Kaki jenjang yang memakai sepatu basket dengan merk cukup ternama itu melangkah cepat tergesa-gesa menyusuri lorong kampus. Sisa sepuluh menit lagi sebelum kelas dimulai, sungguh hari yang sangat sial untuk mantan ketua basket paling populer di kampus Nolite University. Meski Evan sudah pensiun karena mau lebih Fokus untuk kuliah, apalagi dia sudah masuk semester 5, tapi pesona evan masih saja membuat kaum hawa terEvan-Evan.
Seumur hidup Evan tidak pernah sekalipun telat, ini semua gara gadis aneh yang tiba-tiba saja ia temukan di jalan dan minta pertanggung jawaban. Evan bahkan tidak kenal atau merasa pernah melihat gadis aneh itu di kampus, tapi tetep saja gadis dengan jepitan panda itu kekeh minta pertanggung jawaban Evan, entah tanggung jawab seperti apa yang dia mau. Akhirnya Evan pun mengiyakan perkataan gadis itu agar bisa lepas darinya dan segera pergi ke kampus.
Laki-laki jangkung dengan rambut model belah tengah itu bernafas lega karena kelas masih kosong, maksud Evan Dosennya belum masuk untuk mengajar. Evan mengambil tempat duduk di samping Rian, pria dengan rambut warna mint itu mengerutkan kening melihat Evan yang duduk dengan nafas tersenggal.
"Di kejar anjing Lu?" Tanya Rian dengan asal dengan mata memicing melihat aneh pada sahabatnya itu.
Evan hanya menghela nafas dengan mata yang ia putar jengah. Dia masih berusaha mengatur nafas yang naik turun dengan cepat.
"Bu Wasila mana? Tumben belum masuk kelas?" Tanya Evan sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, laki-laki itu mencubit bagian depan kaos lalu menghentaknya berkali-kali untuk sedikit mengurangi rasa panas karena keringat di tubuhnya.
"Lha nggak liat grup Lu, kan gue udah bilang kelas Bu Wasila di undur 1 jam, ada rapat gitu katanya," jawab Rian yang langsung membuat tubuh Evan merosot.
Benar-benar devinisi sial yang sesungguhnya, kenapa dia begitu bodoh dan tidak melihat ponsel sebelum berangkat. Agh, semua karena gadis aneh itu.
"Ah, tai bener." Evan mengusap wajahnya kesal.
"Daripada ngumpat nggak jelas ngabisin nafas, mending Lu kerjain tugas ini deh." Rian mendorong laptop miliknya kearah meja Evan.
Evan mengeryit menatap layar laptop milk Rian bergantian dengan si pemilik benda elektronik ini dengan wajah bingung.
"Dosennya nggak ada bukan berarti tugas juga nggak ada, cepet kerjain biar bisa bareng ke kantin. Laper gue," ujar Rian seraya kembali menarik laptop miliknya.
Evan pun mengangguk dan segera mengeluarkan I-pad dari dalam tas ransel. Setelah meminta Rian mengirim file tugas padanya, Evan pun bergegas mengerjakan tugas itu. Evan sendiri sebenarnya juga dilanda kelaparan karena saat sarapannya tadi diganggu gadis aneh itu.
Hais, kenapa Evan terus memikirkan gadis itu. Pria berhodie putih itu menggeleng cepat untuk mengusir bayangan gadis yang membuat harinya super sial. Dua jam berlalu, kelas Evan telah usai. Para mahasiswa pun mulai meninggalkan ruang kelas saat dosen mereka sudah meninggalkan ruang kelas.
"Gila laper banget gue," keluh Rian mengebu, niat bolosnya tak jadi terlaksana karena saat tugas selesai mengerjakan tugas Bu Wasila sudah masuk ke kelas. Terpaksa Rian harus manahan rasa lapar yang sejak pagi sudah ia tahan.
Evan hanya menyengir mendengar keluhan Rian, dua pria tampan itupun berjalan santai ke arah kantin yang ada di lantai dua gedung fakultas Ekonomi. Seorang laki-laki berkemeja motif kotak-kotak melambaikan tangan pada keduanya.
"Oi!" Serunya yang langsung diangguki Rian.
Rian dan Evan pun segera menghampiri Bobby yang sudah tiba lebih dulu di kantin. Bobby tidak sekelas dan beda fakultas dengan mereka, Bobby anak FE (Fakultas Ekonomi) tapi lebih sering kumpul bersama anak FH (Fakultas Hukum), yang tak lain dua pria ini, mereka memang sudah berteman sejak SMA dan memutuskan untuk melanjutkan pendidik di kampus yang sama meski berbeda jurusan.
"Laper banget njir, nasi geprek gue belum dateng kah?" Tanya Rian sembari meletakkan tasnya di atas meja.
"Lu liat ini apa?"
Alis Rian menyatu melihat kemana tangan Bobby menunjuk.
"Apaan njir, nunjuk apaan Lo?"
"Ya mata sipit Lo buka lebaran dikit napa Yan."
"Kosong Cok, kentut kebo aja kagak ada!" Sarkas Rian yang sudah mulai terbawa emosi karena rasa lapar yang mengerogoti kesabarannya.
"Lha itu tau pake nanya," sahut Bobby yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Rian.
"Lo lama-lama gue telen juga ye Bob, capek bener tinggal ngomong belum dateng pake segala ngomongin mata sipit gue."
"Udah-udah, sabar yan. Makin marah makin laper nanti, tuh cendolnya udah makan itu dulu gih, buat ganjel lambung, " ucap Evan saat seorang pegawai kantin mengantarkan es cendol yang sudah di pesan Bobby sebelum dua sahabatnya datang.
Tanpa banyak bicara Rian segera menyambar es cendol yang baru saja diletakkan di depannya. Tak lama kemudian makanan utama juga menyusul hadir, ketiga pria itu pun menikmati makanan mereka dalam hening. Mereka terlalu larut dalam memuaskan rasa lapar mereka hingga tak memperdulikan sekitar. Para mahasiswi yang mulai berbisik tentang tiga arjuna itu, ada yang mencuri-curi pandang sambil tersenyum malu-malu sendiri.
Popularitas ketiga pria muda itu sangatlah besar di kampus, bagaimana tidak selain wajah mereka yang rupawan mereka punya daya tarik tersendiri. Evan adalah Mantan kapten basket yang sudah membawa tim basket dengan segudang piala, Rian seorang penyanyi dengan suara super syahdu serta jago sekali memainkan gitar, dan Bobby siapa yang tidak kenal crazy rich ndeso yang humbel dan ramah itu. Mereka bertiga hampir setiap hari maka di kantin gedung Fakultas Ekonomi, yang dimana itu menjadi keuntungan tersendiri bagi para pedagang di kantin. Karena kantin selalu ramai dengan kehadiran mereka.
Seorang gadis memegang buket bunga mawar kecil di tangan, dengan langkah ragu ia mendekati meja tiga arjuna Nolite. Semua mata mulai menatapnya dengan bibir berbisik saling melemparkan dugaan siapa yang jadi incaran adik tingkat yang nekat bulan ini. Sebenarnya bukan hanya adik tingkatkan, teman setingkat dan kakak tingkat juga sering menyatakan perasaan pada tiga arjuna itu, dan hampir itu terjadi setiap bulan. Dan sampai sekarang belum ada satupun cinta yang di terima.
Gadis itu berjalan pelan ke arah Evan, ya kali ini kapten basket ganteng itu yang menjadi target. Seolah tak terganggu dengan hadirnya gadis itu, Evan masih saja sibuk menunduk, menikmati soto hangat miliknya, entah karena terlalu lapar atau memang doyan sampai dia tidak sadar dengan sekitar. Gadis itu menghentikan langkah di samping Evan.
"Ehm, Kak Evan ..." lirih Gadis itu dengan gugup.
Evan tidak menyahut, pria itu masih sibuk dengan soto miliknya.
"Kak Evan," ulang gadis itu dengan lebih keras, dia mengira Evan tidak mendengar suaranya tadi padahal Evan sengaja cosplay budek, dia tahu dan mulai sedikit muak dengan tingkah gadis- gadis yang mengejarnya dan parahnya lagi boti juga ikut andil didalamnya. Hah, susahnya jadi cowok cakep.
"Van, di panggil tuh," ujar Rian sambil menyikut lengan Evan, Evan memejamkan mata sejenak sambil mengumpat keras dalam hati.
Evan menoleh menatap Rian dengan senyum menahan emosi, Bobby yang melihat raut wajah Evan hanya bisa menahan tawanya.
"Ada perlu apa?" Tanya Evan tanpa basa-basi, jujur saja dia sangat tidak suka waktu makannya diganggu, tapi dia berusaha tidak menunjukkannya pada gadis itu. Evan msih berusaha ramah walau tanpa senyuman.
Gadis itu sedikit menunduk merasa salah tingkah saat Evan menatapnya. Ia mengambil nafas dalam mengumpulkan keberanian untuk menyatakan keinginannya.
"Aku suka sama Kak Evan, aku boleh jadi pacar Kakak nggak?" Ungkapnya dengan penuh percaya diri, dia menatap Evan dengan mata berbinar penuh harap.
Evan menghela nafas berat, baru saja pria itu hendak membuka mulut untuk menjawab tapi urung saat seorang wanita duduk di sampingnya.
"Udah nunggu lama ya Sayang, maaf ya tadi aku masih ada kelas," ucap wanita dengan jepitan panda itu dengan senyum manis.
Evan melotot menatap wanita itu, Rian dan Bobby juga terkejut dengan panggilan sayang wanita itu untuk Evan. Sementara gadis yang tadinya nembak Evan pun hanya berdiri mematung di tempatnya.
"Ini kakak ada apa? Kenapa di sini? Lagi ada perlu apa sama Epanku?" Cerca wanita itu pada gadis yang tadi confess ke Evan.
"Emh .. nggak itu anu," sahutnya terbata.
"O, aku tau. Kakak pasti konfes ke pacar aku ini ya. Maaf ya kak, Epan sudah sold out," tutur gadis bermayang panjang itu dengan jumawa dan senyum manis.
Evan hanya diam mematung dan bingung dengan situasinya saat ini.
"Dia beneran pacar Kak Evan?" Tanya gadis itu pada Evan.
"Lha kurang jelas gimana sih Kak, emang kamu pernah liat dia mau duduk sama cewek, mau di deketin sama cewek kayak gini," ujar wanita itu sambil merapatkan duduknya pada Evan.
Ingin rasanya Evan mendorong wanita yang sudah membuat separuh harinya sial, tapi wanita ini berguna juga untuk tameng ternyata, jadi kenapa Evan tidak memanfaatkannya sebentar.
Gadis itu membuang muka, dia memang tidak bisa mengelak fakta itu. Evan yang masih terkejut dengan kehadiran wanita itu pun tidak bisa berbuat banyak.
"Kan tadi kamu yang tiba-tiba duduk di sana dekat Kak Evan, kamu pasti juga cuma ngaku-ngaku kan, hapal banget sama tipe cewek gatel kayak kamu," tukas gadis itu yang merasa tidak terima, karena wanita itu tiba-tiba datang dan menganggu momen pentingnya.
Wanita itu bangkit dari duduknya, menatap nyalang pada gadis itu.
"Eh, kalau ngomong di jaga ya. Epan aja fine-fine aja kan deket sama aku, bukannya itu udah jadi bukti jelas kalau aku pacarnya. Dan kamu-"
Belum sempat wanita itu menyelesaikan kalimatnya dia sudah ditarik pergi oleh Evan. Bobby dan Rian pun menyusul langkah Evan meninggalkan Gaby yang mematung malu begitu saja. Seluruh mata di kantin menyaksikan kejadian itu, hari ini akan menjadi salah satu hari yang tercatat dalam sejarah.
Evan Galenio mengandeng seorang perempuan.
"Pelan-pelan Epan," ujar wanita yang sedang kewalahan mengimbangi langkah besar Evan menaiki tangga.
Akhirnya mereka sampai di rooftop, Evan menutup pintu yang menghubungkan mereka ke tangga lalu menguncinya.
"Apa maksud Lu ngaku-ngaku pacar gue?" Evan dengan tatapan tajam.
"Kalau Epan nggak mau aku ngaku-ngaku ya udah kita pacaran beneran aja," sahut gadis itu dengan santai sambil mengusap pergelangan tangannya yang memerah karena cengkraman tangan besar Evan.
"Lu sebenarnya ada masalah apa sih sama gue, sejak tadi pagi hari gue berantakan gara-gara Lu," ucap Evan sambil mengusap wajahnya frustasi.
Sejak dari pagi wanita itu datang ke tempat langganan bubur ayamnya, menganggu waktunya sarapan dengan alasan tidak jelas. Tiba-tiba minta pertanggung jawaban yang sampaikan ini belum jelas tanggung jawab apa. Dan sekarang dia harus bertemu lagi dengan super nyebelin ini.
"Lagian gue juga nggak kenal sama lo!" Sentak Evan kesal.
"Oia sampai lupa, kita belum kenalan ya pacar." Gadis itu merapihkan kaos yang ia kenakan lalu sedikit menyisipkan rambut dengan jarinya.
"Halo aku Calista Almaira, bisa di panggil Caca, tata atau sayang kalau Epan mau, aku anak Fapet (Fakultas peternakan) semester3 menjelang semester 4, pacar Epan Galenio. Salam kenal," ucapnya dengan nada riang.
Evan mengeryit menatap lalu memijit pangkal hidupnya. Banyak gadis yang mengejar Evan, tapi gadis bernama Calista ini yang paling aneh menurut Evan, segala pake acara menyatakan diri jika dia adalah pacar Evan. Padahal Evan baru pertama kali bertemu gadis ini.
"Gue nggak kenal Lo, dan Lo bukan pacar gue!" Tegas Evan, ia pun melangkah hendak pergi dri tempat itu.
Namun langkah kaki Evan terhenti saat tangan kecil Calista menahan tangannya. Evan menoleh, tatapannya sinis mengarah ke tangan Calista yag dengan lancang menyentuhnya.
"Lepaskan!" Calista menggeleng cepat.
"Lepaskan kataku!"
"Kataku enggak," sahut Calista santai.
Mata Evan melotot tapi sama sekali tidak membuat takut Calista. Laki-laki jangkung itu berdecak, merapatkan rahang berusaha menahan emosi, jika saja makhluk ini bergender laki-laki mungkin sudah sejak tadi Evan menghadiahi dia dengan bogem mentah, tapi sayangnya dia seorang perempuan.
"Apa mau Lo sebenernya heh!" Teriak Evan sembari menghentakkan tangan, tangan kecil Calista pun seketika terlepas dari Evan.
"Jadi pacar Epan," jawab Calista enteng.
Evan mengusap wajahnya kasar, dia sungguh tidak mengerti dengan manusia tidak tahu mau satu ini. Calista berjalan pelan dengan sedikit mengoyangkan badannya.
"Kamis malam tanggal dua puluh enam oktober, jam delapan malam Epan ada dimana?" Tanya Calista tiba-tiba, Evan mengerutkan kening mendengar pertanyaan Calista yag terdengar serius.
Tanggal dua puluh enam, itu berarti seminggu yang lalu.
"Kenapa Lo tanya-tanya?" Ketus Evan, langkah kecil Calista seketika berhenti. Gadis berwarna manis itu menatap Evan dengan tajam.
"Kamu sudah melakukan tindak kejahatan dan masih bertanya kenapa?" Calista sedikit memiringkan kepala menatap Evan dengan tidak percaya, laki-laki yang memakai kaos putih itu pun semakin bingung.
"Nggak usah ngomong macem-macem cuma buat narik perhatian gue, basi tau nggak!" Hardik Evan emosi.
"Buat apa narik perhatian pembunuhan kayak kamu," tukas Calista nyalang.
Mata bening wanita itu mulai berkaca-kaca, menujukan kesedihan yang mulai merambah semakin memuncah mengingat malam dimana dia harus kehilangan salah satu mahluk yang sangat ia sayangi.
"Kamu!"
Telunjuk Calista menegang kearah wajah Evan yang masih bingung dengan tuduhan Calista.
"Kamu pembunuh! Kamu tega, jahat!" Pekiknya dengan air mata yang mulai berjatuhan.
Dengan kasar Calista mengusap pipinya yang basah. Evan melangkah mendekat tapi Calista juga turut memundurkan langkah, hingga hari mereka masih tetap sama.
Evan tersenyum miring sambil melempar tatapan sinis. Sepertinya ini modus baru untuk mendekatinya, menuduhnya pembunuh dan meminta pertanggung jawaban. Hah, lelah sekali menghadapi wanita-wanita obses seperti ini, menjual air mata demi keinginan yang tidak akan mungkin menjadi nyata. Karena Evan sama sekali tidak berniat menjalin hubungan dengan siapapun, bagi Evan wanita adalah makhluk yang ribet dan dia belum siap untuk keribetan itu.
"Udah jual sedihnya? Ingusmu udah meler sepanjang itu, apa nggak takut gue jijik liatnya," tutur Evan, Calista langsung mengusap ujung lubang hidung dimana sumber ingus bening itu mengalir dengan ujung lengan bajunya.
"Aku nggak sembarangan jual sedih ya Epan Galenio!" Tegas Calista yang sibuk dengan ingus dan air mata.
Evan berdecih melipat tangan di dada dan menatap remeh wanita yang ada di hadapannya. Ia sedikit membungkuk agar bisa menatap waja sembab yang masih menatapnya dengan marah dan kesal.
"Lo pikir gue nggak tau apa rencana busuk yang ada di otak kecil Lo itu, Lu mau jual sedih, bicara omong kosong dengan tuduhan nggak berdasar dan meminta pertanggung jawaban gue. Lo mau gue tanggung jawab apa? Jadi pacar Lo, nikahin Lo, sebutin apa mau Lo, munafik."
Calista sedikit memiringkan kepala, manik bening wanita itu menyiratkan kebingungan mendengar ucapan Evan. Evan tertawa mengejek, sepertinya apa yang ia pikiran benar. Gadis ini dengan sengaja merusak pagi yang indah saat dia memulainya dengan memakan bubur ayam bang haji mahmud.
"Munafik ya, oke kalau begitu coba sebutin tanggung jawab macam apa yang bisa kamu kasih ke aku setelah kamu nabrak Joni. Kompensasi macam apa yang bakal kamu kasih buat ganti rasa kehilangan aku, apa kamu bisa lagi hidupin Joni? Kamu bisa bikin dia ngomong lagi? Kamu bisa ngomong sama Jono kalau teman makan tulang ayamnya udah kamu bunuh dan nggak bakal bisa pulang. Kamu tau bagaimana si Jono terus ngeong cariin si Joni."
Evan tertegun, lebih tepatnya dia diam dan mencoba mencerna semua kata-kata yag Calista ucapkan dengan cepat tanpa jeda itu.
"Kenapa diem? Kamu pikir dengan diem kayak gini aku bisa maafin kamu? Oh, lupa. Kamu bahkan nggak minta maaf sama sekali sama aku, setelah kamu menghilangkan nyawa kucing aku. Jahat tau nggak!"
Calista jatuh berjongkok, dia menangis dengan wajah yang ia tenggelamkan di atas lutut yang tertekuk. Tangannya juga melipat menutupi wajahnya. Tangisan Calista kali ini sangat nyaring berbeda dengan di awal tadi.
Rahang pria itu mengeras mengumpat lantang dirinya sendiri. Jadi korban yang tanpa sengaja ia tabrak di malam gerimis kala itu adalah si Joni alias kucing milik wanita ini.
Evan turut berjongkok di depan Calista, ia menatap wanita yang tertunduk degan rambut panjang terurai yang ternyata memiliki warna pink di sela hitam warna asli rambutnya itu dengan penuh rasa bersalah.
"Jadi itu kucing Lo? Tapi dia nggak pake kalung pengenal?"
"Joni nggak suka pake kalung!"
"Tapi kucing item itu bukan kucing Ras?"
"Kucing peliharaan nggak harus Ras!"
Evan menghela nafas dalam.
"Maaf, gue nggak tau kalo kucing itu milik Lu," ucap Evan dengan suara rendah dan penuh rasa bersalah.
"Basi!" Teriak Calista dengan mendongak cepat lalu kembali menunduk.
Evan meringis mengusap tengkuknya, dia tidak biasa dengan perempuan. Dia tidak tahu bagaimana menenangkan perempuan yag sedang sedih dan itu juga karena kesalahannya.
"Gue minta maaf, gue bakal tanggung jawab. Gue bakal gantiin rasa kehilangan lo, gue bakal ngomong sama kucing Lo yang satunya kalau gue nggak sengaja nabrak temennya. Lo mau apa? Gue bakal usahain apapun biar lu nggak sedih dan maafin gue," tutur Evan dengan serius.
Mungkin menabrak kucing hal sepele bagi orang lain, tapi bagi Evan itu tetap sebuah kesalahan karena keteledorannya. Apalagi kucing itu punya pemilik yang pasti sedih saat kehilangan dia, dan Evan sebagai calon penegak hukum harus bertanggung jawab atas kesalahannya.
Perlahan isak tangis Calista mereda, gadis itu mulai mengangkat wajahnya, menatap Evan dengan wajah sembab penuh air mata dan ingus.
"Beneran kamu bakal ngelakuin apapun?" Tanya Calista yang gamang dan ragu dengan ucapan Evan.
Evan mengangguk pasti.
"Hidupin joni lagi bisa?"
"Jangan gila Lu, gue bukan Tuhan!" sarkas Evan.
"Kalau gitu jadiin aku pacar Epan selama tiga bulan," ucap Calista, mata basahnya berkedip kedip penuh pengharapan.
Laki-laki itu terdiam sejenak. Pacar, hal yang paling anti ia lakukan untuk saat ini. Tapi dia juga harus bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan walaupun itu tidak sengaja.
"Nggak bisa juga ya?" Lirih gadis itu dengan kepala yang perlahan menuduk kecewa.
"Ok, kita pacaran. Sejak hari ini Lu jadi pacar Evan Galenio, ok," Evan berkata dengan tegas, dia adalah laki-laki berprinsip dan selalu berusaha bertanggung jawab dengan perbuatannya.
Lagi pula ini hanya dua bulan dan setelah itu mereka akan putus. daripada dia harus jadi tukang sulap dan membangunkan kucing yang sudah mati.
"Beneran?!" Teriak Calista tidak percaya.
"Iya, lap dulu tuh ingus Lu." Evan menyodorkan tisu yang ia keluarkan dari kantong celana
Calista menyengir menerima tisu pemberian Evan. Dengan cepat ia membersihkan ingus dan air mata yang membasahi pipinya. Raut ceria sudah kembali di wajah manis Calista. Evan mengulurkan tangan mengajak Calista untuk bangkit bersama.
"Karena Epan udah jadi pacar aku, Epan panggil aku Caca aja."
Evan mengangguk kecil. Calista mengambil nafas dalam lalu tersenyum.
"Aku harus pergi, ada kelas soalnya. Bye-bye pacar, aku pulang jam 3 sore, jangan lupa tunggu aku di parkiran ya," ucap Calista kemudian melangkah pergi melewati Evan begitu saja.
Evan menggeleng kecil melihat tingkah Calista alias Caca ini, moodnya bisa berubah dalam sekejap saja. Yang tadinya nangis bombay langsung sumringah berjalan sambil melompat kecil seperti kelinci.
Rian dan Bobby rubuh seketika saat Calista menarik pintu besi yang tadi Evan tutup menarik paksa Calista ke rooftop. Calista tersenyum lebar pada dua manusia yang kikuk karena kepergok menguping.
"Halo teman pacar, aku pergi dulu. Bye-bye!" Seru Calista riang dengan mengerakkan kelima jarinya sembari menuruni tangga.
"Bye-bye Calista," sahut Bobby dan Rian berjamaah.
Kini keduanya menelan ludah menatap Evan yang berjalan kearah mereka dengan wajah kesal.
Seperti apa yang Calista katakan, Evan menunggu di tempat parkir kampus. Bersandar duduk di atas motor klasik bergaya retro warna hitam miliknya. Calista yang melihat Evan dari kejauhan tersenyum lebar, dengan langkah riang gadis itu berjalan cepat menghampiri Evan.
Sejujurnya Calista tidak pernah berpikir bisa menjadi pacar seorang Evan Galenio, salah atu Arjuna yang paling dieluh-eluhkan seantero Nolite.
"Epan!" Seru Calista dengan lompatan kecil yang membuat langkahnya terhenti di samping Evan.
Evan melirik gadis dengan jepitan panda itu dengan sedikit malas, ia turun dari motor lalu mengambil helm yang ia taruh di belakang.
"Nih pake," Evan memberikan milik Rian yang ia pinjam tadi, sedangkan Rian pulang lebih dulu bersama Bobby.
Bukannya menerima helm Calista malah memajukan kepalanya.
"Pakein dong Pacarku," pinta Calista dengan senyum penuh harap.
"Pake sendiri, tangan Lu masih normalkan," ketus Evan. Inilah yang Evan tidak sukai jika bersama wanita, ribet, manja.
"Yah, padahal aku pengen banget dipakein helm sama Epan," lirih Calista dengan bibir manyun, tangannya dilipat di belakang dengan kepala sedikit menunduk menatap kaki kanan yang mememakai flat shoes mengayun pelan.
Evan berdecak lalu memakaikan helm di kepala Calista. Gadis itu tertegun sejenak sebelum akhirnya mendongakkan kepala agar Evan mudah mengaitkan tali pengaman helm. Setelah selesai Evan memakai helm miliknya yang ia taruh di atas spion.
"Udah cepet naik!" Seru Evan yang sudah naik ke motor lebih dulu.
Dengan setengah melompat gadis itu duduk di boncengan motor Evan saking semangatnya. Dengan pelan tapi pasti Calista meremas tepian baju Evan di bagian pinggang, Calista merapat bibirnya menahan senyum yang ia sembunyikan di balik punggung Evan.
Evan mulai menyalakan mesin motor, perlahan motor matic hitam milik Evan mulai meninggalkan parkiran kampus. Dan dimulailah perjalanan yang datar ditemani semburat langit senja, hem sedikit membosankan.
"Eh, Epan, tau nggak sih? Aku tuh kangen si Joni, kucingku yang kamu tabrak itu. Dia tuh lucu banget kalau—"
"Gue udah bilang berapa kali? Itu nggak sengaja. kok kamu bahas lagi sih, mau bikin gue merasa bersalah dengan mojokin gue terus kayak gini?" Sela Evan dengan nada datar
"Lah, ini tuh tragedi, mana bisa dilupain gitu aja? Si Joni itu kucing paling aku sayang dia setia, manja, manis, gemesin. Kalau dia masih hidup, aku pasti—"
"Ca, serius deh, ini gue lagi nyetir. Lu bisa nggak diem sebentar?" ketus Evan setelah menarik nafas panjang.
Dia sudah cukup jengah dengan bawelnya Calista yang sejak tadi tidak berhenti bercerita tentang Joni, kucing yang menjadi korban Evan. Bukankah sudah berlalu, Evan juga sedang menebus dosanya dengan menjadi pacar sementara Calista. Kenapa masih dibahas terus, menjengkelkan.
"Lah, aku kan cuma mau ngobrol biar Epan nggak ngantuk. Kalau gitu aku ganti ngomongin sapi di Fapet aja mau? Tadi siang mereka—"
"Ca, gue nggak mau denger. Sapi, kucing, ayam, atau isi kebun binatang di otak Lu. Gue cuma mau nganter kamu pulang, itu aja. Gue bukan cowok yang bakal ketawa-tawa tiap Lu cerita random, jadi nggak usah sok caper," ujar Evan dengan nada tegas dan datar.
Hening, mulut gadis itu tak lagi mengeluarkan kata-kata untuk menceritakan segala binatang berkali-kali empat. Hah, syukurlah ada pengampunan untuk telinga Evan yang mulai panas mendengar kebawelan Calista.
"Oh... iya, oke. Yaudah," Calista memelankan suaranya, terdengar kecewa.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Calista mencoba mengalihkan perhatian ke jalanan, melihat jajaran toko dan rumah-rumah yang biasa ia lewati. Sementara Evan tetap fokus nyetir dan menatap lurus ke depan, dia ingin segera sampai ke kos Calista, menurunkan gadis bawel ini dan segera pulang ke apartemennya. Namun, heningnya mereka membuat suasana jadi canggung. Evan melirik spion motor, di mana wajah Calista terlihat walau tertutup sebagian bahunya, gadis itu terlihat bosan dan ah, Eva sepertinya sudah salah bicara, dia sudah sedikit membentak Calista.
"Ca, gue nggak bermaksud bentak Lu. Gue cuma belum terbiasa, sorry kalau bikin Lu nggak nyaman," ucap Evan dengan tulus.
Calista menarik napas, nada sedikit sedih tapi berusaha santai. Evan tidak salah, belum ada dua puluh empat jam mereka bersama. Wajar jika Evan belum terbiasa dengan berisikan Calista, seharusnya dia tahu itu.
"Iya, aku ngerti kok, Pan. Kamu nggak usah jelasin lagi. Aku cuma... ya, aku emang begini, suka cerita, aku nggak gitu suka kalau hening kayak gini, sepi. Kalau itu ganggu kamu, maaf ya."
"Hem."
Diam lagi, hanya deheman kecil yang Evan lontarkan karena dia tidak tahu mau jawab apa, akhirnya cuma fokus ke jalan lagi. Calista tertawa canggung. Semua memang butuh waktu, tapi ia pastikan Evan akan nyaman berada di dekatnya, setidaknya sampai semua ini selesai.
"Tapi tenang. Aku nggak bakal cerita soal sapi rewel lagi. Next time, mungkin soal kambing."
Evan tetap diam, dan tidak menanggapi ocehan. Calista. Sore itu, perjalanan mereka lanjutkan dalam keheningan yang agak berat. Tak ada pembicaraan berarti antara keduanya sepanjang perjalanan, hanya sesekali Evan menanyakan kemana arah jalan yang harus ia ambil. Tidak terasa tiga puluh menit perjalanan mereka lewati, perjalanan yang cukup menegangkan bagi Calista, karena dia tidak lagi bicara untuk memecahkan kecanggung diantara mereka, menegangkan sekaligus menyenangkan karena dia juga menikmati wangi parfum Evan yang wangi banget, bikin klepek-klepek please.
"Ini terus kemana Ca?"
Pertanyaan Evan membuat Calista sedikit tersentak, dia sedikit melamun karena terlalu nyaman menikmati aroma parfum Evan. Calista mengedarkan pandangannya memastikan dimana mereka berada sekarang.
"Nanti berhenti POM bensin depan sana," jawab Calista yang diangguki tipis oleh Evan.
Motor Evan pun berhenti di POM bensin yanh di maksud Calista. Gadis itu pun turun dari motor Evan sembari melepaskan helm yang ia pakai. Evan melemparkan pandangannya di sekitar POM bensin itu, seperti dejavu. Dia seperti pernah berada di tempat ini diwaktu yang berbeda.
"Kenapa?" Tanya Calista yang melihat Evan raut wajah sedikit bingung.
"Nggak apa-apa," sahut Evan cepat.
"Epan nggak lupa tempat ini kan? Tempat kejadian perkara tragedi berdarah itu."
"Disana." Telunjuk Calista menunjuk kearas kanan jalan dari tempat mereka berdiri.
Telunjuk Calista mengarah sedikit lebih ke kanan dan pandangan Evan pun mengarahkan ke tempat yang sama, tepat ke arah pohon trembesi yang dililit lampu LED yang akan menyala di malam hari.
"Epan nabrak Joni di sana kan, terus Epan putar balik setelah nabrak, lalu angkat jenazah Joni dan menaruhnya di bawah pohon trembesi gede itu kan? Malam itu Epan nggak pake motor ini, Epan pake motor cowok yang nungging gitu, Epan ninggalin Joni begitu saja di sana, dingin sendirian, " tutur Calista dengan pasti, guratan kesedihan telihat jelas di wajah wanita yang tengah memeluk helm yang baru di lepaskannya.
Evan menelan salivanya, apa yang gadis itu katakan seratus persen benar. Apa dia melihat kejadian malam itu? Kenapa bisa ingat sampi sedetail itu? Malam itu Evan sangat terburu-buru sampai harus memacu motornya denga kecepatan cukup tinggi, hujan gerimis malam itu membuat jalan licin dan mengakibatkan Evan sedikit hilang kendali sampai terjadi kecelakaan itu.
"Lu liat semuanya, Lu tau kejadian itu sedetail ini. Aps Lu juga di sini malam itu?" Cerca Evan yang diangguki cepat oleh Calista.
Malam itu memang dia ada di sini tempat yang sama dia mana Evan tanpa sengaja menabrak kucingnya. Tapi kala kejadian itu terjadi Calista tidak bisa berteriak atau melakukan apapun karena dia sedang bekerja dan bosnya sangat tidak suka jika ada yang menganggu pekerjaan karyawannya apapun itu, apalagi hal sesepele kucing.
"Maaf, gue-"
"Nggak apa-apa, aku udah kubur joni dengan layak. Epan nggak usah khawatir, sekarang Epan hanya perlu tepatin janji Epan sama aku. Oke," sela Calista dengan cepat.
"Mendingan Epan pulang, udah sore Mendung juga nanti Epan malah kehujanan. Besok jangan lupa jemput aku di sini, aku ada kelas pagi. Jemput jam tujuh ya, jangan telat."
"Gue pacar sementara Lo, bukan ojek online," ketus Epan sembari mendelik tajam pada Calista, rasa bersalahnya menguap berganti dengan rasa sebalnya pada gadis itu. Padahal dia tahu juga ikut sedikit melow saat melihat Calista bersedih.
"Ciie mau banget ya jadi pacar aku," celetuk Calista dengan senyum menggoda membuat mata Evan memutar jengah.
"Terserah."
"Iya dong terserah aku, kan aku korban di sini. Epan dalam masa penebusan dosa jadi harus banyak stok sabar."
Sudahlah terserah saja gadis aneh ini mau bicara apa. Evan sudah jengah dengan perkataan absurd dari gadis ini. Evan mengambil helm milik Rian dari tangan Calista lalu menggantungnya di pengait yang ia pasang di bawah kemudi motor.
"Gue balik," pamit Evan.
"Iya. Makasih ya Epan udah nganterin pulang, jangan lupa besok jam tujuh pagi ya pacar!" Teriak Calista saat motor Evan sudah mulai menjauh dari tempat ia berdiri.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!