NovelToon NovelToon

Aku Masih Normal

1_Perkenalan

Seorang gadis berusia 19 tahun, bernama lengkap Anzela Rasvatham, karakter tenang yang dimilikinya, tanpa banyak kata langsung bertindak sesuka hati bila menurut pandangan logikanya, yang dikerjakannya itu benar. Anz kini sedang menempuh pendidikan jurusan hukum di salah satu Universitas ternama di Daerah Franzkot.

Anz baru saja selesai mengikuti mata kuliah, beralih pergi melangkahkan kaki menuju kantin. Anz duduk tenang, memakai earphone, di sudut ruang kantin. Forum chattingan bernama WhatsApp terus menerus berbunyi notifikasi, chat masuk dari sahabat virtual Anz yang bernama Marcell Albertoprazz, berdomisili di daerah Braband “cantik, sedang kegiatan apa akhir-akhir ini?” Tanya Albert.

“Kegiatanku selain untuk kebutuhan, ya kuliah.”

“Kebutuhan apa yang kamu maksudkan? Bukannya semua kebutuhan hidupmu orangtuamu yang tanggung.”

“Iya emang!” tersenyum sendiri untuk beberapa saat, kemudian kembali menetralkan lagi raut wajah datarnya “kebutuhan seperti makan, minum, dan tidur,” ketiknya lagi.

“Itu bukan lagi kebutuhan, emang sudah keharusan. Oh iya, ngomong-ngomong, ini ada pemberitahuan dari oomku, katanya ada lowongan kerja sebagai penjaga tahanan di pulau Albrataz.”

“Dimana itu?”

“Di salah satu pulau negara kita tercinta inilah, sayangku,” menekan kata diujung kalimat “pulau ini jarang ada pengunjung karena mayoritas pengetahuan masyarakat disana agak sedikit dangkal.”

Anz mengangguk mengerti “okey,” balas chatnya lagi “aku mau ikut daftar ah.”

“Ngapain? Bahaya loh.”

“Emang gue pikiran, penasaran aku sama kedangkalan pengetahuan mereka dan bahaya apa yang sayang maksudkan, emang sebahaya apasih? Aku ikut ya.”

“Gak ya Anz, aku takut. Nyesel aku kasih tahu kamu. Jangan nekat kamu ya! Jangan ikutan.”

“Kayaknya pernyataan jangan ikutan itu lebih cocok ditujukan untukmu, Al, karena aku tetap akan ikut pendaftaran. Oh ya, seleksinya dimana?”

“Pusat daerah masing-masing domisili.”

“Koutanya berapa per daerah.”

“Satu daerah satu kouta tersedia.”

“Okey, Al. Semoga kita bertemu di lokasi penempatan. Dan tolong kirimkan link pendaftaran.”

Bunyi notifikasi hp Anz kembali berbunyi yang terakhir kalinya sebagai penutupan dari chattingan mereka berdua. Anz membaca segenap persyaratan yang terlabuhkan dalam forum pendaftaran yang kemudian Anz segera menyiapkan berkas administrasi, melegalisir ijazah, legalisir identitas, membuat surat pernyataan belum pernah jadi terpidana, terdakwa ataupun tersangka dan yang terakhir Anz mendatangi RS untuk mengecek kesehatannya.

Rumah petak berlantai lima, bersusun berderet bagaikan kosan, yang terdiri dari dua baris berhadapan dengan jumlah keseluruhan dua puluh rumah. Setiap satu lantai dari rumah tersebut terdiri dari satu kamar dan satu penghuni. Rumah yang ditempati Anz urutan pertama, nomor kamar lima. Lantai terbawah dijadikan sebagai tempat penyimpan kendaraa beroda dua dan empat. Desain rumah di setiap kamar terdapat satu balkon kecil, seukuran satu setengah meter kali tiga meter. Pemandangan kota terlihat jelas dari atas balkon rumah itu. Anz berdiri, termenung jauh memikirkan tindakan atas pilihan yang ia ambil ini, sudah benar atau belum?

Dari arah barat, matahari terbenam perlahan, sinar cahaya meredup seiring dengan matahari yang tenggelam. Aku belum sepenuhnya yakin atas pilihan yang telah aku mulai, monolog Anz. Berdiam diri, memandangi jalanan yang dipenuhi kendaraan roda dua, empat, dan bahkan lebih. Bulan mulai menyinari perlahan dan bintang ikut serta merayakan dengan kehadirannya, menyinarkan sedikit cahaya yang ada padanya. Waktu terus berlalu, dari second ke detik, dari detik ke menit, dan dari menit menuju jam, entah sudah berapa jam Anz berdiri termenung memandangi bulan dan jalanan bergantian.

Keterlelapan mulai menguasai kesadaran Anz, Anz beranjak berdiri dan pergi, masuk kamar kembali Anz, merebahkan badan dan memejamkan mata ia lakukan sampai beberapa jam lamanya.

Pengaplotan berkas administrasi persyaratan Anz lakukan dengan penuh kehati-hatian dan ketelitian. Tersubmit. Itulah tulisan terakhir yang Anz lihat dari layar monitor laptop pribadinya yang kemudian pejaman mata singkat dan hembusan napas panjang Anz lakukan. Dentingan suara hp, membuat Anz membuka kembali matanya dan melihat notifikasi masuk atas nama Marcell Albertoprazz “kamu tidak nekat kan, sayang, Anz? Tempat itu bukanlah tempat yang bisa kau datangi untuk main-main.”

“Jika kamu tidak berani ikut, jangan menghalangiku,” balas Anz dengan menetakan salah satu tombol diantara dua tombol yang terletak di body samping hp nya dan meletakkan kembali hp nya itu diatas meja nakas kecil yang berada di hadapan Anz.

Penjadwalan waktu batas pengaplotan berkas administrasi tertera. Tahap selanjutnya adalah pengantaran berkas ke pusat daerah yang telah ditentukan dan dilanjutkan dengan penyeleksian pengetahuan dan kesehatan setiap individu yang telah memenuhi syarat administrasi.

Beragam tes penyeleksian telah Anz lakukan, dimulai dari administrasi, tes wawasan, karakter dan jasmani.

Segenap usaha dan upaya Anz lakukan dan akhirnya Anz dinyatakan lulus ke tahap pendidikan yang akan diadakan secara gabungan antara keseluruhan daerah. Satu daerah tersedia satu kouta dan keseluruhannya terdapat tiga puluh empat daerah yang artinya yang lulus terpilih untuk ikut serta pendidikan adalah tiga puluh empat orang.

Dari masing-masing daerah peserta yang dinyatakan lulus mengikuti pendidikan akan diantar langsung oleh satu persatu panitia masing-masing ke tempat pendidikan tersebut.

...***...

Perjalanan yang Anz tempuh sudah hampir sembilan puluh persen perjalanan, sekitar tujuh puluh lima kilo meter lagi perjalan harus ditempuh. Jalanan tanah lengket, pinggiran jurang dengan kedalaman yang tidak bisa mencapai pandangan mata. Pohon-pohon raksasa tumbuh liar, harimau, gajah, singa, terlihat berkeliaran di area jalan “pak, kita tidak akan mati disinikan?” Tanya Anz pada panitia yang sedang menyetir mobil dengan tenang itu.

Panitia yang bertugas itu hanya terkekeh pelan dan menjawab ringan “kalau kita mati, palingan kita akan jadi makanan mereka.”

Anz menelan ludahnya susah setelah mendengar penuturan panitianya itu, yang kemudian pandangan mata Anz beralih melihat binatang-binatang buas yang berkeliaran bebas, ini bukan mereka yang memasuki kawasan kami, tapi kami yang memasuki kawasan mereka, monolog Anz Lagi.

Entah sudah berapa jam terlewatinya waktu, Anz memilih memejamkan mata, tidak sanggup menahan takut melihat binatang buas, jalanan terjal, dan panitia yang bersamannya yang terlihat lebih menyeramkan dari binatang tersebut.

“Bangun,” ucap seorang laki-laki bertubuh kekar, janggut panjang, badan terbalut baju ketat berwarna hitam dan senjata besar tersangkut di bahunya.

Mata terpejam, perlahan terbuka “sudah sampai ya?” Anz turun dari mobil jeep rubicoom tersebut dan melihat hamparan lautan luas, suara deruan ombak yang begitu terjal, kebiruan warna air laut yang begitu menghanyutkan dan keberadaan mereka kini berada diatas tebing batu bagaikan karang yang tertancap dalam, dikedalaman tengah lautan. “Pak, ini tempat pendidikan atau tempat piknik hiburan?”

“Terserah kamu mau menganggap apa? Pendidikan atau hiburan!” melangkah pergi menuju tenda-tenda hijau bagaikan camping yang telah terpasang, dan tersusun rapi, berderet tiga puluh empat tenda.

2_Pulau Albrataz

Badan Anz berbalik, menghadap belakang, dan melihat beberapa orang terlihat sibuk dengan hp mereka sendiri yang mereka angkat-angkat keatas, sibuk berjalan kesana kemari mencari posisi untuk mendapatkan kestabilan jaringan. Kerap kali mereka sibuk berteriak-teriak lantang “kemana menghilang? Ayolah kembali. Hilang. Ayolah dapat, dapat lagi.”

Anz, duduk tenang dan memperhatikan orang-orang yang berada di sekelilingnya, satupun dari orang-orang itu tidak ada yang Anz kenali kecuali panitia yang mengantarnya tadi.

Anz melangkahkan kaki mendekati pinggiran tebing, duduk tenang dan kakinya ia julurkan ke bawah sana, menghayun-hayunkan perlahan dan bergantian. Matanya sibuk memandang hamparan ombak besar yang menghantam tebing bergantian.

Terik matahari, menyilaukan mata namun cuaca dingin seakan menusuk kulit mereka. Api kecil mulai menyala suara gitaran dan nyanyian dari beberapa peserta dan panitia dan suara deruan suara hantaman ombak terdengar saling bersahutan.

Suara dentingan perpaduan antara balok dengan bakul besi yang saling terhantam, semua pandangan teralih pada asal suara. Terdiam, mendengarkan dan menyimak yang mereka lakukan semua “dalam hitungan ketiga, para peserta pendidikan mengatur barisan lima saf, tiga baris, DIMULAI.”

Keberadaan para peserta saat itu tidak menentu, langsung saja berlari saat mendengar suara hitungan sudah dimulai.

Barisan atas perintahnya telah tercipta, semua peserta telah berada dalam barisan semua. Dari kejauhan terdengar suara deruan mesin mobil yang mendekat, panitia yang mengatur barisan, melirik kearah belakangnya, melihat rekannya yang lainnya “dari daerah mana itu?” Sedangkan para peserta, tidak ada yang berani menoleh langsung kearah sumber suara, mereka hanya melirik sekilas.

“Daerah Braband ndan,” jawab salah satu panitia.

Mobil tersebut berhenti di parkiran yang telah dipersiapkan. Dua orang laki-laki turun dari mobil tersebut, satu panitia dan satunya lagi peserta.

Anz hanya bisa melirik, menarik sedikit sudut bibirnya keatas sekilas, ketika sudah melihat siapa yang turun dari mobil tersebut.

“Siap izin, maaf ndan terlambat. Kami dihadang gajah betengkar,” tutur panitia yang baru sampai itu.”

“Alasan diterima, dan kalian berdua push up seratus kali.”

“Siap,” jawab keduanya serentak dan segera mengambil tindakan atas perintah. Cucuran keringat membasahi tubuh mereka berdua, satu panitia dan satu peserta itu masih dalam posisi mengambang, naik dan turun, menghadap tanah dengan bertopang telapak tangan dan ujung jari kaki mereka. Sampai hitungan seratus mereka ucapkan bersama, “izin, siap perintah push up telah terlaksakan. Izin berdiri,” tutur mereka lagi serentak.

“Berdiri.”

Panitia dan peserta yang terlambat berdiri kembali, yang kemudian panitia masuk ke dalam barisan duduk santai dan tenang di antara panitia sedangkan pesertanya masuk dalam barisan para peserta.

Peserta yang terlambat bernama Marcell Albertoprazz menatap mata Anz singkat dan bibirnya yang tersenyum simpul sekilas dan segera mengambil posisi masuk ke dalam barisan.

Panitia yang merupakan ketua dari para panitia yang ikut serta melatih para peserta berdiri tenang dan gagah memberi arahan pada para peserta setelah sebelumnya memperkenalkan dirinya. “Sebagian dari kalian pasti bertanya-tanya tempat lokasi pendidikan kalian. Mungkin pertanyaan kalian lokasi keberadaan kita sekarang adalah ini tempat piknik hiburan atau bukan?” Menatap Anz dan Anz langsung menunduk menatap tanah. “Disinilah lokasi pendidikan yang akan kalian jalani, tidak ada satupun dari kalian bisa pulang sebelum tugas kalian selesai walaupun tubuh kalian menjadi jasad.”

Seluruh para peserta berdiri gagah, tangan mereka yang memegang pergelangan tangan, di bagian punggung mereka masing-masing, namun Anz segera berubah posisi, berdiri tegap, melepas pautan tangan, dan mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi “izin pelatih, ketentuan peraturan yang Anda jabarkan tidak sesuai dengan aturan dalam formasi yang kami daftarkan.”

Kan sudah kuperingatkan dari awal sayang, tempat ini berbahaya, monolog Albert melirik Anz sekilas yang berdiri tepat disebelahnya.

Terkekeh pelan sebelum menjawab “benar. Anda sangat benar nona Anzela Rasvatham perwakilan Franzkot. Dalam surat edaran sudah tercantum lokasi penempatan kalian bertugas dan mayoritas masyarakatnya seperti apa! Seharusnya kalian cari tahu terlebih dahulu informasi mendetailnya.”

Anz dan beberapa peserta lainnya berdecak kesal, merasa tertipu dan beberapa peserta yang belum mengerti hanya bisa terdiam dalam kebingungan mereka sendiri.

“Tidak usah merasa tertipu,” tutur komandan panitia dengan pandangan matanya menatap satu per satu para peserta “kalian ini bukan manusia bodoh hanya saja ceroboh.”

Tarikan dan hembusan napas panjang terdengar dari beberapa peserta dan tatapan mata tajam dari semua peserta tertuju pada komandan panitia itu.

“Lokasi penempatan kalian nanti disana,” menunjuk kearah hamparan lautan luas.

“Di mana? Masyarakat yang Anda maksudkan, ikan?” Tutur tanya Anz sudah tidak lagi bersikap bahasa formal.

“Kurang a ja r kau ya, gak sopan,” menunjuk  dengan jari telunjuk dan wajahnya terlihat memerah dan suara hembusan napas terdengar kasar, namun Anz malah menunjukan raut wajah menantang, menatap tajam bagaikan musuh. “Anz kau maju, gunakan teropong itu dan lihat kearah yang saya tunjuk tadi, lihat apa yang ada di sana.”

Anz maju dan menggunakan teropong besar yang telah dipasang oleh salah satu panitia. “Pulau,” lirih Anz.

“Iya pulau,” jawab komandan panitia itu, setelah mendengar penuturan lirihan Anz. “Sebagian dari kalian yang bertahan dari pendidikan disini akan bertugas disana sebagai penjaga tahanan dan membimbing masyarakat disana. Nama pulau itu adalah pulau Albrataz, mayoritas masyarakat di sana adalah kriminal. Mereka manusia ketinggalan zaman, pengetahuan minim dan otak dangkal alias bodoh.”

Anz yang telah kembali kedalam barisan, mengangkat tangan lagi “jika konsekuensi yang kami dapatkan adalah kematian dan keberhasilan kami adalah kemenangan dan kesadaran mereka, lantas apa yang akan kami dapatkan?”

“Kepuasan.”

Albert, Anz dan seluruh peserta lainnya menatap bingung pada komandan panitia itu “kepuasan adalah kesenangan hati. Jika kalian telah selesai dengan misi kalian, lantas apa kalian dapatkan selain kepuasan dan kesenangan di hati,” tutur komandan itu akhirnya.

“Bagaimana kami medapatkan kepuasan, jika kami lebih dulu di suguhkan kekecewaan,” tutur Albert membantu Anz dalam menjawab.

“Itu terserah kalian, mau memakan kekecewaan atau kesenangan. Intinya kalian tidak akan bisa kembali sebelum menyelesaikan misi, jika mati itu nasib kalian, jika hidup berarti keberuntungan menyertai kalian. Hiduplah sebenar-benarnya hidup bukan hanya sekedar hidup. Gunakan otak kalian, berpikirlah caranya bertahan hidup, jika tidak mau hidup silahkan mati,” melihat jam tangan arloji yang melingkar di tangannnya “untuk sekarang silahkan istirahat, pendidikan dimulai besok. Perhatian seluruhnya, bubar barisan jalan.”

Para peserta membubarkan diri, beralih ke tenda masing-masing, dalam satu tenda hanya dua orang peserta. Terserah para peserta menentukan pasangannya sendiri.

Albert dan Anz memilih isitirahat dalam satu tenda yang sama.

3_Maaf

Barisan rapi telah tercipta, para peserta berdiri dalam posisi istirahat ditempat. Raut wajah masing-masing dari peserta tidak lagi bisa bersahabat “izin ndan, keberangkatan kami lusa, kenapa hari ini kami masih harus berbaris seperti ini lagi? Bukannya hari ini kami beristirahat.”

“Kenapa kamu ikutan Al? Bukannya kamu takut, tidak ingin ikut?” Tanya Anz.

“Tidak mungkin aku membiarkan wanita keras kepala yang aku cintai ini seorang diri di sini, nanti siapa yang akan menjaganya? Siapa yang akan menghapus air matanya dan siapa yang akan memeluknya jika ia berada dalam ketakutan dan kesedihan.”

“Aku bisa jaga diriku sendiri tahu,” ucapnya cepat.

“Tahu,” jawab Albert dan kepalanya yang dianguk sekali “tidak selamanya kau bisa menjaga dirimu sendiri sayangku.”

Anz diam tidak menjawab pertanyaan malah beralih mengatakan topik lain “ayo kita makan, setelah itu istirahat.”

Pembinaan disertai kekerasan tercipta, mengatasnamakan pendidikan. Empat puluh lima hari telah terlewatinya waktu, dari tiga puluh empat peserta, tertinggal sepuluh peserta lagi. Kondisi yang cukup menyedihkan, kulit menggelap disertai lebam pukulan di seluruh tubuh. Dua puluh empat peserta yang telah gugur, dimakamkan ditempat, dengan seadanya pemakaman, sekedar jasad tertimbun tanah.

Peserta tersisa membentuk barisan tiga baris lima saf, berdiri tegap, mengangkat tangan, memberi tanda hormat pada salah satu rekan mereka lagi, yang baru saja selesai dimakamkan. Genangan air dari kelopak mata menutupi pandangan mereka pada dua puluh empat gundukan tanah, dihiasi batu serta kayu bertuliskan ukiran nama dan daerah asal peserta.

Panitia dari setiap daerah satu per satu pada berpulangan ke daerah tugas mereka, jika peserta yang dibawanya telah gugur. Sebelas panitia yang tersisa berdiri berhadapan dengan para pesertanya menatap datar para pesertanya itu.

Komandan dari panitia itu yang merupakan panitia yang membawa Anz, berjalan, mengelilingi para peserta “tidak ada diantara kalian yang bisa pulang sebelum misi kami terselesaikan,” menunjuk kearah laut “walaupun kalian mati sekalipun.”

“Binatang,” lirih Anz tanpa sadar.

“Peserta satu, Anz. Lirihan Anda terlalu keras,” berjalan cepat menarik pipa karet sepanjang lima puluh senti meter yang tersimpan diantara sabuk tali pinggangnya dan melayangkan pipa tersebut kearah punggung Anz.

“Akh,” lirih Anz merasakan kebas dan perih kembali diarea punggungnya.

Komandan panitia itu tersenyum dan menatap dalam mata Anz “ketahanan tubuhmu cukup bagus, hanya kau perempuan yang tersisa. Aku rasa kaki kau itu  memberi izin untuk kau bertugas di pulau Albrataz.” Komandan panitia itu kembali berjalan mengelilingi para peserta “kebutuhan yang dibutuhkan pulau Albrataz sudah cukup, sepuluh orang, kalianlah pesertanya.”

Delapan peserta lainnya diam seluruh bahasa, menikmati ketakutan, kesedihan akan ancaman dengan keterbungkaman yang terus menerus yang dilakukan mereka. Sedangkan Anz “apa kalian sengaja membunuh teman-temanku? Lantas mengapa kalian membuka formasi tiga puluh empat jika yang kalian butuhkan hanya sepuluh?” menekan setiap kata, menatap tajam komandan panitia, dan air mata Anz yang sudah mulai menetes setetes demi setetes.

Komandan panitia itu kembali berjalan mendekati Anz, berdiri dekat, yang kemudian menaikkan paksa dagu Anz dengan pipa karet yang digenggamnya “nona Anzela Rasvatham, Anda tidak perlu repot-repot bertanya apa dan mengapa. Justru pertanyaan apa berasal dari saya, apa alasan nona medaftarkan diri. Padahal, nona bisa mencari tahu penempatan tugas kalian nanti dan lagi tidak mudah bertahan sampai dititik ini, hanya yang memiliki kecerdasan, ketahanan dan keberanian yang layak berada disini,” menurunkan pipa karet dari dagu Anz dan mengangkat tangannya, menepuk bahu Anz dan mencengkramnya kuat.

Anz berdesis sakit.

Albert bertugas sebagai danton peserta, melihat Anz sang kekasihnya diperlakukan seperti itu menggigit gigi gerahamnya kuat, melirik sekilas pada Anz dan kemudian melirik tajam pada komandan panitia. Komandan panitia itu tersenyum sinis menatap Albert “pasangan bodoh,” lirihnya.

Komandan panitia itu, berjalan kembali dan berdiri tiga langkah di depan barisan “sekedar pemberitahuan, belum ada negara yang bisa memiliki pulau Albrataz tersebut, masyarakat disana hidup hanya sekedar hidup. Alasan kalian ada disini adalah menjinakkan masyarakat disana dan ambil kekuasaan kepemilikan pulau itu,” ucapnya tegas dan matanya yang berkeliling menatap satu persatu para peserta “kami tidak memaksa kalian mendaftar namun sekarang kalian sudah lulus dan sudah berada di tangan kami, jangan harap kalian bisa kembali sebelum misi kami tercapai,” padangan mata mengarah pada Anz tajam “kami perlu mendidik kalian yang terpilih dan menyisakan yang tersisa untuk menyelesaikan.”

“Pembunuh,” lirih kompak Albert dan Anz.

Komandan panitia dan panitia lainnya terkekeh bersamaan.

“Izin ndan,” ucap salah satu panitia kepada komandan panitia dan menatap sekilas komandannya yang kemudian beralih menatap para peserta “misi yang kalian jalankan nanti tidak ada hubungannya dengan negara, kalian bekerja pada kami, berarti kalian tawanan kami.”

Albert mengepal kuat tangannya dan hendak melayangkan kepalan tangannya itu dengan berujar lantang “Kurang aaaa,” ucap Albert terputus kala tendangan keras menghantam perut bagian ulu hatinya.

Tubuh Albert terseret dan terjatuh, terduduk jauh ke belakang. Albert memegang perut atasnya kuat dengan terbatuk-batuk, cairan kental berwarna merah keluar dari mulutnya. Anz segera beralih keluar dari barisan, membantu Albert.

“Kau urus itu pacarmu. Kepada yang lain silahkan beristirahat, lusa kalian akan diberangkatkan ke pulau.”

Tidak ada jawaban dari delapan peserta lainnya. Mereka langsung terduduk ditempat, pandangan mata mereka kosong tidak tahu harus bertindak apa.

Salah satu dari peserta itu, mendekati Albert dan menyodorkan selembar daun segar “makan ini,”

“Apa ini?” Tanya Anz.

“Daun,” jawabnya enteng.

“Kauuu,” teriak Anz geram.

Albert mengambil daun tersebut dan memakannya pelan. “Tolong antar aku ke tenda.”

Anz mengangguk mengerti lantas berdiri, memapah Albert memasuki tenda yang kemudian Albert dan Anz tidur bersama di satu tandu kecil yang lebar delapan puluh cm dan panjangnya seratus delapan puluh cm “Al, maaf. Maafkan aku yang tidak mendengarkan nasehatmu.”

Albert tidak menjawab, hanya bisa memeluk dan mengusap pucuk kepala Anz pelan.

Suara lirihan isakan tangis terdengar “Anz, kau menangis sayang?”

“Maafkan aku, Al.”

“Tidak perlu meminta maaf. Ini adalah takdir diatas pilihan kita sendiri. Kita dan mereka, teman-teman kita akan terbebas dari jeratan para manusia gila itu. Kita akan mencari solusi dan jalan keluar dari permasalahan ini. Kita akan pulang bersama-sama. Sudah yaaa,” menghapus air mata Anz “sudahlah jangan menangis lagi. Kekuatanku ada di kamu, apapun yang kamu rasakan, aku akan ikut merasakan.”

Dalam dekapan pelukan itu, Anz mengangguk mengerti.

“Istirahat ya,” ujar Albert sembari mencium pucuk kepala Anz lagi.

...***...

Kegelapan langit tanpa adanya matahari yang menyinari. Bulan sabit bersanding dengan para bintang diantara awan dilangit sana.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!