NovelToon NovelToon

Takdir Alina

Part 1

Di pagi hari yang cerah tepatnya di sebuah rumah sederhana terlihat seorang gadis yang bernama Alina Astriani atau kerap di panggil Alin.

Saat ini Alin sedang bersembunyi di balik selimutnya. Dia enggan membuka mata dari tidur yang sangat nyenyak. Hingga terdengar suara keributan yang membuatnya harus bangun dari tidurnya.

"Ih, siapa, sih, yang ribut pagi-pagi di rumah orang gini, ganggu aja orang lagi mimpi indah juga," ucapnya kesal. Lalu alin pun keluar dari kamarnya menuju arah suara keributan tersebut yang ada di ruang tengah rumahnya.

"Cepat kasih tau pada kami di mana kau sembunyikan anakmu!" teriak seorang pria yang mengenakan jas sambil mencengkram kerah baju seorang pria paruh baya.

"Nggak akan. Saya nggak akan menyerahkan anak saya. Apapun yang akan kalian lakukan, saya tidak peduli!"

Karena merasa kesal pria berjas tersebut mendorong pria paruh baya itu ke lantai.

"Baik kalau itu mau kamu. Kalian pukuli dia sampai dia mau menyerahkan anaknya," suruhnya pada anak buahnya. Lalu mereka memukuli pria paruh baya tersebut hingga darah segar mengalir dari sudut bibirnya.

"Berhenti!" teriak Alin saat melihat orang-orang tersebut memukuli ayahnya. Ya, yang mereka pukuli itu adalah ayahnya.

"Kenapa kalian pukul ayah saya? Ayah kenapa mereka pukul ayah sampai kayak gini?" tanya Alin sambil menangis lalu menaruh kepala ayahnya di pangkuannya.

"Oh, jadi ini anak kamu?" Pria berjas tersebut berjalan mendekati Alin.

"Cepat, Nak, kamu tinggalkan tempat ini, kamu nggak usah mikirin Ayah, Lin. Sekarang kamu pergi dari sini karena mereka akan membawa kamu pergi, Nak," ucap ayah terbata-bata.

"Enggak mau. Alin nggak mau ninggalin Ayah sendiri. Kita akan pergi sama-sama."

"Jangan harap kalian bisa lolos dari kami jika kamu berani membawa ayahmu itu, maka jangan salahkan saya atas apa yang akan terjadi nanti," ucap pria berjas mencengkram tangan Alin. Namun, dengan cepat Alin menendang bagian bawah pria tersebut hingga dia melepaskan cengkraman karena merasakan kesakitan yang amat luar biasa.

"Ayo, Ayah, Alin bantu, kita harus pergi dari sini," ucap Alin.

Saat Alin akan membantu ayahnya berdiri, tiba-tiba....

DOR!

Satu tembakan berhasil mengenai ayahnya dan pelakunya adalah pria berjas itu.

"Ayah!" teriak Alin saat melihat ayahnya yang terbaring sudah tak bernyawa di lantai.

"Hiks ... hiks, Ayah, bangun. Ayah jangan tinggalin Alin kayak gini," tangis Alin lalu memeluk jasad ayahnya tersebut.

"Sudah saya bilang, kan, jangan pernah main-main dengan kami. Sekarang lihatlah apa yang terjadi, jadi ini bukan salah saya, ini salah kamu yang tidak mau nurut apa kata saya."

"Kenapa kamu lakukan ini sama ayah saya? Memangnya apa salah saya dan ayah saya sama kamu sampai kamu tega membunuh ayah saya?" tanya Alin sambil terus menangisi jasad ayahnya.

"Sebenarnya kalian tidak punya salah sama sekali sama saya, tapi ayah kamu punya salah sama bos saya. Jadi, karena sekarang ayah kamu sudah mati maka kamu akan saya bawa ke bos saya sekarang juga."

"Nggak, saya nggak mau ikut kamu."

"Cepat bawa dia ke mobil dan yang lain cepat bersihkan semua ini agar tidak ada polisi yang bisa menemukannya. Kalau tidak, kita yang akan habis di tangan bos," suruhnya pada anak buahnya.

"Baik, Tuan," sahut anak buahnya serempak.

"Nggak, saya nggak mau, lepasin saya!" Alin memberontak saat salah satu anak buah tersebut menyeretnya masuk ke dalam mobil. Tak lama kemudian pria berjas tersebut juga ikut masuk lalu mobil yang mereka naiki mulai melaju meninggalkan tempat tersebut.

***

"Bos, saya sudah melakukan apa yang Bos suruh. Saya sudah membawa anak supir taxi itu ke sini."

"Bagus. Di mana gadis itu sekarang?" tanya seorang pria yang sedang duduk di kuris ruang kerja yang ada di sebuah rumah yang terbilang mewah. Dia adalah Alexander Graham atau di sapa Al, seorang CEO tampan namun memiliki sifat yang kejam.

"Dia ada di bawah. Tapi---"

"Tapi apa, Charles?"

"Saat gadis itu berusaha membantu ayahnya untuk kabur, saya terpaksa menembak supir taxi itu sampai dia meninggal," ucap Charles menunduk.

"Apa? Kamu membunuhnya?" tanya Al dengan marah seraya berdiri dan mengebrak meja di hadapannya.

"I---iya, Bos. Saya terpaksa melakukannya. Kalau saya tidak membunuhnya kami tidak akan bisa membawa gadis itu kemari," ucap Charles dengan kepala yang masih tertunduk.

"Lalu bagai mana dengan jasadnya?" Meski awalnya ia sangat marah, tapi kemudian Al berusaha untuk meredam amarahnya dan kembali memasang wajah datar tanpa ekspresinya.

"Bos tenang aja. Anak buah kita sudah mengurus semuanya."

"Oke, kalau gitu saya akan turun ke bawah dan kamu cepat bawa penghulu kemari."

"Untuk apa, Bos?"

"Karena kamu sudah membunuh supir taxi itu, maka akan saya balaskan dendam saya pada anaknya itu dengan cara menikahinya," ujar Al seraya tersenyum jahat.

"Kalau Bos menikah dengan gadis itu, lalu bagaimana dengan mbak Bella?" tanya Charles lagi.

"Biar saya yang akan mengurus Bella nanti. Kamu hanya harus melakukan apa yang saya suruh sekarang."

"Baik, Bos, akan saya bawa penghulu ke sini secepatnya."

"Dan satu lagi. Saya minta kamu untuk memecat semua pelayan di rumah ini, karena setelah gadis itu saya nikahi maka dia yang akan saya jadikan pelayan rumah ini," titah Al sekali lagi.

Setelah itu, Al keluar dari ruang kerjanya menuju lantai bawah di ikuti Charles di belakangnya untuk melakukan apa yang di perintahkan Al padanya. Yang pertama Charles memecat semua pelayan di rumah itu dan kemudian pergi keluar dari rumah tersebut untuk mencari seorang penghulu. Sementara Al kini menghampiri seorang gadis yang duduk di lantai dengan kedua kaki dan tangannya yang di ikat beserta mulutnya yang di lakban.

"Siapa namanya?" tanya Al pada salah satu anak buahnya saat dia sudah berada di hadapan gadis itu.

"Alina Astriani atau Alin, Tuan," jawab anak buah tersebut.

"Mmpmpp!" Alin berusaha melepaskan diri dari tali yang mengikatnya.

"Apa? Kamu mau bilang apa, hmm?" tanya Al sambil berjongkok di depan Alin lalu melepaskan lakban dari mulutnya. "Ayo, sekarang kamu mau bicara apa?"

"Tolong lepaskan saya, Pak, saya mohon," ujar Alin sambil menangis.

"Oh, kamu mau di lepas? Cepat lepas ikatannya," titah Al pada anak buahnya lalu anak buah itu pun melepaskan ikatan Alin.

"Terima kasih, Pak. Kalau gitu biarkan saya untuk pergi," ucap Alin tersenyum saat dengan mudahnya Al melepaskan dirinya. Alin hendak pergi dari sana namun Al dengan cepat menghadangnya.

"Etss, mau ke mana kamu? Kamu pikir dengan saya melepaskan ikatannya kamu bisa pergi dari sini? Jangan mimpi kamu. Sini kamu!" Al lalu menghempaskan tubuh Alin ke sofa dengan cukup keras.

Alin melongo. Tadinya dia mengira Al adalah orang yang baik saat ia melepaskan ikatannya. Namun, seketika wajah tanpa ekspresi Al langsung membuatnya merinding.

"Tolong, Pak, biarin saya pergi, saya mohon. Sebenarnya apa salah saya dan ayah saya sama Bapak? Sampai Bapak tega melakukan ini ke saya?" Alin yang ketakutan itu hanya bisa menangis.

"Kamu mau tau salah kamu apa, hmm?" Lalu Al mengambil sebuah bingkai foto seorang gadis yang terletak di atas meja yang ada di ruangan tersebut dan memperlihatkan foto itu pada Alin.

"Kamu tau dia siapa? Salsha. Dia adik saya yang paling saya sayang, dia hidup saya, dan juga hidup mama saya. Dulu kami bertiga selalu tertawa dan bahagia bersama. Tapi suatu hari sebuah kejadian telah membuat kebahagiaan itu lenyap untuk selamanya. Saya mendapat kabar kalau Salsha menjadi korban tabrak lari, tapi sebelum saya bisa melakukan apapun untuk menyelamatkannya...." Al tak sanggup melanjutkan kata-katanya, kini dia sudah terduduk di lantai sambil menangis memeluk foto adiknya itu.

"Dia ... dia sudah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Beberapa hari kemudian mama saya mengalami depresi karena merasa kehilangan Salsha, sampai akhirnya dia bunuh diri dan dia juga pergi meninggalkan saya sendiri tanpa siapa-siapa lagi di dunia ini," lanjut Al.

"Lalu hubungannya dengan saya dan ayah saya apa?" tanya Alin kemudian.

Al yang mendengar pertanyaan itu dia pun segera mengusap air matanya dengan kasar dan segera berdiri kembali lalu mencengkram dagu Alin dengan tatapan yang menyeramkan, kedua matanya merah padam.

"Karena ayah kamu yang sudah menabrak Salsha sampai dia meninggal dan ayah kamu juga yang bertanggung jawab atas semua penderitaan yang saya alami sekarang!" teriak Al lalu melepaskan cengkramannya dengan kasar.

"Nggak mungkin, ayah saya nggak mungkin melakukannya. Bapak pasti sudah salah orang," ucap Alin sambil meringis kesakitan akibat cengkraman Al tadi.

"Saya nggak mungkin salah karena saya punya buktinya. Cepat bawa kesini bukti itu," suruh Al sambil berteriak pada anak buahnya. Tak lam anak buah itu menyerahkan sebuah amplop pada Al.

"Ini ambil dan kamu lihat saja sendiri, setelah itu katakan apa saya yang salah atau tidak." Al melempar amplop itu ke hadapan Alin.

Alin pun membukanya dan betapa terkejutnya dia setelah melihat apa yang ada di dalamnya. Di dalam amplop tersebut berisikan beberapa lembar foto yang terdapat gambar ayah Alin yang keluar dari taxinya lalu mendekati seorang gadis yang sudah berlumuran banyak darah di depan taksi miliknya.

"Sekarang katakan siapa yang salah di sini saya atau dia?" tanya Al dengan penuh amarah.

"Nggak, ini semua bohong, ayah saya orang baik, dia nggak mungkin melakukan ini," ucap Alin lalu merobek foto-foto tersebut, merasa tak terima dengan tuduhan yang dilontarkan Al pada ayahnya yang telah tiada beberapa waktu yang lalu dan dia tak tau telah mereka apakan jasad sang ayah.

"Apa? Orang baik kamu bilang? Kalau dia memang orang baik, kenapa dia membiarkan adik saya Salsha, kenapa dia tidak membawanya ke rumah sakit. Kenapa? Andai saja dia melakukan itu, pasti Salsha masih hidup sampai sekarang!"

Teriakan Al menggema di seluruh penjuru rumah, membuat Alin menggigit bibir bawahnya saat melihat wajah merah penuh amarah milik Al.

"La---lalu apa yang akan Bapak lakukan? Bapak sudah membunuh ayah saya dan sekarang Bapak juga menculik saya. Apa yang Bapak inginkan dari saya?" tanya Alin ketakutan setelah Al membentaknya.

Al menyeringai bak iblis. "Saya akan membalaskan dendam saya ke kamu dengan cara menikahi kamu dan setelah itu saya akan membuat hidupmu menderita," ucap Al menekan kata-katanya.

Mendengar itu Alin dengan cepat menggeleng. "Nggak, saya nggak mau menikah dengan pria kejam seperti Bapak, saya nggak sudi menjadi istri seorang pembunuh!"

Plak!

Part 2

"Awh!" ringis Alin seraya memegang pipinya yang terasa sangat perih. Bukannya kasihan, Al malah semakin menyeringai melihat penderitaan gadis itu.

"Itu akibatnya kalau berani berteriak di hadapan saya. Ini masih belum seberapa, setelah ini akan saya buat hidup kamu lebih menderita lagi," ucap Al.

"Bos, penghulunya sudah datang," ujar Charles yang datang bersama seorang penghulu.

"Siapa yang akan saya nikahkan di sini?" tanya penghulu itu.

"Kami," jawab Al datar sambil menggenggam tangan Alin dan membawanya ke hadapan penghulu. "Kami yang akan menikah."

"Nggak saya, nggak mau menikah dengan Bapak. Saya nggak mau!" teriak Alin sambil berusaha melepaskan tangannya dari Al.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menikahkan kalian karena mempelai wanitanya belum siap," ucap Penghulu tersebut yang menyadari ada yang tidak beres.

"Hey. Anda jangan banyak bicara. Jika Anda tidak mau menikahkan mereka silahkan. Tapi ingat peluru ini yang akan menembus kepala Anda," ucap Charles sambil menodongkan sebuah pistol ke arah penghulu tersebut. Hal itu sontak membuat si penghulu mulai ketakutan.

"Ba---baik, saya akan menikahkan kalian. Tapi tolong jangan bunuh saya."

"Ayo cepat nikahkan mereka. Silahkan, Bos." Charles lalu menyuruh Al duduk berhadapan dengan penghulu. Sementara Alin, dia terus berontak, tapi dia tak bisa berbuat apa-apa karena Al memegang tangannya dengan erat.

"Ayo."

"Nggak mau. Saya nggak mau menikah."

"Ayo ikut." Al pun menyeret Alin untuk duduk di sampingnya. Lalu pernikahan itu pun terjadi. Pernikahan yang hanya di dasari dendam dan itulah awal penderitaan Alin.

"Sekarang kalian sudah sah menjadi pasangan suami istri," ucap penghulu. Lalu penghulu itu pun pergi dari sana setelah mendapat sejumlah uang dari Charles.

"Hiks ... hiks." Tangis Alin pun pecah saat itu juga yang membuat Al tiba-tiba merasakan sesuatu. Namun, dia menepisnya karena di hatinya hanya ada dendam saja.

"Sudah, tidak perlu menangis karena itu tidak ada gunanya. Sekarang ikut saya."

"Nggak, saya nggak mau ikut Bapak," tolak Alin.

"Kamu jangan berani melawan saya. Karena sekarang saya akan menyiksa kamu seperti apa yang telah di lakukan ayahmu padaku." Al lalu menyeret Alin dan memasukkannya ke dalam sebuah kamar bekas pembantu.

"Sekarang ini adalah kamar kamu dan jangan pernah berani untuk kabur. Kalau tidak, saya akan melakukan sesuatu yang nggak akan pernah kamu duga," peringat Al. Setelah itu dia mengunci kamar dari luar.

"Hiks ... hiks. Ayah tolong aku. Aku nggak mau punya suami kayak dia, dia itu manusia nggak punya hati, nggak punya perasaan," tangis Alin sambil memeluk lututnya sendiri.

"Alin, kamu harus semangat kuliahnya, ya. Ayah ingin sekali melihat kamu menjadi orang sukses suatu hari nanti, Nak." itulah kata-kata yang selalu di ucapkan ayahnya yang masih di ingat Alin hingga saat ini dan tak akan pernah terlupakan sampai kapan pun.

"Ayah, maafin Alin, ya, karena Alin nggak bisa wujudkan impian terakhir Ayah," lirih Alin.

Tanpa sadar Alin pun mulai tertidur dengan posisi yang masih memeluk lututnya sendiri sambil duduk menyandar di pintu.

***

Byur!

"Hey. Bangun kamu!" teriak Al setelah menyiram Alin dengan air sampai sekujur tubuhnya basah semua.

"I---iya, ada apa, Pak?" Alin terbangun dari tidurnya dan dia pun segera berdiri.

"Sekarang siapin saya sarapan karena mulai sekarang kamu akan mengurus segalanya di rumah ini termasuk kebutuhan saya," ucap Al.

"Satu lagi. ini semua barang-barang kamu yang sudah di ambil dari rumahmu karena saya tidak akan pernah sudi mengeluarkan uang sepeser pun untuk kamu. Jadi, jangan kira karena kamu adalah istri saya, saya akan mencintai kamu karena yang ada hanyalah kebencian saja," ucapnya sambil melempar semua barang-barang Alin padanya.

"Baik. Tapi biarkan saya mengganti pakaian saya yang basah setelah itu saya akan menyiapkan sarapan Bapak," ucap Alin seraya menunduk.

"5 menit. Cuman 5 menit. Jika setelah 5 menit kamu belum datang juga maka kamu pasti sudah tau apa yang akan terjadi, kan?"

"Ba---baik, Pak. Saya akan segera datang." Setelah Alin mengatakan itu, Al pun akan keluar dari sana, tapi Alin dengan cepat mencegahnya.

"Tunggu, Pak. Ada sesuatu yang ingin saya bicarakan."

"Saya nggak ada waktu untuk bicara dengan kamu," ucap Al datar.

"Saya mohon, Pak."

"Katakan!"

"Sa---saya ingin melanjutkan kuliah saya, Pak. Karena itu adalah keinginan terakhir dari ayah saya," ucap Alin gugup karena takut Al tidak akan mengizinkannya.

"Tidak bisa. Saya tau ini pasti rencana kamu, kan? Agar kamu bisa kabur dari saya. Iya, kan?" tanya Al dengan sorot mata yang membunuh ke arah Alin.

"Saya mohon sama Bapak, izinin saya kuliah, Pak. Saya janji saya nggak akan kabur. Kalau bapak mau balas dendam sama saya silahkan, Pak. Saya terima. Tapi saya mohon, izinin saya untuk kuliah, Pak, saya mohon sama Bapak," ucap Alin yang sudah berlutut memegang kaki Al.

"Oke. Saya akan biarkan kamu kuliah. Tapi ingat, jangan pernah kamu berani untuk kabur karena anak buah saya akan mengawasi kamu dari jauh. Dan satu lagi, karena saya tidak akan mengeluarkan biaya untuk kuliah kamu, maka kamu harus bekerja untuk membiayai kuliah kamu sendiri."

"Iya, Pak. Saya janji, saya tidak akan kabur dan saya juga akan mencari biaya kuliah saya sendiri," ucap Alin sambil berdiri, dia mengusap air matanya dengan senyum yang lebar.

"Bagus kalau gitu." Al pun akhirnya keluar dari kamar Alin dan menuju meja makan. Lalu Alin pun segera mengganti bajunya setelah itu dia pun segera menyiapkan sarapan untuk Al.

"Ini sarapannya, Pak," ucap Alin setelah menyajikan sepiring nasi goreng di depan Al. Setelah itu dia pun menarik salah satu kursi untuk duduk.

"Mau ngapain kamu?" tanya Al saat Alin sudah duduk di kursi tersebut.

"Saya juga mau makan, Pak," jawab Alin pelan.

"Nggak bisa! Kamu nggak bisa makan sebelum saya selesai makan. Ngerti? Sekarang cepat berdiri!" teriak Al.

Alin hanya bisa pasrah dan segera berdiri dari duduknya. Dia hanya dapat menelan air liurnya melihat Al makan dengan lahap. Tangannya pun mengusap perutnya yang keroncongan karena dari kemarin ia belum memakan apapun.

"Apa saya boleh pergi sekarang, Pak?" tanya Alin setelah Al selesai sarapan.

"Ke mana?" singkat Al yang sudah berdiri dari duduknya.

"Saya mau pergi kuliah."

"Silahkan pergi, tapi ingat kamu itu pelayan di sini. Jangan sampai karena keasikan bekerja kamu lupa tugas kamu. Dan ini, HP untuk kamu, karena saya nggak mau ambil resiko." Lalu Al memberikan sebuah ponsel pada Alin.

"Tungga, Pak," cegah Alin saat Al akan melangkahkan kakinya menuju lantai atas.

"Apa---"

Sebelum Al melanjutkan ucapannya, Alin sudah lebih dulu memeluknya.

"Makasih, Pak," ucap Alin di pelukkan Al.

Al yang di peluk pun hanya diam tanpa membalas pelukkan Alin. Jujur ini adalah pelukan hangat yang di rasakan Al setelah kepergian mamanya

Ma---aaf, Pak. Saya nggak bermaksud meluk Bapak, tadi saya hanya merasa senang aja karena Bapak mengizinkan saya untuk kuliah," ucap Alin melepaskan pelukannya setelah ia sadar dengan tindakannya.

"Kalau gitu saya pergi dulu, Pak." Lalu Alin pun pergi meninggalkan Al yang masih terdiam.

"Perasaan apa ini? Kenapa saat dia meluk gue, gue merasa ... nggak mungkin, gue nggak mungkin punya perasaan sama dia. Ingat, Al, lo nggak boleh jatuh cinta sama dia nggak boleh. Ingat ayahnya udah bunuh Salsha adik lo dan lo harus balas dendam ke dia," ucapnya pada dirinya sendiri.

Setelah itu dia pun melangkahkan kakinya menuju kamarnya untuk bersiap-siap pergi ke kantor.

Part 3

Setelah sampai kampus, Alin pun melangkahkan kakinya menuju kelas dan langsung mendudukkan tubuhnya di bangku.

"Alin!" panggil seorang gadis yang langsung duduk di bangku di samping Alin.

"Putri?" Alin menatap sahabatnya itu.

Putri adalah teman sebangku sekaligus sahabat Alin sejak pertama mereka berkuliah di kampus itu, bahkan mereka bekerja di tempat yang sama. Bukan hanya sahabat, tapi bagi Alin Putri adalah saudara untuknya. Pada Putri lah ia membagi semua masalahnya.

"Lin, kamu ke mana aja? Aku hubungin nggak bisa, terus kemarin aku cariin ke rumah kamu, tapi nggak ada, Ayah kamu juga nggak ada. Emang kalian ke mana?" tannya Putri.

Tiba-tiba Alin teringat dangan ayahnya yang sudah tiada. Tak terasa air matanya pun jatuh membuat Putri yang ada di sampingnya bingung. Entah di mana Charles membuang mayat ayahnya itu

"Kamu kenapa nangis, Lin?" tanya Putri tapi Alin tak menjawab dan malah menangis.

"Yaudah kamu ikut aku yuk. Kita bicara di tempat lain aja," ajak Putri lalu menggandeng tangan Alin dan membawanya ke taman kampus yang tidak terlalu ramai.

"Sekarang kamu cerita kenapa nangis. Sebenarnya apa yang terjadi?" tanya Putri lagi saat mereka sudah duduk di bangku taman tersebut.

"A---ayah, Put," ucap Alin sambil menangis sesenggukan.

"Iya, ayah kenapa, Lin? Ayah kamu kenapa?"

"Ayah aku meninggal, Put. Dia sekarang udah nggak ada, sekarang aku udah nggak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain ayah," ucap Alin.

Sontak kabar itu membuat Putri terkejut. Ayah Alin sudah ia anggap ayahnya juga. Selama ini ia tau ayahnya Alin tak pernah sakit. Dia begitu syok ketika tau ayah Alin tiba-tiba sudah meninggal.

"Apa? Meninggal? Kapan? Dan kenapa kamu nggak kabarin aku soal ini"

"Kemarin ayah meninggal dan itu karena...." Ucapan Alin terpotong karena sebuah notifikasi masuk ke ponselnya yang di berikan Al.

[Kalau kamu berani ngomong macam-macam, saya akan pastikan ini adalah pertemuan terakhir kalian berdua, karena saya sudah menyuruh orang untuk memata-matai kamu. Jadi, jangan pernah main-main sama saya, kalau tidak teman kamu itu akan bernasib sama seperti ayah kamu] Begitulah isi pesan yang di kirim Al. Seketika itu Alin menjadi panik. Al tak main-main dengan ancamannya, nyawa Putri bisa dalam bahaya jika ia melibatkan sahabatnya itu dalam masalahnya.

"Nggak, aku nggak boleh cerita apa yang terjadi ke Putri. Aku.nggak mau dia kenapa-napa karena aku," batin Alin.

"Pesan dari siapa?" tanya Putri membuyarkan lamunan Alin.

"Ah, bukan dari siapa-siapa kok," jawab Alin berbohong.

"Kamu belum lanjutin kata-kata kamu, Lin,, ayah kamu meninggal karena apa?"

"A---ayah aku meninggal karena sakit dan aku nggak ngabarin kamu karena HP aku lagi rusak makanya aku beli yang baru," bohong Alin agi.

"Kamu nggak bohong, kan, Lin?" tanya Putri yang tidak percaya dengan apa yang Alin katakan. Entahlah, dia merasa ada sesuatu yang tak mau di ceritakan Alin padanya.

"I---iya, aku nggak bohong kok, Put," ucap Alin gugup.

Lalu Putri menghela napas kemudian membawa Alin ke dekapannya.

"Aku itu udah kenal lama sama kamu, Lin, aku tau pasti kamu lagi bohong, kan? Kamu nggak bisa bohong sama aku karena aku tau kalau kamu lagi bohong. Sekarang cerita ke aku. Apa yang udah terjadi sama ayah kamu"

"Hiks ... maaf, Put. Aku emang udah bohong sama kamu. Tapi aku juga nggak bisa cerita yang sebenarnya,

Nggak untuk yang satu ini," ucap Alin di pelukan Putri.

Lagi-lagi Putri menghela napas pasrah. "Yaudah nggak papa kalau nggak mau cerita sekarang. Tapi satu harus kamu tau, kapan pun kamu siap buat cerita aku siap buat dengarin semuanya. Dan jangan pernah bilang kalau kamu sendirian di dunia ini, karena aku akan selalu ada buat kamu," ucap Putri dengan lembut.

"Makasih ya, Put. Kamu emang sahabat terbaik aku," ujar Alin yang sudah kembali tersenyum

"Sama-sama. Yaudah kita ke kelas yuk, bentar lagi dosennya masuk."

"Iya, ayo."

Mereka berdua pun berjalan sambil bergandengan tangan menuju kelas. Di perjalanan ada saja lelucon yang di buat Putri hingga Alin tertawa. setidaknya dia bisa melupakan sejenak masalah yang dia hadapi. Dalam hatinya dia bersyukur bisa di pertemukan dengan sahabat yang sebaik Putri.

***

Sementara di sisi lain, Al sedang ada di kantornya. Dia baru saja selesai bicara dengan salah satu anak buahnya di telepon.

"Terus awasi Alin dan jangan sampai dia kabur."

[Baik, Tuan]

Al pun menutup sambungan teleponnya. Tak lama pintu ruangannya terbuka dan menampakkan seorang gadis cantik dengan wajah kesalnya lalu duduk di sofa yang ada di ruangan tersebut.

"Sayang, kok kamu nggak bilang kalau mau datang ke kantor? Kan, aku bisa nyuruh Charles buat jemput kamu?" tanya Al. Lalu dia pun ikut duduk di samping kekasihnya tersebut.

"Kok kamu kayak lagi kesal gitu, sih, Sayang?"

"Siapa Alin?" tanya Gadis itu datar tanpa menjawab pertanyaan Al.

"Oh, dia itu anak dari pembunuh Salsha, Bella. Dan aku udah nikah sama dia kemarin," jawab Al santai.

"Apa? Nikah? Kamu nggak bohong, kan? Kalau kamu udah nikah terus aku gimana?" tanya Bella marah sekaligus kaget.

"Kamu dengar dulu penjelasan aku. Aku menikahi dia karena aku ingin balas dendam ke ayahnya, dengan aku nikah sama dia aku akan buat dia menderita," jelas Al.

"Tapi gimana kalau nanti kamu bakal cinta sama dia?" tanya Bella curiga.

"Itu nggak akan terjadi. Karena aku hanya cinta sama kamu dan untuk Alin hanya kebencian yang ada untuk dia."

"Yaudah sekarang jangan kesal lagi ya sama aku," bujuk Al.

"Oke, aku nggak akan kesal lagi asalkan kamu temenin aku shoping. Kan, aku pengen beli tas yang mewah sama sepatu yang mahal."

"Tapi aku lagi banyak kerjaan, Sayang. Bentar, ya?" Al lalu menelepon seseorang untuk segera ke ruangannya. Tak lama terdengar seseorang membuka pintu ruangan tersebut.

"Ada apa Bos manggil saya?" tanya Charles. Ya, tadi Al menghubungi Charles.

"Tolong kamu temenin Bella belanja, ya. Nggak papa, kan, Sayang kalau kamu perginya sama Charles dulu!"

"Iya nggak papa, Sayang," jawab Bella bersemangat.

"Dan ini kartu ATM aku." Al memberikan kartu ATM-nya pada Bella. "Kamu bisa pakai uang ini sebanyak yang kamu mau."

"Yaudah aku pergi dulu ya, Sayang, kamu yang semangat kerjanya." Bella lalu mencium sekilas pipi Al.

"Ayo Mbak Bella, kita pergi sekarang?" tanya Charles yang di balas anggukan oleh Bella.

Setelah itu mereka pun pergi dari ruangan Al. Lalu Al juga kembali mengerjakan pekerjaan kantornya yang sempat tertunda.

***

Setelah pulang kampus, Alin dan Putri memutuskan untuk segera pergi bersama ke restoran tempat mereka bekerja.

"Put, aku ke ruangan manajer dulu, ya. Soalnya aku mau minta izin untuk kerja mulai jam 7 malam hari ini," ucap Alin.

"Emang kenapa? Tumben, biasanya juga kamu pulangnya jam 9 atau jam 10 malam," tanya Putri heran.

"Ya aku pengen fokus sama kuliah dulu, kan, bentar lagi kita ujian, iya, kan?" Alin meyakinkan Putri. Padahal sebenarnya dia harus pulang ke rumah Al sebelum jam 8 malam.

"Iya juga, sih. Yaudah biar aku yang minta izin aja sekalian aku juga mau izin kayak kamu," ucap Putri.

Saat Putri akan masuk ke ruangan manajer, tiba-tiba seseorang memanggil mereka. Mereka pun menoleh ke arah orang tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!