilih kasih itu berikan padamu."
"Aku kesal dan iri sekali. Dia satu-satunya orang yang tidak bisa aku kelabui. Aku sangat membenci kakek tua itu. Andai saja dia benar-benar merestui mamaku dan menerimaku sebagai bagian dari anggota keluarga, mungkin ini semua tidak akan terjadi. Kita akan berbagi, ya meskipun aku gak terlalu suka dengan berbagi," jelas Minna, dia menceritakan hal yang tidak pernah aku duga. Bahkan sampai membenci kakekku.
Dia bercerita bagai seperti seakan mendongengkan pada seseorang yang akan menjelang ajal. Aku hanya bisa menahan semua dengan lelehan air mataku yang tak berhenti mengalir. Tega sekali mereka menipuku. Bahkan aku salah. Selama 5 tahun ini aku salah, aku tinggal dengan laki-laki yang bahkan hatinya tidak pernah aku miliki.
"Untung saja Nick setuju menikah denganmu, ya kalau tidak seperti itu mana bisa kami bebas berhubungan. Dan asalkan kakak tahu, saat ini aku sedang mengandung buah hati kami. Ini anak kami. Aku dan Nick, anak yang dimana sekalipun kamu gak akan pernah dapatkan. Itulah alasannya Nick merekayasa sakitmu agar Nick bebas menyentuhku!" ucap Minna dengan matanya yang menggebu dan memamerkan kehamilannya.
Aku hanya bisa bereaksi dari kedua bola mataku yang berputar saja. Benar-benar tidak menyangka aku mengetahui di ujung kematianku. Aku tidak rela. Benar-benar tidak rela. Suamiku juga adik tiriku melakukan ini semua. Dia bahkan bisa masuk ke keluargaku karena papa meminta pada kakek untuk membawa mereka masuk ke keluarga kami.
"Sudahlah Minna, aku rasa ini cukup. Kalau dia tahu semua. Aku rasa kematiannya menjadi lebih tenang bukan. Dia pasti bahagia mengetahui semua. Terima kasih banyak, Regina, berkat kamu aku mendapatkan wanita yang paling aku cintai juga tentu saja semua warisan kekayaan yang tidak akan habis untuk 7 turunan kami. Ini warisan yang paling berharga untukku. Terima kasih banyak, sayang."
Nicholas berdiri dan memeluk erat pinggang Minna. Hal yang terakhir aku lihat, mereka menoleh padaku sebelum pergi dan Nicholas melemparkan korek api yang sudah dia nyalakan.
Dalam hitungan ketidaksadaranku. Aku hanya perlahan memejamkan mata. Air mataku tak berhenti mengalir. Ini pertama kali aku menyesal dengan hidupku. Aku telah diperalat, dibodohi juga di manipulasi oleh suami dan adik tiriku.
Andai saja aku masih bisa kembali, aku ingin membalas semua penghianatan mereka. Aku akan membalas mereka lebih menyakitkan dari ini. Satu demi satu dari mereka harus mendapatkan pembalasanku...
“REGI … REGINAAA!!! Kamu mendengarku? Kamu dimana?”
Suara itu, aku mendengarnya dengan jelas. Tidak asing, tapi aku seolah tidak pernah memperhatikan suara itu. Itu suara Axel. Dalam kesadaran yang sepenuhnya hampir hilang, mataku melihat bayangan, wajah itu penuh kekhawatiran dan ketakutan berlari menghampiriku.
“Tolong bertahanlah, aku akan segera membawamu keluar dari sini, Regi, tolong bertahanlah …,” suara kegelisahan dengan bibir yang bergetar. Dia benar-benar seperti akan mati saat itu juga.
Kenapa dia menatapku seperti itu. Aku bahkan tidak pernah bersikap baik padanya. Aku merasa dia juga ikut merasakan semua lukaku. Aku selalu menolaknya karena Nicholas. Tidak pernah sekalipun aku bersikap baik padanya.
Namun, sepertinya semua sudah sangat terlambat. Kepulan asap semakin lama semakin membesar. Aku merasakan tubuhku melayang di udara. Axel mengangkat tubuhku dengan perlahan dan ringkih karena api semakin membesar.
Langkahnya terasa berat bukan hanya karena bebanku, tetapi kondisi isi gudang yang hampir seluruhnya terbakar. Lalu aku mendengar suara besi yang runtuh dimana-mana dan brak! Hantaman itu cukup keras hingga membuatku tersungkur kembali di lantai panas.
Diatasku, tubuh Axel melindungi dari reruntuhan itu. Laki-laki bertubuh besar itu benar-benar menangisiku. Dia melindungiku segenap jiwa dan raga.
“Ma–maafkan aku, Regi, aku terlambat mengetahuinya. Maafkan aku karena gagal melindungimu. Ma–maafkan aku, Reg … aahggh …!!” Kata itu terdengar samar juga lirih permintaan maafnya membuat aku sadar bahwa selama ini dia sangat tulus mencintaiku.
Air mataku mengalir begitu saja di setiap detik kematianku.
Aku tidak pernah menyangka kalau Axel datang menyelamatkanku, tetapi dia meregang nyawa lebih dulu karena melindungiku dari runtuhan besi.
Aku bersalah dan berdosa. Aku telah menyia-nyiakan laki-laki yang paling mencintaiku. Dia, Axel Witsel Witzelm, namanya akan selalu kuingat di akhir kematian yang sangat sangat kejam ini.
***
“Hah!”
Aku membuka mataku saat kudengar rengekan.
“Kak Regi? Kenapa kakak diam saja? Apa kita jadi makan malamnya? Jangan sampai membuat Kak Nicholas menunggu lama. Dia pasti kecewa kalau kakak tidak jadi memberikan kejutan itu!”
Suara manja itu adalah milik Minna Retha Valentina, adik tiriku yang sudah membuatku mati dan tersiksa. Dia sedang mengaitkan tangannya di tanganku sambil menyandarkan kepalanya di sana.
Otakku berpikir kembali. Mati. Aku sadar betul kalau aku sudah mati dalam kobaran api dan dekapan Axel. Tapi, apa ini?
Apa itu adalah sebuah mimpi.
Atau aku salah menilainya.
Ti–tidak. Aku tidak salah. Aku yakin merasakan semua kepedihan dan kesakitan itu. Aku benar-benar sudah mati.
Mungkinkah tuhan sedang memberiku kesempatan untuk merubah takdir dan tentu saja membalaskan semua dendamku.
Sungguh suatu keajaiban. Aku kembali.
Aku bahkan hampir tidak percaya kesempatan itu akan datang padaku. Aku berjanji akan membalas semuanya satu persatu-satu.
Ini kesempatanku. Aku akan menghitung semua yang telah mereka lakukan padaku.
“Akhh!” Minna terkejut karena aku tiba-tiba saja beranjak dari duduk.
Aku ingat hari ini, Minna mengajakku untuk makan malam dan saat pertemuan disana nanti dia akan sengaja menumpahkan sup panas ke tanganku. Lalu aku dibawa ke rumah sakit dan disitulah Nicholas mulai gencar melakukan perhatiannya.
Dia bersikap baik seolah-olah sangat menyayangiku. Padahal kalau diingat lagi, itu adalah rencana Minna untuk membuat aku lebih dekat dan membuatku terjebak oleh kemunafikan mereka.
Masa ini adalah dimana Minna melancarkan rencana untuk mendekatkan aku dan Nicholas. Jadi, aku kembali pada waktu dimana kami belum menikah. Ini adalah lima tahun sebelum aku menikah dengannya.
Dulu, aku sangat mempercayai Minna dan papa dengan alasan membawa Minna masuk ke dalam keluarga Thomson adalah mencarikan teman bermain untukku agar aku tidak kesepian.
Nyatanya, dia adalah anak selingkuh dari papaku. Mamaku yang malang, dia tidak tahu kalau ternyata papa sudah mengkhianati mama. Dan, kakek sejak awal menentangnya karena mungkin kakek sudah mempunyai firasat ini.
“Uhm, kamu pergi saja duluan. Nanti aku akan menyusulmu. Mungkin aku ada rencana membeli sesuatu sebagai hadiah kejutan,” ucapku.
Jelas nada bicaraku kini berbeda. Dulu aku akan kesenangan setengah mati dan memeluk Minna dengan erat. Mengucapkan banyak terima kasih padanya karena sudah menjadi mak comblang untuk hubungan kita.
Tetapi sekarang, aku tidak akan melakukan itu. Itu tidak akan pernah terjadi. Aku ingat, Minna sengaja menumpahkan sup panas itu di tangan kananku. Hingga aku harus mendapatkan perawatan cukup ekstra di tanganku. Juga bekas luka akibat siraman itu tidak pernah hilang.
Minna menatapku sesaat. Sepertinya dia cukup terkejut karena aku secara tidak langsung menghempaskan tangannya.
“Mmmm … baiklah, kalau begitu aku akan bersiap-siap dulu, Kak,” seraya mengembangkan senyum, dia merasa sudah berhasil menjebakku.
Aku menyipitkan mataku melihat kepergian Minna yang berlari polos kearah tangga menuju kamarnya. Bagaimana aku bisa terjebak oleh kepolosannya. Dia benar-benar tidak terlihat seperti orang yang akan melakukan segala cara demi mendapatkan apa yang dia inginkan.
Wajahnya mencerminkan kalau dia hanya bahagia jika bersamaku.
Aku akan merubah segalanya. Apa yang tidak aku lakukan pada saat itu, sekarang aku akan merubah semuanya. Termasuk penampilanku yang seperti ini. Kali ini kalian pasti menyesalinya.
***
Bruk! Aku menabrak seseorang saat keluar dari satu toko pakaian. Aku merubah dandananku yang terkesan kalem. Sekarang aku memakai dress berwarna merah tanpa lengan dan itu di atas lutut.
Aku biasanya tidak percaya diri mengenakannya. Aku selalu menatap Minna yang berpenampilan berbeda denganku. Dia selalu berpenampilan sedikit berpakaian terbuka untuk menarik lawan jenisnya sedangkan aku selalu tertutup.
“Ma–maaf, aku nggak sengaja. Aku nggak lihat!” cara bicaraku pun terdengar berubah, dulu aku kaku dan malu-malu.
“Akh!” Lenganku tiba-tiba dicengkeram dengan erat. Aku belum mendengar suara apapun secara spontan aku menarik wajahku dan saat mata kami bertatapan.
Jantungku seakan berhenti berdetak lagi. Saat ini, tepat berdiri di hadapanku, dia, Axel Witsel Witzelm, laki-laki berperawakan tinggi juga besar. Dengan dua mata hitam yang tajam juga garis rahangnya yang tajam menambah kedinginan padanya.
Dulu, aku tidak pernah peduli ataupun meliriknya. Aku mengabaikan Axel karena sikapnya selalu saja angkuh terhadapku. Axel selalu menunjukkan sikap tidak ramah dan bersahabat denganku.
Axel selalu menatapku dengan tajam tanpa aku tahu itu adalah tatapan ketulusan dan cintanya yang besar terhadapku.
Tanpa kusadari, air mataku mengalir begitu saja. Aku menyesali semuanya. Seandainya dulu aku bisa sedikit ramah padanya. Aku memberikan kesempatan padanya.
Bahkan hanya untuk berbicara denganku saja aku menolaknya. Aku selalu menjauhi. Apalagi Minna dan Nicholas selalu menjadi penengah yang menjauhkanku dengan Axel.
Tanpa ragu, aku menghempaskan cengkraman tangan Axel dan langsung memeluknya dengan erat. Aku menangis dalam pelukannya.
“Ma–maafkan aku, aku salah. Aku berjanji, kali ini hanya ada kamu!” ucapku lirih dan mungkin saja tidak terdengar oleh Axel.
“Apa ini? Apa kau salah minum obat?”
Aku terkejut, tiba-tiba saja Axel medorong tubuhku. Dia seolah menolakku. Ucapannya tajam membuatku mengernyit.
Hampir saja aku lupa, aku tidak pernah sama sekali berbicara atau dekat dengannya. Aku selalu bersikap cuek. Mungkin saja saat ini Axel akan menganggapku gila.
Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Aku harus bisa dekat dengannya. Aku hanya menginginkan dia yang menjadi suami masa depanku.
Tidak akan ada lagi aku merasakan kemunafikan juga kebohongan Minna dan Nicholas. Aku harus bisa menggaet Axel lebih dulu.
“Umm … ma–maaf, maafkan aku. Aku bukan sengaja. Kau masih ingat aku kan? Aku, Regina Meizura Carlton,” ucapku menarik bibirku hingga membentuk sebongkah senyuman terindah tak lupa tanganku terulur dengan manis.
Saat ini mungkin saja aku terlihat seperti cegil yang sedang mengejar laki-laki. Axel menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan.
Dia terlihat bingung dan tatapan dinginnya membuatku sedikit merinding. Namun, sekejap berubah saat aku menatap wajah tampannya.
Dilihat lebih dekat, Axel benar-benar tampan, hmm … bodohnya aku dulu sampai melewatkan laki-laki dengan wajah pahatan dari surga ini.
Sampai aku lupa diri menggelengkan kepala. Menatap wajahnya yang bersinar seperti cahaya bintang.
“Hmm!” Axel menjawab singkat dengan melipat kedua tangannya di dada dan menelitiku dari ujung rambut hingga kaki. Dia terlihat tidak suka dengan penampilanku saat ini.
“Mmm, aku ada acara makan malam. Jadi, aku sedikit mengubah penampilanku,” ucapku menjawab dehamannya.
“Apa perlu segitunya untuk menarik perhatian seseorang. Kau terlihat seperti wanita murahan!” Dengkus Axel kesal dengan jawabanku.
Mungkin kalau itu aku yang dulu aku pasti akan memberikan tamparan keras di wajahnya dan sangat membenci ucapan Axel.
Tetapi, kali ini berbeda, kata itu terdengar seperti laki-laki yang sedang cemburu dengan wanita yang disukainya pergi kencan dengan orang lain.
“Benarkah?” kataku, aku memajukan wajahku dengan berani. Wajahku tersenyum tidak dapat diartikan oleh Axel.
Aku berencana tidak akan melepaskan Axel dari genggamanku.
Axel terlihat bingung.
Dia sadar ada yang berbeda dariku.
“Sudahlah!” ucap Axel seraya berbalik akan pergi, namun aku tidak menginginkan itu.
“Mau kemana? Aku kan belum selesai mengobrol denganmu. Memangnya kamu nggak penasaran? Aku pergi dengan siapa?” ucapku mungkin terdengar di luar nalar.
Aku tidak akan melepaskannya.
Ini memang bukan seperti diriku.
Aku yang dulu tidak seberani ini. Dulu ditatap pun sudah gemetaran.
Aku balik mencengkram tangan Axel, mencegahnya pergi.
Kembali Axel mengerutkan kening.
“Temani aku, aku ingin membeli sesuatu dan ingin makan malam. Anggap saja ini adalah permintaan maaf dariku. Aku salah. Aku selalu mengabaikanmu. Pokoknya kamu nggak boleh menolaknya!” tukasku tanpa ragu membuat segurat kebimbangan di wajah Axel.
Dengan kecepatan yang mungkin saja Axel tidak sadari, aku sudah berhasil menggandeng lengannya. Membawa dia pergi bersamaku.
“Kau suka makan apa? Trus hobi apa? Apa kau suka nonton film? Atau jalan-jalan? Katakanlah. Aku ingin mengetahui semuanya!”
Aku benar-benar berubah menjadi cegil yang tidak tahu malu.
Aku yakin sebelum kematian itu, Axel menangis untukku. Dia benar-benar mencintaiku.
Tidak ada jawaban maupun penolakan keras seperti tadi dari Axel. Saat ini dia seperti sedang mempelajari sikapku.
Axel mungkin sedang mengira aku sedang bermain tipu daya dengannya.
“Apa warna kesukaanmu?”
Aku terus saja mengoceh dan berhenti di depan salah satu toko yang memajang beberapa mannequin laki-laki.
Axel mengikuti arah suaraku dan tatapanku yang tertuju pada mannequin tersebut.
“Bagaimana kalau kita mencoba yang ini,” kataku, aku langsung menarik Axel masuk ke dalam toko tersebut.
“Warna biru ini sepertinya cocok untukmu,” tanganku meraih syal rajut berwarna biru dengan motif bunga lili. Tanpa ragu aku berbalik dan mengalungkannya di leher Axel.
“Apa kamu suka?”
Aku benar-benar gila. Aku bahkan bersikap sangat agresif terhadap Axel. Dia benar-benar melongo melihat sikapku.
Tidak ada jawaban maupun penolakannya.
Axel hanya menatapku dalam dia. Gelombang matanya mengisyaratkan sesuatu yang dalam, namun dibaliknya tersimpan keraguan.
“Aku mau yang ini!” ucapku lagi tanpa aba-aba langsung menarik Axel ke meja kasir dan membayar yang sudah tersemat di lehernya.
“Terima kasih!”
Aku menggandeng lagi tangan Axel yang tanpa penolakan. Dia benar-benar mengikuti kemana kakiku melangkah.
Sampai pada tempat yang dijanjikan oleh Minna dan Nicholas, aku sudah melihat Minna mondar-mandir di depan ruangan yang sudah dipesan.
“Ka–kakak … kenapa kakak lama sekali. Kasihan kan kak Nick, dia terus menunggumu dan merasa khawatir,” ucap Minna manja yang berlari ke arahku dan segera menyandarkan lagi kepalanya di lenganku.
“Ah, maaf aku telat!” Lagi aku mendorong perlahan kepala Minna dari lenganku.
Aku benar-benar tidak mau lagi berdekatan dengan ulet keket pengganggu itu.
Namun, setelah aku meneliti, aku mencium parfum Nicholas di tubuh Minna. Sepertinya mereka tadi sudah sangat berdekatan ketika tidak ada diriku.
Dan satu fokusku tanpa sengaja aku malah melihat leher Minna dengan kissmark disana. Juga baju Minna terlihat kusut.
Kali ini Minna menggunakan baju press body hingga benar-benar menampilkan bentuk lekuk tubuhnya. Minna memang paling jago melakukan perpaduan itu, siapapun yang melihat pasti akan membangkitkan rasa penasaran untuk mencobanya.
Hmm … ternyata begini cara kalian melakukannya. Setiap ada kesempatan kalian selalu melakukannya. Aku benar-benar bodoh bahkan dulu tak pernah menyadarinya.
“Oya, aku membawa tamu dadakan, nggak apa-apa kan?” Minna baru menyadari saat aku berbicara dan dia melihatku menggandeng tangannya.
Bagi Minna itu adalah pemandangan langka apalagi dia tahu aku tidak terlalu suka dekat-dekat Axel. Ya, benar itu dulu karena semua dalam pengaruh dan kendali dari pasangan tidak tahu malu ini.
“Oh … tapi, tumben sekali kak Regi membawanya? Bukannya dia selalu bersikap kasar pada kakak? Kakak juga nggak suka dengannya kan?” satu sudut bibir Minna terlihat kecut saat menatap Axel.
Jelas Minna menganggap Axel sebagai penghalang semua rencana mereka.
“Siapa bilang? Aku nggak merasa seperti itu. Axel, dia cukup ramah dan dia juga cukup penurut. Buktinya dia tidak keberatan aku menariknya kesini. Dan sepertinya nggak salah … kan lebih banyak yang datang bukankah akan lebih seru!”
Ucapanku membuat Minna bungkam dan kesal. Dia tidak lagi beradu argumen denganku, namun kedua tangannya mengepal dengan erat.
“Ayo kita masuk Kak, kak Nick sudah lama sekali menunggu kakak,” Minna mengalihkan suasana dan menuntut langkah kami.
Duar duar! Aku tidak terkejut seperti saat ini. Ketika aku membuka pintu, aku melihat papaku, Nicholas dan ibu tiri yang selalu digadang-gadang papa berada disana.
Mereka mempersiapkan kejutan untuk dengan tiupan alat pesta ulang tahun dengan hiasan kertas yang langsung bertaburan di atas kepalaku.
Lalu dihadapanku berdiri Nicholas membawa buket bunga untuk menyambut kedatanganku.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!