Roseane Park berdiri di depan pintu kaca tinggi dengan logo “Wang Corp” yang berkilauan diterpa sinar matahari pagi. Jantungnya berdebar seperti genderang perang. Gedung pencakar langit itu tampak begitu megah, hampir seperti mengintimidasinya untuk mundur. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan kegugupannya. Ini kesempatan emas, pikirnya. Kesempatan untuk membuktikan bahwa mimpinya menjadi seorang profesional sukses bukan hanya angan belaka.
Mengenakan blazer krem favoritnya, Rose melangkah masuk dengan mantap, meskipun di dalam dirinya bergejolak. Resepsionis menyambutnya dengan senyum tipis sebelum menunjukkannya jalan ke lantai 20. Lantai tempat impiannya—atau mungkin juga mimpi buruknya—akan dimulai.
Ketika lift terbuka, lantai itu menyuguhkan pemandangan ruangan luas dengan dinding kaca. Semua orang tampak sibuk; suara keyboard, panggilan telepon, dan langkah kaki terdengar seperti simfoni kerja. Namun, tidak ada yang lebih mencuri perhatian Rose selain sosok pria di ujung ruangan.
Dylan Wang, sang CEO muda yang legendaris, berdiri dengan postur sempurna di dekat meja kerjanya. Setelan gelapnya rapi tanpa cela, rambut hitamnya tertata sempurna. Wajahnya tampak dingin, seperti diukir dari marmer. Rose hampir membeku hanya karena melihat tatapannya yang tajam—bahkan dari kejauhan.
"Roseane Park, bukan?" Suara perempuan berusia sekitar 40-an mengejutkan Rose. Perempuan itu tersenyum ramah. "Saya Mrs. Liang, kepala divisi HR. Mari, saya antar ke meja kerja Anda."
Rose mengangguk canggung dan mengikuti langkah Mrs. Liang.
Namun, kenyamanan singkat itu segera hilang saat suara berat dan dingin terdengar dari belakang mereka.
"Mrs. Liang, pastikan anak magang ini tahu peraturan di sini," suara Dylan memecah kesunyian, membuat langkah Rose terhenti seketika. Ia berbalik perlahan, berhadapan dengan tatapan mata elang Dylan. "Kami tidak mempekerjakan orang yang hanya ingin mencoba-coba."
Rose menelan ludah. “Saya tidak akan mengecewakan, Pak,” katanya, mencoba terdengar tegas meski suaranya sedikit gemetar.
Dylan hanya memandangnya beberapa detik sebelum berlalu tanpa sepatah kata pun. Rose tahu detik itu juga: pria ini adalah ujian terbesarnya.
Meja Rose terletak di dekat jendela besar, memberikan pemandangan kota yang menakjubkan. Namun, ia hampir tidak sempat menikmati pemandangan itu. Hari pertamanya dipenuhi tugas yang menggunung. Mrs. Liang telah memberikan briefing singkat, tapi kebanyakan waktu, Rose harus belajar sendiri.
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 5 sore, Rose merasa nyaris pingsan. Ia sedang sibuk memeriksa ulang laporan yang harus ia serahkan besok ketika suara langkah berat mendekat. Ia mendongak, dan sekali lagi, Dylan Wang berdiri di hadapannya.
"Laporan itu seharusnya selesai tadi pagi," katanya tanpa basa-basi.
Rose tergagap. “Ma-maaf, Pak. Saya baru saja menerima instruksinya—”
"Alasan tidak ada artinya di sini, Nona Park." Tatapannya menusuk. "Saya harap Anda bisa lebih cepat belajar jika ingin tetap bertahan di sini."
Setelah Dylan pergi, Rose menghembuskan napas yang tidak ia sadari telah ia tahan. Ini baru hari pertama, dan dia sudah membuatku merasa seperti pecundang.
Namun, alih-alih menyerah, sesuatu dalam dirinya justru menyala. Ia memandang laporan di tangannya dengan tekad baru. “Aku akan menunjukkan padamu, Tuan Wang,” gumamnya pelan.
Di sisi lain ruangan, Dylan berdiri di depan jendelanya, memandang langit malam yang mulai menggelap. Ia mengenali semangat di mata Rose tadi. Meski begitu, ia menggelengkan kepala. “Kita lihat sampai kapan kau bertahan,” katanya pada dirinya sendiri, tanpa menyadari bahwa kehadiran Rose perlahan akan mengguncang dunianya.
****
Keesokan paginya, Rose tiba lebih awal. Ia sudah bersiap menghadapi hari dengan semangat baru. Malam sebelumnya ia memutuskan untuk mengerjakan laporan tambahan agar bisa menunjukkan kemampuannya. Dengan penuh percaya diri, ia membuka laptop dan mulai mempersiapkan presentasi kecil untuk dipresentasikan kepada tim.
Namun, saat ia sedang asyik memeriksa data di salah satu file utama perusahaan, sesuatu yang tak terduga terjadi. File tersebut, yang seharusnya berisi data proyek jutaan dolar, mendadak hilang dari sistem. Rose mengerutkan kening dan mencoba memulihkannya, namun yang muncul hanyalah layar dengan tulisan besar: "ERROR: FILE NOT FOUND."
Jantungnya berdetak kencang. File itu adalah dokumen penting untuk pertemuan yang dijadwalkan pukul 10 pagi bersama klien utama perusahaan. Dan sekarang file itu hilang.
Rose mencoba tetap tenang dan mencari bantuan dari rekan-rekannya. “Maaf, ini file dari folder mana ya?” tanya seorang staf IT setelah ia menjelaskan masalahnya.
“Folder Project Sapphire,” jawab Rose pelan, merasa keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Staf itu membelalakkan mata. “Itu folder yang sangat sensitif. Kalau file-nya hilang, konsekuensinya bisa sangat serius.”
Kata-kata itu membuat tubuh Rose terasa lemas. Namun, ia menolak untuk menyerah begitu saja. "Apa tidak ada cara untuk memulihkannya? Saya pasti hanya salah langkah."
Staf IT mencoba membantu, tapi waktu terus berjalan. Hingga pukul 9.45, file itu tetap tidak bisa ditemukan. Rose tahu dia harus memberitahukan masalah ini kepada atasannya. Tapi siapa? Mrs. Liang? Timnya? Tidak ada waktu lagi untuk berpikir panjang.
Dylan Wang.
Rose merasa kakinya seperti memikul beban berton-ton saat berjalan menuju kantor sang CEO. Ia mengetuk pintu perlahan, dan suara dingin Dylan terdengar dari dalam. “Masuk.”
Ketika ia melangkah masuk, Dylan sedang membolak-balik dokumen di mejanya. Ia menatap Rose dengan alis yang terangkat. "Ada apa?" tanyanya dengan nada tenang, namun penuh kewaspadaan.
Rose menelan ludah. “Pak, saya harus melaporkan sesuatu. File utama untuk presentasi Project Sapphire… hilang dari sistem. Saya sedang memeriksanya tadi pagi, dan tiba-tiba terjadi kesalahan. Saya sudah mencoba memulihkannya, tapi tidak berhasil.”
Wajah Dylan berubah dingin seketika. “Kau bilang apa?”
Rose menggigit bibirnya, merasa tubuhnya mulai gemetar. “Saya—saya benar-benar tidak tahu apa yang terjadi, Pak. Tapi saya akan melakukan apa pun untuk memperbaikinya.”
Dylan berdiri dari kursinya, membuat Rose mundur setengah langkah. "File itu sangat penting, Nona Park. Klien utama kita bergantung pada data itu. Dan kau hanya mengatakan 'tidak tahu apa yang terjadi’?"
Rose ingin menangis, tapi ia tahu itu hanya akan membuatnya terlihat lebih lemah. “Saya minta maaf, Pak. Berikan saya waktu. Saya yakin saya bisa menemukan solusi.”
Dylan menghela napas panjang dan menatapnya dengan tajam. “Waktu kita tinggal lima belas menit. Kalau kau tidak bisa memperbaikinya, kau tidak perlu kembali besok. Paham?”
Rose mengangguk cepat, lalu keluar dari ruangan dengan panik.
Di meja kerjanya, Rose memeriksa setiap langkah yang telah ia lakukan sebelumnya. Ia mencoba mengakses cadangan di sistem, namun hak aksesnya terbatas. “Tuhan, apa yang harus kulakukan?” bisiknya.
Ketika ia hampir menyerah, seorang rekan magang bernama Liam, yang duduk tidak jauh darinya, mendekat. “Hei, aku dengar kau ada masalah dengan file Project Sapphire,” katanya pelan.
Rose mendongak penuh harapan. “Ya! Kau tahu sesuatu?”
Liam mengangguk. “Kadang-kadang, file yang hilang masuk ke sistem backup internal. Tapi hanya Dylan yang punya akses penuh ke sana.”
Rose menatapnya dengan tatapan tidak percaya. “Kau serius?”
“Serius. Kalau kau punya alasan kuat, dia mungkin akan membukanya.”
Dengan waktu yang tersisa kurang dari lima menit, Rose mengumpulkan keberaniannya dan kembali mengetuk pintu Dylan.
“Kau lagi?” Dylan mendongak, jelas-jelas kesal dengan kedatangannya.
“Saya punya solusi,” kata Rose cepat, suaranya tegas meski tangannya gemetar. “Tapi saya butuh akses ke sistem backup internal perusahaan.”
Dylan memicingkan mata, seolah menilai apakah Rose serius atau hanya membuang waktunya lagi. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, ia mendesah dan berjalan ke komputernya. “Katakan langkahnya.”
Rose menjelaskan secepat mungkin, dan Dylan memasukkan kode aksesnya. Setelah beberapa klik, file yang hilang itu muncul kembali. Rose hampir tidak percaya ketika melihatnya.
“Selesai,” kata Dylan dengan nada dingin. “Bawa file itu ke ruang rapat. Dan pastikan tidak ada masalah lagi.”
Rose mengangguk cepat dan keluar membawa file itu. Ketika ia akhirnya menyerahkan data kepada tim yang sedang bersiap presentasi, ia merasakan lega yang luar biasa.
Setelah pertemuan selesai, Dylan memanggil Rose ke ruangannya. Ia tidak lagi terlihat semarah tadi pagi, tapi ekspresinya masih sulit ditebak.
“Kau berhasil memulihkan file itu,” katanya. “Tapi ini bukan soal siapa yang menyelesaikan masalah. Kau membuat kesalahan besar di awal. Di sini, kesalahan seperti itu tidak akan dimaafkan dengan mudah.”
Rose mengangguk, merasa malu. “Saya mengerti, Pak. Saya berjanji ini tidak akan terjadi lagi.”
Dylan memandangnya beberapa saat sebelum berbicara lagi. “Kau memiliki keberanian untuk menghadapiku dua kali dalam sehari. Itu… cukup mengejutkan. Tapi jangan terlalu percaya diri, Nona Park. Kita lihat apakah kau bisa bertahan lebih lama.”
Rose keluar dari ruangan itu dengan campuran perasaan lega dan khawatir. Dylan Wang adalah orang yang sulit dipahami, tapi ia tidak akan menyerah untuk membuktikan dirinya. Hari kedua ini hanyalah awal dari perjalanan panjangnya.
Jam makan siang adalah waktu yang dinanti-nanti oleh hampir semua karyawan Wang Corp. Restoran di lantai bawah gedung selalu penuh dengan karyawan yang sibuk mencari energi tambahan untuk melanjutkan hari. Namun, hari ini berbeda bagi Roseane Park.
Ketika jam istirahat tiba, Rose baru saja merapikan dokumen yang selesai ia periksa. Perutnya sudah mulai berkeroncong, dan ia berniat turun ke kafetaria untuk makan siang. Tapi rencana itu langsung buyar ketika Dylan Wang tiba-tiba muncul di mejanya, membawa setumpuk dokumen tebal.
“Ini laporan dari tim pemasaran,” katanya singkat, meletakkannya di meja Rose dengan suara yang datar namun tegas. “Aku butuh analisis lengkapnya sebelum pukul 5 sore.”
Rose menatap dokumen itu dengan mata membelalak. Sebelum pukul 5? pikirnya. Itu hampir mustahil. Tapi Dylan tidak memberinya kesempatan untuk berargumen. Tanpa menunggu jawaban, ia sudah berbalik dan berjalan menuju ruangannya.
Rose mendesah pelan, melirik rekan-rekannya yang mulai bergerak menuju lift untuk makan siang. Dengan berat hati, ia kembali duduk dan mulai membaca dokumen-dokumen itu. “Ini ujian lain, Rose,” gumamnya pada diri sendiri.
Waktu berlalu lebih cepat dari yang ia kira. Ketika jarum jam menunjukkan pukul 4.30 sore, Rose masih tenggelam dalam tumpukan laporan itu. Analisis yang diminta Dylan memerlukan ketelitian tinggi, dan ia enggan memberikan hasil yang setengah matang.
“Rose, kau tidak makan siang?” tanya Liam, rekan magangnya, saat ia lewat di depan meja Rose dengan secangkir kopi di tangan.
Rose menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop. “Tidak sempat. Aku harus menyelesaikan ini sebelum jam 5.”
Liam mengernyit, terlihat prihatin. “Pak Bos Dylan yang memberimu pekerjaan itu?”
“Iya,” jawab Rose singkat.
“Yah, sepertinya dia memang suka membuat orang sibuk di luar batas. Tapi kau harus makan. Kalau tidak, bagaimana kau bisa bekerja maksimal?”
Rose hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. Ia tahu Liam benar, tapi prioritasnya saat ini adalah menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu.
Ketika akhirnya pukul 5 sore tiba, Rose menyerahkan dokumen yang sudah selesai ke ruangan Dylan. Ia mengetuk pintu dengan ragu, lalu masuk setelah mendengar suara dingin dari dalam.
“Laporannya sudah selesai, Pak,” kata Rose sambil meletakkan dokumen di atas mejanya.
Dylan mengambil dokumen itu tanpa mengucapkan terima kasih atau pujian. Ia membukanya dan membaca sekilas. Rose berdiri di sana, menahan napas, berharap pekerjaannya cukup memuaskan.
“Cukup baik,” kata Dylan akhirnya, meskipun suaranya terdengar lebih seperti pernyataan netral daripada pujian. “Tapi bagian proyeksi penjualan ini kurang detail. Lengkapi dan kirimkan padaku sebelum kau pulang.”
Rose merasa tubuhnya lemas, tapi ia hanya mengangguk. “Baik, Pak.”
Saat ia berbalik untuk keluar, suara Dylan menghentikannya.
“Kau makan siang hari ini?” tanyanya tanpa menatapnya, matanya masih terpaku pada dokumen.
Pertanyaan itu mengejutkan Rose. Ia menggeleng perlahan. “Belum, Pak. Saya terlalu sibuk.”
Dylan akhirnya mendongak, memandangnya dengan alis yang sedikit terangkat. “Tidak makan bukanlah kebiasaan yang baik, Nona Park. Kalau kau jatuh sakit, siapa yang akan menyelesaikan pekerjaanmu?”
Rose hampir tidak percaya dengan nada itu—seperti Dylan sedang memperingatkannya, meskipun dengan cara yang tetap dingin.
“Saya akan makan nanti, Pak,” katanya cepat, merasa sedikit malu.
Dylan mengangguk tipis. “Pastikan itu bukan sekadar janji.”
Pukul 8 malam, Rose akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. Semua orang di lantai sudah pulang, kecuali beberapa staf keamanan. Ia mengirimkan laporan terakhir kepada Dylan melalui email dan bersiap membereskan mejanya. Namun, sebelum ia sempat bangkit, suara notifikasi muncul di laptopnya.
Sebuah email masuk dari Dylan Wang.
Rose membaca email itu dengan ekspresi campur aduk. Apakah ini bentuk perhatian? pikirnya. Tapi seperti biasa, Dylan tetap membuatnya terdengar seperti perintah.
Meski begitu, Rose tersenyum kecil. Hari ini mungkin melelahkan, tapi ia tahu ia berhasil melewati ujian lain. Dan, meskipun Dylan tetap sulit dipahami, ia mulai menyadari bahwa pria itu memperhatikannya lebih dari yang terlihat.
Sambil membawa tasnya, ia menuju kafetaria, perutnya akhirnya menang. Di tengah rasa lapar dan lelah, Rose tahu satu hal, ia harus lebih kuat jika ingin bertahan di bawah kendali Dylan Wang.
***
Keesokan harinya, suasana kantor terasa sedikit berbeda. Rose tiba lebih pagi dari biasanya untuk memastikan semuanya siap sebelum Dylan tiba. Namun, ia menyadari ada beberapa tatapan berbeda dari rekan-rekannya. Tatapan yang biasanya penuh keramahan kini berubah menjadi sorot mata penuh kecemburuan dan bisik-bisik yang tak sulit ia tangkap.
“Dia sok sibuk cuma karena bisa dekat dengan bos.”
“Pasti dia main cara licik. Baru kerja sebentar sudah dipercaya.”
“Lihat saja, dia pasti akan kena masalah nanti.”
Rose mencoba mengabaikan komentar-komentar itu, meskipun hatinya sedikit tersengat. Ia tidak pernah meminta perhatian khusus dari Dylan, dan semua yang ia lakukan murni karena tugas. Namun, ia tahu bahwa keberhasilannya mendampingi Dylan dalam rapat kemarin telah menyalakan api iri di hati beberapa orang.
Siang harinya, saat Rose tengah sibuk memeriksa laporan mingguan, tiga rekan kerja yang duduk tak jauh darinya mulai bergerak mencurigakan. Sophie, salah satu staf senior yang terkenal suka mencari perhatian, berjalan mendekati meja Rose dengan senyum yang sulit diterjemahkan.
“Rose, tadi aku dengar tuan Dylan ingin melihat laporan dari divisi kita besok pagi. Aku pikir kamu yang paling cocok untuk menyiapkannya, kan? Kamu kan orang kepercayaan baru dia,” ucap Sophie, suaranya terdengar manis tapi sarat dengan sindiran.
Rose mengerutkan dahi. “Tapi laporan itu biasanya ditangani oleh tim analisis, kan? Aku tidak punya akses ke data lengkapnya.”
“Oh, itu gampang,” Sophie menyela. “Aku bisa mengirimkan datanya malam ini. Tapi pastikan selesai sebelum jam 9 pagi, ya.”
Rose tahu ada sesuatu yang tidak beres, tapi ia tidak punya pilihan selain mengiyakan. Ia tidak ingin dianggap lemah atau tidak mau bekerja sama.
Malam itu, Rose menerima file dari Sophie. Namun, saat ia mulai menganalisis data tersebut, ia menyadari ada sesuatu yang aneh. Data itu tampak tidak lengkap, bahkan beberapa bagian terlihat sengaja dimanipulasi.
Rose langsung merasa curiga. Ia membuka kembali email dari Sophie, tetapi tidak menemukan apa pun yang mencurigakan selain pesan singkat berisi file. Apa ini jebakan? pikir Rose.
Tanpa membuang waktu, ia memutuskan untuk mencari data asli melalui sistem perusahaan, meskipun itu berarti ia harus begadang. Ia tahu risikonya: jika laporan itu salah, ia yang akan dimarahi Dylan.
Pagi harinya, Rose datang dengan mata sedikit lelah tapi penuh tekad. Ia menyerahkan laporan yang telah ia perbaiki kepada Dylan tepat waktu. Pria itu menerima laporan tersebut tanpa banyak komentar, seperti biasanya.
Namun, saat rapat dimulai, ekspresi Dylan berubah. Ia membaca laporan Rose dengan teliti, lalu menatap peserta rapat dengan pandangan tajam.
“Siapa yang menyiapkan data mentah untuk laporan ini?” tanyanya tiba-tiba.
Ruangan menjadi sunyi. Sophie tampak gelisah di tempat duduknya.
“Aku menemukan ketidaksesuaian pada beberapa data awal,” lanjut Dylan, suaranya dingin dan menusuk. “Tapi untungnya, laporan ini sudah dikoreksi dengan baik. Rose, kau melakukan pekerjaan yang bagus.”
Rose tertegun. Itu adalah pertama kalinya Dylan memberinya pujian secara langsung. Namun, ia bisa merasakan tatapan tajam dari Sophie dan beberapa rekan lainnya.
Setelah rapat usai, Dylan memanggil Rose ke ruangannya.
“Lain kali, jika ada yang mencoba menjebakmu seperti ini, beri tahu aku,” katanya tanpa basa-basi.
Rose menatapnya, bingung. “Bagaimana Anda tahu, Pak?”
Dylan hanya tersenyum tipis, tanpa memberikan jawaban pasti. “Fokuslah pada pekerjaanmu, dan biarkan aku yang mengurus sisanya.”
Rose keluar dari ruangan itu dengan hati yang lebih lega. Ia menyadari bahwa meskipun Dylan Wang terkenal dingin, ia adalah seseorang yang selalu memperhatikan setiap detail, termasuk orang-orang yang mencoba menjatuhkan bawahannya.
Hari itu, Rose belajar satu hal penting: ia tidak sendiri dalam menghadapi dunia kerja yang penuh persaingan. Meskipun Dylan Wang adalah bos yang sulit ditebak, ia tahu pria itu akan selalu ada di sisinya untuk memastikan ia tetap berdiri tegak.
Setelah kejadian tersebut, suasana kantor semakin tegang. Bisik-bisik di sekitar Rose semakin menjadi-jadi, terutama karena Dylan secara terang-terangan memujinya di depan tim. Namun, kali ini Rose memutuskan untuk tidak mempedulikan semua itu. Ia tahu bahwa tindakannya benar, dan hasil kerjanya sudah diakui oleh Dylan.
Sophie, di sisi lain, tampak gelisah sepanjang hari. Ia menyadari jebakannya gagal dan bahkan hampir mempermalukannya di depan Dylan. Namun, bukannya berhenti, ia justru merasa semakin terancam oleh keberadaan Rose.
Keesokan harinya, sebuah kejadian tak terduga kembali terjadi. Rose menemukan amplop kecil di mejanya saat tiba di kantor. Amplop itu tidak memiliki nama pengirim, hanya berisi sebuah catatan singkat:
"Berhati-hatilah. Tidak semua orang di sini adalah temanmu."
Rose membaca catatan itu berulang-ulang. Siapa yang mengirimkan ini? Apa maksudnya? Rose merasa waspada tetapi juga bingung. Amplop itu menambah kesan bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di kantor ini, sesuatu yang mungkin ia belum sepenuhnya pahami.
Sementara itu, Dylan juga menyadari perubahan atmosfer di timnya. Ia memutuskan untuk mengadakan pertemuan internal dengan para manajer untuk membahas dinamika kerja di kantor.
“Saya tidak peduli siapa yang suka atau tidak suka dengan siapa. Yang saya inginkan adalah hasil,” ujar Dylan dengan nada tegas. “Dan jika saya menemukan ada yang sengaja menjatuhkan orang lain, itu tidak akan ditoleransi.”
Pernyataannya menyiratkan peringatan keras, terutama kepada mereka yang diam-diam terlibat dalam drama kantor.
Rose, yang berusaha tetap fokus pada pekerjaannya, mulai mempelajari pola-pola kecil di tempat kerja. Ia menyadari bahwa beberapa rekan kerja, seperti Sophie, mencoba mengintimidasi atau meremehkannya secara halus, tetapi ada juga segelintir yang tampaknya bersikap netral atau bahkan mendukungnya secara diam-diam.
Salah satunya adalah seorang staf junior bernama Mia, yang suatu hari menghampiri Rose saat istirahat makan siang.
“Rose, aku hanya ingin bilang kalau aku salut dengan kerja kerasmu. Jangan terlalu memikirkan omongan orang lain, ya,” ucap Mia dengan senyum ramah.
Perkataan itu, meski singkat, memberi Rose dorongan semangat. Ia mulai menyadari bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian dalam menghadapi situasi ini.
Namun, drama di kantor tampaknya belum selesai. Sophie, yang merasa posisinya semakin terancam, mulai merancang rencana baru. Ia berencana menggunakan aksesnya sebagai staf senior untuk mendapatkan dukungan dari pihak manajemen yang lebih tinggi. Bagi Sophie, ini bukan hanya soal kecemburuan, tetapi juga perjuangan untuk mempertahankan pengaruhnya di kantor.
Rose, tanpa disadari, telah menjadi pusat dari intrik ini. Bagaimana ia akan menghadapi situasi yang semakin rumit? Dan apakah Dylan akan terus mendukungnya di tengah ketegangan ini? Waktu yang akan menjawab.
******
Sepulang kantor, suasana sudah sepi, dan sebagian besar lampu di lantai kantor telah dimatikan. Rose, yang biasanya pulang tepat waktu, hari itu sedikit terlambat karena menyelesaikan tugas tambahan yang diberikan oleh Dylan. Saat ia bersiap untuk meninggalkan kantor, Sophie dan dua rekan lainnya, Lisa dan Martin, muncul di belakangnya.
“Rose, kamu nggak mau kami bantu, kan?” Sophie berkata dengan nada manis yang jelas palsu.
Rose mengernyitkan dahi, merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Tidak perlu, terima kasih. Aku bisa mengurus sendiri.”
Namun, sebelum Rose sempat melangkah keluar, Martin tiba-tiba menarik lengannya dengan kasar. Rose terkejut dan berusaha melawan, tapi Sophie dan Lisa segera membantunya menahan Rose.
“Dengar ya, Rose,” bisik Sophie di telinganya dengan nada penuh kebencian, “Kamu harus tahu tempatmu. Kamu pikir kamu bisa terus-terusan mencuri perhatian tuan Dylan dan mendapatkan semua pujian itu? Tidak semudah itu.”
Mereka menyeret Rose ke gudang basement, ruangan gelap dan berdebu yang jarang digunakan. Dengan paksa, mereka mengikat tangannya ke belakang menggunakan tali dan menyekapnya di sana. Rose mencoba berteriak, tetapi mulutnya dibekap dengan kain.
“Selamat malam, Rose,” ujar Sophie sinis sebelum mereka meninggalkan gudang, mengunci pintunya dari luar.
Sementara itu, Dylan, yang masih berada di kantornya untuk menyelesaikan pekerjaan terakhir, memperhatikan sesuatu yang aneh. Tas Rose masih ada di mejanya, tetapi Rose sendiri tidak terlihat di mana pun. Merasa khawatir, ia memutuskan untuk memeriksa area kantor.
Setelah beberapa menit mencari dan tidak menemukan Rose, Dylan kembali ke ruangannya dan membuka laptopnya. Ia langsung mengakses rekaman CCTV yang terhubung ke sistem keamanan. Dalam hitungan detik, ia menemukan sesuatu yang membuat rahangnya mengeras.
Di salah satu rekaman, terlihat Sophie, Martin, dan Lisa menyeret Rose ke arah lift menuju basement. Mata Dylan menyipit tajam. Ia tahu ini bukan lelucon biasa. Tanpa membuang waktu, ia mengambil kunci cadangan dari laci mejanya dan bergegas menuju basement.
Gudang basement terasa dingin dan sunyi. Rose, yang mencoba membebaskan dirinya dari ikatan, hanya bisa meronta dengan sia-sia. Hatinya mulai dipenuhi ketakutan. Namun, beberapa saat kemudian, ia mendengar langkah kaki mendekat. Suara kunci berderit terdengar dari pintu gudang.
Pintu terbuka, dan sosok Dylan muncul dengan wajah tegas, sorot matanya tajam memindai ruangan. Begitu ia melihat Rose, ia langsung berlari mendekat.
“Rose, kamu tidak apa-apa?” tanyanya sambil dengan cekatan melepaskan ikatan di tangan Rose.
Rose hanya mengangguk dengan air mata yang mengalir di pipinya. “Pak… mereka mencoba menyakitiku… Aku tidak tahu kenapa…”
Dylan menghela napas panjang, nadanya lebih lembut. “Tenang, kamu aman sekarang. Kita urus ini nanti.”
Setelah memastikan Rose baik-baik saja, Dylan membawa Rose kembali ke kantor. Namun, kemarahannya belum reda. Ia langsung menghubungi pihak keamanan untuk menyelidiki lebih lanjut dan memanggil Sophie, Lisa, dan Martin ke ruangannya keesokan harinya.
Pagi harinya, suasana kantor menjadi mencekam. Dylan memanggil ketiga pelaku ke ruangannya satu per satu. Tanpa basa-basi, ia menunjukkan rekaman CCTV dan memberikan ultimatum.
“Kalian bertiga tidak hanya telah melanggar aturan perusahaan, tetapi juga hukum. Saya tidak akan mentoleransi perilaku seperti ini. Surat pemecatan kalian sedang disiapkan, dan jangan kaget jika polisi segera datang untuk berbicara dengan kalian,” ujar Dylan dengan nada dingin.
Sophie mencoba membela diri, tetapi Dylan tidak memberinya kesempatan. “Keluar dari ruangan ini sekarang. Kalian sudah selesai di sini.”
Ketegasan Dylan membuat mereka tidak punya pilihan selain menerima konsekuensi perbuatan mereka.
Setelah kejadian itu, Dylan memanggil Rose ke ruangannya lagi. Ia menatap Rose dengan serius, tetapi ada kelembutan dalam nadanya kali ini.
“Rose, aku minta maaf atas apa yang terjadi. Aku seharusnya bisa mencegah hal ini sebelumnya,” katanya.
Rose menggeleng pelan. “Ini bukan salah Anda, Pak. Tapi terima kasih sudah menyelamatkan saya.”
Dylan terdiam sejenak, lalu berkata, “Mulai sekarang, aku akan memastikan tidak ada yang berani menyakitimu lagi di sini. Dan jangan ragu untuk memberitahuku jika ada masalah.”
Rose hanya tersenyum kecil, merasa lega tetapi juga bingung dengan perhatian Dylan yang terasa lebih dari sekadar hubungan profesional. Di balik sikap dingin dan tegasnya, Dylan ternyata menyimpan kepedulian yang tak terduga.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!