Aku, Alan Hamdalah, tinggal di sebuah kota kecil yang penuh keindahan alam bernama Cilacap. Kota ini terkenal dengan pantainya yang menawan, seperti Teluk Penyu dan Pantai Widarapayung. Di sini, aku tumbuh besar dengan banyak kenangan indah. Salah satunya adalah kisah cintaku dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian dari kehidupanku sejak masa SMA.
Salma adalah perempuan yang lembut, cerdas, dan selalu mendukung mimpiku. Setelah lulus SMA, kami harus berpisah. Salma melanjutkan studinya di Universitas Muhammadiyah Cilacap, sementara aku memilih merantau ke ibu kota untuk bekerja dan mencari kehidupan yang lebih baik. Meskipun jarak berbeda, kami selalu berkomunikasi. Dalam hati, aku yakin, suatu hari aku akan kembali ke Cilacap dan menghalalkan Salma.
Empat tahun berlalu dengan cepat. Selama itu, saya berjuang keras untuk mengumpulkan uang. Saya ingin memberikan yang terbaik untuk masa depan kami. Ketika aku mengetahui Salma akan segera diwisuda, aku merasa ini adalah momen yang tepat. Aku mempersiapkan segalanya, termasuk cincin yang kubeli dengan jerih payahku sendiri. Aku membayangkan momen indah di mana aku melamar Salma di hari wisudanya, di depan teman-temannya, dan dia berkata “ya” sambil tersenyum bahagia.
Namun, semuanya hancur dalam sekejap.
Hari itu, saya tiba di kampus Universitas Muhammadiyah Cilacap lebih awal. Aku bersembunyi di antara kerumunan, menunggu saat yang tepat untuk muncul. Aku melihat Salma cantik dengan kebaya wisudanya. Hatiku berdebar penuh harapan. Tapi, tiba-tiba aku melihat seorang pria tampan dengan setelan jas rapi berjalan mendekatinya dengan membawa bunga dan sebuah kotak kecil. Pria itu berlutut di hadapan Salma dan melamar Salma di hadapan teman-temannya.
"Terima, terima, terima ..." sorakan dari teman-teman Salma mulai menggema di seluruh kampus.
Semua orang yang melihatnya memberikan dukungannya agar Salma menerima lamaran itu, kecuali aku yang tidak ingin Salma menerima lamaran pria itu. Karena itu akan sangat menyakitkan bagiku.
Dan hal yang paling aku takutkan pun terjadi, Salma menerima lamaran pria itu.
Aku yang melihatnya hanya bisa diam membisu. Duniaku seolah berhenti. Hatiku remuk. Semua perjuangan, pengorbanan, dan rencana yang kupersiapkan seolah tidak berarti. Aku hanya berdiri di sana, menyaksikan pria itu memasangkan sebuah cincin di jari manis Salma dan merayakan momen bahagia mereka, sementara aku terjebak dalam kesedihan yang mendalam.
Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak bisa marah pada Salma. Mungkin ini salahku yang terlalu sibuk dengan pekerjaanku di ibu kota hingga aku tidak menyadari bahwa jarak telah membuat hubungan kami retak. Mungkin dia lelah menunggu, atau mungkin dia menemukan seseorang yang lebih baik dariku.
Dengan langkah berat, saya meninggalkan tempat itu. Sebelum pergi, mataku dan Salma sempat bertemu. Sayup-sayup aku mendengar Salma memanggilku. Tapi panggilan itu sudah tidak aku perdulikan. Dalam pikiranku yang sudah melayang, aku hanya ingin segera pergi dari tempat itu.
Cincin yang kugenggam kini terasa tidak berguna. Aku berjalan menyusuri pantai Cilacap, tempat di mana aku dan Salma dulu sering menghabiskan waktu bersama. Aku menatap ombak yang datang dan pergi, mencoba mencari jawaban.
Dua jam lamanya aku terduduk diam di tepi pantai, hanya merenungi apa yang telah terjadi. Tidak pernah kubayangkan sebelumnya hal ini akan terjadi. Aku kira hari ini akan menjadi hari terindah dalam hidupku, tapi ternyata malah menjadi hari terburuk dalam hidupku.
"Mas, kapan pulang?" tanya Salma lalu duduk di sampingku.
Suara itu mengejutkanku dan membangunkanku dari lamunan. Aku seka air mataku yang jatuh tanpa kusadari. Ku lihat Salma menatap lurus ke arah laut. Wajahnya masih begitu cantik dengan balutan kerudung hitamnya.
"Kemarin sore," jawabku sambil mencoba bersikap seperti biasa.
"Kok nggak ngomong ke aku?" tanya Salma lagi.
"Niatnya mau kasih kejutan buat kamu, tapi justru aku yang dapat kejutan dari kamu," ucapku dengan senyum getir.
"Soal lamaran Mas Afif, aku tahu ini pasti sangat berat buat Mas, tapi yang perlu Mas tahu, ini juga berat buat aku. Tujuh tahun lamanya aku mencoba meyakinkan Bapak agar merestui hubungan kita, tapi tetap saja gagal. Aku berpikir mungkin dengan menerima lamaran lelaki pilihan Bapak adalah caraku untuk berbakti ke Bapak," jelas Salma sambil mengusap setiap air mata yang jatuh di pipinya.
Hubunganku dengan Salma memang sudah sejak lama tidak direstui oleh kedua orang tuanya, terutama ayahnya. Kesenjangan ekonomi yang jauh antara kita yang menjadi alasan utama. Ayah Salma bekerja di PLTU Cilacap dan memiliki posisi yang cukup tinggi di sana, sedangkan ibu merupakan seorang dokter. Hal ini jelas berbanding terbalik denganku yang hanya seorang anak dari penjual serabi, sedangkan ayahku sudah meninggal sejak aku kecil.
"Sudahlah, tidak perlu menyesali apa yang terjadi. Kita sudah sama-sama dewasa. Dalam cinta, ditinggalkan atau meninggalkan adalah hal yang wajar. Kita memang punya rencana, tapi Allah punya takdir. Mungkin memang bukan namamu yang tertulis untukku di lauhul mahfuz sana," kataku pasrah.
"Mas, aku minta maaf. Maaf karena hubungan kita harus berakhir seperti ini," ucap Salma.
"Sudahlah, tidak perlu kamu meminta maaf. Maafmu hanya akan membuatku semakin terluka. Kamu tidak salah, jadi tak perlu kamu meminta maaf," ujarku dengan sedikit emosi.
"Tidak, aku salah karena tidak bilang ke Mas tentang ini sebelumnya. Jujur, aku masih belum siap kehilangan Mas. Itu sebabnya aku belum mau jujur ke Mas tentang aku yang dijodohkan dengan Mas Afif," ujar Salma dengan suara yang agak tinggi.
"Cukup, Sal. Lebih baik kamu tinggalkan aku sendiri. Semua penjelasanmu yang seolah masih mencintaiku hanya akan membuatku kembali berharap pada harapan yang tidak mungkin terwujud. Hal itu yang akan membuatku semakin sulit untuk melupakanmu. Jadi tolong tinggalkan aku sendiri," pintaku sambil menahan tangis.
"Baiklah, kali itu mau Mas. Selamat tinggal." Salma berdiri dan berjalan pergi.
"Salma, selamat atas lamaranmu dan semoga kamu bisa hidup bahagia dengan lelaki pilihanmu. Hanya itu yang bisa kukatakan sebagai seorang teman," ucapku sambil tersenyum.
Mendengar itu, langkah Salma terhenti dan aku lihat dia mulai menarik napas panjang lalu berbalik menoleh ke arahku.
"Terima kasih," ucap Salma sambil tersenyum, namun matanya menangis.
Perlahan, aku melihat Salma pergi menjauh. Sambil berkata dalam hati:
"Semoga kamu bahagia. Namamu masih akan selalu kulangitkan dalam doa-doaku," tangisku mulai pecah.
Sore itu, aku pulang dengan wajah murung. Saat motorku melaju memasuki halaman rumah, aku melihat ibuku sudah menunggu di depan pintu. Begitu aku turun dari motor, ia langsung menghampiriku dengan penuh semangat.
“Kamu ke mana saja? Kok baru pulang? Bagaimana lamaranmu ke Salma, berhasil? Ibu sudah menyiapkan semuanya. Kita tinggal berangkat ke rumah Salma,” ucap Ibu dengan antusias.
Aku memang sudah bercerita pada Ibu tentang rencanaku melamar Salma beberapa hari sebelumnya. Rencananya, aku akan datang bersama Ibu untuk melamar Salma secara resmi ke orang tuanya setelah mendapatkan jawabannya. Namun, kini semua rencana itu tinggal kenangan yang tak mungkin terwujud.
“Salma sudah dilamar oleh pria lain, Bu,” ucapku lirih, menahan tangis.
“Yang benar kamu?” tanya Ibu terkejut.
Aku hanya mengangguk pelan, tak mampu berkata apa-apa. Melihat wajahku yang penuh kesedihan, Ibu langsung memelukku erat.
“Yang sabar, ya, Nak,” ucap Ibu sambil menangis bersamaku.
Dalam pelukan Ibu, aku tak lagi mampu menahan air mataku. Semua kesedihan yang sejak tadi kutahan kini tumpah. Aku menangis sesenggukan, seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Sore itu, aku habiskan waktu menangis di pelukan Ibu, mencoba menerima kenyataan pahit yang harus kuhadapi.
Seminggu berlalu setelah perpisahanku dengan Salma. Hari-hariku terasa hampa. Meski aku tahu keputusan ini adalah yang terbaik, hatiku tetap saja berat menerima kenyataan. Kabar tentang rencana pernikahannya sudah sampai ke telingaku. Namun tetap saja, ketika Ibu memberikan undangan berwarna emas, perasaan sakit itu kembali menyeruak.
Perlahan, kubuka undangan itu. Nama Salma tertulis di sana, bersanding dengan nama Afif, lelaki yang kini menjadi pilihannya. Hatiku remuk. Perasaan ikhlas, kecewa, dan kehilangan bercampur menjadi satu.
“Kalau kamu nggak mau datang, nggak apa-apa. Jangan maksain diri. Takutnya nanti kamu nggak akan kuat ngelihat Salma bersanding sama pria lain,” ucap Ibu menatapku penuh simpati.
“Iya, Bu. Aku juga nggak tahu bakal datang atau nggak,” jawabku sambil meletakkan undangan itu di meja.
Hari-hari berikutnya, pikiranku terus dibebani oleh pertanyaan: haruskah aku datang ke pernikahannya? Di satu sisi, aku merasa tak sanggup melihatnya bahagia dengan orang lain. Namun, di sisi lain, menghadiri pernikahannya mungkin cara terbaik untuk menutup lembaran lama. Melihat Salma bahagia di pelaminan bisa menjadi pukulan terakhir yang membuatku menerima kenyataan sepenuhnya.
Akhirnya, di hari pernikahan itu, aku menguatkan hati. Dengan mengenakan pakaian terbaik, aku melangkahkan kaki menuju gedung tempat acara berlangsung. Setiap langkah terasa berat, seolah ada beban yang menahanku. Saat tiba di ruangan, mataku langsung mencari sosok Salma. Ia berdiri di pelaminan, mengenakan gaun putih yang membuatnya terlihat begitu anggun. Di sampingnya, Afif tersenyum bangga, menggenggam tangannya erat. Mereka tampak sangat serasi.
Dengan senyum yang kupaksakan, aku menghampiri mereka. “Selamat, Salma,” ucapku pelan, suaraku sedikit bergetar.
“Terima kasih sudah mau datang di pernikahanku,” jawabnya dengan senyum lembut.
Mata kami bertemu sebentar. Aku melihat matanya yang mulai memerah. Setetes air mata jatuh perlahan membasahi pipinya. Ingin rasanya aku menghapus air matanya, tapi aku tersadar bahwa aku tak lagi memiliki hak untuk melakukannya. Dengan hati yang remuk, aku berjalan ke samping dan menyalami Afif.
“Selamat, semoga kalian bahagia,” ucapku singkat. Namun, di dalam hati, aku menahan rasa marah. Aku membencinya karena telah merebut Salma dariku. Tapi aku tahu, aku tak boleh menunjukkan itu.
Di tengah acara, aku bertemu dengan banyak teman lama, termasuk teman-teman Salma. Kami berbincang sebentar, meski pikiranku masih tertuju pada Salma yang beberapa kali terlihat mengusap air mata dengan tisu di tangannya. Saat aku sedang berbincang, tiba-tiba aku merasakan tangan seseorang menarikku dari belakang. Itu ayah Salma.
“Sebaiknya kamu pergi dari sini! Sebelum pernikahan anakku hancur gara-gara kamu,” ujarnya dengan nada penuh amarah.
“Apa maksud Bapak? Saya datang hanya karena memenuhi undangan, sebagai seorang teman. Itu saja. Tidak ada niat buruk sama sekali,” jawabku mencoba menahan diri.
“Sudahlah, jangan banyak alasan. Pergi saja kamu dari sini!” katanya sambil menyeretku ke luar gedung.
Sesampainya di luar, ia mendorongku hingga aku jatuh tersungkur. Aku menatapnya tajam. Ingin rasanya aku melawan, tapi aku menahan diri.
“Apa? Kamu mau menantang saya? Berani sekali kamu! Untung saja anakku tidak menikah dengan seorang berandalan seperti kamu,” ucapnya penuh hinaan.
“Tolong jaga ucapan Bapak. Saya masih menghormati Bapak sebagai orang yang lebih tua. Jangan buat saya kehilangan respect,” balasku, menahan amarah.
“Pergi kamu! Dasar tidak sopan!” bentaknya sambil menyuruhku untuk pergi.
“Aku akan pergi dari sini! Tapi cara Bapak mengusir saya dengan cara hina seperti ini sangat tidak dapat saya terima,” ujarku dengan perasaan penuh amarah.
“Terus, kamu mau apa? Orang miskin kayak kamu memang pantas diperlakukan hina seperti ini,” ucapnya semakin menyolot.
“Saya memang miskin. Tapi setidaknya saya tahu bagaimana caranya untuk menghargai seseorang. Tidak seperti Bapak, yang bisanya hanya merendahkan orang lain,” ucapku sambil meludah di hadapannya.
Ayah Salma yang sudah sangat emosi langsung berlari ke arahku lalu memukul wajahku dengan keras. Aku yang juga sudah terbawa emosi hendak membalasnya. Tapi dua satpam tiba-tiba datang dan memisahkan kami. Aku mencoba memberontak dan melepaskan diri, namun tetap tidak bisa. Hingga akhirnya aku mulai pasrah dalam dekapan satpam yang mendekapku dari belakang.
“Sudah! Jangan ribut di sini! Mas, lebih baik pergi dari sini,” kata salah satu satpam padaku.
Aku pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan terhina dan penuh amarah. Di perjalanan pulang, aku menyesali keputusanku untuk datang ke acara itu. Mungkin, seharusnya aku tetap berada di rumah, menyimpan rasa sakit ini sendiri, tanpa perlu menambah luka. Aku hanya bersyukur kejadian itu tidak dilihat oleh Salma. Jika Salma melihat kejadian itu, dia pasti akan membenciku.
Namun, di tengah perjalanan, aku mulai menyadari sesuatu. Pertemuan terakhir ini adalah cara Tuhan menunjukkan bahwa aku dan Salma memang tak ditakdirkan bersama. Aku harus mulai melangkah maju, menerima kenyataan, dan membuka hati untuk kehidupan yang baru.
Hari-hari berikutnya, aku berjanji akan berusaha keras untuk bangkit. Aku ingin mengisi waktuku dengan pekerjaan dan kegiatan yang selama ini kuabaikan. Meski rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, aku tahu bahwa waktu akan menjadi obat terbaik. Pelan-pelan, aku akan belajar menerima bahwa Salma adalah bagian dari masa laluku, bukan masa depanku.
Mungkin, suatu saat nanti, aku akan menemukan seseorang yang benar-benar ditakdirkan untukku. Seseorang yang bisa membuatku melupakan Salma sepenuhnya. Hingga saat itu tiba, aku akan terus berjalan, melangkah maju, meninggalkan semua kenangan pahit di belakangku.
Aku terduduk di kamar yang gelap, hanya diterangi oleh cahaya lampu tidur yang remang. Udara terasa begitu sunyi, meski ada suara samar dari luar rumah, entah itu obrolan tetangga atau suara kendaraan yang melintas. Namun, semua itu seperti tidak nyata bagiku. Pikiranku hanya tertuju pada satu hal: bayangan Salma bersanding dengan orang lain.
Aku tahu aku tidak punya hak untuk marah atau merasa dikhianati. Hubungan kami sudah berakhir beberapa bulan lalu. Tapi tetap saja, rasanya seperti dunia runtuh. Bayangan senyumnya, suara tawanya, semua masih terekam jelas di pikiranku. Kini, dia telah melangkah ke kehidupan barunya, meninggalkan aku yang masih terjebak di tempat yang sama.
Selama empat tahun terakhir, hidupku terasa seperti robot. Bangun pagi, bekerja, pulang, tidur, dan mengulang rutinitas yang sama. Setelah lulus sekolah, aku memilih bekerja daripada melanjutkan kuliah. Alasannya? Aku selalu bilang, “Nanti saja,” atau, “Tidak punya waktu.” Tapi kenyataannya, aku takut. Takut gagal, takut tidak bisa menanggung biaya, dan takut mengecewakan Ibu.
Pintu kamar diketuk pelan, membuyarkan lamunanku. Bayu, sahabatku sejak kecil, masuk tanpa menunggu izin. “Aku masuk, ya,” katanya sambil membawa dua cangkir kopi. “Kau nggak bakal nolak kopi buatan aku, kan?”
Aku menghela napas, menerima cangkir itu tanpa berkata apa-apa. Dia duduk di kursi, memandangiku dengan tatapan penuh perhatian.
“Kau nggak bisa begini terus, Lan,” ucapnya. Suaranya terdengar lembut tapi tegas. “Aku tahu ini berat buatmu. Tapi hidup jangan berhenti di Salma.”
“Aku cuma… nggak tahu harus ngapain sekarang,” jawabku lirih. “Empat tahun aku hanya kerja tanpa tujuan yang jelas. Sekarang malah tambah hancur.”
Bayu mengangguk pelan. “Makanya aku ke sini. Aku cuma mau bilang satu hal: bangkit, Lan. Ini saatnya kamu memikirkan dirimu sendiri. Kamu harus punya mimpi lagi.”
Aku menatapnya, setengah bingung, setengah tertantang. “Mimpi? Aku sudah terlalu ketinggalan zaman, Bayu. Apa gunanya sekarang?”
“Belum terlambat,” tegas Bayu. “Dengar, kamu selalu bilang pengen kuliah, kan? Tapi kamu terus tunda-tunda. Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dengan pengalaman kerja empat tahun, kamu lebih siap dan matang dibanding mereka yang baru lulus sekolah.”
Aku terdiam. Kata-katanya seperti tamparan keras. Bayu benar. Aku selalu mencari alasan untuk tidak melangkah.
“Kalau aku daftar kuliah sekarang, apa nggak aneh? Umurku sudah lebih tua dari kebanyakan pelajar,” tanyaku ragu.
“Siapa yang peduli soal umur? Banyak kok orang yang baru kuliah di usia 25, 30, bahkan lebih tua. Yang penting kamu mau belajar. Jangan biarkan rasa takutmu menghalangi langkahmu.”
Aku menyesap kopi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, aku merasa ada secercah harapan. “Kamu yakin ini keputusan yang tepat?” tanyaku.
Bayu tersenyum lebar. “Aku yakin. Aku nggak mau lihat sahabatku terus-menerus terpuruk. Salma mungkin sudah pergi, tapi hidupmu belum selesai.”
Keesokan harinya, aku mulai mencari informasi tentang pendaftaran kuliah. Rasanya seperti memulai perjalanan ke tempat yang asing. Tangan ini gemetar saat mengetik kata kunci “pendaftaran kuliah” di ponselku. Tapi aku tahu, aku harus melangkah.
Siang harinya, aku memutuskan berbicara dengan Ibu. Dia sedang duduk di ruang tamu, mengipasi badannya dengan kipas tangan. “Bu, Alan mau ngomong sesuatu,” ucapku ragu.
“Kenapa, Nak? Ngomong apa? Biasanya tinggal ngomong aja,” jawab Ibu tanpa menoleh.
Aku menarik napas panjang. “Alan mau kuliah, Bu.”
Ibu menatapku, terlihat sedikit terkejut. “Ibu nggak melarang kamu kuliah. Tapi kamu tahu, kan, penghasilan Ibu dari jualan serabi nggak cukup untuk biayain kuliahmu.”
Aku tersenyum, mencoba menenangkan Ibu. “Bu, Alan punya tabungan dari kerja selama empat tahun. Lagipula, Bayu bilang ada beasiswa untuk mahasiswa kurang mampu. Kita cuma perlu bayar sebagian biayanya.”
Ibu terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kalau memang begitu, kejarlah mimpimu, Nak.”
Hatiku melompat kegirangan. “Terima kasih, Bu,” kataku sambil memeluknya erat.
“Tapi ingat,” tambah Ibu sambil tertawa kecil, “walaupun kamu kuliah, kamu tetap harus bantuin Ibu jualan.”
Aku ikut tertawa. “Pasti, Bu. Alan nggak akan lupa bantu Ibu.”
Hari-hari berikutnya penuh dengan kesibukan. Aku mengurus dokumen, mengisi formulir pendaftaran, dan bahkan mencoba mengikuti seleksi beasiswa. Awalnya, aku merasa gugup setiap kali harus bertemu orang baru. Namun, perlahan, aku mulai terbiasa.
Pada hari pengumuman, aku duduk di depan laptop dengan jantung berdebar. Setelah memasukkan nomor pendaftaran, layar menunjukkan tulisan “Selamat! Anda diterima.” Air mataku jatuh. Aku langsung memeluk Ibu dan memberi tahu kabar bahagia itu.
Saat berdiri di depan cermin, aku melihat bayangan diriku yang berbeda. Bukan lagi Alan yang terjebak masa lalu, melainkan Alan yang siap menghadapi tantangan. Hidup memang tidak pernah mudah, tetapi aku belajar bahwa setiap langkah kecil yang kita ambil menuju mimpi adalah kemenangan besar. Salma mungkin sudah pergi, tetapi aku tahu sekarang: kebahagiaan sejati bukan datang dari orang lain, melainkan dari diriku sendiri.
Malam itu, suasana kota Cilacap terasa hangat meski angin malam berembus lembut. Jalanan penuh dengan kendaraan, namun suasana di sudut kecil angkringan favorit kami tetap tenang. Lampu-lampu jalan dan aroma khas nasi kucing bercampur dengan suara alunan musik akustik dari pengamen di kejauhan.
Aku sengaja mengajak Bayu ke sini. Angkringan ini adalah tempat kami sering nongkrong saat remaja, berbagi cerita dan tawa. Namun kali ini, aku ingin melakukan sesuatu yang lebih dari sekadar nongkrong.
“Bay, pesan dulu, aku yang traktir,” kataku sambil tersenyum.
Bayu menatapku dengan alis terangkat. “Wah, traktiran. Ada apa nih? Jangan-jangan habis dapat bonus?”
Aku hanya tertawa kecil, lalu memesan dua porsi nasi kucing dengan lauk sate telur puyuh dan tempe bacem. Tidak lupa dua gelas teh jahe hangat untuk menghangatkan suasana.
Setelah makanan tiba dan kami mulai makan, aku membuka percakapan yang sudah lama ingin kusampaikan.
“Bay,” panggilku pelan. “Hm?” Bayu menjawab sambil mengunyah sate. “Sebenarnya aku ngajak kamu ke sini karena aku mau bilang sesuatu,” lanjutku.
Bayu menghentikan kunyahannya, menatapku dengan bingung. “Apa tuh? Jangan bikin tegang gini, Lan.”
Aku tersenyum, berusaha menghilangkan rasa canggung. “Aku cuma mau bilang terima kasih.” “Terima kasih? Buat apa?” tanyanya, tampak tulus.
“Buat semuanya, Bay. Buat kopi-kopi yang kamu bawakan saat aku terpuruk, buat semangat yang kamu kasih, dan buat tamparan keras waktu kamu nyuruh aku bangkit. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu apa aku bisa sampai di titik ini.”
Bayu terdiam. Wajahnya mulai berubah, seolah-olah dia sedang berusaha menahan sesuatu. “Ah, Lan, nggak perlu lebay gitu lah. Aku cuma ngasih saran. Semua yang kamu capai sekarang itu karena usaha kamu sendiri,” katanya, mencoba merendah.
“Tapi tetap aja, Bay. Kalau bukan kamu yang dorong aku buat mulai, aku nggak bakal punya keberanian untuk daftar kuliah. Aku nggak bakal punya keberanian buat mimpi lagi. Jadi, sekali lagi, makasih banyak, Bay.”
Bayu akhirnya tersenyum lebar. “Ah, kamu jadi bikin aku terharu, Lan. Tapi serius, aku bangga banget sama kamu. Kamu buktiin kalau kamu bisa bangkit, dan aku tahu kamu bakal jadi orang sukses.”
Kami melanjutkan makan sambil berbincang tentang banyak hal. Bayu, seperti biasa, selalu punya cerita-cerita lucu yang membuatku tertawa hingga lupa waktu. Namun, malam itu terasa lebih bermakna karena aku akhirnya bisa mengungkapkan rasa terima kasih yang sudah lama ingin kusampaikan.
Sebelum kami pulang, aku menatap Bayu dan berkata, “Bay, kapan pun kamu butuh bantuan, aku akan selalu ada buat kamu, seperti kamu ada buat aku.”
Bayu menepuk pundakku sambil tertawa. “Itu udah tugas sahabat, Lan. Jangan lupa, kapan-kapan traktir lagi, ya!”
Kami tertawa bersama, meninggalkan angkringan dengan perasaan hangat. Malam itu, aku merasa lebih dari sekadar bersyukur; aku merasa beruntung memiliki sahabat seperti Bayu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!